Anda di halaman 1dari 16

BAB I Pendahuluan

Latar Belakang
Perlindungan hukum ynag dimaksud disini adalah perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum dari tindak pemerintahan atau tindakan administrasi Negara. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap Negara yang mengedepankan diri sebagai Negara hukum. Namun, seperti yang disebutkan Paulus E. Lotulung, masing-masing Negara memiliki cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum tersebut diberikan. Dengan tindakan pemerintah sebagai titik sentral, dapat dibedakan dua macam perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang preventif, dan perlindungan hukum yang represif. Dengan perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan (inspraak) pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitf. Dengan demikian perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyeledaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan atas kewenangan bebas, sehingga mendorong peerintah harus bersikap hati-hati. Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakann yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibt hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah yang bersifat sepihak. Diakatak bersifata sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemertinhan itu tergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak. Keputusan dan ketetapan sebagai instrument hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga Negara, apalagi dalam Negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga Negara. Oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga Negara terhadap tindakan hukum pemerintahan. Perlindungan hukum terhadap warga negaradiberikan bila sikap tindak administrasi Negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap administrasi
1

Negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.

BAB II Rumusan Masalah


1. Sarana Perlindungan Hukum apakah yang diterapkan dalam hukum positif Indonesia? 2. Badan badan apa saja yang menangani perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia? 3. Asas-asas hukum administrasi apakah yang melandasi hukum acara PTUN? 4. Jelaskan aspek yang mendasari terjadinya problematik dalam penegakan dan perlindungan hukum ! 5. Mengapa warga Negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah?

BAB III Pembahasan 1. Sarana Perlindungan Hukum yang diterapkan dalam hukum positif Indonesia
A. Sarana Perlindungan Preventif Sarana perlindungan hukum preventif ini di Indonesia belum ada pengaturan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan belum adanya kodifikasi hukum administrasi (umum); hukum administrasi materil masih bersidat sektoral, sehingga pengaturan hukum acara administrasi pun menjadi beragam termasuk pengaturan sarana perlindungan hukum preventif. Namun demikian secara umum atau apabila kita lihat ketentuan Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN, disana diatur tentang upaya Administratif yaitu keberatan dan banding administrative, untuk prosedur keberatan, hal ini dapat kita kategorikan sebagai sarana perlindungan hukum preventif. Tetapi bagaimana dengan banding administratif, hal ini kiranya perlu mendapatkan perhatian kita bersama, oleh karena apabila banding administrasi yang dimaksudkan itu merujuk kepada misalnya BAPEK atau P4D/P4P, maka hal itu tidak bias kita katakana sebagai sarana perlindungan hukum preventif. Sebab, kedua badan tersebut termasuk badan perlindungan hukum yang represif, karena menyelesaikan sengketa dan menguji keabsahan suatu KTUN dengan menggunakan alat ukur peraturan perundang-undangan maupun AUPB. B. Sarana Perlindungan Hukum Represif Telah kita ketahui ada dua sistem hukum yaitu civil law system dan common law system . system hukum yang berbeda, melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana perlindungan hukum bagi rakyat (represif). Negara dengan civil law system mengakui ada dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum(biasa) dan pengadilan administrasi. Sedangkan Negara dengan common law system hanya mengenal satu set pengadilan yaitu ordinary court.

2. Badan-badan yang menangani Perlindungan Hukum bagi rakyat Indonesia Badan-badan yang menangani perlindungan hukum bagi rakyat yang kita kenal di Indonesia adalah:

