Anda di halaman 1dari 0

BAB VI

PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan pembahasan hasil penelitian, ada beberapa keterbatasan
yang akan dikemukakan dalam penelitian ini dan akan diuraikan pembahasan hasil
penelitian mulai dari analisisi univariat dan analisis bivariat.
A. Keterbatasan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain
cross sectional yang meneliti variable dependen dengan variable independent pada
waktu yang sama sehingga tidak bisa memberikan penjelasan tentang adanya
hubungan waktu sebab mendahului akibat, tetapi yang didapat hanya menunjukan
adanya hubungan antar kedua variable
2. Instrument Penelitian
Pengumpulan data penelitian dengan menggunakan instrumen kuesioner
yang diisi sendiri oleh responden. Alasan memilih instrumen ini karena dapat
diperoleh data yang banyak dalam waktu yang cepat dan juga responden tidak
merasa terpaksa dan menjawab lebih terbuka. Adapun kelemahan dengan
menggunakan angket (kuesioner) ini yaitu adanya kemungkinan responden tidak
mengerti maksud pertanyaan dengan jelas dan responden tidak jujur dalam
menjawab pertanyaan. Kekurangan ini dapat diminimalisasi dengan memberikan
penjelasan mengenai pertanyan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner sebelum
responden mengisinya.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Pembahasan hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk analisis univariat
yang meliputi: karakteristik (umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan), pendidikan
kesehatan, pengetahuan dan perilaku pencegahan ISPA.
Dilanjutkan dengan analisis bivariat untuk melihat hubungan karakteristik
dengan perilaku pencegahan ISPA, hubungan pendidikan kesehatan dengan perilaku
pencegahan ISPA dan hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan ISPA.
0 Analisis Univariat
a) Karakteristik responden
1) Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan dalam bab sebelumnya,
terlihat bahwa sebesar 55 responden (48,7%) berumur dibawah 32 tahun dan
responden yang berumur lebih dari atau sama dengan 32 tahun sebesar 58
responden (51,3%).
Sesuai dengan standar WHO pada buku Soekidjo Notoatmodjo (2003),
pembagian umur pada suatu penelitian dapat dibagi berdasarkan tingkat
kedewasaan yaitu antara usia 15 tahun sampai 49 tahun, dimana berada pada
tahap dewasa, dengan kata lain batas antara usia dewasa muda dengan
dewasa tua yaitu sekitar 32 tahun
Menurut Bondan palestin (2006), bahwa pembagian umur responden
pada suatu penelitian dapat menggunakan Umur Median (Median age) yaitu
umur yang membagi penduduk menjadi dua bagian dengan jumlah yang
sama, bagian pertama lebih muda dan bagian kedua lebih tua daripada umur
median. Guna umur median adalah untuk mengukur tingkat pemusatan
penduduk pada kelompok-kelompok umur tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian ini, distribusi umur yang diperoleh yaitu
usia ibu termuda adalah 20 tahun dan usia tertua adalah 43 tahun, sesuai
dengan teori diatas pembagian umur pada penelitian ini didasarkan pada
standar WHO yaitu membagi umur menurut tingkat kedewasaan dan hasilnya
yaitu mengelompokkan umur responden dengan batas umur 32 tahun, dimana
usia dibawah 32 tahun berada pada tahap dewasa muda dan usia 32 tahun
atau lebih berada pada tahap dewasa tua (Soekidjo Notoatmodjo, 2003).
Selain itu, dengan menggunakan Umur Median (Median age) didapatkan
umur 32 sebagai nilai tengah, dengan kata lain hasil pembagian
menggunakan umur median sama dengan hasil pembagian berdasarkan
tingkat kedewasaan menurut standar WHO.
Semakin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan
mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya
proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan
tahun. Menurut penelitian Craik (1997), daya ingat menurun pada masa
dewasa, hal ini berarti daya ingat seseorang salah satunya dipengaruhi oleh
umur.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa bertambahnya umur
seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang
diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut
kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang
Penelitian ini didukung oleh penelitian lain sebelumya yang
dikemukakan oleh Siti Nur Ayu (1997), pada ibu-ibu yang mempunyai bayi
dan balita menunjukan distribusi umur responden yaitu antara umur 15-49
tahun. Berdasarkan situasi angka kesakitan pneumonia menurut golongan
umur, maka terlihat bahwa angka kesakitan pada usia 15-35 tahun adalah
36,94%, sedangkan pada kelompok umur 36-49 tahun sebanyak 40,52%.
Dengan kata lain, kesakitan pneumonia lebih banyak terjadi pada kelompok
umur yang lebih tua yang mungkin disebabkan karena menurunnya
kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan.
2) Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa tingkat pendidikan formal
responden dikelompokkan menjadi 2, yaitu: SD dan SMP digolongkan
pendidikan dasar sebanyak 42 responden (37, 2%), SMA dan PT/akademi
digolongkan pendidikan menengah atas sebanyak 71 responden (62, 8%)
Menurut UU no 20 tahun 2003 menyebutkan tentang penggolongan
tingkat pendidikan yaitu:
(a)Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD)
dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta
sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat.
(b) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah
atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah Menengah kejuruan (SMK),
dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(http://murniramli.wordpress.com/2008/06/23/pendidikan-dasar-dan-
pendidikan-menengah/)
Berdasarkan undang-undang diatas, disimpulkan tingkat pendidikan
orangtua dapat dikategorikan menjadi pendidikan dasar dan pendidikan
menengah ke atas. Menurut Liliweri (2007), bahwa cakupan pengetahuan
atas keluasan wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan.
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan
pengertian mengenai suatu informasi. Sejalan dengan itu, menurut Wied
Hary A.(1996), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi
pendidikan seseorang makin semakin baik pula pengetahuanya.
Menurut Notoatmodjo (2003), pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan
tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri.
