KANKER REKTUM
BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PERIODE 18 NOVEMBER 2013 18 JANUARI 2014 JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkatNya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Kanker Rektum. Tugas referat ini saya buat dengan tujuan sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah serta bertujuan agar para dokter muda mengetahui dan memahami tentang materi ini lebih mendalam. Saya ucapkan banyak terimakasih kepada kedua orangtua saya, yang selalu mendukung saya dalam segala kondisi yang saya alami dalam menjalankan kepaniteraan ini, juga kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan referat ini, khususnya dr. Henry Boyke Sitompul, Sp.B yang telah berkenan membimbing dan menguji referat ini. Akhir kata saya mohon kritik dan saran yang membangun untuk Penulis pada khususnya dan kemajuan dunia kedokteran pada umumnya.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3 II. 1 Anatomi Rektum ........................................................................................ 3 II. 2 Embriologi Rektum..................................................................................... 5 II. 3 Histologi Rektum ....................................................................................... 7 II. 4 Fisiologi Rektum ........................................................................................ 7 II. 5 Etiologi Dan Faktor Resiko Kanker Rektum ............................................. 8 II. 6 Patofisiologi Kanker Rektum ................................................................... 14 II. 7 Gejala Klinis & Stagging ......................................................................... 15 II. 8 Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 21 II. 9 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 22 II. 10 Penatalaksanaan ..................................................................................... 29 II. 11 Prognosis ................................................................................................. 33 BAB III PENUTUP ................................................................................................... 34
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel dan fungsi lainnya. Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini bukan tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh dapat mencapai 50%. Pada tahun 2009 diperkirakan 40.870 kasus baru dari kanker rektum di Amerika Serikat (23.580 kasus pada laki-laki, 17.290 kasus pada wanita). Selama pada tahun yang sama, diperkirakan 49.920 orang meninggal karena rektm dan kolon. Kanker kolorektal menduduki peringkat keempat dari kanker yang paling sering terjadi dan kedua penyebab kematian. Di Amerika Serikat, kematian akibat kanker kolorektal telah menurun selama 30 tahun terakhir, penurunan ini karena diagnosis dini melalui pemeriksaan dan pengobatan yang lebih baik.. Insidensi kanker rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga dengan angka kematiannya. Pada tahun 2002, kanker rektum menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker rektum dimana data dari Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk. Diagnosis kanker rektum pada umumnya tidaklah sulit, namun kenyataanya penderita sering terdiagnosis pada stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif seringkali tidak dapat dilakukan. Padahal jika penderita telah terdeteksi secara dini menderita kanker rektum sebelum stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh dapat
4
mencapai 50%. Pemeriksaan colok dubur sebenarnya merupakan sarana diagnosis yang paling tepat, dimana 90% diagnosis kanker rektum dapat ditegakkan dengan colok dubur. Namun pada kenyataanya hanya sekitar 13% dokter Puskesmas dan dokter umum yang melakukan colok dubur dengan keluhan BAB berdarah. Tingginya angka kematian akibat kanker rektum mendorong upaya untuk menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan deteksi kanker rektum secara dini. Dari hasil penelitian, 58,9-78,8% penderita kanker rektum stadium dini dapat bertahan hidup dalam 5 tahun dan angka ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya stadium. Pada penderita kanker rektum stadium akhir, angka kemungkinan bertahan hidup dalam 5 tahun hanya sebesar 7% saja. Oleh karena hal tersebut, penyusun mengambil judul Kanker Rektum sebagai judul referat dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang kanker rektum sehingga dokter-dokter terkhusus dokter muda dapat mengenali penyakit ini dan dapat menanganinya sesuai kompetensinya.
II.1
ANATOMI REKTUM
Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani. Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muskularis propia, dan serosa.
Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan kelanjutan dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal media) merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior (arteri rektal inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan dalam rongga perut atau intra abdominal sangat menetukan tekanan di dalam vena tersebut. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna yang kemudian melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena cava.
Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta. Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan kanker rektum, yaitu disfungsi ereksi dan tidak dapat mengontrol buang air kecil.