A. Peradilan Umum Dasar hukum penyelenggaraan kekuaaan kehakiman yaitu Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945, selanjutnya direalisasikan dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 10 ayat (1) dicantumkan 4 lingkungan peradilan, yaitu: Lingkungan Peradilan Umum Lingkungan Peradilan Agama Lingkungan Peradilan Militer Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Yang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tertinggi adalah Mahkamah Agung.pengertian tersebut terdapat dalam UU No.8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, sedangkan pengadilan tinggi berkedudukan di ibukota Propinsi yang mempunyai wilayah hukum dalam wilayah Propinsi. Dalam hal pembinaan teknis para hakim pengadilan negeri atau pengadilan tinggi berada dibawah pembinaan Mahkamah Agung, sedangkan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dibawah pembinaan Departemen Kehakiman. Pengadilan Negeri dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan Pengadilan Tinggi dibentuk dengan UU. Mengenai hakimnya baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi diangkat oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara aras usulan Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung, sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Pengadilan Negeri juga berwenang mengadili sengketa antara orang atau badan hukum perdaa dengan badan atau pejabat TUN, akibat keputusan yang dikeluarkan oleh BAdan atau Pejabat TUN, sedangkan keputusan tersebut tidak menjadi kompetensi PTUN, dengan sendirinya ini akan menjadi kompetensi Peradilan Umum (PN). Hal ni disamping karena sifat umum dari peradilan ini, juga karena pengadilan (hakim) tidak boleh menolak menyelesaikan suaru perkara yang diajukan, sehingga Peradilan Umum merupakan peradilan yang mempunyai kompetensi menyelesaikan semua sengketa atau perkara yang tidak merupakan kompetensi perdilan khusus.

B. Peradilan Militer Peradilan Militer ini mengadili pelanggaran terhadap KUHP, KUHP Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara. Peradilan Militer diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi masyarakat, kompetensi peradilan ini adalah menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angakatan Bersenjata Repunlik Indonesia.

C. Peradilan Tata Usaha Negara Pada tanggal 29 Desember 1986 dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN sebagai pelaksanaan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970, dan kemudian baru dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tanggal 14 Januari 1991. Yang menjadi pertimbangan diadakannya Peradilan TUN adalah: Negara RI sebagai Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan Negara, dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin persamaan kedudukan masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara aparatur dibidang tata usaha dengan para warga masyarakat. Adanya kemungkinan terjadinya benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa anatar badan atau pejabat TUN dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau mengahambat jalannya pembangunan nsaional.

D. Peradilan Pajak Pelaksanaan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan UU Perpajakan akan menimbukan ketidakadilan bagi wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang. Penyelesaiang senketa pajak selama ini dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Kemudian MPP diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) (UU No. 17 Tahun 1997). Pada tahun 2002 dikeluarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang mencabut UU No. 17 Tahun 1997 . Disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peeradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung jawab yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Kompetensi dari pengadilan pajak adalah memeriksa permohonan banding atas keputusan keberatan dan

gugatan yang diajukan oleh Wajib Pajak (Pasal 31). Dengan kompetensi yang demikian ini berarti Pengadilan Pajak selain melaksanakan fungsi badan yudisial, juga fungsi badan administratif. Putusan Pengadilan Pajak bersifat final, artinya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 77). Namun demikian berdasarkan Pasal 89, terhadap putusan Pengadilan Pajak tersebut masih dapat ditempuh peninjauan kembali yang diajukan kepada Mahkamah Agung.

E. Upaya Administratif Tidak semua KTUN dapat langsung digugat melalui Peradilan TUN. Terhadap KTUN yang dilandasi norma dasarnya mengatur adanya upaya administratif, terlebih dahulu sebelum saluran peradilan, harus ditempuh jalur Ipaya Administratif. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004: 1. Dalam hal suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenan oleh atau berdasarkab peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administraitif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang bersedia. 2. Pengadilan baru berwewenang memeriksan memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Bagi KTUN yang tidak tersedia upaya administratif, gugatan langsung diajukan ke Pengadilan TUN (Pasal 51 ayat 3). Dalam SE. Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 dinyatakan bahwa dalam upaya admnistratif yang tersedia hanya berupa Keberatan, maka gugat diajukan ke Pengadilan TUN tidak ke PT.TUN. Ada dua upaya administratif, yaitu : Keberatan => apabila penyelesaian dilakukan oleh instansi yang sama yaitu Badan atau Pejabat yang mengeluarkan KTUN Banding administratif => apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dalam bidang kepegawaian istilah keberatan disamakan dengan pengertian banding (administratif) : Pasal 15 PP No. 30 Tahun 1980 menentukan PNS dijatuhi salah satu jenis hukum disiplin (Pasal 6 ayat 3 dan 4), hukuman disiplin berat, dapat mengajukan keberatan kepada atasan dari pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 hari. Padahal atasan yang berwenang menghukum tersebut sebenarnya melaksanakan prosedur

