Anda di halaman 1dari 3

Saya gak mau selingkuhin fitri…

(memasalahkan moralitas sosial Iedul Fitri)


Oleh : Roni Basa

Sadang Serang-Bandung, 18 Ramadhan 1430 H

Bil, kali ini aku akan sampaikan kepadamu, betapa seringkali perilaku terhadap kehidupan
memuat perihal-perihal agung berdasarkan –apa yang disebut- moralitas. Aku bisa
menyatakan kamu tidak bermoral sebab kamu –misalnya- tidak berpuasa saat bulan
ramadhan. Berdasarkan agama yang kamu anut dan yakini, berdasarkan agama yang sama
yang aku anut serta yakini, tidak berpuasa merupakan pelanggaran ‘kode moral’. Dalam
keterbatasan pemahamanku tentang puasa ini, terlepas dari doktrin agama (there is nothing
intrinsically irrational about this intuitionist doctrine), bukankah puasa mengarah kepada
perilaku trandensial dalam sosialitas?, maksudku, bukankah puasa diberlakukan agar
kamu dan aku mampu merasakan hal yang sama yang dirasakan orang lain yang memiliki
keterbatasan memenuhi kebutuhan konsumsi dan komponen hidup sehari-hari lainnya?.

Tidak puasa, menunjuk orang yang tidak berpuasa tidak memiliki moralitas sosial kepada
orang lain yang memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kehidupan. Tidak berpuasa
adalah tidak memiliki moral sosialitas.

Seperti biasanya Bil, saat aku sampaikan pemahamanku tentang sesuatu, maka kamu akan
berupaya untuk menjadi oposit atasnya. Dan kamu akan tanyakan “bagaimana dengan
yang memiliki kemampuan materil untuk berpuasa lalu tidak berpuasa sebab kehilangan
kemampuan maksimal fisiknya?”, udzur dan atau dalam perjalanan misalnya. Tidak
semerta ia tidak memiliki moral sosial dalam trandensialnya puasa. Agama yang dianutnya
tidak melepaskan kewajibannya, ia akan melakukan puasa, menggantikan dikemudian hari
karena keterbatasan maksimal fisik. Ia tetap memiliki tanggung jawab moral untuk
berpuasa.

Jadi ini tentang sosialitas Bil, tempat dimana moralitas itu bersemayam. Agama terlalu
agung untuk kamu jadikan alasan berpuasa. Agama hanya menuntutmu agar lebih
memiliki moral dalam sosialitas. Atas itu semua, Tuhan memposisikan puasa sebagai
bentuk penghambaan yang hanya Tuhan mempunyai hak menilainya. Kamu tidak bisa
sombong sebab kamu telah melakukan puasa; manifestasi praktis pen-hambaanmu kepada
Tuhan. Hilangkan segera sangkaan jika puasa dianggap kebutuhan Tuhan untuk selalu
disembah olehmu.

Bil, kamu memiliki kemampuan beralasan kondisi fisikmu tidak cukup layak menunaikan
puasa, dengan itu terbukalah peluang sah untuk tidak berpuasa. Bersiap sajalah,
imanenilitas agama akan menyebutmu hamba yang telah mengingkari perintah Tuhan
karenanya. Tuhan, dengan tidak berpuasanya kamu, telah kamu sangka dapat di-ingkari
penglihatanNya. Tuhan Maha Melihat, kamu tahu itu.

Sekali lagi Bil, Tuhan tidak membutuhkan puasamu. Sebaliknya, Tuhan mengajakmu
memasalahkan moral sosilitasmu dalam kehidupan, tempat dimana berada dan bertemu
dengan yang berpuasa setiap harinya sebab keterbatasan materil dalam hidup.

http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com cakra bagaskara manjer kawuryan


Dengan demikian, berdasarkan pendekatan moral sosial, puasamu tidak bernilai jika tidak
mampu membuatmu lebih bermoral. Pada akhirnya bukan jaminan, puasa akan
mengarahkanmu kepada kesucian (fitri) yang Tuhan janjikan setelahnya, sebab, -sekali
lagi- Tuhan tidak membutuhkan puasamu sebagai bentuk pen-hambaan kepadaNya. Ingat,
Tuhan akan menilai sendiri puasamu, penilaian tanpa intervensi siapapun, dan jangan
tersinggung jika kelak Tuhan akan menilainya sebatas ketahanan fisikmu menahan haus
dan lapar saja.