Dari teori diatas dapat diketahui bahwa semakin tinggi pendidikan
seseorang atau suatu masyarakat, maka akan semakin mudah dalam
menyerap dan memahami pesan kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit
ISPA. Pada penelitian ini sebanyak 62,8% responden berpendidikan
menengah atas, dari data tersebut ada suatu kemungkinan bahwa sebagian
besar responden akan lebih mudah menerima dan memahami pesan
kesehatan yang diterimanya saat mengikuti pendidikan kesehatan sehingga
kemngkinan untuk berperilaku lebih baik dalam hal pencegahan penyakit
ISPA sangat besar. Akan tetapi sebanyak 37,2% responden masih
berpendidikan rendah, hal ini kemungkinan disebabkan oleh factor social
ekonomi sehingga banyak masyarakat yang mengalami kendala untuk
melanjutkan sekolahnya.
Data Susenas, BPS 2003, menunjukkan bahwa pendidikan rata-rata
penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan bahwa 61% penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya
berpendidikan SD ke bawah dan 22% diantaranya bahkan tidak pernah lusus
SD atau tidak sekolah sama sekali. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyaknya hambatan yang dialami, maka hingga saat ini tingkat pendidikan
bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Beberapa faktor penyebab
rendahnya tingkat pendidikan penduduk Indonesia antara lain: pendapatan
perkapita penduduk rendah, sehingga orang tua atau penduduk tidak mampu
atau berhenti sekolah sebelum tamat; ketidakseimbangan antara jumla murid
dengan sarana pendidikan yang ada seperti jumlah kelas, guru dan buku-buku
pelajaran; dan masih rendahnya kesadaran penduduk terhadap pentingnya
pendidikan.
Dari berbagai faktor diatas, dapat ditarik kesimpulan mengapa tingkat
pendidikan orangtua masih rendah, walaupun dari hasil penelitian ini sudah
sebagian besar tergolong pendidikannya menengah keatas, tetapi tidak
dipungkiri masih ada yang berpendidikan rendah (kategori pendidikan dasar)
sebanyak 37,2%
3) Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa ibu-ibu yang tidak
bekerja atau menjadi ibu rumah tangga sebanyak 79 responden (69,9%) dan
ibu-ibu yang bekerja sebagai PNS, wiraswasta atau pegawai swasta sebanyak
34 responden (30,1%).
Menurut Muhammad Ali (2003), Ibu bekerja adalah ibu ibu yang
melakukan aktifitas ekonomi mencari penghasilan baik di sektor formal
maupun informal, yang dilakukan secara reguler di luar rumah. Sedangkan
ibu tidak bekerja adalah ibu ibu yang tidak melakukan pekerjaan mencari
penghasilan dan hanya menjalankan fungsi sebagai ibu rumah tangga saja.
Pekerjaan merupakan sesuatu hal yang dikerjakan untuk mendapatkan
imbalan atau jasa. Berdasarkan konsep diatas, pekerjaan dalam penelitian ini
digolongkan menjadi dua yaitu responden yang bekerja di rumah seperti IRT
dalam penelitian ini dikelompokkan dalam kelompok yang tidak bekerja dan
responden yang bekerja seperti sebagai PNS, pegawai swasta dan
wiraswasta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar ibu-ibu di
RW 06 kelurahan Krukut kecamatan Limo kota Depok tidak bekerja, hal ini
disebabkan karena sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga yaitu
sebanyak 79 responden (69,9%).
Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh
Yulita Riza, yang membagi pekerjaan ibu menjadi dua yaitu ibu bekerja dan
ibu tidak bekerja. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar ibu
di kabupaten Bekasi tidak bekerja yaitu sebanyak 93,5%, dan jumlah ibu
yang bekerja yaitu 6,7%.
Pada dasarnya, ibu- ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih
banyak untuk mengurus anak dan merawat bila anak sakit. Selain itu, ibu
yang tidak bekerja memungkinkan untuk berperilaku lebih baik dalam hal
pencegahan penyakit ISPA dengan cara menjaga kebersihan dan kesehatan
lingkugan rumah karena kegiatan bersih-bersih rumah dapat dilakukan setiap
hari tanpa ada kendala karena harus bekerja ke luar rumah.
Menurut teori hierarkhi Maslow, bahwa manusia bekerja dimotivasi oleh
kebutuhan yang sesuai dengan waktu, keadaan serta pengalamannya. Tenaga
kerja termotivasi oleh kebutuhan yang belum terpenuhi dimana tingkat
kebutuhan yang lebih tinggi muncul setelah tingkatan sebelumnya. Masing-
masing tingkatan kebutuhan tersebut, tidak lain: kebutuhan fisiologis, rasa
aman, sosial, penghargaan, perwujudan diri. Dari fisiologis bergerak ke
tingkat kebutuhan tertinggi, yaitu, perwujudan diri secara bertahap.
Berdasarkan teori tersebut, seorang ibu yang bekerja termotivasi oleh
kebutuhan yang lebih tinggi yang dapat memberikan kepuasan tersendiri.
Jika dilihat dari konsep keluarga, sebenarnya tugas pokok seorang ibu adalah
mengurus rumah dan tugas ayah adalah mencari nafkah, pilihan ibu untuk
bekerja merupakan suatu cara untuk meringankan tugas suami tetapi ibu juga
harus tetap ingat dengan tugas pokoknya agar kesehatan keluarga dapat
terjaga dan tidak mengurangi perhatian terhadap anak dan keluarga.
