Anda di halaman 1dari 0

10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan
peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi
landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat
dalam bab ini diantaranya penerimaan, tahap penerimaan, aspek-aspek
penerimaan orang tua, faktor faktor yang mempengaruhi penerimaan orang
tua, ADHD, kriteria ADHD, tipe-tipe ADHD, dan penyebab ADHD.
2.1 Penerimaan (Acceptance)
Menurut Hurlock (dalam Sharma 2004) penerimaan adalah suatu
sikap yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya.
Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang
kepada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan
perkembangan dan kemampuan anak serta memperhitungkan minat
anak. Anak yang diterima umumnya akan bersosialisasi dengan baik,
kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan terlihat gembira.

2.2 Tahapan Penerimaan
Kubbler Ross (1970) dalam Tomb (2003) mendefinisikan sikap
penerimaan (acceptance) sebagai suatu sikap seseorang yang mampu
menghadapi dan menerima kenyataan daripada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau tidak ada harapan. Menurut Kubler Ross (1970),
sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan
melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap denial, anger,
bargainning, depression, dan akhirnya baru mencapai pada tahap
acceptance. Individu juga berkemungkinan dapat berada di tahap yang
11

sama dalam satu waktu. Sebelum individu dapat benar-benar berada di
tahap acceptance maka kemungkinan besar individu dapat berpindah-
pindah tahap dan mengalami beberapa tahap dalam satu waktu.
Demikian hal-nya pada orang tua yang anaknya didiagnosa
sebagai anak ADHD. Ada beberapa tahapan yang akan dilalui orang tua
dimana tahapan tersebut sesuai dengan teori penerimaan (acceptance)
yang telah dikemukakan oleh Kubbler Ross (dalam Safaria, 2005) , yaitu :

2.2.1 Tahap denial (penolakan)
Pada tahap ini orang tua dalam keadaan terguncang dan
penyangkalan atau pengingkaran, orang tua tidak dapat berpikir
apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar dari masalahnya.
Secara sadar maupun tidak sadar seseorang yang berada pada
tahap ini menolak semua fakta, informasi, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Syok dan
pengingkaran dapat berlangsung dari beberapa hari sampai
beberapa bulan, kadang kala bahkan dapat berlangsung lebih
panjang (Medinnus & Johnson, 1969).
Contoh penyangkalan yang mungkin ditunjukkan pada saat
diagnosis yaitu, Pemeriksaan ke banyak dokter untuk mencari
pembenaran bahwa kondisi anaknya baik-baik saja, menolak
memercayai diagnostik, menunda persetujuan terhadap terapi,
bertingkah sangat gembira dan optimis walaupun diagnosis telah
terungkap, menolak untuk memberi tahu atau membicarakan
keadaan anaknya dengan siapapun, karena pada tahap ini
terkadang terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui
bahwa hal tersebut terjadi pada anak mereka.
12

Pada tahap ini orang tua merasa bingung mengapa hal ini
dapat terjadi pada anak mereka. Biasanya pada tahap ini orang
tua akan mulai mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa
terjadi pada anak mereka, dan mulai mencurigai pembawaan atau
gen dari pasangan. Tindakan penyangkalan ini tidak dapat
meredakan kesedihan orang tua, tetapi akan semakin menyiksa
perasaan orang tua. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk,
jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan
untuk memberikan keturunan yang sempurna (Safaria, 2005).
Orang tua yang menunjukkan koordinasi yang buruk,
kurangnya kerjasama dan kehangatan, merupakan kondisi yang
membuat anak justru akan menghadapi risiko terjadinya gangguan
perkembangan yang lebih parah (Santrock, 2007).

