Anda di halaman 1dari 11

Nikah Dini Kereeeeeen#1--Haekal Siregar/BAB I

BAB I

Suara music hingar-bingar masih mengambang ke seantero ruangan gelap di sebuah diskotik di Puncak. Semantara suara DJ terkadang menyelingi, dan memberi semangat kepada puluhan orang yang sedang asyik bergoyang mengikuti irama. Udara dipenuhi asap rokok, warna-warni cahaya yang datang dari bola lampu diskotik di atap ruangan dan cekikikan pasangan-pasangan yang duduk di pojok-pojok gelap yang sesekali tersorot lampu. Sita sepupu Mita asyik bergoyang dikelilingi para lelaki. Gak ketinggalan nyokapnya yang dandanannya menor habis. Aku sendiri sudah capek. Sebelumnya hamper dua jam jingkrak-jingkrak bareng Eko. Sekarang aku duduk di lantai sebelah Yongki. Di sekitarku ada Eko, Mita, Teddy dan Om Mateus. Nyokap Mita juga baru saja ngelumbruk. Kayak karung basah, dikelilingi cowok-cowok keren. Mojoook! Pas aku mematikan rokok di asbak, Yongki tiba-tiba mengusirku. Kal, lo benar jadian sama anak rohis? Siapa sih namanya? Kulihat matanya sudah merah karena pengaruh minuman dan ganja. Namanya Seli. Bener gw dah jadian sekitar dua minggu kali jawabku enteng sambil melinting ganja di kotak rokok Yongki. Suer, deh. Kalo nggak denger langsung dari elo gua gak bakalan percaya sa ma berita itu. Bukan apa-apa sih, Cuma dari cewek-cewek lo, baru kali ini lo milih cewek jilbaban kayak gitu, celetuk Mita yang masih dipeluk Roman Iya, gua perasaan pernah denger kata -kata; ngapain sih cewek pake jilbab segala? Bkin mereka nggak bisa dibedain aja sambung Eko, sahabatku dari kelas satu SMA. Hooh, kalo gitu lo nelen omongan sendiri tuding Roman. Tiba-tiba mereka jadi heboh sendiri ngerumpiin orang yang ada di depan mata. Ga ada kerjaan amat! Bukannya sentiment, tapi gua nggak ngerti apa yang lo lihat dari cewek pake jilbab gitu? Udah nggak bisa diajak jalan kemana-mana, pacaran ga mau jalan bareng, dipegang tangannya aja nggak bisa. Apa sih yang lo cari? sekarang giliran Om Mateus paman Mita ambil bagian. Ngakunya sih dia lulusan kepastoran di Bandung, istilah pentul putih berjalan untuk jilbaber juga berasal dari dia. Aku sendiri pernah sering menyebut istilah seperti itu sebelum mengenal Seli. Diserang dari berbagai jurusan, aku hanya mengangkat bahu, mulai menghisap ganja yang sudah selesai aku linting. Berlagak cuek sambil menikmati goyangan Sita yang bertambah hot. Melihat aku yang tidak menjawab sepatah kata pun, Mita memprovokasi. Iya mendingan lo jadian sama Sita. Udah cakep, seksi, baik, kaya, apalagi sih yang kurang? Mendengar ucapan Mita, aku Kembali melirik SIta. Cewek itu sekarang nge-dance sama seorang laki-laki separuh baya. Kulihat matanya liar melahap habis tubuh Sita. Huuu, salah sendiri. Ngapain coba pake baju seadanya, kayak bugil aja! Sita goyang terus makin hot. Aku merinding sesaat. Sebut aku egois, apa kuno. Tapi walau aku suka gonta-ganti pacar, cewek yang cuek aja diraba-raba cowok umur lima empat puluhan gitu? Hiii, bukan tipeku, deh! Cakep kek, seksi kek, bodo! Whooooi, lo belum jawab! desak Eko kayaknya makin penasaran. Udah, ah! Gua males ngebahas ginian! kataku sambil merebahkan diri di sofa. Kepalaku mulai terasa ringan karena pengaruh ganja yang sudah habis kuhisap. Pas anak-anak Kembali ke kegiatannya masing-masing, dan aku sendiri menikmati perasaan melayang. Sita berjalan ke arahku dan menarik tanganku. Turun, yuk ajaknya genit Ngng Aaah, ayolah! Sok jual mahal segala! ajakannya makin kuat Tapi Anak-anak udah pada ke mana tuh! Sita kayaknya sudah teller. Kulirik sekilas arlojiku. Pukul tiga pagi. Kepalaku makin nge-fly. Gak tahu lagi mo apa, mo ke mana.Aneh! Tiba-tiba aku seperti ngeliat bayangan itu! He, heiMo ke mana lo? Pulaaang! ***

