PENENTUAN FISHING GROUND TUNA DAN CAKALANG DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH
Chatarina Nurjati Supadiningsih 1 , Nurul Rosana 2 1. Program Studi Teknik Geodesi - ITS 2. Jurusan Perikanan Universitas Hang Tuah
Abstract In Indonesia, tuna and cakalang fishery is an important fishery. For the exploitation of tuna and cakalang fishery, one needs the ability to predict the behavior of the fish. Sea surface temperature and the chlorophyll concentration are the oceanographic parameters that are very important to made fishing ground map of tuna and cakalang. One of the interesting phenomena to paid attention is the up-welling and front in the ocean. This is a signal that the water movement which causes the phenomena has happened. The advantage of satellite far exited data especially for NOAA-AVHRR and SeaWiFs data to shape a correct alternative as it has got a high supervision frequency and much cheaper operation cost compared to the other ways.
Key words : fishery, oceanographics, remote sensing
PENDAHULUAN Potensi tuna dan cakalang di perairan Indonesia adalah 780.040 ton (Dahuri, 2001). Walaupun secara nasional pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang masih dapat dilakukan, namun tingkat pemanfaatannya tidak merata di seluruh perairan Indonesia. Sumberdaya tuna (Thunnus sp) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) menyebar di perairan Indonesia, menyebar di perairan lepas pantai. Pemanfaatan sumberdaya tuna dan cakalang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan skala menengah ke atas, karena memerlukan investasi yang relatif besar. Sumberdaya tuna dan cakalang tidak tampak secara langsung oleh mata manusia. Perbedaan media ini dapat diantisipasi dengan mempelajari tingkah laku ikan sasaran dan penggunaan alat bantu pendeteksi. Teknologi inderaja saat ini sudah dapat mengidentifikasi keberadaan daerah penangkapan tuna dan cakalang dilihat antara lain dari parameter suhu permukaan laut dan kesuburan perairan sehingga dapat dibuat peta fishing ground tuna dan cakalang.
SUMBERDAYA TUNA DAN CAKALANG Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna dan cakalang sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya. J enis tuna dan cakalang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis-jenis tuna dan cakalang tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur (longitude) tetapi dipengaruhi oleh perbedaan garis lintang (latitude). Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik menyebar di antara 40LU dan 40LS (Collete dan Nauen, 1983). Khususnya di Indonesia (Uktolseja et al., 1991), tuna hampir didapatkan menyebar di Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah 114 Pertemuan Ilmiah Tahunan I Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
seluruh perairan di Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan J awa, Bali dan Nusa Tenggara. Di Perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian J aya dan Selat Makasar. Distribusi ikan tuna dan cakalang di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, diantara adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0-400 meter. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17- 31 o C. Madidihang (Thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter (Uktolseja et al., 1991). J enis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu yang berkisar antara 17-31 o C dengan suhu optimum yang berkisar antara 19-23 o C (Nontji, 1987), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-28 o C (Uda, 1952 vide Laevastu dan Hela, 1970). Tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia sampai ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan J awa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11-28 o C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18- 23 o C. Sebaran tuna albakora (Thunnus alalunga) sangat dipengaruhi oleh suhu. J enis ini menyenangi suhu yang relatif lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dua jenis tuna di atas. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyi) didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.
PENENTUAN FISHING GROUND TUNA DAN CAKALANG Penentuan daerah penangkapan ikan tuna dan cakalang menggunakan data inderaja dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit yang dihasilkan terhadap beberapa parameter fisika kimia dan biologi perairan. Hal yang dilakukan diantaranya adalah pengamatan suhu permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (up-welling) ataupun pertemuan dua massa air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di suatu perairan. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kontur, sehingga dapat diperkirakan tingkat kesuburan suatu lokasi perairan atau kesesuaian kondisi perairan dengan habitat yang disenangi suatu gerombolan (schoaling) tuna dan cakalang berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Satelit NOAA merupakan satelit cuaca yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. Sensor utama setelit NOAA adalah AVHRR (Advance Very High Resolution Radiometer) untuk pengamatan lingkungan dan cuaca yang dapat memberikan informasi kelautan, seperti suhu permukaan laut yang Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah 115 Pertemuan Ilmiah Tahunan I Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