2.2.2 Tahap anger (marah)
Tahapan ini ditandai dengan adanya reaksi emosi / marah
dari orang tua dan orang tua menjadi sangat sensitif terhadap
masalah-masalah kecil sekalipun yang pada akhirnya
menimbulkan kemarahan. Kemarahan tersebut biasanya ditujukan
pada dokter, saudara, keluarga, atau teman teman bahkan
tetangga disekitar lingkungan rumah. Kemarahan pasif terhadap
penyakit anak mungkin terlihat pada penurunan kunjungan,
menolak bagaimana memercayai bagaimana sakitnya anak, atau
ketidakmampuan memberikan kenyamanan untuk anak.
Biasanya pada tahap ini suami istri akan saling
menyalahkan dan memperdebatkan dari mana asal ADHD ini bisa
menurun ke anaknya. Individu mungkin menyalahkan dirinya
13

sendiri dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta
pada lingkungan tempat dia tinggal (Safaria, 2005).

2.2.3 Tahap bargainning (tawar menawar)
Tahapan dimana orang tua mulai berusaha untuk
menghibur diri dan berpikir tentang upaya apa yang akan
dilakukan untuk membantu proses penyembuhan anak. (Safaria,
2005)

2.2.4 Tahap Depression (depresi)
Tahap depression merupakan tahapan yang muncul dalam
bentuk putus asa dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi
dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu,
yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian
selama hamil. Dari pihak ayah pun sering dihinggapi rasa
bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang
sempurna (Safaria, 2005). Putus asa, sebagai bagian dari depresi,
akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan
yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka memikirkan
siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saat mereka
meninggal nanti. Pada tahap depresi, orang tua cenderung
murung, menghindar dari lingkungan sosial terdekat, lelah
sepanjang waktu, dan kehilangan gairah hidup (Marijani, 2003).

14

2.2.5 Tahap Acceptance (penerimaan)
Tahapan acceptance adalah tahap dimana orang tua telah
mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima
keadaan anaknya dengan tenang. Orang tua pada tahap ini
cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas
dan kemampuan anak mereka, pada tahap ini orang tua akan
melakukan apa saja agar anaknya dapat berkembang lebih baik,
seperti mulai mencari tempat terapi atau sekolah khusus anak
berkebutuhan khusus (Safaria,2005).

2.3 Aspek-Aspek Penerimaan Orang tua
Orang tua yang menerima anaknya akan menempatkan anaknya
pada posisi penting dalam keluarga dan mengembangkan hubungan
emosional yang hangat dengan anak. Porter (dalam Johnson dan
Medinnus, 1969) mengungkapkan aspek-aspek penerimaan orang tua
terhadap anak adalah sebagai berikut :
a. Mencintai anak tanpa syarat, mengakui hak-hak anak dan memenuhi
kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan.
b. Menilai anaknya sebagai diri yang unik sehingga orang tua dapat
memelihara keunikan anaknya tanpa batas agar mampu menjadi
pribadi yang sehat.
c. Mengenal kebutuhan-kebutuhan anak untuk membedakan dan
memisahkan diri dari orang tua dan mencintai individu yang mandiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek-
aspek penerimaan orang tua terhadap anak antara lain dengan
menghargai anak sepenuhnya apapun keadaannya sebagai individu
yang utuh dengan segenap perasaan, mengakui hak-hak anak dan
15

memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaaan, mencintai
anak tanpa syarat, menerima keterbatasan anak, tidak menolak
kehadiran anak, serta adanya komunikasi dan kehangatan antara orang
tua dan anak.

2.4 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang tua
Hurlock (dalam Sharma 2004) mengemukakan bahwa penerimaan
orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang kepada anak.
Terdapat berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak,
khususnya sikap orang tua dalam menerima kondisi anak berkebutuhan
khusus. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua
terhadap ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Faktor-faktor tersebut
dipengaruhi oleh :
a. Respon individu terhadap anak ABK (anak berkebutuhan khusus)
mempengaruhi sikap orang tua terhadap anaknya.
b. Persepsi orang tua mengenai konsep anak idaman yang terbentuk
sebelum kelahiran anak.
c. Cara orang tua dalam merawat atau mengasuh anak yang akan
mempengaruhi sikap orang tua.
d. Kemampuan orang tua dalam mengatasi permasalahan yang
berkaitan dengan anak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anak adalah
bagaimana respon individu di lingkungan sekitar terhadap anaknya,
gambaran ideal orang tua terhadap anaknya, cara orang tua dalam
mengasuh anak, dan kemampuan orang tua dalam mengatasi
16