Dibagian sefalik dan kaudal mudigah, usus primitif membentuk sebuah saluran buntu, masing-masing adalah usus depan (foregut) dan usus belakang (hind gut). Bagian tengah, usus tengah (mid gut), untuk sementara tetap berhubungan dengan yolk sac melalui duktus vitelinus atau yolk stalk. Usus depan terletak kaudal dari tabung faring dan berjalan ke kaudal sejauh tunas hati. Usus tengah dimulai dari sebelah kaudal tunas hati dan meluas ke pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri kolon transversum pada orang dewasa. Usus belakang berjalan dari sepertiga kiri kolon transversum hingga ke membrana kloakalis. Usus belakang menghasilkan sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoideum, rektum, dan bagian atas kanalis analis. Bagian terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis anorektalis primitif; alantois masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitif. Kloaka itu sendiri adalah suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan dibungkus di batas ventralnya oleh ektoderm permukaan. Batas antara endoderm dan ektoderm ini membentuk membrana kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale, memisahkan regio antara alantois dan usus belakang. Septum ini berasal dari penyatuan mesoderm yang menutupi yolk sac dan alantois di sekitarnya. Seiring dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya lipatan di kaudal, ujung seprum urorektale akhirnya berada dekat dengan membrana kloakalis, meskipun kedua struktur tidak pernah berkontak. Pada akhir miniggu ketujuh, membrana kloakalis pecah, menciptakan lubang anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal. Pada saat ini, proliferasi ektoderm menutup bagian paling kaudal kanalis analis. Selama minggu ke sembilan, regio ini mengalami rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis analis berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri pudenda interna. Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior. Taut antara regio endoderm dan ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel gepeng berlapis.
mesenterikus Auerbach. Adventisia menutupi bagian rektum dan serosa menutupi sisanya. Banyak pembuluh darah terlihat di submukosa dan adventisia.
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena feses disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan feses masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus besar dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemas dan rektum serta kolon sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter anus eksternus (yang terdiri dari otot rangka) juga melemas, terjadi defekasi. Karena otot rangka, sfingter anus eksternus berada di bawah kontrol kesadaran. Peregangan awal dinding rektum menimbulkan perasaan ingin buang air besar. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan kontraksi sfingter anus eksternus secara sengaja walaupun terjadi refleks defekasi. Apabila defekasi ditunda, dinding rektum yang semula teregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam rektum, yang kembali meregangkan rektum dan memicu refleks defekasi. Selama periode non aktif, kedua sfingter anus tetap berkontraksi untuk menghasilkan tidak terjadinya pengeluaran feses. Apabila terjadi, defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi simultan otot-otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis dalam posisi tertutup. Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang membantu pengeluaran feses.
II.5
11
sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan polip menjadi kanker itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran polip, dan bukti adanya displasia berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data dari National Polyp Study dan St. Marks Hospital menunjukkan hampir 75-85% adenoma adalah adenoma tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous. Adenoma tubular biasanya membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai dasar yang luas. Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan transformasi menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2 cm melindungi daerah dari karsinoma.
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease 2.1 Ulseratif Kolitis Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker kolorektal sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Resiko perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ilseratif kolitis. Resiko kumulatif sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan resiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kronis dengan menggunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosis dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pergumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.
12
2.2 Crohns Disease Pasien yang menderita Crohns Disease mempunyai resiko tinggi untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kronis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohns Disease sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty dimana biopsi dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan Crohns Disease
3. Faktor Genetik 3.1 Riwayat Keluarga Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.
3.2 Herediter Kanker Kolorektal Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari seluruh kanker kolon dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).
13
3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis) Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC yang berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada usia 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat dan ketika hal itu terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata-rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, kanker pankreas, dan medulloblastoma otak. Varian dari FAP termasuk Gardners Syndrome dan Turcots Syndrome.