Suatu fakta mengenai ibu yang bekerja yaitu Brenda Barnes, pemimpin
Pepsi Co North Amerika yang mengguncang konsep ibu bekerja ketika
dengan ringan berhenti dari pekerjaannya. Tahun 1997, setelah 9 tahun
berkarier di Pepsi, Brenda memutuskan berhenti. Ia lalu memusatkan
perhatiannya kepda keluarga. Sikap ini sungguh mengejutkan. Karena
seorang CEO yang memiliki gaji jutaan dolar saja tidak sungkan-sungkan
kembali ke dapur,
b) Pendidikan Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 113 orang responden,
yang sudah mendapatkan pendidikan kesehatan dengan baik sebanyak 62
responden (54,9%) dan yang mendapatkan pendidikan kesehatan kurang baik
sebanyak 51 responden (45,1%). Hal ini cukup ironis mengingat hasil analisis
yang ditunjukkan bahwa sudah semua responden pernah mendapatkan
pendidikan kesehatan antara 1 sampai 12 bulan yang lalu yang sebagian besar
diberikan oleh petugas kesehatan dengan materi cara mencegah penyakit ISPA
dan respondenpun menjwab pendidikan kesehatan yang didapat sangat berguna
dalam upaya pencegahan penyakit khususnya penyakit ISPA.
Menurut steward dalam buku Nasrul effendi (1998), pendidikan kesehatan
merupakan unsur program kesehatan yang didalamnya terkandung rencana
untuk merubah perilaku perorangan dan masyarakat, dimana hasil yang
diharapkan dari pendidikan kesehatan adalah terjadinya perubahan sikap dan
perilaku dari individu, keluarga dan masyarakat untuk dapat menanamkan
prinsip-prinsip hidup sehat dalam kehidupan sehari-hariuntuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal (Nasrul effendi, 1998)
Menurut Asubel (1968), bahwa seseorang yang bertugas memberikan
pengajaran dalam proses pembelajaran harus memahami betul materi yang akan
diberikan, cara penyampaian materi dan mengenal karakteristik peserta didik.
Selain itu Gerlach & Elly (1971), menyatakan bahwa, keefektipan atau
keberhasilan dari pemberian pendidikan kesehatan tergantung kepada
komponen-komponen pembelajaran yang ada didalamnya seperti metode,
materi, media dan faktor sasaran pendidikan kesehatan itu sendiri. Pada
penelitian ini, untuk mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan yang sudah
didapatkan oleh masyarakat maka pendidikan kesehatan dikategorikan menjadi
dua yaitu pendidikan kesehatan baik dan pendidikan kesehatan kesehatan
kurang baik.
Yang dimaksud dengan pendidikan kesehatan baik apabila responden
menerima pendidikan kesehatan dengan baik yang mencakup seluruh komponen
dalam pendidikan kesehatan yaitu metode yang tepat, menggunakan media yang
tepat, penyampaian materi yang sesuai dengan karakteristik individu, dan materi
yang diberikan mudah dimengerti dan sesuai dengan masalah yang sedang
dihadapi masyarakat sehingga dapat bermanfaat untuk masyarakat. Sedangkan
yang dimaksud dengan pendidikan kesehatan kurang baik apabila saat
responden mendapatkan pendidikan kesehatan tidak mencakup seluruh
komponen dalam pendidikan kesehatan yaitu metode yang kurang tepat, media
pembelajaran yang kurang sesuai, penyampaian materi yang tidak sesuai dengan
karakteristik peserta penyuluhan, dan materi yang diberikan sulit dimengerti dan
tidak sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat sehingga
dirasakan tidak dapat bermanfaat untuk masyarakat. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hanya 54,9% responden yang mendapatkan pendidikan
kesehatan dengan baik. Dari data tersebut berarti masih banyak (45,1%)
responden belum mendapatkan pendidikan kesehatan dengan baik.
Salah satu penyebab masih banyaknya responden yang belum
mendapatkan pendidikan kesehatan dengan baik adalah karena kurang
efektifnya metode pembelajaran yang diterapkan dalam pemberian pendidikan
kesehatan, dimana hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 23,1% responden
mendapatkan pendidikan kesehatan hanya bersumber dari media massa,
padahal sebanyak 77% responden mengharapkan pendidikan kesehatan dapat
diberikan secara langsung melalui ceramah di masyarakat.
Menurut Sardiman A.M, menyatakan bahwa metode dalam proses
pendidikan kesehatan dijadikan sebagai bagian dari motivasi agar peserta didik
dengan cepat menerima informasi baru dari pendidik. Hal serupa juga
dinyatakan oleh Rostiyah N.K, yang menyatakan bahwa seorang pengajar harus
memiliki strategi pengajaran agar peserta didik bisa belajar dengan efektif dan
efisien, dimana metode pembelajaran adalah bagian dari strategi pengajaran
yang bisa digunakan pengajar saat berinteraksi dengan peserta didik (S.
Setiawati, 2008).
Selain metode pembelajaran, keefektifan pemberian pendidikan kesehatan
juga dipengaruhi oleh media pembelajaran. Menurut Fleming (1987),
menyatakan bahwa media merupakan bagian yang ikut andil dalam interaksi
antara peserta didik dan pengajar sehingga pesan yang disampaikan dapat
diterima. Heinich (1982), mengemukakan bahwa media adalah perantara yang
mengantar informasi antara sumber ke penerima. Teori tersebut diperkuat oleh
Gagne & Briggs (1975), yang menyatakan bahwa media pembelajaran meliputi
alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran.
Pada penelitian ini, tingginya angka responden yang belum mendapatkan
pendidikan kesehatan dengan baik juga disebabkan karena media pembelajaran
yang mungkin kurang efektif sehingga informasi kesehatan yang telah
disampaikan tidak dapat diterima secara menyeluruh melalui kognitif, afektif
dan psikomotor.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Puguh Heri Saputro (2006), yang menyatakan bahwa persentase proporsi
terbesar terkena gejala ISPA bukan pneumonia terjadi pada petugas kebersihan
yang belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang lingkungan bersih dan
rumah sehat yakni 79,3% dari 43 orang. Hal ini menunjukkan pendidikan
kesehatan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencegah penyakit
ISPA dimana orang yang sudah mendapatkan pendidikan kesehatan lebih
sedikit yang terkena penyakit ISPA.
c) Pengetahuan Tentang Penyakit ISPA
Berdasarkan hasil penelitian, responden yang mempunyai pengetahuan
baik yaitu berjumlah 60 responden (53,1%) dan responden yang mempunyai
pengetahuan kurang baik berjumlah 53 responden (46,9%). Hasil ini diluar
dugaan mengingat semua responden sudah pernah mendapatkan pendidikan
kesehatan antara 1 sampai 12 bulan yang lalu dan sebagian besar di berikan oleh
petugas kesehatan dengan materi cara mencegah penyakit ISPA. Meskipun
hampir semua responden sudah mengetahui pengertian ISPA tapi masih banyak
yang belum memahami upaya pencegahan ISPA dengan pemberian ASI sampai
usia 2 tahun, pemberian imunisasi lengkap dan pemberian makanan yang
bergizi pada balita.