permasalahan yang berkaitan dengan anak. Dalam kaitannya dengan hal
ini, Stipek (dalam Martin & Fabes, 2008) mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang erat antara orang tua dan anaknya yang terdiri atas tiga
komponen utama, antara lain:
a. Penerimaan
Orang tua harus menerima keberadaan anak apa adanya.
Penerimaan orang tua memberikan rasa percaya diri yang tinggi
kepada anak dan mempercepat anak dalam proses pembelajaran dan
perkembangan dirinya. Dalam penelitian ini dengan penerimaan
orang tua, dapat mempercepat dalam penanganan dan kemajuan
pada anak berkebutuhan khusus yaitu ADHD.
b. Hubungan atau ikatan batin yang kuat antara orang tua dan anak
Hubungan atau ikatan batin yang kuat dapat menciptakan rasa aman
secara emosi, tenteram, dan bahagia menjadi dirinya sendiri.
c. Dukungan dari orang tua.
Orang tua yang menghargai dan menghormati anak sebagai pribadi
yang unik dapat mengembangkan segala potensi anak untuk menjadi
diri sendiri yang mandiri.
Berdasarkan uraian uraian diatas dapat dijelaskan bahwa untuk
memenuhi atau membuka hubungan dengan anak berkebutuhan khusus,
sikap menerima dan mencintai adalah yang terpenting. Orang tua harus
memberikan perhatian yang jauh lebih besar kepada anaknya yang
menderita ADHD. Sebab, semakin tinggi tingkat penolakan maka akan
semakin lama rentang waktu re-organisasi yang dapat dilakukan orang
tua dalam memberikan intervensi yang dilakukan terhadap anak.
Sebaliknya, semakin sedikit kesenjangan dan keragaman permasalahan
17

dalam keluarga akan dapat membantu intensitas intervensi dalam proses
kemajuan perkembangan anak menjadi lebih optimal.

2.5 ADHD
2.5.1 Pengertian ADHD
Anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau disebut
juga anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhatian. Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik, yaitu
suatu gangguan pada anak yang timbul pada masa perkembangan dini
sebelum anak berusia 7 tahun, dengan ciri utama tidak mampu
memusatkan perhatian (inatentif), hiperaktif, dan impulsif. Ciri perilaku ini
mewarnai berbagai situasi dan dapat berlanjut sampai dewasa (Davidson,
Neale, dan Kring, 2006).
ADHD muncul pada masa kanak-kanak awal. Dimulai dari usia
tiga tahun dan terjadi 5 hingga 3 persen terjadi pada anak usia sekolah
(Buitelaar & Paternotte, 2010). Menurut Davidson, Neale, dan Kring
(2006), anak-anak yang mengalami ADHD tampak mengalami kesulitan
untuk mengendalikan aktivitas mereka dalam berbagai situasi yang
menghendaki mereka duduk dengan tenang, seperti saat mereka berada
di dalam kelas atau disaat mereka sedang makan. Sesuai dengan
pedoman diagnosis DSM-III gangguan pemusatan perhatian dibedakan
menjadi dua subtipe, yaitu gangguan pemusatan perhatian dengan
hiperkinetikvitas (GPH+H) dan gangguan pemusatan perhatian tanpa
hiperaktivitas (GPH-H). Pada tahun 1987, sesuai dengan DSM III-R
(American Psyciatric Association, 1987) yaitu edisi revisi dari DSM III,
nama attention deficit disorder (ADD) atau gangguan pemusatan
perhatian (GPP) diubah menjadi attention deficit hyperactivity disorder
18

(ADHD) atau gangguan pemusatan perhatian hiperaktivitas (Saputro,
2004). Sekarang, kriteria gangguan pemusatan perhatian hiperaktivitas
atau ADHD menggunakan DSM-IV-TR yang akan dijelaskan pada bagian
kriteria anak ADHD.
Menurut Saputro (2004), ADHD adalah kondisi neurologis yang
menimbulkan masalah dalam pemusatan perhatian dan hiperaktivitas-
impulsivitas yang tidak sejalan dengan perkembangan usia anak. ADHD
lebih kepada kegagalan perkembangan dalam fungsi sirkuit otak yang
bekerja dalam menghambat monitoring dan kontrol diri. Hilangnya
regulasi diri ini mengganggu fungsi otak yang lain dalam memelihara
perhatian.