Suatu malam di pertigaan Depok. Berenam, aku dan teman-temanku sedang membentuk lingkaran di depan rumah saudaraku yang kebetulan letaknya sangat strategis. Di sinilah kami biasa nogkrong. Geng kami dikenal dengan sebutan Zaper. Di tengah lingkaran kami, bertebaran berbagai macam bungkus rokok, mulai dari Super, Filter, Samsu. Terakhir, bungkusan tanpa merek yang baru kami beli dari Bandar yang berdomisili di jalan Merdeka Depok II. Catur mengambil sebatang rokok Super yang diletakkan di tengah kami. Sementara aku sedang memainkan salah satu lagu Slank dengan gitarku. Suara sember Gepeng dan Boting malah membuat permainan gitarku, hasil les gitar klasik Yamaha menjadi terdengar tidak keruan. Tadi gua liat pilokan kita yang di pasar Agung, dicoret sama anak-anak Bolero, cetus Catur tiba-tiba. Bagai jengkerik terinjak, kami langsung terdiam. Pencoretan pilokan nama itu adalah hal yang penting bagi anak-anak nongkrong seperti kami. Artinya, pelanggaran batas kekuasaan, penantangan langsung. Ini juga berarti, bentuk pelanggaran harga diri preman! Udah gua bilang dari dulu mendingan kita serang aja anak -anak Bolero sialan itu! lanjut Catur setelah berhasil menarik perhatian kami. Sekarang semuanya menatapku. Entah karena kemampuan taekwondo-ku yang sudah sabuk merah, atau keberanianku kalau sedang tawuran. Aku sering dianggap pemimpin, sehingga hamper semua keputusan mengenai kapan dan siapa yang harus kami serang sampai mau ngapain kita malam ini, berada di tanganku. Ngng Aku menatap Catur. Dia sebenarnya pemimpin Geng ini sebelum aku datang ikutan nongkrong. Ya, terserah. Kalo mau nyerang juga boleh aja, kataku santai sambil terus menatap Catur. Oke, gua juga lagi nggak ada kerjaan sekarang. Pacar gua lagi pergi ke rumah encangnya! jawab Catur sama santainya. Aku melayangkan pandangan ke semua wajah yang kini menatap kami berdua. Beberapa diantara mereka terlihat memandang dengan mata merah karena mabok. Tapi, seperti biasanya, mereka setuju saja dengan keputusan kami berdua. Gondel, lo panggil anak-anak yang laen, deh. Bilang kita mau perang male mini! perintahku ke di Gondel Oceee.Bosss! sahutnya semangat banget. *** Satu jam kemudian aku sudah berdiri di depan dingdong di Pasar Agung. Sasaran sudah ditetapkan Andre, pemimpin Bolero. Anak itu sedang asyik bermain salah satu dingdong. Aku berjalan dengan tenang ke arahnya. Salah seorang pemuda sepertinya curiga, memandangiku sejak aku muncul. Aku terus mendekati Andre ketika pemuda yang mencurigaiku berteriak mengalahkan hingarbingarnya mesin dingdong di ruangan ini. Whooanak-anaaaaak! Ada si Haekal dari Zaper! Beberapa pemuda serentak bangun dari tempat duduk dingdong termasuk Andre. Tapi terlambat, aku sudah keburu memukul perut Andre yang baru saja berdiri. Kemudian dilanjutkan dengan pukulan keras di dagunya. Sontak kepala Andre tersentak ke belakang dan..crasssss! Aku mencolokkan rokok di tanganku ke.matanya! Maunya begitu, tahu tuh kenyataannya. Heheheh! Beberapa pemuda langsung melompat ke arahku sambil mengeluarkan pisau dari balik baju mereka. Sebelum mereka sampai aku langsung berbalik dan lari keluar, sempat kutendang perut Andre sampai jatuh terguling. Lima pemuda mengejarku dengan pisau di tangan mereka sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka. Dalam waktu singkat aku yang sendirian sudah dikejar puluhan pemuda bersenjata! Aku terus berlari sepanjang jalan Baru. Jangan remehkan kemampuan lariku. Meeen! Aku pernah mengejar sebuah Miniarta yang sedang ngebut dalam sebuah tawuran dan berhasil menyusulnya! Kali ini aku sengaja tidak berlari sekuat tenaga agar para pengejarku tidak kehilangan jejak. Di sebuah gang kecil, aku berbelok dan terus berlari. Para pengejarku pun ikut memasuki gang kecil itu sambil terus berteriak-teriak. Whoooooooi! Berhenti..bangsat! Kejar teruuuuuus! Sialaan, rutukku dalam hati. Emang gw copet apa? Pake diteriaki segala! Huuu, awaas, rasakan nantiiiii!

Beberapa waktu, aku masih berlari sampai merasa cukup. Tiba-tiba aku berhenti mendadak di ujung gang sempit dan berbalik, menghadapi mereka! Uffffffssss! Kelihatannya mereka kaget melihat perubahan gerakanku. Sreeetmereka ikutan berhenti! Untuk beberapa saat, tak ada yang bergerak di antara kami. Sampai para pengejarku melihatku yang tidak bersenjata dan sendirian. Kiiiiiaaaa..! Mereka serempak menyerangku! Karena terbatas ruang sempit gang, hanya dua orang yang dapat menyerangku secara bersamaan. Hal yang mudah bagiku untuk langsung merobohkan mereka. Tanpa mereka sadari, di belakang sudah ada Catur dan Gondel. Keduanya langsung memukul kepala salah seorang pengejarku dengan tongkat. Buuuk! Aaaaaaaaaarghhhh! jeritnya kesakitan Mendengar erang kesakitan itu, kini perhatian para pengejarku terbagi. Kelihatannya anakanak itu terkesan dengan kemampuanku bela diri. Dua orang sekaligus kurobohkan. Ini belum semuanyaaa! dengusku Yeeeeaaaaaa! Diiringi teriakan keras, puluhan temanku muncul dari balik tembok di samping gang. Mereka sambil memukulkan kayu-kayu panjang. Beberapa bahkan melemparkan batu-batu sebesar kepalan tangan dari atas tembok. Sekarang giliran para pengejarku yang panic. Gengku yang bersenjatakan kau panjang dan batu. Jelas nggak bakalan bisa mereka jamaah, soalnya berada di atas tembok. Lima lagi bawa tongkat besi. Aku sendiri masih bertangan kosong, yeahyeaaa h! Tahu sendiri taekwondo ku canggihMeen! Aaaah. Anak-anak itu nyadar sudah terperangkap. Aku hanya tersenyum sinis melihat tampang panic mereka. Sekarang kalian bakal ngerasain gimana rasanya kalo nantangin anak -anak Zaper! teriakku Aku keluarkan dobelstik yang kusembunyikan di balik baju, mulai menyerang mereka membabi buta. Yeaaaaaaa.! Teriakanku merupakan isyarat bagi semua anggota Zaper. Mereka menyerang secara bersamaan. Hanya terdengar jeritan kesakitan lawan ***

Akibat tawuran semalam, sekarang aku terlambat sekolah. Aku sendiri hanya luka memar sedikit. Begitu pula teman-temanku. Anak Bolero pasti banyak yang terluka parah dan pingsan. Aku dan anak-anak Zaper berhasil kabur, ketika sirini polisi seperti biasanya selalu telat mulai terdengar. Jadi secara keseluruhan, aku menganggap bahwa anak Zaper telah menang mutlak! Begitu pula anggapan teman-temanku. Kami kemudian berpesta merayakan kemenangan semalam. Begitulah, aku selalu berhasil membuat gengku menang tawuran tanpa luka-luka berarti dengan taktik-taktik perangku. Sebetulnya aku baca dari Art of War-nya Sun Tzu. Oya, aku suka menyebut diriku sebagai preman-intelek. Preman dengan kemampuan juara umum di SMA Negeri terpandang di kotaku! Dan hal itu pulalah yang menjadi salah satu alas an, betapa mereka menghormatiku. Penghormatan yang menjadi salah satu alasanku terus bergaul dengan mereka. Nah, itu masalah kemarin-kemarin! Sekarang aku menghadapi masalah yang lain yang, yah sebenarnya tidak begitu gawat sih. Puluhan anak sudah berjongkok di depan gerbang sekolah, pertanda pintu gerbang sudah ditutup. Aku melirik sekilas jam tanganku. Pukul 07.55 batas masuk sekolahku adalah jam 07.15

