Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KEPERAWATAN KOMUNITAS III PELAYANAN KESEHATAN PRIMER (PHC) DOSEN : YAESAR WAWAN, SKM, MPH

DISUSUN OLEH : NAMA NIM TINGKAT SEMESTER : JONATHAN EFRAIM : 2010.C.02A.0050 : III/A : VI (ENAM)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN 2013

PELAYANAN KESEHATAN PRIMER (PHC)

A. PENDAHULUAN Pelayanan Kesehatan Primer / PHC adalah strategi yang dapat dipakai untuk menjamin tingkat minimal dari pelayanan kesehatan untuk semua penduduk. PHC menekankan pada perkembangan yang bisa diterima, terjangkau, pelayanan kesehatan yang diberikan adalah essensial bisa diraih, yang essensial dan mengutamakan pada peningkatan serta kelestarian yang disertai percaya pada diri sendiri disertai partisipasi masyakarat dalam menentukan sesuatu tentang kesehatan. Adalah Pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metoda dan tehnologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat, melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta deengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semanggat untuk hidup mandiri ( Self reliance ) dan menntukan nasib sendiri (self Determination). Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan atau kecelakaan. Primary health care pada pokoknya ditunjukan kepada masyarakat yang sebagian besarnya bermukim di pedesaan, serta masyarakat yang berpenghasilan rendah di perkotaan. Pelayanan kesehatan sifatnya berobat jalan (Ambulatory Services). Fungsi kognitif merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, meng-ing-at, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemam-puan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan ekseku-tif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi. Berdasarkan prediksi, Indonesia akan men-jadi negara dengan kecepatan per-tum-buh-an lansia tertinggi di dunia, yaitu meng-alami perubahan sebesar 414% dalam kurun waktu 1990 2020. Hal ini diiringi pula denga-n

meningkatnya usia harapan hidup dari 66,7 tahun menjadi 70,5 tahun.1 Dengan me-ningkatnya usia lanjut di populasi, diper-kirak-an gangguan fungsi kognitif dan penya-kit demensia akan menjadi penyakit yang umum ditemui pada pelayanan kesehatan primer. Dokter umum dan petugas kesehatan di tingkat pelayanan primer memegang peranan penting dan mempunyai kesempatan sangat besar untuk mendeteksi secara dini, karena awal keluhan yang menyangkut demen-sia akan menjadi lebih sering ditemui pada pelayanan kesehatan primer dan kesempatan dokter umum untuk kontak yang sering dengan pasien maupun keluarganya. Saat ini, deteksi dini demensia menjadi sema-kin penting. Semakin dini dideteksi, semakin besar kemungkinan terapi menjadi lebih efektif, seperti intervensi sosial, tata laksan-a pada keadaan premorbid, dan penggunaan obat-obatan untuk demensia.2,8,9 Selain itu, dapat pula dilakukan beberapa program pada tingkat pelayanan primer, seperti: (1) Promosi kesehatan dan membantu masyarakat untuk perawatan diri mereka sendiri secara lebih efektif; (2) Mengenali gejal-a dini demensia; (3)

Memformulasikan rencana perawatan dan pendukung terhadap perawatan di keluarga; (4) Merujuk ke pelayanan spesialis sebagaimana mestinya.

B. GLOBALISASI Sarana pelayanan kesehatan primer di era globalisasi ini, berupaya meningkatkan kualitas jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena kualitas jasa dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai keunggulan kompetitif. Implementasi kualitas jasa yang dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan dengan cara memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien dengan tujuan menciptakan kepuasan pasien. Dengan berkembangnya jumlah rumah sakit, masyarakat memiliki banyak pilihan untuk menentukan rumah sakit mana yang akan mereka pilih. Masyarakat akan memilih rumah sakit yang mereka pandang memberikan kepuasan maksimal bagi mereka. Oleh karena itu diharapkan setiap rumah sakit hendaknya berorientasi pada kepuasan pasien untuk dapat bersaing dengan rumah sakit lainnya. Di dalam hal ini rumah sakit harus