2.5.2 Kriteria ADHD
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang
dapat dikelompokkan dalam 2 kategori utama, yaitu kurangnya
kemampuan memusatkan perhatian atau deficit attention dan
hiperaktivitas-impulsivitas (Davidson, Neale, dan Kring, 2006).
Kekurangan dalam atensi atau kemampuan dalam memusatkan perhatian
muncul dalam perilaku seperti berikut :
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan
dalam mengerjakan tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas
bermain.
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain.
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas.
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas.
19

f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang
memerlukan proses mental yang lama, misalnya tugas sekolah.
Sering kehilangan barang miliknya.
g. Mudah terganggu stimulus dari luar.
h. Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari.

Sedangkan perilaku hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam
perilaku sebagai berikut :
a. Gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk.
b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana
seharusnya duduk tenang.
c. Berlari berlebihan atau memanjat yang tidak tepat situasi (pada
remaja atau dewasa terbatas pada perasaan tidak dapat
tenang/gelisah).
d. Kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan.
e. Seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin.
f. Berbicara terlalu banyak.
g. Sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan.
(Impulsivitas).
h. Kesulitan menunggu giliran (Impulsivitas).
i. Menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain
(Impulsivitas).
Dan terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh perilaku agresivitas dalam
bentuk seperti berikut :
b. Sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain.
c. Sering memulai perkelahian.
d. Menggunakan senjata tajam yang dapat melukai orang lain.
20

e. Berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain.
f. Menyiksa binatang.
g. Menyanggah jika dikonfrontasi dengan korbannya.
h. Memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual.

Sementara menurut DSM-IV-TR (2000), definisi ADHD terdiri dari
beberapa karakteristik, yaitu dimana karakteristik pertama mempunyai 2 kategori
yang salah satunya saja dapat memenuhi kriteria gangguan ADHD sebagai
berikut :
a. (1) Memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian
paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan;
(2) Memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling
tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan
b. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-
impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
c. Gejala-gejala tersebut muncul dalam 2 setting atau lebih (di sekolah,
rumah, atau pekerjaan).
d. Harus ada bukti nyata secara klinis adanya gangguan dalam fungsi
sosial, akademik, atau pekerjaan.
e. Gejala tidak diikuti dengan gangguan perkembangan pervasive,
skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama
dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan
kecemasan, atau gangguan kepribadian).


21

2.5.3 Tipe-tipe ADHD
Karena gejala ADHD bervariasi, DSM-IV-TR, (2000)
mencantumkan tiga subkategori, yaitu sebagai berikut :
1. Tipe Predominan Inatentif,
Anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya
konsentrasi.
2. Tipe Predominan Hiperaktif Impulsif,
Anak-anak yang masalahnya terutama diakibatkan oleh perilaku
hiperaktif-impulsif.
3. Tipe Kombinasi,
Anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah di atas.

2.5.4 Penyebab ADHD
Sampai saat ini belum jelas faktor apa yang dapat menyebabkan
munculnya ADHD, banyak peneliti mencurigai faktor genetik dan biologis
sebagai penyebab ADHD, anak dengan orang tua yang menyandang
ADHD mempunyai delapan kali kemungkinan mempunyai risiko
mendapatkan anak dengan gangguan ADHD juga, meskipun demikian
lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga membantu
menentukan perilaku anak yang spesifik (Buitelaar & Paternotte, 2010).
Menurut Buitelaar & Paternotte (2010), ADHD juga bergantung
pada efek negatif lingkungan, dalam hal ini lingkungan terbagi menjadi
lingkungan psikologi, fisik, dan biologis. Pada lingkungan psikologis
adalah bagaimana anak berelasi dengan orang lain, kejadian seperti apa
yang terjadi, dan bagaimana menanganinya, pada lingkungan biologis
adalah kondisi apakah anak pernah mengalami cedera otak atau
komplikasi yang bisa saja menyebabkan timbulnya gangguan pada anak.
22