Jadi memang aku sangat telat kali ini. Biasanya sih aku langsung bolos kalau terlambat begini. Keperhatikan tak ada koncoku di antara anak-anak yang terlambat, dan aku malas tiduran lagi di rumah. Jadi aku memutuskan untuk terus berjalan memasuki gerbang depan. Kal, pintunya sudah ditutup. Percuma elo ke sana! teriak anak kelas 3 -1 Aku terus berjalan tanpa memedulikan teriakannya, jarak antara pintu gerbang depan dengan pintu gerbang utama cukup jauh, sehingga aku sempat merapikan bajuku yang seperti biasanya, tidak pernah disetrika. Ketika aku sampai di depan gerbang utama, anak-anak tadi sudah tidak terlihat lagi. Beruntung guru yang sedang piket jaga sekarang adalah guru Merilyn, guru BP. Bu, bukain gerbangnya dong, kataku memohon Ibu Merilyn berjalan ke arahku sambil mengomel, Sudah ketua MPK, sering terlambat lagi. Kamu ini gimana bisa ngasih contoh sama teman-teman kamu? Ya saya kan nggak sengaja terlambat, bu. Tuhan aja maafin kalo dosa dilakukan nggak sengaja jawabku sambil memasang tampang memelas. Bu Merilyn masih berdiri di dekat pagar besi, tanpa ada tanda-tanda mau membukakan pintu untukku. Kamu itu kan rumahnya deket banget. Kok bisa terlambat, sih? omel Bu Merilyn lagi dari balik pagar sekolah Iya deh bu, maaf. Saya agak sakit malam tadi. Jadi kurang bisa tidur lebih dini, jurus terakhir. Teorinya untuk menghadapi guru sekolah, tunjukkan penyesalan dan alas an. Dari pengalamanku, selalu berhasil. Ibu Merilyn melihat sebentar ke gerbang depan. Tidak ada anak-anak yang kelihatan. Lalu dia mengeluarkan kunci pintu gerbang dari saku bajunya dan membukakan pintu gerbang untukku.Yeeeeess! Ya sudah masuk. Jangan masuk pelajaran pertama, yah. Dan jangan sampai ketahuan teman-teman kamu bahwa kamu terlambat. Bilang sakit, kek. Apa kek ujarnya wanti -wanti ketika aku memasuki pintu gerbang sambil tersenyum penuh kemenangan Bereeessss.makasih ya Bu Guru sayang. Ibu memang paling baaaaeeeek deh sejagat! Huuss, sudah sana cepaaat! usirnya tersipu-sipu Aku selalu menjadi murid favorit ibu Merilyn. Entah mengapa. Tapi pernah dia bilang, aku anak yang unik, perpaduan antara kenakalan dengan kecerdasan. Langka kan makhluk kayak aku ini, ya? Kayaknya aku dijadikan bahan penelitian sebagai guru BP, kali tuh. Heheheh Ups! Sebetulnya perlakuan istimewa kayak begini bukan hanya dari Ibu Merilyn kok. Malah sebagian besar gurukusayaaaang banget sama aku! Aku sudah akan berjalan ke ruang UKS, ketika melihat TAntri, murid wanita bertampang manis yang sedang tugas GDN (Gerakan Disiplin Nasional) di ruang dekat pintu gerbang. Saatnya beraksi! Sambil terus memasang senyumku yang paling manis, aku berjalan mendekatinya. Belum apa-apa dia sudah tersenyum malu sambil menunduk. Eh, eh.nih anak! Bukannya langsung ke UKS malah ngelaba dulu, ya! UpsBu Merilyn kok cepet amat gerakannya sih? Saya nunggu di sini aja deh, Bu. Boleh ya bu. Boleeeh, pliiisss? Enak ditemenin cewek cantik, sih jawabku sekenanya. Tantri masih menunduk sambil tersenyum sipu-sipu. Sementara Bu Merylin Kembali ke ruang piket, semoga ga keterusan ngomelnya. Hai, kamu Tantri kan? Kok saya baru tahu ada anak secantik kamu di sini? Boleh mi nta nomer telepon rumah kamu, nggak? Saya bakal senang sekali mengenal kamu lebih jauh, ucapku sambil menopangkan tangan ke meja di hadapan Tantri. Wajah kami dekat sekali.

Kali ini Tantri tersenyum sambil memandangku senang. Tak berapa lama, aku sudah petentengan dengan nomer telepon yang tercoret di tangan kananku. Aku masih tersenyum senang ketika melewati kelas Seli, pacar baruku yang menghebohkan itu. Dia hanya menunduk ketika aku melambai ke arahnya. Huuuu.! Sorak anak-anak Kulihat sekilas pandangan tidak bersahabat dari para jilbaber di kelasnya. Ya, well beberapa berita mengenai aku memang tidak dapat dikatakan baik semua. Emang sih, juara umum dua tahun berturut-turut, Ketua MPK, atlet taekwondo, pimpinan beberapa ekskul. Ini membuat citraku lebih baik dari semua cowok yang kukenal. Sayangnya kabar-kabari tentang diriku ada juga minusnya. Tukang nongkrong di pertigaanlah, tukang boloslah, perokoklah, tukang gonta-ganti pacar.Bikin citraku minus! Jadi aku sebenarnya sudah biasa saja melihat pandangan seperti teman-teman Seli itu. Aku hanya berlalu sambil cengengesan. Memangnya siapa mereka? Huuu, emang gua pikirin?