mengutamakan pihak yang dilayani yaitu pasien, maka banyak sekali manfaat yang diperoleh suatu rumah sakit bila mengutamakan kepuasan pasien. Diantaranya yaitu terciptanya citra positif dan nama baik rumah sakit karena pasien yang puas tersebut akan memberitahukan kepuasannya kepada orang lain. Hal ini secara akumulatif akan menguntungkan rumah sakit karena merupakan pemasaran secara tidak langsung, dan berbagai pihak yang berkepentingan dengan rumah sakit, seperti perusahaan asuransi akan lebih menaruh kepercayaan pada rumah sakit yang mempunyai citra positif. Metode yang dikembangkan oleh Zeithalm, Parasuman, dan Berry (1990) banyak dipakai sebagai landasan konsep penelitian tentang kepuasan pasien di banyak tempat. Model ini menyebutkan bahwa pertanyaan mendasar yang cukup sensitif untuk mengukur pengalaman konsumen mendapatkan pelayanan tercakup dalam lima dimensi kualitas pelayanan, yaitu : reliability (kehandalan), yaitu kemampuan menampilkan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan akurat, responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan untuk membantu konsumen dan meningkatkan kecepatan pelayanan, assurance (jaminan kepastian), yaitu kompetensi yang dimiliki sehingga memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, resiko atau keraguan dan kepastian yang mencakup pengetahuan, perilaku dan sikap yang dapat dipercaya, emphaty (perhatian), yaitu sifat dan kemampuan untuk memberikan perhatian penuh kepada pasien, kemudahan melakukan kontak dan komunikasi yang baik, tangible (wujud nyata), yaitu penampilan fisik dari fasilitas, peralatan, sarana informasi atau komunikasi dan petugas atau pegawai( Zeithalm, Parasuman, dan Berry, 1990 dalam Suryawati,2004). Lima dimensi kualitas pelayanan tersebut dapat dijadikan alat oleh Rumah Sakit untuk meningkatkan kepuasan pasien. Untuk mengetahui faktorfaktor yang paling mempengaruhi tiap-tiap dimensi kepuasan pasien digunakan metode analisis faktor. Analisis faktor merupakan salah satu bagian dari analisis interdependensi. Analisis faktor digunakan untuk mereduksi jumlah variabel yang banyak menjadi variabel baru (faktor) yang jumlahnya lebih sedikit (Supranto, 2004). Jika pihak Rumah Sakit menggunakan metode ini untuk mengetahui tingkat kepuasan pasiennya, maka Rumah Sakit tidak

perlu lagi fokus atau memperhatikan pada banyak variabel karena sudah disarikan (extracted) dari banyak variabel menjadi beberapa faktor, sehingga pihak Rumah Sakit dapat lebih efisien dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan kepuasan pasien. Usaha pelayanan kesehatan dengan kegiatan pemasarannya tidak terhindar dari persaingan dan berhadapan dengan pesaing di bidang usaha yang mengandung urusan komersial, karena badan usaha pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat perlu topangan permodalan,

manajemen dan pengorganisasian yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang profesianal dalam kesehatan. Perubahan pandangan dan pola pengobatan paternalistik-karikatif cenderung menjadi transaksi terapeutik dan pengaruh dari pertumbuhan masyarakat sekunder yang bergaya

konsumerisme, maka perkembangan pengobatan terhadap sipenderita menjadi usaha pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh tenaga profesi kesehatan, maka penyelenggaran kemanusiaan. Menghadapi peluang dan tantangan pemeliharaan kesehatan dalam era globalisasi yang disertai makin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan suatu jawaban dengan memperhitungkan aspek kepentingan, aspek manfaat dan aspek dampak yang mungkin ditimbulkannya. Profesi kodokteran secara khusus menjadi salah satu bagian dari penyelenggara pemeliharaan harus ikut memperhitungkan ketiga aspek tersebut dalam pengendalian arus dari era globalisasi dan kemajuan iptek. Tugas profesi kedokteran yang demikian itu dalam arti perlu mengikuti arus akan tetapi tidak hanyut dalam putaran arus tanpa kendali. Dengan demikian tugas profesi kedokteran sebagai pelayan kesehatan dalam masyarakat harus mampu menghadapi persaingan untuk mengambil bagian dari peleliharaan kesehatan global dan memilih kemajuan iptek dibidang kedokteran tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai budaya dalam upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Namun tugas profesi kedokteran tersebut harus terkendali agar tidak terjadi bahaya, derita dan kesehatan masih terikat dengan kepentingan