Menurut Arikunto (1998), mengemukakan bahwa untuk mengetahui
secara kualitas tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dapat dibagi
menjadi empat tingkat yaitu:
(1) Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100 %
(2) Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75 %
(3) Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai 40-55 %
(4) Tingkat pengetahuan buruk bila skor atau nilai < 40 %
Terkait dengan teori diatas, maka pada penelitian ini pengetahuan
responden dikelompokkan menjadi dua yaitu pengetahuan baik apabila nilai
yang diperoleh lebih atau sama dengan median, sedangkan pengetahuan kurang
baik apabila nilai yang diperoleh kurang dari median. Dimana hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya 53% responden mempunyai pengetahuan baik,
dengan demikian berarti masih banyak (46,9%) responden yang belum
mempunyai pengetahuan yang baik tentang penyakit ISPA. Banyaknya
responden yang berpengetahuan kurang baik disebabkan karena tingkat
pendidikan yang masih rendah dan kurang optimalnya informasi yang didapat
melalui pendidikan kesehatan yang pernah diikuti.
Menurut Brunner (1975), bahwa Pengetahuan yang baik diperoleh dari
proses pembelajaran yang baik, dengan demikian penyebab tingginya angka
responden yang memiliki pengetahuan kurang baik salah satunya yaitu
kurangnya informasi yang bisa diterima responden saat mendapatkan
pendidikan kesehatan.
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu seperti saat mengikuti
pendidikan kesehatan. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan hasil penelitian ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. (Notoatmodjo, 2000):
Pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perilaku yang akan
diambilnya, karena dengan pengetahuan tersebut ia memiliki alasan dan
landasan untuk menentukan suatu pilihan. Kurangnya pengetahuan tentang
penyakit ISPA mengakibatkan lemahnya proses pencegahan penyakit ISPA dan
kurangnya deteksi dini akan komplikasi akibat penyakit ISPA (Muzahan, 1995).
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh mampuni hapsari (2008) yang berjudul analisis pengetahuan dan perilaku
warga sekitar TPA Bantar Gebang desa Keting udik terhadap gejala ISPA
ringan tahun 2008, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 19
orang yang memiliki pengetahuan kurang baik dan memiliki perilaku buruk,
sedangkan responden yang memiliki kualitas pengetahuan baik dan memiliki
dan perilaku kurang baik sebanyak 3 orang.
d) Perilaku Pencegahan Penyakit ISPA Pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 113 orang, 64 responden
(56,6%) yang berprilaku baik dalam mencegah penyakit ISPA pada balita
setelah mendapatkan pendidikan kesehatan sebanyak dan responden yang
berperilaku kurang baik dalam mencegah penyakit ISPA pada balita sebanyak
49 responden (43,4%).
Pada penelitian ini juga diidentifikasi perilaku responden sebelum
mendapatkan pendidikan kesehatan, dimana hasilnya menunjukkan bahwa
sebanyak 49,6% responden berperilaku kurang baik dan 50,4% responden sudah
berperilaku baik dalam mencegah penyakit ISPA.
Banyaknya responden yang berperilaku kurang baik setelah mendapatkan
pendidikan kesehatan sangat ironis mengingat semua responden sudah pernah
mendapatkan pendidikan kesehatan antara 1 sampai 12 bulan yang lalu dan
berbagai informasi tentang penyakit ISPA telah disampaikan sehingga sangat
mustahil apabila responden belum berperilaku baik dalam mencegah penyakit
ISPA.
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan
dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan
pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program
kesehatan yang lainnya
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sudah terjadi perubahan
perilaku pada responden yaitu bertambahnya responden yang berperilaku baik
sebesar 6,2% dalam mencegah penyakit ISPA. Terjadinya perubahan perilaku
merupakan tujuan utama dari pendidikan kesehatan, dengan demikian
pendidikan kesehatan yang didapatkan oleh responden sudah cukup efektif
meskipun perubahan perilaku sangat kecil.
Menurut Rogers (1974), bahwa individu akan melakukan perubahan
perilaku dengan mengadopsi perilaku dengan tahapan-tahapan antara lain ;
individu mulai menyadari adanya stimulus, individu mulai berpikir dan
mempertimbangkan, individu mulai mencoba perilaku baru, dan individu
menggunakan perilaku baru. Selain itu teori stimulus organisme menjelaskan
bahwa perubahan perilaku dihasilkan karena adanya rangsangan yang terus-
menerus pada individu dan peranan stimulus sampai menghasilkan perubahan
perilaku tidak secara singkat dan mudah.
Dengan bertambahnya responden yang berperilaku baik sebesar 6,2%
dalam mencegah penyakit ISPA, maka sudah sewajarnya pemberian pendidikan
kesehatan lebih ditingkatkan karena untuk mendapatkan perubahan perilaku
yang besar memerlukan waktu lama dan berkesinambungan. Hal ini sebetulnya
dapat dilaksanakan dan di motivasi oleh masyarakat sendiri melalui kader
kesehatan.
Lewrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni: faktor-faktor predisposisi
(predisposing factors), factorfaktor yang mendukung (enabling factors) dan
faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Oleh
sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus
diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Mampuni Hapsari (2008), yang menunjukan bahwa terdapat 19 0rang yang
memiliki pengetahuan kurang dan memiliki baik perilaku kurang baik,
sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan baik dan memiliki perilaku
kurang baik sebanyak 3 responden. Dengan kata lain penelitian ini
menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dengan perilaku responden,
dimana ibu-ibu yang mempunyai pengetahuan lebih baik cenderung untuk
berperilaku lebih baik dibandingkan ibu-ibu yang berpengetahuan kurang baik.
1 Analisis Bivariat
a. Hubungan antara karakteristik responden dengan perilaku pencegahan
ISPA pada balita
1) Hubungan antara umur dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita
Dari hasil analisis pada penelitian ini, didapatkan bahwa dari 55
responden yang berumur < 32 tahun, terdapat 29 responden (52.7%) yang
mempunyai perilaku pencegahan penyakit ISPA kurang baik dan 26
responden (47.3%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA baik.
Sedangkan dari 58 responden yang berumur 32 tahun, terdapat 20
responden (34.5%) yang mempunyai perilaku pencegahan penyakit ISPA
kurang baik dan terdapat 38 responden (65.5%) yang mempunyai perilaku
pencegahan ISPA baik.
Hasil uji statistik (chi square) didapatkan p value sebesar 0,503 yang
artinya p value lebih besar dari nilai alpha ( maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara umur responden dengan
perilaku pencegahan ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
Odd Ratio = 1,393 yang artinya bahwa responden yang berumur 32 tahun
memiliki peluang 2.119 kali lebih besar untuk berperilaku baik terhadap
pencegahan ISPA dibandingkan dengan responden yang berumur < 32 tahun,
tetapi hal ini tidak terbukti secara statistik karena nilai p value sebesar 0,077
atau melebihi nilai alpha ( = 0,05).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa
perbedaan umur tidak berpengaruh terhadap pencegahan ISPA pada balita,
dimana ibu dengan umur yang masih muda tidak menjadi jaminan akan
berperilaku lebih baik dalam mencegah penyakit ISPA pada balita, begitupun
sebaliknya ibu yang berusia lebih dewasa dan memiliki banyak pengalaman
dalam mengurus anak, juga tidak menjamin akan berperilaku baik dalam
mencegah penyakit ISPA pada balita. Dengan kata lain, dalam penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan umur ibu dengan perilaku
pencegahan penyakit ISPA pada balita. Perilaku ibu yang baik sangat
dipengaruhi oleh seberapa besar informasi tentang penyakit ISPA yang
didapatkan bisa diterapkan dengan baik dan bukan karena muda atau tuannya
umur ibu.
Berdasarkan hasil penelitian umur ibu-ibu yang memiliki balita dimulai
dari umur 20 tahun sampai 43 tahun. Dari sini terlihat masih ada wanita yang
sudah berumah tangga dengan usia yang cukp muda. Bila pada umur 20 tahun
telah memiliki bayi maka dapat diperkirakan saat menikah wanita tersebut
baru berusia 19 tahun. Dengan memperhatikan program keluarga berencana
yang tujuannya adalah untuk mencapai keluara kecil sehat dan sejahtera
dimana salah satu strategi untuk mencapainya adalah dengan menunda usia
perkawinan, maka berdasar data ini merupakan tanggung jawab kita bersama
untuk mengatasi bagaimana perkawinan usia muda tersebut dapat dihindari.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Yulita Riza (2005), yaitu tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna
antara umur balita dengan kejadian ISPA (p = 0,587) bahkan proporsi suspek
ISPA pada balita yang berumur 24-59 bulan lebih besar (33,9%) dibandingkan
yang berusia < 24 bulan (30,8%). Mennurut Penelitian Dwi Setyorini (2008),
menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh antara umur balita (OR=2, 3,
95%CI: 0, 8645<6, 1860), terhadap kejadian ISPA Non Pneumonia pada
balita
2) Hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan ISPA
pada balita
Dari hasil analisis pada penelitian ini, didapatkan bahwa dari 42
responden yang termasuk pendidikan dasar, sebanyak 25 responden (59,5%)
mempunyai perilaku pencegahan ISPA kurang baik dan sebanyak 17
responden (40,5%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA. Sedangkan
dari 71 responden yang termasuk berpendidikan menengah keatas, sebanyak
24 responden (38,8%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA kurang
baik dan sebanyak 47 responden (66,2%) yang mempunyai perilaku
pencegahan ISPA baik
Hasil uji statistik (chi square) didapatkan p value sebesar 0,014 yang
artinya p value lebih kecil dari nilai alpha ( maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan
perilaku pencegahan ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
Odd Ratio = 2,880 yang artinya bahwa responden dengan pendidikan
menengah keatas memiliki peluang 2,880 kali lebih besar untuk berperilaku
baik terhadap pencegahan ISPA dibandingkan dengan responden yang
berpendidikan dasar
Menurut Nasrul Effendi (1998), bahwa salah satu factor yang
mempengaruhi perilaku seseorang adalah tingkat pendidikan orang tersebut
dimana semakin tinggi tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
besar kemungkinan untuk menerima informasi yang didapat sehingga mampu
meningkatkan pengetahuan orang tersebut. Selain itu Liliweri (2007),
menyatakan bahwa cakupan pengetahuan atas keluasan wawasan seseorang
sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin mudah diberikan pengertian mengenai suatu
informasi.
Sejalan dengan itu, menurut Wied Hary A.(1996), menyebutkan bahwa
tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya
semakin tinggi pendidikan seseorang makin semakin baik pula
pengetahuanya. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseorang atau
suatu masyarakat, maka akan semakin mudah dalam menyerap dan
memahami pesan kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit ISPA.
Pendidikan seseorang berpengaruh terhadap perilakunya yang
menyebabkan seseorang berperilaku positif atau negative terhadap sesuatu.