Nikah Dini Kereeeen#1--Haekal Siregar/BAB II

BAB II Sabtu sore untuk pertama kalinya setelah kami sebulan resmi deketan aku akhir nya diperbolehkan mengantar Seli ke rumahnya. Kami duduk dengan canggung di dalam angkot 04 menuju daerah Beji. Depok. Sesekali aku memandangi wajah Seli yang selalu menunduk. Kecantikan dalam kesederhanaan. Dengan sedikit sekali riasan di wajahnya. Seli sangat berbeda dengan gadis-gadis lain yang aku kenal. Tak ada merahnya lipstick, coklatnya pemulas pipi, hitamnyaeyeshadow atau warna warni lainnya. Hanya putih berseri alami. Seli pasti merasa juga lagi kuperhatikan Kenapa? Grogi,yah? Tergantung, grogi karena pertama kali ke rumahmu atau grogi karena sedang bersamamu, jawabku menggoda. Walaupun katanya pacara kami jarang sekali bertemu. Tidak ada acara pulang sekolah bersama, nonton bioskop, apalagi pergi ke diskotik bareng. Hubungan kami sampai saat ini hanya sebatas obrolan-obrolan menyenangkan via telepon. Tidak lebih dari itu. Sangat berbeda dengan gaya pacaranku sebelumnya. Aku sendiri merasa harus menyesuaikan diri lebih banyak dengan keadaan ini. Menghadapi pertanyaanku, Seli sekilas terlihat tersipu-sipu. Seperti yang pernah aku ceritakan, aku belum pernah pacaran sebelumnya. Baru kali ini ada cowok yang datang kerumahku. Aku belum bisa membayangkan tanggapan kedua orang tuaku nanti ucapnya serius Satu hal lagi yang harus kubiasakan! Jarang sekali aku memakai istilah aku-kamu dalam percakapan. Sangat canggung! Sebenarnya aku tidak pernah merasa grogi kalau datang ke rumah pacar-pacarku yang dulu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Entah bagaimana, aku memiliki kelebihan dalam menarik simpati dari calon-calon mertua-ku dulu. Cukup pertahankan sikap sopan (terkadang sedikit menjilat), tanggapi semua obrolan mereka (tak peduli sudah berapa bosan dirimu), selipkan beberapa cerita tentang kelebihan dirimu dan kamu sudah mendapatkan kepercayaan dari semua orang tua gadis mana pun yang senang melihat kesopanan dan kelebihan pemuda pilihan anaknya. Tadi siapa nama bapak kamu? tanyaku Dari pengalaman, setiap berkunjung ke rumah seorang gadis, bapak gadis itu selalu akan menjadi tantangan pertama yang harus dihadapi. Engkos. Engkos Ahmad Kosasih, jawab Seli santai Lagi-lagi nama yang agak asing ditelingaku. Coba cek lagi, bapak kamu S2 Teknik Mesin dan menjadi dosen di Universitas Indonesia. Benar, kan? ucapku lagi sambil mencodongkan badan lebih ke depan. Seli hanya mengangguk sambil tersenyum dan menarik diri lebih jauh dariku. Lagi-lagi hal yang perlu dibiasakan! Tak dapat berdekat-dekatan dengan pacarku adalah sebuah tantangan yang perlu kulalui.

Bapak kamu orang Tasik. Jadi ada kemungkinan kenal dengan ibuku? tanyaku Ibuku. Pipiet Senja, adalah seorang pengarang. Walaupun saat itu ia tidak begitu aktif lagi. Tapi dia sering mengisi rubric cerpen di majalah Mangle, majalah satu-satunya berbahasa sunda. Seharusnya banyak orang sunda yang mengenalnya Seli Kembali mengangguk. Kemudian aku terus menyebutkan fakta-fakta mengenai keluarganya. Mereka masih mengontrak rumah. Jumlah anak yang banyak. Lima orang, membuat penghasilan ayahnya sebagai seorang dosen masih kurang memadai. Namun tetap saja aku merasa kaget melihat rumahnya ketika kami sampai. Rumah yang dihuni tuhu orang itu, tidak lebih besar dari kontrakan yang dimiliki oleh ayahku. Dengan struktur yang sama juga, pintu kecil berdempet dengan rumah lain di sebelahnya. Aku selalu menanamkan untuk tidak menganggap kekayaan yang diperoleh ayahku sebagai kekayaan milikku. Hal yang membuatku dapat bergaul dengan siapa saja mulai dari tukang becak sampai anggota DPR. Namun untuk sesaat, walaupun tidak pernah kuucapkan pada Seli, aku merasa keluargaku kaya sekali. Sesuatu yang sangat jarang kurasakan mengingat standar kekayaan temanteman sekolahku. Setelah mengucapkan salam, Seli masuk ke dalam rumah untuk memberitahukan kedatanganku. Sementara aku sendiri duduk di sebuah kursi kawat di pekarangan selebar setengah meter di halaman depan rumah. Sempat kuedarkan pandangan melihat-lihat keadaan rumah. Pekarangan yang sempit ini terasa lebih sempit lagi karena sebagian tanahnya digunakan untuk kebun. Setangkai kembang sepatu terlihat mekar menghiasi kebun kecil itu. Beberapa tanaman merambat dan rumput hias juga terlihat memenuhi kebun kecil namun terawat itu. Tak berapa lama, Seli Kembali keluar sambil membawa sebotol air dengan gelasnya. Sebelah sana ada rumah bu Tati, katanya sambil meletakkan botol di meja kawat kecil di sampingku. Aku memandang sekilas kea rah rumah yang ditunjukkan oleh Seli. Bu Tati guru di sekolah kami walaupun belum pernah mengajarku. Bersama Seli, terlihat agak malu, berdiri seorang anak lelaki berusia kira-kira Sembilan tahun Imam namamu ya, kan? ucapku berusaha terlihat ramah sambil mengulurkan tangan. Anak laki-laki itu hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun Ayo, salam, kata Seli kepada adiknya. Imam menyalami kemudian mencium tanganku tanpa berkata apapun. Tak lama, adiknya Ihsan menyusul. Aku sempat kagum dengan ketampanan anak itu. Walaupun baru berusia tujuh tahun, tapi sosoknya memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk tumbuh menjadi pemuda tampan. Pasti ketampanannya bisa mengalahkan artis sinetron. Aku Kembali menyapanya dengan sikap ramah. Ihsan juga hanya mengangguk kemudia mencium tanganku. Tak lama, kedua anak tadi sudah mulai bermain congklak tanpa memedulikan kami. Ortu lagi pergi, ya? tanyaku kepada Seli yang sendang duduk di kursi bersebran gan denganku. Untuk sesaat Seli terlihat ragu untuk menjawab. Kemudian. Ada, di dalam, jawabnya sedikit malu. Apa aku mesti ke dalam? tanyaku lagi dengan suara yang direndahkan. Adik-adikku lagi nonton TV di ruang tengah. Mereka baru pulang dari sekolah. Jadi agak malas kalau disuruh pakai jilbab, jawab Seli yang terdengar seperti sebuah alas an bagiku. Aku hanya mengangkat bahu lalu mulai minum air di gelas. Kami mengobrol sampai pukul lima sore. Sepanjang waktu itu pula Imam dan Ihsan terus bermain congklak di samping kami. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Seli masuk sebentar ke dalam rumah sambil membawa botol dan gelas yang sekarang sudah kosong. Lamat terdengar suara Seli yang memohonkan pamit bagiku. Namun aku tak mendengar jawaban dari orang tua Seli. Setelah Seli keluar, kami berjalan tanpa kata ke arah jalan raya. Aku sendiri masih bingung dengan keadaan ini. Biasanya orang tua mantan pacarku langsung menemuiku, dan menanyakan berbagai macam kepadaku. Bukannya mendiamkanku di teras dengan anak-anak berumur 6 dan 9 tahun sebagai pengawasku.