banding administraif , karena menurut Pasal 21 PP tersebut berwenang memperkuat atau mengubah hukuman tersebut. Khusus apabila tejadi penghukuman PNS golongan IV kebawah yang berupa pemberhantian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri (Pasal 6 ayat 4c), maka PNS tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK). Karena Pasal 15 ayat 2 hanya menyebutkan salah satu jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 4c dan 4d. dengan demikian walaupun seorang pegawai golongan IV ke bawah pernah menempuh jalur keberatan (banding administratif) kepada atasan (dari) pejabat yang berwenang menghukum seperti yang dimungkinkan dalam Pasal 15, tetapi karena ia dijatuhi hukuman pemberhentian tidak hormat tau pemberhentin dengan hormat tidak dengan kehendak sendiri maka ia masih mungkin mengajukan keberatan (banding administratif kedua) kepada BAPEK. Jadi untuk PNS golongan IV kebawah berarti dua kali kemungkinan upaya administratif yang berupa banding administratif. Karena Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) masih berupa instansi pemutus penyelisih sengketa TUN masih dirasa tidak mencerminkan keadalian maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi TUN dan masih terbuka jalan untuk kasasi dan peninjauan kembali. Badan banding administratif dalam bidang perburuhan adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Badan ini mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketasengketa ketenagakerjaan.

3. Asas-asas hukum administrasi yang melandasi hukum acara PTUN


Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai cirri khas yang tercermin dalam azas-azas hukum yang melandasi hukum acara peradilan tata usaha Negara. Azasazas tersebut adalah : a) Azas Praduga Rechtmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumptio iustae causa). Azas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Berarti dengan adanya azas ini, adanya gugatan tidak dapat menunda pelaksanaan suatu KTUN. Hal ini dimaksudkan untuk dapat lebih memberikan jaminan kepastian hukum ataas suatu keputusan yang dikeluarkan

b) Azas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW, dimana kewajiban pembuktian berada pada pihak penggugat. Azas ini dianut Pasal 107 UU No. 9 Tahun 2004, hanya saja masih dibatasi ketentuan Pasal 100 ayat (1) yaitu ada 5 alat bukti: 1. Surat atau tulisan 2. Keterangan ahli 3. Keterangn saksi 4. Pengkuan para pihak 5. Pengetahuan hakim Pasal 100 dan 107 adalah pasal yang keliru/tidak benar, karena menyamakan dengn perkara pidana/perdata dalam hal alat bukti, padahal KTUN bukanlah alat bukti melainkan obyek sengketa. c) Azas keaktifan Hakim (Inquisitoir/dominus Litis). Keaktifan Hakim dimaksudkan untuk mengimbangin kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha Negara, sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Asas Inguisitor dalam proses peradilan TUN, tampak pada kewenangan Hakim untuk melakukan pemeriksaan sendiri tentang fakta-fakta yang diarahkan pada pengujian kebenaran pembentukan Keputusan Administrasi yang bersifat konkrit, individual dan final yang disengketakan, dengan demikian HAKIM TUN adalah dominus litis. Penerapan azas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 ayat 1 dan 2, pasal 80, 85. Asas Contradictor, dalam pemeriksaan sedapat mungkin dilakukan agar pihak itu sama-sama memperoleh kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya dan menggandakan reaksi terhadap pendapat lawannya apabila dianggap perlu, d) Azas keputusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa Hukum public, dengan demikian putusan Pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi par pihak yang bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 UU No. 9 Tahun 2004 tentang intervasi bertentangan dengan azas erga omnes. Jadi sebenarnya tidak perlu lagi ada gugatan intervensi, karena keputusan PTUN akan mengikat semua pihak, termasuk pihak ketiga yang berkeinginan untuk turut menggugat karena kepentingan juga dirugikan. Kehadiran PTUN melalui UU No. 9 Tahun 2004 yang sekarang diubah menjadi UU N0. 9 Tahun 2004 tidak hny melindungi hak individu teteapi juga melindungi hak masyarakat. Untuk itu disamping melindungi hak individu sebagian besar isi UU No. 9 Tahun 2004
9

melindungi hak-hak masyarakat. Pasal-pasal yang menyangkut perlindungan hak-hak masyrakat adalah : Pasal 49 : Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. Dalam waktu perang , keadaan bahaya, keadaan bencana alam , atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Pasal 55: Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara. Pasal 67 (1) : Gugatan tidak menunda atau mengahalangi keputusan tata usaha Negara serta tindakan badan atau pejabat tata usaha Negara yang digugat.