Dengan kata lain perilaku yang menyebabkan seseorang berperilaku positif
atau negative terhadap sesuatu, itu salah satunya dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan orang itu sendiri, bukan orang lain yang dekat dengan orang
tersebut. Dalam penelitian ini mungkin yang lebih berpengaruh yaitu
responden itu sendiri yang akan menentukan bagaimana perilakunya.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori-teori diatas dapat diketahui
adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan
penyakit ISPA. Sesuai dengan teori diatas, seseorang yang berpendidikan
lebih tinggi berpeluang untuk melakukan pencegahan penyakit ISPA lebih
baik daripada seorang yang berpendidikan rendah. Hal ini dapat disebabkan
karena tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang
menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh sehingga
pengetahuan tersebut dapat diterapkan sebagai landasan dalam berperilaku
yang baik dalam pencegahan penyakit.
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Soekanto (1991), yang menunjukkan bahwa factor social budaya seperti
tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang diperkirakan secara tidak
langsung dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada bayi dan balita. Selain itu,
penelitian sumargono (1989) dan Siti Nur Ayu (1997) menyatakan bahwa
balita yang mempunyai ibu berpendidikan rendah (SLTP kebawah)
mempunyai resiko untuk menderita ISPA lebih besar dibandingkan dengan
balita yang pendidikan ibunya tinggi.
Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Yulita riza
(2005), menunjukkan bahwa tidak membktikan adanya hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p
> 0,05). sesuai dengan penelitian Sutrisna (1993), Purawidjaja (2000), dan
Juliastuti (2000) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.
Adanya perbedaan dalam hasil penelitian ini mungkin disebabkan
karena adanya perbedaaan karakteristik ibu-ibu dalam hal tingkat pendidikan
pada lokasi penelitian. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian
besar ibu-ibu yang memiliki balita berpendidikan menengah keatas yaitu
sebanyak 62,8% dan ini sebanding dengan perilaku pencegahan ISPA yang
baik pada balita yaitu 56,6%. Selain itu, secara ilmiah dapat dikatakan seorang
ibu yang mempunyai pendidikan formal yang lebih tinggi dapat lebih mudah
menerima dan mempraktekkan sesuatu pengetahuan kesehatan yang
disampaikan padanya.
3) Hubungan antara pekerjaan dengan perilaku pencegahan ISPA pada
balita
Dari hasil analisis pada penelitian ini, menunjukan bahwa dari 79
responden yang tidak bekerja, sebanyak 26 responden (32,9%) yang
mempunyai perilaku pencegahan ISPA kurang baik dan sebanyak 53
responden (67,1%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA baik.
Sedangkan dari 34 responden yang bekerja, sebanyak 23 responden (58,8%)
yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA kurang baik dan sebanyak 11
responden (32,4%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA baik.
Hasil uji statistik (chi square) didapatkan p value sebesar 0,001 yang
artinya p value lebih kecil dari nilai alpha ( maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan perilaku
pencegahan ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai Odd
Ratio = 0,235 yang artinya bahwa responden yang tidak bekerja memiliki
peluang 0,235 kali lebih besar untuk berperilaku baik terhadap pencegahan
ISPA dibandingkan dengan responden yang bekerja
Ibu yang bekerja dengan alasan apapun seperti: eksistensi, ekonomi dan
pengabdian, tetaplah penting untuk selalu memperhatikan perkembangan dan
kesehatan anak. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka harus pandai-
pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakikatnya seorang ibu
mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk
mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak serta menjaga kebersihan
lingkungan rumah. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau
balita maka seorang ibu harus mengetahui bagaimana mengatur waktu dengan
bijaksana.
Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya.
Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti
makan, mandi, belajar dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari
orangtua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu
dititipkan pada seorang pembantu maka orangtua atau khususnya ibu harus
tahu betul bahwa pembantu tersebut dapat memahami masalah kesehatan
khusunya dalam hal pencegahan penyakit.
Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari
tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, dan
mengontrol kondisi kesehatan anaknya meskipun ibu sangat capek setelah
seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi
suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang
kuat, stabil dan sehat. Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumah pun
tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana.
Berdasarkan hasil penelitian dan konsep diatas dapat disimpulkan bahwa
bagi ibu-ibu yang bekerja diluar rumah dan memiliki anak balita, harus bijak
dalam mengatur waktu untuk keluarga. Ibu yang bekerja tidak boleh hanya
terfokus pada pengasilan yang ingin dicari, tetapi harus tetap ingat pada tugas
pokok seorang ibu yaitu mengurus rumah tangga dan kebersihan lingkungan
rumah, karena sudah terbukti adanya hubungan antara pekerjaan dengan
perilaku pencegahan ISPA pada balita. Selain itu ibu yang tidak bekerja
memiliki peluang 0,235 kali lebih besar untuk berperilaku baik terhadap
pencegahan ISPA dibandingkan dengan responden yang bekerja
Penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Siti Nur Ayu (1997), yang hasilnya menunjukkan bahwa kejadian kasus
ISPA pneumonia pada balita pada ibu-ibu yang bekerja ternyata 0,235 kali
lebih tinggi resikonya untuk terkena ISPA pneumonia dibandingkan dengan
ibu-ibu yang tidak bekerja.
Menurut Siti Nur Ayu (1997), tingginya angka kejadian ISPA
pneumonia pada balita disebabkan karena keterlibatan ibu dalam mencari
nafkah, yang didorong oleh keadaan penghasilan suami yang kurang memadai
atau status ekonominya rendah sehingga mereka lebih banyak diluar rumah
dan kurang tersedia waktu untuk mencurahkan perhatiannya terhadap
perawatan dan kesehatan anaknya.
Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh yulita Riza (2005), yang menyatakan bahwa hasil uji statistic didapatkan
proporsi suspek ISPA pada balita lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja
(32,8%), dengan P value = 0,505 yang artinya tidak ada hubungan yang
bermakna antara status pekerjaan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.