Mereka juga ikut bersama kami ke arah jalan raya. Kedua anak itu tidak pernah menjawab apapun yang kutanyakan. Dengan perasaan kecewa dan nyaris putus asa, aku tidak pernah mengajak mereka ngobrol lagi. Hhhh...ada apa ini?!

***
Aku memutuskan untuk minum jus dulu di warung pinggir jalan raya, sekedar untuk menenangkan pikiranku yang penuh tanda Tanya. Ada apa, yah? akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutku. Imam dan Ihsan sedang sibuk dengan minuman yang kubelikan dan berhasil membuat mereka mengucapkan terima kasih dengan wajah yang lucu sekali. Hhhhh.Sesungguhnya aku selalu ingin punya adik laki-laki. Seli terdiam sesaat. Kemudian ia berkata Maaf, sepertinya ayahku agak shock melihat aku mulai membawa cowok ke rumah. Hal yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Aku terdiam. Aku memang tahu bahwa para jilbaber tidak pernah mengenal istilah pacaran. Kamus mereka penuh dengan istilah-istilah Arab yang sebenarnya akupun mengerti semuanya. Gaya hidupku tak pernah berhasil melupakan ajaran-ajaran agaran yang diterapkan dengan keras oleh orang tuaku sejak kecil. Tapi aku tak pernah membayangkan bahwa suatu saat aku akan mendapat hambatan karena konsep itu. Apa ini berarti bahwa aku tidak boleh ke rumahmu lagi? tanyaku lagi. Seli hanya mengangkat bahu kemudian terdiam lagi. Kami terdiam untuk beberapa saat. Pikiranku sibuk dengan peringatan-peringatan temantemanku tentang ribetnya berhubungan dengan jilbaber. Sementara Seli entahlah, aku tak tahu. Aku akhirnya mengambil napas panjang kemudian memutuskan untuk pulang saja. Tak ada lagi yang dapat kami bicarakan. Benak kami terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Ya, aku pulang dulu. Nanti malam aku telepon deh, ucapku sambil tersenyum dan mengambil tas yang tergeletak di samping kaki kiriku.

Seli hanya membalas dengan senyum lemah tanpa mengucapkan apapun. Aku mengangkat bahu seakan tak peduli kemudian pergi. Sekilas, kulihat ada Kristal bening menggantung di sudut-sudut mata Seli.
***
Aku berjalan gontai menuju rumah Mita. Hamper tiap hari, anak-anak selalu nongkrong di sana. Begitu pula hari sabtu ini. Kami memiliki kebiasaan untuk pergi ke puncak Pass, setiap malam minggu. Di sana kami biasa mebaut bersama muda-mudi nge-dance sampai pagi. Rupanya tampang kusutku terlihat di wajahku. Sampai-sampai kata pertama yang diucapkan Eko ketika melihatku adalah Ada apa, Kal? Bukannya elo baru nganterin Seli ke rumahnya? Kok tampang lo malah kusut begitu sih? Aku menarik napas panjang dan langsung mengambil tempat duduk di samping Eko. Ia adalah sahabatku sejak kelas satu SMA. Bersama Farabi, kami bertiga malah sempat ikut-ikutan mengankat sumpah menjadi saudara di mushola sekolah. Cuma bedanya, kami kurang memiliki nyali untuk menyatukan darah seperti pada salah satu film Jet Lee yang malamnya baru saja kami tonton. Eko hanya memandangku dengan penuh tanya. Suasana rumah MIta sepi sekali. Sepertinya baru Eko yang datang. Sepeda motornya terparkir di pekarangan di samping bangku rotan yang sekarang sedang kududuki. Sesekali terdengar suara burung beo dari sangkar yang tergantung di langit-langit. Semilir angin yang menghantar udara panas, tidak sedikit pun mengurangi suasana gerah udara sekitar kami. Yang lain pada ke mana Ko? tanyaku tanpa menjaw ab pertanyaan Eko sambil meletakkan tasku di meja di hadapan kami. Yeeditanya malah balik nanya? Nggak sopan tau! seru Eko sambil pura -pura marah. Iyaiyantar gua jawab. Tapi kalo gua udah yakin gak ada yang dengerin ki ta. Makanya jawab pertanyaan gua dulu, dong jawabku sedikit mendesak. Mita, katanya ada acara ke gereja. So, dia sama keluarganya lagi ke gereja sekarang, jawab Eko sambil mengambil kacang yang berserakan di meja. Dari bekas kulitnya kelihatannya dia rajin juga makan kacang. Roman juga ikut. Terus yang lain sedang cari makanan ke Plaza Depok. Jadi gua lagi kebagian jatah ronda, nih, lanjut Eko sambil mengunyah kacang dan memainkan gitar, dua hal yang sah-sah saja dilakukan bersamaan. Perkataan Eko membuatku agak ngeri. Roman? Ngapain dia ikutan ke gereja?