3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer) Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II. Dua generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada usia yang muda ( 45 tahun), dengan predominan lokasi kanker. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA yang dikenal sebagai mikrosatelit (mikrosatelite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator yang dikarakteristikan oleh frekuensi DNA dan replikasi error (RER + Phenotype) dimana predisposisi tersebut menyebabkan seseorang memiliki multitude dari malignasi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenomasebaceous, dan carsinoma sebaceous) dan multipel keratocanthoma, termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung, dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC
14
seringkali poorly differentiated dengan gambaran mukosa dan signet-cell, reaksi yang mirip dengan Crohns Disease (nodul limfoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer infiltrasi kanker koloraktal), kehadiran infiltrasi limfosit diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal pada usia yang sangat muda dan sreening harus dimulai pada usia 20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosis kanker kolorektal yang berhubungan dengan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal pada usia 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada usia 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadik kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil dari pada pasien tanpa kelainan ini.
4. Diet Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah mengkonsumsi diet yang berenergi tinggi yang mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi berkelanjutan dari agen
15
yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut, dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kolorektal.
5. Gaya Hidup Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko tiga kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah kali untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal. Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas, obesitas, dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan penekanan pada aktivitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan resiko kanker kolorektal. The Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktivitas fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan aktivitas fisik akan meningkatkan resiko terjadinya adenoma. 6. Usia Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (65 tahun) laki-laki dan perempuan adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7 kali (2158 pe 100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang
16
berusia lebih muda (30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada usia 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.
Kriteria tingkat risiko pada individu dengan riwayat keluarga penderita kanker kolon dan rektum (Kriteria Amsterdam): Tingkat Risiko Tinggi Kriteria Paling sedikit 3 anggota keluarga menderita kanker kolon rektum atau paling sedikit 2 generasi. Satu dari anggota keluarga telah menderita dibawah usia 50 tahun salah satu anggota yang didiagnosis adalah silsilah pertama dari keluarga Ditemukannya pembawa (carier) gen HNPCC Anggota keluarga yang tidak diuji Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita kanker kolon rektal pada usia <45 tahun atau 2 anggota keluarga silsilah pertama menderita kanker kolon rektal (seorang pada usia <55 tahun atau 2 atau 3 anggota keluarga (salah seorang pada usia <55 tahun) dengan kanker kolon rektal atau karsinoma endometrial yang merupakan silsilah pertama Rendah Seseorang yang tidak memenuhi kriteria tinggi dan sedang Tabel. Kriteria Tingkat Resiko Kanker Kolon Rektum
II.6
dimulai dengan inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-ra onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
II.7
4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut atau nyeri. 5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya. 6. Mual dan muntah. 7. Rasa letih dan lesu. 8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus. Penyabaran karsinoma rektum dapat melalui; 1. Penyebaran langsung: penyebaran longitudinal tidak melebihi 6 cm. Penyebaran kolateral menembus dinding rectus dan menginfiltrasi vagina, prostat, vesica urinaria atau os. sacrum 2. Penyebaran hematogen: penyebaran melalui vena porta ke hepar. Penyebaran melalui hipgastrika ke jantung, paru dan tempat lainnya 3. Penyebaran limfogen: penyebaran tumor dekat anus ke lnn. Inguinalis
Stadium kanker rektum yaitu: 1. Stadium 0 (carcinoma in situ) Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum
2. Stadium I/Duke A Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan menyebar ke sel sub mukosa.
19
Gambar. Stadium I
3. Stadium II/Duke B Stage II A. Sel kanker menyebar ke sel otot menuju sel serosa Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus dinding Stage II C. Sel kanker menembus statum serosa menuju dinding organ terdekat
4. Stadium III/Duke C Stage III A -Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel kanker dapat menyebar 1-3 kelenjar getah bening -Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat menyebar 4-6 kelenjar getah bening
20
Stage III B -Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke organ terdekat. Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening organ terdekat atau sel kanker terbentuk disekitar kelenjar getah bening -Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker menyebar 46 kelenjar getah bening terdekat -Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan mungkin dapat menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker menyebar lebih dari 7 kelenjar getah bening
21
Stage III C -Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar 4-6 kelenjar getah bening. -Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar ke 7 kelenjar getah bening -Sel kanker menyebar sampai sel serosa dan organ terdekat. Sel kanker menyabar ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker terbentuk di jaringan terdekat kelenjar getah bening
5. Stadium IV/Duke D -Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat atau kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke satu organ yang jauh dari rektum seperti hepar, paru-paru, ovarium, kelenjar getah bening yang jauh. -Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ terdekat atau kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar >1 organ yang jauh dari rektum atau masuk ke lapisan dinding abdomen.
