Anda di halaman 1dari 0

Pertemuan Ilmiah Tahunan I

Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004







PENENTUAN FISHING GROUND TUNA DAN CAKALANG DENGAN
TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

Chatarina Nurjati Supadiningsih
1
, Nurul Rosana
2
1. Program Studi Teknik Geodesi - ITS
2. Jurusan Perikanan Universitas Hang Tuah


Abstract
In Indonesia, tuna and cakalang fishery is an important fishery. For the exploitation of tuna and cakalang
fishery, one needs the ability to predict the behavior of the fish. Sea surface temperature and the chlorophyll
concentration are the oceanographic parameters that are very important to made fishing ground map of tuna
and cakalang. One of the interesting phenomena to paid attention is the up-welling and front in the ocean.
This is a signal that the water movement which causes the phenomena has happened. The advantage of
satellite far exited data especially for NOAA-AVHRR and SeaWiFs data to shape a correct alternative as it
has got a high supervision frequency and much cheaper operation cost compared to the other ways.

Key words : fishery, oceanographics, remote sensing


PENDAHULUAN
Potensi tuna dan cakalang di perairan
Indonesia adalah 780.040 ton (Dahuri, 2001).
Walaupun secara nasional pemanfaatan
sumberdaya tuna dan cakalang masih dapat
dilakukan, namun tingkat pemanfaatannya
tidak merata di seluruh perairan Indonesia.
Sumberdaya tuna (Thunnus sp) dan
cakalang (Katsuwonus pelamis) menyebar di
perairan Indonesia, menyebar di perairan
lepas pantai. Pemanfaatan sumberdaya tuna
dan cakalang lebih banyak dilakukan oleh
perusahaan skala menengah ke atas, karena
memerlukan investasi yang relatif besar.
Sumberdaya tuna dan cakalang tidak
tampak secara langsung oleh mata manusia.
Perbedaan media ini dapat diantisipasi dengan
mempelajari tingkah laku ikan sasaran dan
penggunaan alat bantu pendeteksi. Teknologi
inderaja saat ini sudah dapat mengidentifikasi
keberadaan daerah penangkapan tuna dan
cakalang dilihat antara lain dari parameter
suhu permukaan laut dan kesuburan perairan
sehingga dapat dibuat peta fishing ground
tuna dan cakalang.

SUMBERDAYA TUNA DAN
CAKALANG
Tuna dan cakalang adalah ikan
perenang cepat dan hidup bergerombol
(schooling) sewaktu mencari makan.
Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50
km/jam. Kemampuan renang ini merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan
penyebarannya dapat meliputi skala ruang
(wilayah geografis) yang cukup luas,
termasuk diantaranya beberapa spesies yang
dapat menyebar dan bermigrasi lintas
samudera. Pengetahuan mengenai
penyebaran tuna dan cakalang sangat penting
artinya bagi usaha penangkapannya.
J enis tuna dan cakalang menyebar
luas di seluruh perairan tropis dan subtropis.
Penyebaran jenis-jenis tuna dan cakalang
tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur
(longitude) tetapi dipengaruhi oleh perbedaan
garis lintang (latitude). Di Samudera Hindia
dan Samudera Atlantik menyebar di antara
40LU dan 40LS (Collete dan Nauen, 1983).
Khususnya di Indonesia (Uktolseja et al.,
1991), tuna hampir didapatkan menyebar di
Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah
114
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004