Roman adalah pacar Mita. Dia adalah seorang muslim, paling tidak KTPnya masih menuliskan kata islam di baris agama. Walaupun aku tidak pernah melihat dia sholat. Dia juga jarang mau kalo diajak sholat jumat barng. Tapi ikutan acara gereja? Paa-apaan nih? Nggak tau, tuh, Eko melanjutkan tapi dengan suara yang lebih mirip bisikan. Denge denger katanya Roman lagi mikir-mikir buatpindah agama ke Krisen. Gua gak nyngka dia serius banget sama Mita. Lo tau, nggak? Waktu MIta nganter Roman ke rumahnya, mereka kan pake mobil Mita. Nah, waktu ibu Roman ngeliat salib besar ngegantung di bawah kaca spion mobil Mita, katanya sih dia langsung ngediemin Mita selama di rumahnya Trus, katanya lagi. Roman habis-habisan dimarahin ortunya, waktu MIta udah pulang. Nah, sekarng gua pernah ngobrol bareng si Roman tentang hal itu. Dia ngambil kesimpulan, bahwa seandainya orang tuanya ngelarang dia berhubungan dama MItakarena perbedaan agama, trus apa salahnya kalo sekalian dia aja pindah agama? Eko berhenti sebentar untuk mengambil napas. Aku sempat melongo kagum mlihat dia bisa menceitakan gossip tadi dalam satu napas. Jeda itu kupergunakan untuk mengajukan pertanyaan lagi. Kenapa nggak si Mita aja yang pindah agama? Lagian kan kita baru kelas tiga SMA. Hubungan MIta sama Romagn juga masih taraf pacaran, kan? Ngapain udah ributin maslah agama segala, sih? Kesannya mereka udah pasti mau kawin aja sekarang giliran aku yang kehabisan napas kebanyakan ngomong. Gantian si Eko yang memanfaatkan jeda itu untuk menjawab. YaahGua juga nggak ngerti sih. Tapi kata si Roman, ortunya kha watir aja ngeliat hubungan MIta sama Roman yang menurut gua juga, agak terlalu jauh. Lo tau sendiri kan? Si Roman dari seminggu paling berapa hari sih pulang ke rumahnya? Paling satu atau dua hari aja, kan? Nah, selebihnya dia malah suka tidur sekamar sama MIta. Walaupun kata mereka nggak terjadi apa-apa, tapi kalo bakal terjadi apa-apa, gimana? Kayaknya ortu Roman ngekhawatirin masalah itu, deh Habis lagi deh napas si Eko. Jadi sekarang dia sibuk mengambil napas buat melanjutkan ceritanya. Tapi sebelum dia ngomong apa-apa, mobil Mita masuk ke pekarangan rumah. Kami langsung diam. Hei, guys. Lo berdua abis ngapain ngos -ngosan gitu? sapa Mita begitu keluar dari mobil yang diikuti oleh segerombolan anggota keluarga lain. Aku sih kagum-kagum saja melihat pakaian mereka. Kenapa, ya, orang Kristen kalau pergi ke gereja selalu berpakaian sedemikian rapinya? Beda sekali dengan pemandangan ketika aku sedang sholat jumat. Apa itu menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan kita? Ah, nggak. Gua lagi maen lama-lamaan tahan napas aja sama Eko jawabku ngasal. Mita percaya saja, sih. Kami memang sering melakukan hal-hal aneh berdua. Jadi adu tahan napas sih bukan hal besar. Paling nggak, kami pernah main adu cepat memanjat atap rumah si Mita ketika sedang tidak ada kerjaan. Mita mengangkat bahu dan masuk ke dalam rumah bersama keluarganya. Gua mandi dulu, yah. Gerah banget nih. Jadi kan ke PUncak? YA iyalah. Ngapain coba kalo nggak ke Puncak? Bengong di sini? jawab si Eko Aku masih diam. Pikiranku ditambah lagi sekarang. Tentang Roman yang pindah agama dalam umur semuda itu, merupakan bayangan hitam yang mengabutkan otakku. Kejadian di rumah Seli sih belum ada apa-apanya dibandingkan hal ini. Walaupun aku tidak berani menyebut satu pun pemuda yang sering berkumpul di rumah Mita ini, yang kebanyakan adalah muslim, sebagai muslim yang baik, tapi aku tidak rela juga kalau ada yang pindah agama seperti ini. Apalagi alasannya terlalu sepele. Hanya karena seorang gadis? Hah! Roman duduk di sampingku sambil langsung mengambil gitar di hadapannya. Aku masih menatap dia dengan pikiran-pikiranku ketika dia mulai memainkan gitarnya. Permainan gitar si Roman tidak begitu bagus, sih. Dan sekarang dia sendang mencoba memainkan lagu White Lion yang berjudul Till Death Do Us Part dengan nada yang salah. Aku kepingin mengajaknya bicara mengenai perpindahan agamanya itu. Tapi aku paling tidak tahan mendengar lagu favoritku dimainkan sejelek itu. Jadi alih-alih mengajak bicara Roman. Aku lebih memilih merebut gitar dari tangannya dan mulain memainkannya. Kali ini dengan nada yang benar.