22
Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC): Stadium 0 I T Tis T1 T2 IIA IIB IIIA IIIB IIIC IV Keterangan: T Tx T0 Tis propia T1 T2 : Tumor menyebar pada submukosa : Tumor menyebar pada muskularis propria : Tumor primer : Tumor primer tidak dapat dinilai : Tidak terbukti adanya tumor primer : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada lamina T3 T4 T1-T2 T3-T4 Any T Any T N N0 N0 N0 N0 N0 N1 N1 N2 Any N M M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1 D C B Duke A
23
T3
dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal. T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi
peritoneum viseral. N Nx N0 N1 N2 M Mx M0 M1 : Kelenjar getah bening regional/node : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening : Metastasis : Metastasis tidak dapat di nilai : Tidak terdapat metastasis : Terdapat metastasis
II.8
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastasis seperti pembesaran kelenjar getah bening atau adanya hepatomegali. Sekitar 75% kanker rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal touche. Pemeriksaan rectal touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah: Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os. Coccygeus. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
24
Dari pemeriksaan colok dubur (Rectal Touche) dapat diketahui: Adanya tumor rektum Lokasi dan jarak dari anus Posisi tumor, melingkar atau menyumbat lumen Perlengketan dengan jaringan sekitar
II.9
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain:
1. Biopsi Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan, Secara patologi anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering, yaitu sekitar 90-95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamouscarsinomas, dan undifferentiated tumors.
2. Pemeriksaan Tumor Marker CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9. CEA berkolerasi dengan volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelh reseksi. CEA akan menurun sampai normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30% kekambuhan tidak disertai dengan peningkatan CEA. CEA normal < 5ngr.
3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) Untuk melihat perdarahan di jaringan. FOBT baik digunakan untuk screening, meskipun spesifik dan sensitivitasnya terbatas.
4. Foto rontgen Foto rontgen dengan barium enema, yaitu cairan yang mengandung barium yang dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen. Barium enema dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain.
25
Pada pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5 6 cm berbentuk anular atau apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak. Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih pada foto rontgen dan membatasi saluran pencernaan, Barium yang terkumpul di daerah abnormal menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises kerongkongan. Barium juga dapat diberikan dalam bentuk enema untuk melapisi usus besar bagian bawah. Kemudian dilakukan foto rontgen untuk menunjukkan adanya polip, tumor atau kelainan struktur lainnya. Prosedur ini bisa menyebabkan nyeri kram serta menimbulkan rasa tidak nyaman. Barium yang diminum atau diberikan sebagai enema pada akhirnya akan dibuang kedalam tinja, sehingga tinja tampak putih seperti kapur. Setelah pemeriksaan, barium harus segera dibuang karena bisa menyebabkan sembelit yang berarti. Obat pencahar bisa diberikan untuk mempercepat pembuangan barium. Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu sensitivitas untuk kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan sangat tinggi, tersedia diseluruh rumah sakit, dan cukup aman. Kelemahannya berupa lesi T1 sering tidak terdiagnosis
5. Endoskopi a. Sigmoidoscopi Merupakan sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid, apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
26
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada usia 50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang berada pada tingkatan resiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.
Gambar 6. Sigmoidoscopy
b. Kolonoskopi Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, menontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi, dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
27
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon, dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.
Gambar 7. Colonoscopy
6. Virtual Colonoscopy (CT colonography) Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,
menggunakan X-ray dan software komputer, untuk melihat dua dan tiga dimensi dari seluruh usus dan rektum untuk mendeteksi polip dan kanker kolorektal.