4. Problematik Perlindungan Hukum Bagi Rakyat (PTUN)


Dalam perjalanan pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara, banyak mengalami berbagai problem dalam rangka melaksanakan penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi warga terhadap penguasa atau pemerintah. Problematik ini pada dasarnya dapat dilihat dari dau aspek yaitu : 1) Hukum Acara atau Prosedur Beracaranya Ketentuan-ketentuan yng mengatur mengenai hukum acara (Pasal 53 s/d 132 UU No. 9 Tahun 2004). Disatu pihak diatur secara mendetail sekali, missal tentang pemeriksaan saksi dan pembuktian, akan tetapi dilain pihak ada beberapa bagian ang diatur secra garis besarnya saja dan diserahkan pada pelaksanaan prakteknya yang kadang-kadang sangat berbeda antara pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lain. Umpamanya tentang pemeriksaan proses perlawanan Pasal 62 ayat 4, atau ; apabila dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa dating mengahadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh

10

seorang kuasa hukumnya (Pasal 58); pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib dating sendiri ke persidangan, eksekusi dan sebagainya(Pasal 93). Berdasarkan hal tersebut, maka dari segi hukum acara dapat dikemukakan beberapa permasalahan atau problematika sebagai berikut : Adanya gugatan yang diajukan lewat kantor pos, demikian pula proses pemeriksaannya juga melalui pos. Apakah ini sah menurut undang-undang yang berlaku? Hal ini dilakukan oleh beberapa PTUN , sebab karena wilayah hukumnya sangat luas sekali Tentang penerapan Pasal 54 ayat 4, dalam hal yang bagaimanakah seharusnya gugatan dapat diajukan kepada pengadilan didalam wilayah hukum kediaman tergugat? Problem yang sering timbul adalah bagi penggugat yang tidak mampu untuk membayar transportasi ke wilayah hukum pengadilan ditempat kedudukan tergugat. Sanksi apakah yang dapat dijatuhkan dalam hal pihak Pejabat TUN tidak bersedia mengahadiri siding, baik atas dasar Pasal 58 ataupun atas dasar Pasl 93. Kedua pasal itu tidak memberikan sanksi, tetapi dalam praktek hal semacam itu terjadi. Bagaimanakah seharusnya prosedur yang disebut pemeriksaan singkta itu (Pasal 62 ayat 4) agar ada keseragaman diseluruh PTUN. Ada majelis hakim yang mengharuskan adanya tanggapan dari kedua belah pihak untuk dipertukarkan agar terpenuhi asas audiet alteram partem, tetapi juga majelis hakim yang tidak melaksanakannya dan kemudian melanjutkannya dengan pembuktian dan seterusnya kepada putusan. Masalah eksekusi putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum

Mengenai penetapan penangguhan atau penundaan pelaksanaan KTUN (Pasal 67 ayat 2) sering digunakan oleh pejabat TUN untuk tidak mematuhinya adalah mengingat ketentuan Pasal 115 UU No.9 Tahun 2004 yaitu : Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dpat dilaksanakan. Ketentuan pasal 67 ayat (2) menjadi problem dalam pelaksanaan perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan, yang manajika ketentuan itu harus disamakan dengan putusan akhir dari pengadilan, padahal pasal tersebut merupakan putusan sementara, yang sifatnya penangguhan tindakan pelaksanaan KTUN, sebelum adanya putusan akhir. Dalam