Begitu juga dengan hasil penelitian Purwanto (1996), menyatakan bahwa ibu
yang bekerja akan memiliki pengetahuan dan keterpaparan terhadap media
informasi lebih besar sehingga diperkirakan ibu yang bekerja berpengaruh
terhadap kemampuan akses di bidang kesehatan serta kemampuan dan
kemauan untuk mencegah penyakit.
Argumentasi dari perbedaan hasil penelitian ini adalah bila ibu yang
tidak bekerja maka secara otomatis sepanjang waktu memberikan perhatian
terhadap anaknya dan mampu malaksanakan aktivitas untuk tetap menjaga
kebersihan lingkungan rumah sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit
seperti penyakit ISPA, selain itu hal ini juga akan memberikan dampak yang
positif secara fisik maupun perkembangan kesehatan dan mental bagi
anaknya.
b. Hubungan antara pendidikan kesehatan dengan perilaku pencegahan
ISPA pada balita
Dari hasil analisis pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa dari 51
responden yang mendapatkan pendidikan kesehatan yang kurang baik,
sebanyak 28 responden (54,9%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA
kurang baik dan sebanyak 23 responden (45,1%) yang mempunyai perilaku
pencegahan ISPA baik. Sedangkan dari 62 responden yang mendapatkan
pendidikan kesehatan dengan baik, sebanyak 21 responden (33,9%) yang
mempunyai perilaku pencegahan ISPA kurang baik dan sebanyak 41
responden (66,1%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA baik.
Hasil uji statistik (chi square) didapatkan p value sebesar 0,040 yang
artinya p value lebih kecil dari nilai alpha ( maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan kesehatan dengan
perilaku pencegahan ISPA pada balita. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
Odd Ratio = 2,377 yang artinya bahwa responden yang mendapatkan
pendidikan kesehatan baik memiliki peluang 2,377 kali lebih besar untuk
berperilaku baik terhadap pencegahan ISPA dibandingkan dengan responden
yang mendapatkan pendidikan kesehatan kurang baik
Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa sudah terjadi perubahan
perilaku pada responden yaitu bertambahnya responden yang berperilaku baik
sebesar 6,2% dalam mencegah penyakit ISPA. Terjadinya perubahan perilaku
merupakan tujuan utama dari pendidikan kesehatan, dengan demikian
pendidikan kesehatan yang didapatkan oleh responden sudah cukup efektif
meskipun perubahan perilaku yang terjadi sangat kecil. Hal ini perlu
mendapatkan perhatian yang lebih serius bahwa pelaksanaan pendidikan
kesehatan perlu dilakukan secara terus menerus untuk membiasakan
masyarakat yang hidup sehat dan dapat mencegah ISPA, sehingga menjadi
suatu budaya.
Menurut WHO, pemberian informasi- informasi atau pendidikan
kesehatan tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan
kesehatan, cara-cara mencegah penyakit dan sebagainya akan meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan
pengetahuan- pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka sehingga
akhirnya akan menyebabkan orang berperlaku sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini akan memakan
waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena
didasari pada kesadaran mereka sendiri atau bukan paksaan (Notoatmodjo,
2003).
Rogers (1974), menyatakan bahwa individu akan melakukan perubahan
perilaku dengan mengadopsi perilaku dengan tahapan-tahapan antara lain;
individu mulai menyadari adanya stimulus, individu mulai berpikir dan
mempertimbangkan, individu mulai mencoba perilaku baru, dan individu
menggunakan perilaku baru. Selain itu teori stimulus organisme menjelaskan
bahwa perubahan perilaku dihasilkan karena adanya rangsangan yang terus-
menerus pada individu dan peranan stimulus sampai menghasilkan perubahan
perilaku tidak secara singkat dan mudah.
Berdasarkan hasil dan teori-teori yang mendukung penelitian ini, maka
sudah sangat jelas adanya kaitan antara pendidikan kesehatan dengan perilaku
pencegahan penyakit ISPA. Sesuai dengan hal tersebut, sudah saatnya
pelaksanaan pendidikan kesehatan lebih ditingkatkan lagi dengan metode dan
media yang tepat dan mudah dimengerti oleh masyarakat, karena
bagaimanapun mencegah lebih baik daripada mengobati.
Penelitian ini juga dudukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Andi
Krisnanto (2006), yang berjudul pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
pengetahuan tentang garam beryodium pada keluarga di Kabupaten Klaten.
Dimana Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pendidikan kesehatan
(metode ceramah) berpengaruh dan baik dalam meningkatkan pengetahuan
tentang garam beryodium pada keluarga di Kabupaten Klaten.
Berbeda dengan hasil penelitian Puguh Heri Saputro (2006), menyatakan
bahwa persentase proporsi terbesar terkena gejala ISPA bukan pneumonia
terjadi pada petugas kebersihan yang belum pernah mendapatkan penyuluhan
tentang lingkungan bersih dan rumah sehat yakni 79,3% dari 43 orang. Hasil
perhitungan survey dengan menggunakan perhitngan statistic menunjukkan
bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara penyuluhan tentang
lingkungan bersih dan rumah sehat dengan gejala ISPA bukan pneumonia pada
petugas kebersihan pasar induk keramat jati.
Argumentasi dari perbedan hasil penelitian ini adalah pendidikan
kesehatan dapat dikatakan berhasil apabila nampak terjadi suatu perubahan
perilaku pada warga yang sudah pernah diberikan pendidikan kesehatan.