Being a live is benefit only if it enables you to carry on activities and have thoughts,
feelings and relations with other people, in another words, if it enables you to have a life.
Tanpa membangun moral sosial jauh lebih baik saat dan setelah bulan ramadhan, puasamu
hanya kamu tunaikan sebab imanenialitas puasa saja. Kamu akan tetap berada dalam
lingkaran ritual agama tanpa memenuhi nilainya dalam kehidupan sosial.

***

Mengenai selingkuh yang kali ini aku sampaikan jelas akan mengecewakanmu Bil. Tapi
baiklah, agar permasalahan ini tidak terlalu mengecewakan harapanmu, analoginya akan
dilakukan dengan pendekatan yang sesuai harapanmu. Hanya sekedar pendekatan, bukan
berati itu yang akan aku sampaikan.

Selingkuh mungkin saja baik menurutku dan tidak baik menurutmu atau untuk orang lain.
Selingkuh dalam kasus yang lebih spesifik, dan ini aku kira sesuai dengan harapanmu,
adalah selingkuh terhadap pasanganmu. Selingkuh terhadap komitmen yang telah aku
sepakati dengan pasanganku misalnya, akan baik menurutku dan tidak baik menurutmu
atau untuk orang lain.

On the other case, if someone says “I like cofee”, he does not need to have a reason- he is
merely stating a fact about him self, and nothing more. There is no such things as
“rationality defending” one’s like or dislike of cofee, and so there is no arguing about it.
So long as he is accurately reporting his states, what he says must be true. Moreover, there
is no implication that anyone else should feel the same way; if everyone else in the world
hates coffee, it doesn't matter.

On the other hand, if someone says that something is morally wrong, he does need
reasons, and if his reasons are sound, other people must acknowledge their force. By the
same logic, if he has no good reason for what he says, he is just making noise and we need
pay him no attention.

Sayangnya Bil, aku memang tidak menyukai selingkuh, apapun sikapmu tentang isu
selingkuh adalah benar menurutmu dan aku menghormatinya. Sayangnya juga Bil,
selingkuh yang ingin aku sampaikan ialah perilaku selingkuh terhadap kesucian;
kembalinya kefitrian seseorang setelah ia menunaikan puasa.

Aku telah sampaikan sebelumnya, moral sosialitas yang puasa inginkan dari pelakunya
menjanjikan kepastian penuh kepada jalan fitri. Janji pasti yang menggoda bagi setiap
pelaku puasa. Dan perilaku selingkuh dalam kasus ini menunjuk pada nilai trandensial
puasa, manifestasinya dalam kehidupan sosial, konsistensi keberlanjutan setelahnya.

http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com cakra bagaskara manjer kawuryan


Aku dan kamu boleh tidak menyepakati apapun bentuk selingkuh. Aku dan kamu saat ini
memastikan diri menuju jalan fitri yang Tuhan janjikan di penghujung ramadhan.
Kesucian yang persamaan linearnya sama dengan terlahir kembali ke dunia, kelahiran baru
diri kita masing-masing yang juga diberkahi kemenangan. Jika kesucian dari kelahiran,
dan kemenangan yang memberkahi kelahiran itu tidak mampu untuk dimanifestasikan
lebih lanjut dalam kehidupan sosial, bukankah itu perilaku selingkuh?.

Bil, moral adalah permasalahan yang relativ, namun sosialitas ialah hal yang dapat
terindera dalam kehidupan. Morality differs in every society, and is a convenient term for
socially approved habits. Sociallity is more real in circumstances, its about the action of
believe. It seem to be the key to manifasting in acts.

Dan saya gak mau selingkuhin fitri...

http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com cakra bagaskara manjer kawuryan

Anda mungkin juga menyukai