seluruh perairan di Indonesia. Di Indonesia
bagian barat meliputi Samudera Hindia,
sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai
barat Sumatera, selatan J awa, Bali dan Nusa
Tenggara. Di Perairan Indonesia bagian timur
meliputi Laut Banda Flores, Halmahera,
Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah
utara Irian J aya dan Selat Makasar.
Distribusi ikan tuna dan cakalang di
laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor,
baik faktor internal dari ikan itu sendiri
maupun faktor eksternal dari lingkungan.
Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur
dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour).
Perbedaan genetis ini menyebabkan
perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis
dan daya adaptasi terhadap lingkungan.
Faktor eksternal merupakan faktor
lingkungan, diantara adalah parameter
oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas
dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan
sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan
makanan.
Kedalaman renang tuna dan cakalang
bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya
tuna dan cakalang dapat tertangkap di
kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan
yang disukai berkisar 32-35 ppt atau di
perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17-
31
o
C.
Madidihang (Thunnus albacares)
tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia.
Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari
2 meter (Uktolseja et al., 1991). J enis tuna ini
menyebar di perairan dengan suhu yang
berkisar antara 17-31
o
C dengan suhu
optimum yang berkisar antara 19-23
o
C
(Nontji, 1987), sedangkan suhu yang baik
untuk kegiatan penangkapan berkisar antara
20-28
o
C (Uda, 1952 vide Laevastu dan Hela,
1970).
Tuna mata besar (Thunnus obesus)
menyebar dari Samudera Pasifik melalui
perairan di antara pulau-pulau di Indonesia
sampai ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama
ditemukan di perairan sebelah selatan J awa,
sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali,
Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut
Maluku. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu
dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan
jenis yang memiliki toleransi suhu yang
paling besar, yaitu berkisar antara 11-28
o
C
dengan kisaran suhu penangkapan antara 18-
23
o
C.
Sebaran tuna albakora (Thunnus
alalunga) sangat dipengaruhi oleh suhu. J enis
ini menyenangi suhu yang relatif lebih
rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang
relatif lebih kecil dibandingkan dua jenis tuna
di atas.
Tuna sirip biru (Thunnus maccoyi)
didapatkan menyebar hanya di belahan bumi
selatan. Oleh karena itu jenis ini sering
disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini
tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan
Indonesia.

PENENTUAN FISHING GROUND TUNA
DAN CAKALANG
Penentuan daerah penangkapan ikan
tuna dan cakalang menggunakan data inderaja
dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit
yang dihasilkan terhadap beberapa parameter
fisika kimia dan biologi perairan. Hal yang
dilakukan diantaranya adalah pengamatan
suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan
massa air (up-welling) ataupun pertemuan dua
massa air yang berbeda (sea front) dan
perkiraan kandungan klorofil di suatu
perairan. Hasil pengamatan tersebut
dituangkan dalam bentuk peta kontur,
sehingga dapat diperkirakan tingkat
kesuburan suatu lokasi perairan atau
kesesuaian kondisi perairan dengan habitat
yang disenangi suatu gerombolan (schoaling)
tuna dan cakalang berdasarkan koordinat
lintang dan bujur.
Satelit NOAA merupakan satelit cuaca
yang berfungsi mengamati lingkungan dan
cuaca. Sensor utama setelit NOAA adalah
AVHRR (Advance Very High Resolution
Radiometer) untuk pengamatan lingkungan
dan cuaca yang dapat memberikan informasi
kelautan, seperti suhu permukaan laut yang
Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah
115
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004