11

hal penetapan penangguhan atau penundaan pelaksanaan KTUN oleh PTUN dilecehkan oleh pejabat, tanpa adanya sanksi yang bias dijatuhkan oleh pengadilan. Masalah eksekusi juga perlu mendapatkan perhatian dalam pemecahannya, sebagaimana kita ketahui maslah eksekusi dalam Pasal 115 s/d 119 UU No. 9 Tahun 2004. Pada Pasal 116 terdapat dua mcam jenis eksekusi : a. Pasal 116 ayat (2), tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, hal ini bias disbut eksekusi otomatis. b. Pasal 116 ayat (3), Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan

kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak

dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

2) Substansi atau Hukum Materilnya Selain problematik yang berkaitan dengan hukum acara juga masih terdapat problematika yang menyangkut substansi atau segi hukum materil antara lain : Dilihat dari pengertian Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 1 butir (2) UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Badan atau PTUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan perturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian pasal tadi apakah dapat diperluas sehingga sampai kepada badan swasta yang menjalankan tugas pelayanan umum dalam bidang pemerintahan. Karena belum ada kesepakatan tentang hal ini maka ada sebagian pengadilan menerima perluasan pengertian tersebut, sehingga lembaga swasta dapat digugat di Pengadilan TUN, tetapi sebagian lagi pengadilan lainnya tidak menerapkan perluasan itu. Dengan demikian yang menjadi problematik adalah sejauh mana harus diartikan sebagai PejabatTUN. Adanya kemungkinan titik singgung dengan kompetensi mengadili dari badan peradilan lain, misalnya bidang perdata. Hal ini dapat dibaca pada pasal 2 huruf a yaitu tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut undang-undang ini: Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, dalam hal ini

12

sering timbul persoalan atau permasalahan tentang bagaimana membedakan antara ruang lingkup perdata dan ruang lingkup TUN, sekalipun sudah ada teori melebur, dimana perbuatan hukum public itu melebur ke dalam hukum perdata. Tentang penafsiran istilah Kepentingan dalam mengajukan gugatan. Kepentingan yang bagaimana juga tidak begitu jelas. Masalah Ganti Rugi Terbatas; Pengadilan dapat mewajibkan pembayaran ganti rugi akibat dibatalkannyasuatu Keputusan TUN, berdasarkan Pasal 97 ayat (10) jo. Pasal 120 UU No. 9 Tahun 2004 jo. PP No. 43 Tahun 1991 yangmenentukan jumlah ganti rugi yangterbatas, yaitu minimum sebesar Rp. 250.000,- dan maksimum Rp. 5.000.000,Sering kali keputusan TUN yang dibatalkan itu menimbulkan kerugian materil. Dalam hal ini penggugat bias mengambil sikap: a. Menuntu juga ganti rugi dalam gugatannya, yang hanya dapat diajukan maksimum Rp. 5.000.000,- walaupun mungkin kerugian senyatanya adalah lebih besar dari jumlah Rp. 5.000.000,b. Tidak mengajukan tuntutan ganti rugi sama sekali dan mereservirnya untuk diajukan dalam gugatan perdata di Pengadilan Negeri sesudah putusan TUN. Masalah yang timbul : a. Apakah untuk ganti rugi selebihnya dalam kasus a tersebut, pihak penggugat otomatis bias mengajukan ke Pengadilan Perdata (pasal berapa yang menjadi dasar gugatan tersebut) b. Apakah Hakim Perdata harus menerima gugatan gantu rugi selebihnya tersebut tanpa menilai lagi keabsahan/tidaknya Keputusan TUN yang sudah diputuskan oleh Hakim TUN, ataukah Hakim Perdata tidak terikat dengan Putusan Hakim TUN? Selain masalah tadi permasalahan yang juga perlu dipikirkan adalah bahwa hukum administrasi kita masih bersifat sektoral/bersifat khusus, oleh sebab itu belum ada keseragaman persepsi dalam tindakan pemerintahan. Hal in juga yang dapat menimbulkan permasalahan dalam menegakkan hukum dan perlindungan hukum, oleh sebab itu memang dirasa perlu adanya undang-undang hukum administrasi umum.