Sedangkan, pada lingkungan fisik adalah faktor-faktor dari makanan,
obat-obatan, dan penyinaran.
Selain faktor genetik dan psikologis, menurut Somantri (2007)
anak ADHD memiliki struktur yang berbeda pada otak mereka, dimana
struktur tersebut membuat anak ADHD menjadi kesulitan dalam belajar
dan mengendalikan emosinya. Studi terhadap gambar otak menunjukkan
bagian mana dari otak anak-anak ADHD yang tidak berfungsi dan
penyebab tidak berfungsinya bagian itu belum diketahui, namun diduga
berkaitan dengan mutasi beberapa gen. Anak-anak ADHD memiliki fungsi
dan struktur otak yang berbeda dari anak normal lainnya. Perbedaan itu
dapat dilihat pada bagian pre-frontal (di bagian paling depan dari otak);
korpus kalosum yang menghubungkan belahan otak kiri dan belahan otak
kanan, otak kecil dan di berbagai nukleus basalis. Di beberapa bagian
belahan otak kanan pada anak ADHD tampak lebih kecil dibandingkan
anak tanpa ADHD. Ada perbedaan neuro-anatomi dan neuro-kimiawi
yang berbeda pula pada anak ADHD, dimana perbedaan ini membuat
perbedaan dalam penyampaian sinyal-sinyal di dalam otak (Buitelaar &
Paternotte, 2010).
Selain faktor genetik tersebut, terdapat beberapa faktor resiko
biologis lainnya bagi ADHD yang mencakup sejumlah komplikasi perinatal
dan pranatal, yang sering dikatakan memiliki kontribusi dalam munculnya
ADHD, diantaranya adalah kelahiran prematur, konsumsi alkohol dan
tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam kadar tinggi, dan
kerusakan otak sebelum lahir dapat memunculkan ADHD (Santrock,
2007). Menurut Davidson, Neale, dan Kring (2006), nikotin, terutama
merokok ketika hamil merupakan racun lingkungan yang dapat berperan
dalam terjadinya ADHD. Menurut penelitian yang dilakukan Mailberger
23

dkk, (1996 dalam Davidson, Neale, dan Kring, 2006), melaporkan bahwa
22 persen ibu dari anak-anak yang mengalami ADHD menuturkan bahwa
mereka merokok satu bungkus rokok setiap hari semasa hamil,
dibandingkan dengan angka 8 persen pada ibu yang anaknya tidak
mengalami ADHD.
Hiperaktivitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan
tersebut dipasangkan dengan pola asuh orang tua yang otoritarian. Jika
anak yang memiliki disposisi aktivitas yang berlebihan dan mudah
berubah mood-nya mengalami stres karena orang tua yang mudah
menjadi tidak sabar dan marah, anak akan menjadi tidak mampu
mengahadapi tuntutan orang tuanya untuk selalu patuh. Dengan
terbentuknya pola perilaku mengganggu dan tidak patuh, perilakunya
akan sering kali bertentangan dengan berbagai tuntutan disekolah
dengan berbagai peraturan. Pembelajaran juga dapat berperan dalam
ADHD namun faktor-faktor neurologis dan genetik jauh lebih banyak
mendapatkan dukungan daripada faktor-faktor psikologis dalam etiologi
ADHD (Bruno Bettelheim, 1973 dalam Davidson, Neale, dan Kring 2006).
Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar
terjadi karena adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang
mengganggu hubungan fungsional sistem urat syaraf. Dalam kondisi ini
perilaku yang terjadi seringkali seperti perilaku pada kasus kerusakan
otak, dan faktor yang telah dipaparkan merupakan penyebab mengapa
anak ADHD mengalami kesulitan dalam belajar (Somantri, 2010).

Anda mungkin juga menyukai