Nikah Dini Kereeeen#1--Haekal Siregar/BAB III

BAB III

Hari kelulusan! Aku sebenarnya kurang begitu peduli dengan hari ini. Dengan segala gejolak yang kurasakan, maju ke depan dan menerima penghargaan sebagai peraih NEM tertinggi dari kelompok IPA adalah hal terakhir yang kupikirkan. Ketika Seli meneleponku dan mengingatkan aku tentang acara kelulusan itu, aku lumayan kaget juga. Untungnya kemarin-kemarin aku sudah sering berlatih band dengan Yongki en his geng. Jadi rencanaku untuk menjadikan upacara kelulusan ini sebagai acara yang tak terlupakan bakal kesampaian. Dengan tergesa-gesa, aku mencari pakaian ayahku. Baju-bajuku yang selama ini dikondisikan untuk acara nongkrong tentu saja tidak tidak cocok untuk acara resmi seperti ini. Ayahku meminjamkan celana katun, kemeja, jas safar, beserta dasinya sekalian! Tambah lagi, aku juga meminjam sepatu kulit ayahku. Dengan meringis, harus kuakui bahwa aku termasuk remaja tidak bermodal juga! Kalau tidak karena aku harus maju untuk menerima penghargaan NEM tertinggi IPA, aku tidak akan pernah mau memakai baju tidak nyaman ini. Oh ya, Seli juga akan maju untuk menerima penghargaan NEM tertinggi bagi anak cewek IPA! "Keren kan!" ucapku dalam hati "Pasangan penerima NEM tertinggi! Aku menyebutnya sebagai pasangan Super!" kataku lagi geer dalam hati Sayanganya ketika upacara puncak pelepasan, tidak seperti tahun-tahun lalu, kali ini pasangan NEM tertinggi dicampur antara IPA dan IPS. Sehingga aku yang kalah tinggi NEM-nya dengan Erlangga, peraih NEM tertinggi putra dari IPS, terpaksa merelakan kekasihku dipasangkan dengannya saat upacara. itu Uuuh, seharusnya kan aku tuh! Sesampainya di pintu gerbang, sambil menunggu kedatangan Seli, aku meminta bantuan salah satu dari anak cewek kelas satu yang sedang berkerumun di warung depan sekolah. Dengan senang hati, dia memenuhi permintaanku. Dan dengan gaya kenesnya memakaikan dasi ke bajuku. Ketika tangannya mengalungi leherku, aku sih tersenyum senang saja menghirup wangi tubuhnya. Nah, ketika itulah Seli datang. Aku melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum. Upss...! Dia malah melengos pergi tanpa membalas senyumku sama sekali. Tentu saja aku bingung. Apa salahku? Kenapa pujaanku tega-teganya nyuekin aku? Ketika sedang bingung itulah, Ira tersenyum sambil terus merapikan dasiku. Saat itulah aku baru sadar. Wajahku dengan wajah Ira memang sangat dekat. Tidak sampai sejengkal jaraknya. Walaupun dengan pergaulanku selama ini, hal itu dianggap biasa saja. Segera kusadari mungkin bagi Seli hal ini adalah hal yang menyakitkan! Setelah beres pemasangan dasiku, aku mengucapkan terima kasih sambil langsung memasuki lingkungan sekolah untuk mencari Seli. Lapangan parkir sekolah sudah dipenuhi kendaraan pribadi, orang-orang tua murid saling berseliweran, dan para lulusan sedang sibuk berfoto-foto dengan teman-teman mereka sangat menyulitkanku untuk menemukan Seli. Yongki lah orang pertama yang kutemui. Ia langsung mengajakku latihan dulu di belakang sekolah untuk persiapan manggung kami nanti. Ya, mau nggak mau aku memilih mengikutinya. Seli nanti gampang dicarilah. Setelah upacara pelulusan, sekolah kami langsung mengadakan acara festival band. Grup bandku tentu saja termasuk yang maju saat itu. Dengan penuh kegembiraan dan kebanggaan, aku maju ke atas panggung dan langsung mengambil gitar listrik yang ada disana. Betapa tidak! Aku merasa pada saat terakhir inilah, aku lengkap sebagai siswa SMA! NEM tertinggi, pacar cantik, jago gitar, anak band, atlit taekwondo, apa lagi? Dengan penuh semangat aku mulai memainkan gitarku sambil melirik ke arah ibuku yang tersenyum melihatku. Aku balas tersenyum sambil mencari sosok Seli. Namun, betapa kecewanya aku ketika tidak mendapatinya di antara tempat duduk penonton yang telah disiapkan di depan panggung! Sejenak senyumku menghilang. Ya, well, kalau pacarku tidak mau mendengarkan permainanku, paling tidak masih banyak wanita lain yang mau! Dan aku mulai melancarkan senyumanku yang sempat menghilang ke kerumunan cewek yang sedang berjoget di depan panggung mengikuti irama musik kami. Beberapa di antara mereka terlihat membalas senyumku. Dan aku bertambah bangga! ***