berguna dalam mendeteksi keberadaan ikan
(Hasyim, 1993).
Sedangkan data yang diperoleh dari
SeaWiFs adalah data klorofil atau zat hijau
daun. Data ini digunakan dalam mendeteksi
suatu front yang dapat dijadikan indikasi
bahwa daerah tersebut tempat berkumpulnya
ikan tuna dan cakalang. J adi dengan
mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak
langsung akan mendeteksi lokasi yang
mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi
klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat
sederhana. Sensor yang ada pada satelit
diberi filter hijau (band hijau) secara digital,
artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau
saja (Hasyim, 1993).
Sugimoto dan Tameishi (1992)
melakukan penelitian tentang daerah
penangkapan ikan tuna dan cakalang
menyatakan bahwa massa air hangat yang
bertemu dengan massa air dingin yang dibawa
arus menjadi perangkap dengan suhu 22-23
derajat celcius. Ikan cakalang ini bergerak
mengikuti air hangat menuju daerah mencari
makanan (feeding area). Seperti halnya ikan
cakalang, ikan tuna sirip biru (bluefin tuna)
dan madidihang (yellowfin tuna) juga
memanfaatkan cincin air hangat dengan suhu
sekitar 19 derajat celcius dalam ruayanya.
Dari hasil tersebut dapat dlihat bahwa
pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna
dan cakalang sangat penting untuk
menginterpretasikan citra satelit yang
digunakan dalam pembuatan sebuah peta
fishing ground tuna dan cakalang .
Metode inderaja yang digunakan dalam
penentuan daerah penangkapan tuna dan
cakalang dapat dilakukan dengan adanya
kerjasama diantara pihak-pihak terkait. Citra
satelit yang diperoleh dapat dianalisis
sehingga peta daerah penangkapan tuna dan
cakalang dapat digunakan dalam penentuan
daerah potensi ikan tuna dan cakalang.
Diharapkan informasi yang diperoleh tentang
keberadaan ikan yang menjadi tujuan
penangkapan ini kemudian disampaikan
kepada pihak pengguna, misalnya nelayan
dan pengusaha penangkapan ikan.
Dibawah ini adalah salah satu contoh
peta fishing ground / daerah penangkapan
tuna dan cakalang di perairan selatan J awa
Timur. Penentuan lokasi penangkapan
didasarkan oleh parameter oseanografi yaitu
suhu permukaan laut dari citra NOAA-
AVHRR pada tanggal 17 Oktober 2002. Pada
gambar dibawah dapat dilihat bahwa
penentuan posisi dilihat dari terjadinya front
dan upwelling. Front yaitu pertemuan antara
dua massa air yang mempunyai karakteristik
berbeda, baik temperatur ataupun salinitas.
Seperti pertemuan antara massa air laut jawa
yang lebih panas dengan massa air dari
Samudera Hindia yang lebih dingin.
Robinson (1983) menjelaskan bahwa front
penting dalam hal produktifitas perairan
karena cenderung membawa bersama-sama
massa air yang dingin dan kaya nutrien
dibandingkan dengan perairan yang lebih
hangat tetapi miskin unsur hara. Front yang
terbentuk mempunyai produktifitas karena
merupakan perangkap bagi zat hara dari
kedua massa air yang bertemu sehingga
merupakan feeding ground bagi jenis ikan
pelagis, selain itu pertemuan massa air yang
berbeda merupakan perangkap bagi migrasi
ikan karena pergerakan air yang cepat dan
ombak yang besar, hal ini menyebabkan
daerah front merupakan fishing ground yang
baik. Sedangkan upwelling adalah penaikan
massa air laut dari suatu lapisan dalam ke
lapisan permukaan. Gerakan naik ini
membawa serta air yang suhunya lebih
dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang
kaya ke permukaan (Nontji, 1993).

KESIMPULAN

1. Penentuan daerah penangkapan ikan
tuna dan cakalang dapat dilakukan
dengan menggunakan teknologi
inderaja.

Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah
116
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004





Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan,
J akarta.
2. Pengetahuan mengenai faktor
oseanografi serta tingkah laku ikan
tuna dan cakalang sangat penting
untuk menginterpretasikan citra satelit
yang digunakan dalam pembuatan
peta fishing ground tuna dan cakalang
.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara.
Djambatan. J akarta.
Robinson, I. S. 1983. Satellite observations of
oceancolour, Phil. Trans. Roy. Soc.
London, A309, 415-432
Sugimoto, T. and H. Tameishi , 1992. Warm
Core Rings, Streamers and Their Role
on the Fishing Ground Formation
Around J apan. Deep Sea Res. 39
(Suppli. 1) : S183-S201.
DAFTAR PUSTAKA

Collette, B. B., dan C. E. Nauen. 1983.
Scmrids of The World. FAO Fish
Syn. 2(125), 137 p. Uktolseja, J .C.B. 1987. Estimated Growth
Parameters and Migration of
Skipjack Tuna - Katsuwonus pelamis
In The Eastern Indonesian Water
Through Tagging Experiments.
J urnal Penelitian Perikanan Laut No.
43 Tahun 1987. Balai Penelitian
Perikanan Laut, J akarta. Hal. 15-44.
Dahuri, R., 2001. Menggali Potensi Kelautan
dan Perikanan dalamrangka
Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa
yang Maju, Makmur dan
Berkeadilan. Pidato dalamrangka
Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB
tanggal 25 Agustus 2001. Bogor.
Hela, I., dan T. Laevastu. 1970. Fisheries
Oceanography. Fishing News
(Books) LTD. London.






Lampiran 1.
Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah
117
Pertemuan Ilmiah Tahunan I
Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004





















Gambar 1. Penetuan Posisi fishing ground tuna dan cakalang dengan
Citra NOAA-AVHRR



Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah
118

Anda mungkin juga menyukai