kerugian karena hanyut dalam putaran arus globalisasi dan kemajuan iptek yang menjurus pada penyimpangan tugas keprofesiannya. Banyak cara yang dapat dipakai untuk sarana pengendalian potensi penyimpangan tugas profesi tergantung pada permasalahan yang timbul dari konflik yang tumbuh dan terjadinya ketidak-seimbangan antara aspek kepentingan, aspek manfaat dan aspek dampak yang menyertainya. Salah satu cara pengendalian tersebut diantaranya adalah sudut pandang tatanan sosial dan berupa kaidah hukum yang tumbuh dan berkembang secara dinamis. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum telah tumbuh dari pola pikir konservatif tentang hukum berubah kearah pola pikir yang dinamik tentang hukum untuk menyesuaikan dengan kemajuan zaman yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai ilmu pengetahuan terutama kemajuan ilmu-lmu sosial dan humaniora. Pengaruh kemajuan ilmu-ilmu sosial dan humaniora terhadap hukum semakin besar, dan dalam kepustakaan ilmu hukum dinyatakan sebagai hubungan antar hukum dengan social behavioral sciences yang menghasilkan pola pikir tentang sistem hukum terbuka. Melalui sistem hukum terbuka inilah telah terjadi banyak perubahan tentang hukum secara terus menerus (law reform) untuk menghadapi berbagai perubahan kehidupan masyarakat berserta perubahan akan kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan hukum telah bergeser dari dalil-dalil hukum yang bersifat relatif statis dinamis dalam arti kehidupan kehidupan hukum secara anatomik mempunyai fungsi kontrol namun disamping itu baik dalam doktrin maupun dalam perundang-undangan selalu dikejar oleh kejadian yang tumbuh ditengah masyarakat yang mengandung potensi dinamis. Perkembangan dinamika hukum kesehatan di Indonesia yang demikian itu dapat mendorong pertumbuhan law sciences tree bahwa untuk kepentingan pengembangan profesi kedokteran diberikan tempat bagi satu cabang ilmu hukum kedokteran yang kemudian diperluas menjadi cabang hukum kesehatan. Sejak akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 pertumbuhan hukum kedokteran (medical law) dan hukum kesehatan (health law) dengan adanya dua pemahaman tersebut ada cenderung para pakar

maupun ahli hukum dan profesional menganggap bahwa hukum kesehatan adalah merupakan hukum kedokteran akan tetapi dapat dilihat bahwa hukum kesehatan ini menyangkut dengan pelaksanaan hukum kesehatan secara umum dimana subyek hukum nya adalah rumah sakit, pasien dan tenaga-tenaga kesehatan yang bekerja pada instansi pelayanan kesehatan tersebut sedangkan hukum kedokteran (medical law) lebih cenderung pada praktek secara profesional dari para tenaga-tenaga kesehatan diantaranya adalah dokter, tenaga perawat kebidanan dll. Atas dasar pengembangan konsepsional tentang hukum kesehatan dan hukum kedokteran yang bersifat khusus, maka status sebagai hukum komplementer untuk menyempurnakan kaidah hukum umum dan bukan hukum suplementer sekedar pelengkap terhadap hukum umum. Hukum kesehatan dan hukum kedokteran sebagian kaidahnya mempunyai

penyimpangan dari kaidah hukum umum, terutama dalam menentukan kesalahan profesi jika terjadi malpraktek profesi kedokteran mengandung kualifikasi tertentu. Dengan demikian perkembangan hukum kesehatan dalam era globalisasi sangat dibutuhkan dan dapat membantu upaya pelayanan kesehatan di Indonesia.

C. FAKTOR-FAKTOR PERSAINGAN GLOBALISASI Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan negara dan bangsa. SDM yang diharapkan adalah SDM mampu bersaing dalam percaturan global dalam kualitas dan ketrampilan standar dunia kerja. Demikian pula SDM bidang kesehatan, diharapkan dapat berperan besar dalam pembangunan kesehatan dan mengangkat harkat dan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDM Kes) merupakan faktor penting dalam pemberian pelayanan kesehatan yang bermutu. Oleh karena itu, pengembangan SDM Kesehatan merupakan faktor kunci dalam pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dan peningkatan status kesehatan masyarakat.