13

5. Alasan mengapa Warga Negara Harus Mendapat Perlindungan Hukum dari Tindakan Pemerintah Ada beberapa alas an mengapa warga Negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yaitu: Pertama,karena dalam berbagai hal warga Negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan, atau pertambangan. Oleh karena itu, warga Negara dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum, terutama untuk memperoleh kepastian hukum dan jaminan keamanan, yang merupakan faktor penentu bagi kehidupan dunia usaha. Kedua, hubungan antara pemerintah dengan warga Negara tidak berjalan dalam posisi sejajar. Warga negara merupakan pihak yang lebih lemah dibandingkan pemerintah. Ketiga, berbagai perselisihan warga Negara dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan dan ketetapan, sebagai insturmen pemerintah yang bersifat sepihak dalam melakukan interensi terhadap kehidupan warga Negara. Pembuatan keputusan dan ketetapan yang didasarkan pada kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) akan membuka peluang terjadinya pelanggaran hak-hak warga Negara. Meskipun demikian, bukan berarti kepada pemerintah tidak diberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap administrasi Negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum.

14

BAB IV Penutup Kesimpulan


Perlindungan hukum bagi rakyat yaitu, perlindungan hukum dari tindak pemerintahan atau tindakan administrasi Negara. Perlindungan hukum bagi rakyat terdiri atas perlindungan hukum yang bersifat preventif dan perlindungan hukum yang bersifat represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan seblaiknya perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Sarana perlindungan hukum preventif belum ada pengaturan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan belum adanya kodifikasi hukum administrasi (umum); hukum administrasi materil masih bersifat sektoral, sehingga pengaturan hukum acara administrasi pun menjadi beragam termasuk pengaturan sarana perlindungan hukum preventif. Namun demikian secra umum atau apabila kita lihat ketentuan Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN, disana diatur tentang Upaya Administratif yaitu keberatan dan banding administratif, untuk prosedur keberatan, hal ini dapat kita kategorikan sebagai sarana perlindungan hukum preventif. Pengadilan Negeri juga berweanang mengadili sengketa antara orang ata ubadan hukum perdata dengan badan hukum atau pejabat TUN, akibat keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN, sedangkan keputusan tersebut tidak menjadi kompetensi PTUN, dengan sendirinya ini akan menjadi kompetensi Peradilan Umum (PN). Hal ini disamping karena sifat umum dari peradilan ini, juga karena bahwa pengadilan (hakim) tidak boleh menolak menyelesaikan suatu perkara yang diajukan, sehingga Peradilan Umum merupakan peradilan yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan semua sengketa atau perkara yang tidak merupakan kompetensi peradilan khusus. Kompetensi absolute PTUN, dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 9Tahun 2004 telah diberikan batasannya dengan merumuskan pengertian sengketa Tata Usaha Negara yaitu : Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat TUN baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengertian KTUN dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu : Keputusan Tata Usaha Negara yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badab
15

atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Azas-azas hukum administrasi yan melandasi hukum acara peradilan tata usaha Negara. Azas-azas tersebut adalah : Azas Praduga Rechmatig (vermoeden van rechmatigeheid = presumption iustae causa). Azas pembuktian bebas Azas keaktifan Hakim (inquistoir/dominus litis) Azas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes

Pengadilan pajak adalah badan peradlian yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penganggung pajak yan mencari keadlian terhadap sengketa pajak. Kompetensi dari pengadilan pajak adalah memeriksa permohona banding atas keputusan keberatan dan gugatan yang diajukan oleh wajib pajak. Tidak semua KTUN dapat langsung digugat melalui PTUN. Terhadap KTUN yang dilandasi norma dasarnya mengatur adanya upaya administratif terlebih dahulu sebelum menempuh saluran peradilan, harus ditempuh upaya administratif. Upaya administratif adalah upaya penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengdilan, yaitu jalur keberatan dan jalur banding adminisratif. Untuk upaya keberatan diajukn kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan, sedangkan banding administratif diajukan kepada badan banding adminsitratif yang ada/tersedia. Dalam perjalanan pelaksanaan PTUN, banyak mengalami berbagai problem dalam rangka melaksanakan penegakan hukum dan perlindugan hukum bagi warga terhadap pemerintah. Problematik ini pada dasarnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu hukum acara atau prosedurperkaranya dan substansi atau hukum materilnya.

16

Anda mungkin juga menyukai