Seperti biasa, lapangan parkir di Puncak Pass penuh dengan muda-mudi yang ingin menikmati suasana diskotik gratis di sini. Yongki sedang berputar-putar dengan gaya dance keren di atas karpet yang kami bawa, dan gelar di salah satu sudut parkir. Dia punya kelebihan dalam musik dan dance. Sesuatu yang sebenarnya ingin kumiliki juga untuk melengkapi sederet kelebihanku. Mobil-mobil berjejer di sekitar kami. Beberapa di antaranya adalah mobil-mobil mewah yang harganya pasti tiga kali lipat harga rumahku. Beberapa kelompok malah membawa lampu diskotik sendiri. Sehingga suasana benar-benar panas sekali. Dipenuhi deruman mobil, warna-warni lampu disko, dan lagu-lagu yang saling bercampur membentuk harmoni acak-acakan dari sound system masing-masing mobil. Belum lagi udara yang dipenuhi asap knalpot, asap rokok, wangi parfum, asap ganja, dan berbagai bau lainnya. Aku sendiri hanya berdiri sendiri bersender ke mobil Mita. Sementara beberapa kelompok terlihat bergabung dengan kelompok kami dan mengagumi gerakan dance Yongki. Ketika perhatian semua orang sedang tertuju ke gerakan-gerakan Yongki yang keren itu, tiba-tiba aku teringat kejadian siang tadi di rumah Seli. Baru saja aku hendak memanggil Eko buat curhat, Sita datang dengan baju seksi dan senyum menggodanya. "Dance, yuk", ajak Sita sambil menarik tanganku. Tiba-tiba aku mendapatkan pikiran aneh. Sudah beberapa lama Sita seperi mencoba menarik perhatianku. Plus konfirmasi-informasi dari Mita bahwa Sita sebenarnya menyukai kecerdasan dan sikap ceriaku. "Bandingkan dengan Seli", bisik sebuah suara di kepalaku. "Seli nggak kalah cantik dibandingkan Sita. Dia cuma terlihat lebih menarik karena baju seksinya saja", bisik suara lain. "Tapi sama Sita, lo bisa melakukan hal-hal yang disebut orang sebagai pacaran. Plus lo udah akrab sama keluarganya. Bapaknya sering berbagi rokok dengan lo, ibunya pernah nge-dance sama lo, kakaknya beli ganja bareng sama lo. Apa lagi?" ngotot juga suara di kepalaku ini. Membayangkan kepanasan duduk di luar rumah Seli, gaya pacaran kami yang kuno, pengawasan adik-adiknya, tiba-tiba berkelebat di mataku. Dan aku tersenyum sambil mengikuti tarikan tangan Sita ke tengah karpet dance. Yongki sudah terkapar kelelahan di samping pacarnya yang mengelap keringatnya dengan penuh kasih sayang. Aku mulai dance. Boleh juga gerakanku tidak sebagus Yongki. Tapi aku dibarengi cewek cantik dan seksi yang mungkin saja akan menjadi pacarku sebentar lagi. *** Hari UMPTN! Aku hanya Malam terakhir persiapan UMPTN, dan aku masih belajar sampai pukul tiga pagi. Dengan grogi aku memikirkan bahwa beberapa jam lagi dari sekarang, aku sudah akan menghadapi kertas ujian. Ada dorongan yang sangat kuat untuk membaca lagi buku-buku yang kini berserakan di lantai kamarku. Sekedar untuk menentramkan hatiku yang begitu grogi ini. Namun, tiba-tiba aku sadari bahwa akan lebih baik istirahat daripada meneruskan belajarku. Daripada nanti pas ujian aku malah ngantuk,coba? Pukul lima pagi, aku sudah berada di dalam taksi yang semalam sudah dipesan menuju rumah Seli. Karena kami dan sebagian besar siswa di sekolahku mendaftar secara kolektif di Bu Merylin, otomatis banyak di antara kami yang ujian di tempat yang sama. Aku sedang membalik-balik buku panduan UMPTN untuk menghapalkan kode jurusan pilihanku nanti. AKu sendiri seperti biasanya menyerahkan keputusan untuk mendaftar di jurusan mana kepada ibuku. Jadi, sebenarnya aku sendiri tidak begitu tahu apa sih yang dituliskan oleh ibuku waktu itu? Apalagi aku mengumpulkan formulir pendaftaran tepat sepulu menit sebelum Ibu Merylin pergi untuk menyerahkan kumpulan formulir. Itupun karena Seli meneleponku untuk mengingatkan bahwa hari itu adalah hari terakhir penyerahan formulir pendaftaran UMPTN! Kalau tdak, entah bagaimana nasibku sekarang. Setelah menjemput Seli di rumahnya, aku tertidur di bangku belakang karena kelelahan. Semua barang-barangku kutitipkan kepada Seli. Entah berapa lama aku tertidur, sampai Seli membangunkanku untuk memberi tahu bahwa kami telah sampai. Dengan mata yang masih berat dan kuap di mulut, aku turun dengan malas mengikuti Seli ke dalam kompleks lokasi ujian. Karena memperhitungkan kemacetan di pagi hari, kami datang sangat

terlalu cepat! Terlihat dari masih kosongnya lokasi ujian. Sepertinya kami adalah siswa yang datang paling pertama! "Ngopi dulu yuk, Sel", ajakku ke Seli "Di mana?" "Tadi di depan aku lihat ada warung. Mungkin di sana jual kopi", kataku lagi setengah ngelindur. kami mendatangi warung yang terletak pas di depan pintu gerbang kompleks sekolah itu. Seperti pikiranku warung itu menjual kopi lengkap dengan rokoknya! Dengan gembira aku memesan kopi hitam beserta Gudang Garam Filter setengah bungkus. Seli sudah tahu bahwa aku seorang perokok, lagian siapa yang tidak tahu? Walaupun pernah dengan nada bercanda dia bilang, "Kalau dari pertama ketemu aku sudah tahu kamu perokok, nggak bakalan pernah aku menerima kamu". Waktu mendengar itu, aku hanya tertawa dan membalas. "ya, itu taktikku, Mana mungkin aku memperlihatkan keburukan pada kesan pertama?" Walaupun sebenarnya waktu aku pertama kali bertemu Seli, diperjalanan menuju lokasi lomba cerdas cermat, aku tidak merokok karena tidak punya uang. Bukannya sengaja mencoba menarik perhatian Seli. Apalagi waktu itu aku masih agak-agak 'anti' dengan wanita berjilbab. Kami menunggu dimulainya ujian di warung itu. Tidak terasa sudah pukul 06.30 pagi. Tampak Mita dan kawan-kawanku yang lainnya datang dengan mobil mereka. Setelah membayar minuman dan makanan yang kami makan, sambil mengajak Seli, aku berjalan menghampiri mereka. Terus terang, baru pertama kali ini aku memperkenalkan Seli kepada temantemanku. walaupun mereka satu sekolah, namun karena dunia mereka jauh berbeda, temantemanku sepertinya baru pertama kali ini bertemu dengan Seli. Seli pun sepertinya agak canggung ketika pertama kali bertemu Mita. Setelah beberapa lama bercakap-cakap dengan mereka. Seli pamit kepadaku untuk bergabung dengan teman-temannya sesama jilbaber. "So, sepertinya teman baru kita agak nggak nyaman ngobrol sama kita-kita", ucapk Mita ketika Seli baru pergi. "Ya, mau gmana lagi. Rohiiiss! Mereka kan cuma mau gaul sama sesamanya", sambung Anggun yang walaupun namanya itu adalah seorang lelaki! "Sori, deh. Tapi gue juga ngobrol bareng mereka yang jilbaber itu...Gak nyaman!" jawabku sambil memandang ke arah Seli. Tampak dia sedang mengobrol dengan teman-temannya sambil tertawa renyah. Oh, berbeda sekali sikapnya dengan saat ngobrol bersama teman-temanku. Hari terakhir ujian, aku pulang bersama Seli ke rumahnya. Orang tua Seli masih malas menemuiku. Aku sudah mulai terbiasa menghadapinya. Hanya sesaat di rumah Seli, aku pamitan dan langsung pergi ke rumah MIta. Mereka sudah bersiap-siap hendak pergi. "Mau kemana, nih?" tanyaku "Maen, yuk? Kita ngerayain kelulusan kita dan ulang tahun Mita pergi ke Anyer. Mau ikut, nggak?" jawab Roman yang masih sibuk memasukkan barang-barang ke dalam mobil

Anda mungkin juga menyukai