Berdasarkan World Health Organization (WHO), SDM kesehatan adalah semua orang yang kegiatan pokoknya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan. Mereka terdiri dari orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan seperti dokter, perawat, apoteker, teknisi laboratorium,manajemen serta tenaga pendukung seperti bagian keuangan, sopir dan lain sebagainya. Secara kasar, WHO memperkirakan terdapat 59.8 juta tenaga kesehatan di dunia dan dari jumlah tersebut diperkirakan dua pertiga (39.5 juta) dari jumlah keseluruhan tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan dan sepertiganya (19.8 juta) merupaakan tenaga pendukung dan managemen (WHO 2006). Di zaman yang semakin maju seperti sekarang ini maka cara pandang kita terhadap kesehatan juga mengalami perubahan. Dahulu kita

mempergunakan paradigma sakit yakni kesehatan hanya dipandang sebagai upaya menyembuhkan orang yang sakit dimana terjalin hubungan dokter dengan pasien (dokter dan pasien). Namun sekarang konsep yang dipakai adalah paradigma sehat, dimana upaya kesehatan dipandang sebagai suatu tindakan untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan individu ataupun masyarakat (SKM dan masyarakat). Dengan demikian konsep paradigma sehat H.L. Blum memandang pola hidup sehat seseorang secara holistik dan komprehensif. Peranan Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam hal ini memegang kendali dominan dibandingkan peranan dokter. Sebab hubungan dokter dengan pasien hanya sebatas individu dengan individu tidak secara langsung menyentuh masyarakat luas. Ditambah lagi kompetensi dalam memanagement program lebih dikuasai lulusan SKM sehingga dalam perkembangannya SKM menjadi ujung tombak program kesehatan di negaranegara maju. Untuk negara berkembang seperti Indonesia justru, paradigma sakit yang digunakan. Dimana kebijakan pemerintah berorientasi pada penyembuhan pasien sehingga terlihat jelas peranan dokter, perawat dan bidan sebagai tenaga medis dan paramedis mendominasi. Padahal upaya semacam itu sudah lama ditinggalkan karena secara financial justru merugikan Negara. Anggaran APBN untuk pendanaan kesehatan di Indonesia semakin tinggi dan sebagian

besar digunakan untuk upaya pengobatan seperti pembelian obat, sarana kesehatan dan pembangunan gedung. Seharusnya untuk meningkatan derajat kesehatan kita harus menaruh perhatian besar pada akar masalahnya dan selanjutnya melakukan upaya pencegahannya. Untuk itulah maka upaya kesehatan harus fokus pada upaya preventif (pencegahan) bukannya curative (pengobatan).Namun yang terjadi anggaran untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui program promosi dan preventif dikurangi secara signifikan. Akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya masyarakat yang kekurangan gizi, biaya obat untuk puskesmas meningkat, pencemaran lingkungan tidak terkendali dan korupsi penggunaan askeskin. Dampak sampingan yang terjadi tersebut dapat timbul karena kebijakan kita yang keliru. Seperti yang kita ketahui bahwa semua negara di dunia menggunakan konsep Blum dalam menjaga kesehatan warga negaranya. Untuk Negara maju saat ini sudah fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sehingga asupan makanan anak-anak mereka begitu dijaga dari segi gizi sehingga akan melahirkan keturunan yang berbobot. Kondisi yang berseberangan dialami Indonesiasebagai Negara agraris, segala regulasi pemerintah tentang kesehatan malah fokus pada penanggulangan kekurangan gizi masyarakatnya. Bahkan dilematisnya banyak masyarakat kota yang mengalami kekurangan gizi. Padahal dari hasil penelitian membuktikan wilayah Indonesia potensial sebagai lahan pangan dan perternakan karena wilayahnya yang luas dengan topografi yang mendukung.Ada apa dengan pemerintah?. Satu jawaban yang pasti seringkali dalam analisis kesehatan pemerintah kurang mempertimbangkan pendapat ahli kesehatan masyarakat (public health) sehingga kebijakan yang dibuat cuma dari sudut pandang kejadian sehat-sakit. Hal inilah yang menyebabkan dalam pasar tenaga kerja di dalam negeri, SDM bidang kesehatan masih belum mencukupi dalam upaya pelayanan kesehatan pada seluruh pelosok negeri. SDM bidang kesehatan seperti dokter, bidan dan perawat relatif sudah menyebar, namun SDM tenaga kesehatan seperti epidemiolog, nutrisionist dan tenaga profesi kesehatan masyarakat lainnya belum terdistribusi secara memadai. Bila tenaga kesehatan seperti