berguna dalam mendeteksi keberadaan ikan (Hasyim, 1993). Sedangkan data yang diperoleh dari SeaWiFs adalah data klorofil atau zat hijau daun. Data ini digunakan dalam mendeteksi suatu front yang dapat dijadikan indikasi bahwa daerah tersebut tempat berkumpulnya ikan tuna dan cakalang. J adi dengan mendeteksi lokasi klorofil, maka secara tak langsung akan mendeteksi lokasi yang mungkin banyak ikannya. Cara mendeteksi klorofil ini, pada dasarnya adalah sangat sederhana. Sensor yang ada pada satelit diberi filter hijau (band hijau) secara digital, artinya detektor akan mendeteksi sinar hijau saja (Hasyim, 1993). Sugimoto dan Tameishi (1992) melakukan penelitian tentang daerah penangkapan ikan tuna dan cakalang menyatakan bahwa massa air hangat yang bertemu dengan massa air dingin yang dibawa arus menjadi perangkap dengan suhu 22-23 derajat celcius. Ikan cakalang ini bergerak mengikuti air hangat menuju daerah mencari makanan (feeding area). Seperti halnya ikan cakalang, ikan tuna sirip biru (bluefin tuna) dan madidihang (yellowfin tuna) juga memanfaatkan cincin air hangat dengan suhu sekitar 19 derajat celcius dalam ruayanya. Dari hasil tersebut dapat dlihat bahwa pengetahuan mengenai tingkah laku ikan tuna dan cakalang sangat penting untuk menginterpretasikan citra satelit yang digunakan dalam pembuatan sebuah peta fishing ground tuna dan cakalang . Metode inderaja yang digunakan dalam penentuan daerah penangkapan tuna dan cakalang dapat dilakukan dengan adanya kerjasama diantara pihak-pihak terkait. Citra satelit yang diperoleh dapat dianalisis sehingga peta daerah penangkapan tuna dan cakalang dapat digunakan dalam penentuan daerah potensi ikan tuna dan cakalang. Diharapkan informasi yang diperoleh tentang keberadaan ikan yang menjadi tujuan penangkapan ini kemudian disampaikan kepada pihak pengguna, misalnya nelayan dan pengusaha penangkapan ikan. Dibawah ini adalah salah satu contoh peta fishing ground / daerah penangkapan tuna dan cakalang di perairan selatan J awa Timur. Penentuan lokasi penangkapan didasarkan oleh parameter oseanografi yaitu suhu permukaan laut dari citra NOAA- AVHRR pada tanggal 17 Oktober 2002. Pada gambar dibawah dapat dilihat bahwa penentuan posisi dilihat dari terjadinya front dan upwelling. Front yaitu pertemuan antara dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, baik temperatur ataupun salinitas. Seperti pertemuan antara massa air laut jawa yang lebih panas dengan massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin. Robinson (1983) menjelaskan bahwa front penting dalam hal produktifitas perairan karena cenderung membawa bersama-sama massa air yang dingin dan kaya nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin unsur hara. Front yang terbentuk mempunyai produktifitas karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan feeding ground bagi jenis ikan pelagis, selain itu pertemuan massa air yang berbeda merupakan perangkap bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar, hal ini menyebabkan daerah front merupakan fishing ground yang baik. Sedangkan upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang kaya ke permukaan (Nontji, 1993).
KESIMPULAN
1. Penentuan daerah penangkapan ikan tuna dan cakalang dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi inderaja.
Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah 116 Pertemuan Ilmiah Tahunan I Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan, J akarta. 2. Pengetahuan mengenai faktor oseanografi serta tingkah laku ikan tuna dan cakalang sangat penting untuk menginterpretasikan citra satelit yang digunakan dalam pembuatan peta fishing ground tuna dan cakalang .
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. J akarta. Robinson, I. S. 1983. Satellite observations of oceancolour, Phil. Trans. Roy. Soc. London, A309, 415-432 Sugimoto, T. and H. Tameishi , 1992. Warm Core Rings, Streamers and Their Role on the Fishing Ground Formation Around J apan. Deep Sea Res. 39 (Suppli. 1) : S183-S201. DAFTAR PUSTAKA
Collette, B. B., dan C. E. Nauen. 1983. Scmrids of The World. FAO Fish Syn. 2(125), 137 p. Uktolseja, J .C.B. 1987. Estimated Growth Parameters and Migration of Skipjack Tuna - Katsuwonus pelamis In The Eastern Indonesian Water Through Tagging Experiments. J urnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut, J akarta. Hal. 15-44. Dahuri, R., 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan dalamrangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Pidato dalamrangka Temu Akrab CIVA-FPIK-IPB tanggal 25 Agustus 2001. Bogor. Hela, I., dan T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) LTD. London.
Lampiran 1. Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah 117 Pertemuan Ilmiah Tahunan I Teknik Geodesi - ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004
Gambar 1. Penetuan Posisi fishing ground tuna dan cakalang dengan Citra NOAA-AVHRR
Kadaster Laut Dalam Perspektif Pemetaan Batas Pantai dan Laut Terkait dengan Perundangan Otonomi Daerah 118