Pendidikan kesehatan yang baik tergantung pada pemberi materi, metode yang
digunakan, dan pemilihan materi yang sederhana yang dapat dimengerti oleh
masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebanyak 54,9% ibu-ibu
telah mendapatkan pendidikan kesehatan dengan baik. Pendidikan kesehatan
pernah diberikan oleh mahasiswa program profesi ners keperawatan UPN
veteran Jakarta pada saat pratek keperawata komunitas dan keluarga di RW 06
kelurahan krukut ini, informasi tentang pencegahan penyakit ISPA diberikan
secara langsung melalui metode ceramah sehingga mungkin masyarakat
menjadi lebih paham dan terbukti perilaku pencegahan ISPA di RW ini
tergolong baik yaitu sebanyak 56,6%.
c. Hubungan antara pengetahuan tentang ISPA pada masyarakat dengan
perilaku pencegahan ISPA pada balita
Dari hasil analisis pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa dari 53
responden yang memiliki pengetahuan kurang baik, sebanyak 30 responden
(56,6%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA kurang baik dan
sebanyak 23 responden (43,4%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA
baik. sedangkan dari 60 responden yang yang memiliki pengetahuan baik,
sebanyak 19 responden (31,7%) yang mempunyai perilaku pencegahan ISPA
kurang baik dan sebanyak 41 responden (68,3%) yang mempunyai perilaku
pencegahan ISPA baik.
Hasil uji statistik (chi square) didapatkan p value sebesar 0,013 yang
artinya p value lebih kecil dari nilai alpha ( maka dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang ISPA pada
masyarakat dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita. Dari hasil analisis
diperoleh pula nilai Odd Ratio = 2,815 yang artinya bahwa responden yang
memiliki pengetahuan baik memiliki peluang 2,815 kali lebih besar untuk
berperilaku baik terhadap pencegahan ISPA dibandingkan dengan responden
yang memiliki pengetahuan kurang baik.
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan
pengindraan terhadap suatu objek sehingga pengetahuan merupakan faktor
penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 1993).
Menurut Lawrence Green (1980), kesehatan seseorang dipengaruhi oleh
factor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku ini ditentukan atau
dibentuk dari beberapa factor. Faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku
salah satunya adalah pengetahuan. Menurut Teori WHO (1984), salah satu
factor yang menyebabkan seseorang untuk berperilaku tertentu adalah
pemikiran dan perasaan. Menurut Notoatmodjo S. (1997) yang mengutip
pendapat Rogers (1974), apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku
melalui proses (awarenes, interest, evaluation, trial, and adoption) (AIETA),
dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif, maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsun lama.
Jadi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki
pengetahuan baik tentang penyakit ISPA memiliki kecenderungan untuk
melakukan upaya pencegahan penyakit ISPA dengan baik. Hasil analisis Odd
Ratio menunjukkan bahwa orang yang memiliki pengetahuan baik memiliki
peluang 2,815 kali lebih besar untuk berperilaku baik terhadap pencegahan
ISPA dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang
baik.
Dari hasil yang didapat, untuk meningkatkan perilaku pencegahan
penyakit seperti penyakit ISPA dapat dilakukan dengan meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang penyakit ISPA dan bahaya yang dapat
ditimbulkan karena terbukti bahwa ibu-ibu dengan pengetahuan baik mengenai
penyakit ISPA memiliki peluang yang lebih kecil untuk melakukan
pencegahan penyakit ISPA pada balita yang kurang baik.
Suatu bukti yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara
pengetahuan orang tua dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita yaitu,
seorang bidan melaporkan pengalamannya kepada dosen Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Bidan tersebut menceritakan bahwa
banyak anak-anak di desa yang terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Melihat kondisi lingkungan desa yang masih asri dan hijau, tampak sulit
mengaitkan dengan penyakit ISPA yang muncul. Ketika melakukan kunjungan
ke rumah-rumah, bidan tersebut baru mengetahui penyebabnya. Dia
menyaksikan bagaimana aktivitas sehari-hari seorang ibu di desa. Sudah
menjadi rutinitas, seorang ibu bekerja dari mulai ayam berkokok hingga
matahari terbenam. Pekerjaan bisa dikatakan 'dari hulu ke hilir'. Mulai
membereskan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mencuci, hingga
menyiapkan makanan.
Di tengah-tengah kesibukannya menyelesaikan tugas rutinnya itu, ibu
masih dibebani untuk merawat dan mengasuh anak. Sulit bagi ibu memisahkan
pekerjaan itu dalam waktu terpisah. Keterbatasan tenaga dan waktu membuat
ibu harus melaksanakan tugas ganda bersamaan. Biasanya sambil memasak di
dapur, seorang ibu juga harus mengasuh anaknya.
Ketika tangannya sibuk mengolah masakan untuk keluarganya, anak yang
masih balita biasa tetap berada di pangkuannya. Kalau tidak digendong,
anaknya yang belum bisa disapih, ditidurkan di dipan yang terletak di dapur.
Sementara asap dari kompor terus mengeluarkan asap. Ruangan dapur
dipenuhi gas dari alat masak yang sebenarnya berbahaya bagi anak. Anak yang
berada di dapur bersama ibunya tidak bisa menghindar dari kepungan asap.
Dengan berjalannya waktu, akumulasi asap yang diisap anak semakin besar.
Tanpa disadari sang ibu, anak itu telah terkena ISPA.
Rendahnya pengetahuan ibu telah menjadi pembahasan dalam semiloka
nasional yang bertema Women Health and Community Outreach Model di
Jakarta, Permasalahan ISPA dikaitkan dengan pengetahuan ibu mengenai
kesehatan. Ibu mempunyai peran sentral dalam keluarga, namun sering kali ibu
justru dalam posisi lemah dibandingkan suami dalam merawat kesehatan
anaknya dan dirinya sendiri. Ketua Linkage Project Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) Juniati Sahar mengatakan,
rendahnya kualitas kesehatan anggota keluarga termasuk anak disebabkan
rendahnya pengetahuan seorang ibu terutama di desa mengenai kesehatan.
Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Ni luh M.Y. Sherlywiyanti (2003), yang menunjukkan terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan responden dengan upaya pencegahan ISPA pada
balita (p < 0,05). Selain itu penelitian Yulita riza (2005), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA dimana semakin
tinggi pengetahuan tentang penyakit ispa maka pencegahan dan upaya
perawatan semakin meningkat. dalam penelitian ini pengetahuan merupakan
salah satu pendorong seseorang untuk merubah perilaku.

Anda mungkin juga menyukai