dokter, bidan dan perawat berfungsi dalam pelayanan kesehatan bersifat kuratif, maka SDM tenaga profesi kesehatan masyarakat bersifat promotifpreventif. Problem SDM Kesehatan di Indonesia saat ini adalah jumlah yang tidak memadai dan distribusi yang tidak merata. Hal ini berdampak terhadap kualitas dan aksesbilitas layanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Kebutuhan mendesak tenaga kesehatan terutama sangat dirasakan oleh daerah terpencil dan tertinggal yang jauh dari pusat kota. Guna meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan, pemerintah dituntut untuk menyediakan tenaga kesehatan, terutama di daerah terpencil, tertinggal dan wilayah perbatasan (dacilgaltas). Dari 364 puskesmas di daerah dacilgaltas yang tersebar di 64 kabupaten pada 17 provinsi, ada 184 buah puskemas (51 persen) belum memiliki tenaga kesehatan (dokter). Didaerah terpencil, layanan kesehatan kerap dirangkap oleh perawat dan bidan desa untuk tugas medis yang seyogyanya dilakukan oleh seorang dokter, seperti pemberian obat-obatan kepada pasien. Data Departemen Kesehatan (Depkes) 2006, jumlah tenaga medis (dokter spesialis, umum dan gigi) tercatat 68.227 orang, bidan 79.152 orang dan perawat 316.306 orang. Target hingga tahun 2010 jumlah kebutuhan SDM tenaga dokter adalah 117.969 orang, bidan 176.954 orang, tenaga keperawatan 587.487 orang, tenaga kesehatan masyarakat 42.649 orang, dan tenaga gizi 42.469 orang. Tenaga kerja perawat adalah salah satu SDM Indonesia yang mulai mampu bersaing di pasar tenaga kerja global. Media di Jepang pada hari Jumat 25 Maret 2011 sebagaimana dilaporkan Tori Minamiyana, pewarta warga Kompasiana memberitakan bahwa Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mengumumkan kelulusan 15 orang perawat asal Indonesia yang telah sukses menempuh Ujian Nasional Keperawatan Jepang yang diselenggarakan pada pada tanggal 20 Februari 2011 yang lalu dan diikuti oleh 250 perawat Indonesia yang bekerja di Jepang dalam kerangka perjanjian ekonomi Indonesia - Jepang (IJEPA), baik dari Gelombang I dan II. Pada ujian keperawatan tahun 2010 lalu, hanya 2 perawat asal Indonesia yang lulus ujian. Mereka adalah peserta program kerjasama

Indonesia - Jepang, dalam rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA). Program ini didasari kepentingan kedua Negara, yaitu dari pihak Jepang memang kekurangan tenaga perawat dan pengasuh lanjut usia karena menurunnya populasi dan semakin banyaknya para lansia, sedangkan dari pihak Indonesia karena tersedianya banyak tenaga kerja yang bisa memenuhi kebutuhan itu dan perlunya memberi pengalaman para perawat Indonesia meningkatkan kemampuannya di negara matahari terbit tersebut. Salah satu program kesehatan dunia yang saat ini telah menjadi topic global bahkan telah banyak diterapkan pada Negara-negara maju yaitu ehealth yakni sebuah sistem yang mengintegrasikan database kesehatan seseorang dalam sebuah kartu, dan dengan kartu ini diharapkan pasien akan semakin mudah dan cepat dalam mendapatkan akses layanan kesehatan. Rencananya sistem layanan e-Health tersebut akan dimulai tahun 2016, pada saat sistem e-KTP generasi pertama selesai.. Penerapan e-health sendiri ditandai dengan SDM kesehatan yang memiliki nilai kompetitif. Namun, untuk yang satu ini, Indonesia memang agak ketinggalan dengan negara lain, sistem layanan digitalisasi data riwayat kesehatan pasien, e-Health memang belum bisa diterapkan dalam waktu dekat. Hal itu disebabkan sumber daya manusia (SDM) industri kesehatan yang ada belum menguasai teknologi secara keseluruhan. Beberapa yang harus dikuasai sebelum e-Health ini diterapkan adalah masalah informasi dan teknologi (IT). Hingga saat ini tidak semua rumah sakit hingga puskesmas memiliki infrastruktur IT memadai. Padahal, untuk menerapkan sistem layanan e-Health tersebut dibutuhkan infrastruktur IT yang cukup, koneksi dan integrasi antara pihak rumah sakit hingga masalah kecepatan akses bandwidth internet. Sebenarnya buta IT ini juga tidak dialami oleh pihak rumah sakit saja. Para dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut juga harus menguasai IT.

D. KONSEP PHC (PRIMARY HEALTH CARE) PHC merupakan hasil pengkajian, pemikiran dan pengalaman dalam pembangunan kesehatan di banyak negara yang di awali dengan kampanye masal pada tahun 1950-an dalam pemberantasan penyakit menular. Pada tahun

1960 teknologi kuratif dan preventif mengalami kemajuan. Oleh karena itu, timbullah pemikiran untuk mengembangkan konsep upaya dasar kesehatan. Tahun 1977 pada sidang kesehatan dunia dicetuskan kesepakatan untuk melahirkan Health for Allby the Year 2000, yang sasaran utamanya dalam bidang sosial pada tahun 2000 adalah tercapainya derajat kesehatan yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial maupun ekonomi. 1. Definisi PHC PHC adalah pelayanan kesehatan pokok berdasarkan kepada metode dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum, baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat melalui partisipasi mereka sepenuhnya serta biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri (self reliance) dan menentukan nasib sendiri (self determination). 2. Tujuan PHC 1) Tujuan umum Mencoba menemukan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang diselenggarakan, sehingga akan tercapai tingkat kepuasan pada masyarakat yang menerima pelayanan. 2) Tujuan khusus a. Pelayanan harus mencapai keseluruhan penduduk yang dilayani. b. Pelayanan harus dapat diterima oleh penduduk yang dilayani. c. Pelayanan harus berdasarkan kebutuhan medis dari populasi yang dilayani d. Pelayanan harus maksimal, menggunakan tenaga dan sumber daya lain dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. 3. Fungsi PHC PHC hendaknya memenuhi fungsi-fungsi sebagai berikut: 1) Pemeliharaan kesehatan; 2) pencegahan penyakit ; 3) diagnosis dan pengobatan ; 3) pelayanan tindak lanjut; 5) pemberian sertifikat. 4. Tiga Unsur Utama PHC 1) Mencangkup upaya-upaya dasar kesehatan.

2) Melibatkan peran serta masyarakat. 3) Melibatkan kerja sama lintas sektoral. 5. Elemen PHC Dalam pelaksanaan PHC paling sedikit harus memiliki delapan elemen, sebagai berikut. 1) Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan penyakit serta pengendaliannya. 2) Peningkatan penyediaan makanan dan perbaikan gizi. 3) Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar. 4) Kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana. 5) Imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi utama. 6) Pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat. 7) Pengobatan penyakit umum dan ruda paksa. 8) Penyediaan obat-obat esensial. 6. Ciri-ciri PHC Berikut ini adalah ciri-ciri PHC: 1) Pelayanan yang utama dan intim dengan masyarakat. 2) Pelayanan yang menyeluruh. 3) Pelayanan yang terorganisasi. 4) Pelayanan yang mementingkan kesehatan individu maupun mayarakat. 5) Pelayanan yang berkesinambungan. 6) Pelayanan yang progesif. 7) Pelayanan berorientasi kepada keluarga. 8) Pelayanan tidak berpandangan kepada salah satu aspek saja. 7. Tanggung Jawab Perawat Dalam PHC Tanggung jawab perawat dalam PHC lebih dititikberatkan kepada hal-hal berikut ini. 1) Mendorong partisipasi aktif masyarakat. 2) Bekerja sama dengan mayarakat, keluarga, dan individu. 3) Mengajarkan konsep kesehatan dasar dan teknik asuhan diri sendiri pada masyarakat.

4) Memberikan bimbingan dan dukungan kepada petugas pelayanan kesehatan dan kepada masyarakat. 5) Koordinasi kegiatan pengembangan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Mubarak, Wahit Iqbal. Nurul Chayatin. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika Trisnantoro L, Sastrowijoto S, Ferry D. 2008. Kajian terhadap insfrastruktur pendukung FK dan RS Pendidikan: Implikasinya terhadap kebijakan pendanaan. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM.

Anda mungkin juga menyukai