7. Imaging Technique MRI, CT Scan, Transrectal Ultrasound merupakan bagian dari tekhnik imaging yang digunakan untuk evaluasi, stagingm dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan screening test.
a. CT Scan CT Scan dapat mengevaluasi kavitas abdomen dari pasien kanker kolon preoperatif. CT Scan dapat mendeteksi metastasis ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa, dan organ lainnya di pelvis. CT Scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT Scan mencapai 55%. CT Scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
28
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT Scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90% dan mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening >1 cm pada 75%. Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastasis pada hepar dan daerah intraperitoneal.
b. MRI MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar dari pada CT Scan dan sering digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT Scan. Karena sensitifitasnya yang lebih tinggi daripada CT Scan, MRI digunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar. Selain itu, MRI dapat menentukan dengan akurasi yang tinggi atau yang menginvasi CRM (Circumferential
Resection Margin) yang melibatkan fasia mesorektal. Keuntungan MRI berupa tidak memakai sinar x, tidak merusak kesehatan pada penggunaan yang tepat, banyak pemeriksaan yang dapat dikerjaan tanpa memerlukan zat kontras. Kekurangan MRI berupa alat mahal, waktu pemeriksaan cukup lama, pasien yang mengandung metal tidak dapat diperiksa terutama alat pacu jantung, sedangkan pasien dengan wire dan sten maupun pen boleh diperiksa, pasien claustrofobi (takut ruang sempit), dan perlu anestesi umum.
29
c. Endoscopy Ultrasound (EUS) EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalam invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk rectal touche. Pada kanker rektum, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan rectal touche untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Selain itu EUS lebih akurat dalam menentukan stadium terutama untuk tumor rektum berukuran kecil. Akurasinya untuk stadium T 7693%, stadium N 61-88%. Tetapi EUS kurang akurat dalam mengevaluasi sisi secara sirkumferensial. EUS lebih bermanfaat untuk tumor yang relatif lebih kecil dan stadium awal. Transrectal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.
30
Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk screening pada penderita yang berisiko tinggi: Tingkat Resiko Tinggi Kriteria Kolonoskopi setiap 2 tahun Usia Screening Usia 30-70 tahun kanker gaster
Tawarkan upper G.I endoskopi Untuk setiap 2 tahun Pertimbangkan deteksi dini
untuk kanker lainnya yang mungkin berhubungan dengan HNPCC Sedang Kolonoskopi tunggal Usia 30-35 tahun dan 55 Kolonoskopi ulang satu kali tahun jika kolonoskopi sebelumnya normal Rendah Penyuluhan pada penderita untuk Tidak diperlukan mendorong gaya hidup sehat
31
II.10 PENATALAKSANAAN
Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:
1. Pembedahan Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode
penetuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektum, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain: o Eksisi Lokal Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy. o Reseksi Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis. Dilakukan juga pengambilan limfonodus di sekitar rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodus tersebut juga mengandung sel kanker. Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi
abdominoperianal, termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi permanen.
32
Gambar 10. Reseksi dan Kolostomi Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal, anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen. Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding rektum dan adanya kelenjar ganas pararektal. Indikasi dilakukannya eksisi lokal kanker rektum adalah: Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate. T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound.
33
Termasuk well-differentiated atau moderately well differentiated secara histologi. Ukuran kurang dari 3-4 cm.
Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah: Tumor tidak jelas Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound. Termasuk poorly differentiated secara histologi
2. Radiasi Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melalui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.
3. Kemoterapi Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan) dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol (Stadium II lanjut dan stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin. Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15% dan menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10%. Pemberian capetabine sebagai prodrug 5-FU mendapat perhatian khusus karena selain praktis juga ekonomis. Dalam pertemuan ASCO (American Society of Clinical Oncology) pada bulan Juni 2004 dilaporkan bahwa pemakaian capetabine dengan dosis 1250mg/m2 2x/hari siberikan hari 1-14 berturut-turut disusul masa
34
istirahat 1 minggu dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya mempunyai efek sama dengan protokol Mayo dalam harapan hidup tetapi efek sampingnya lebih sedikit seperti diare, stomatitis, nausea/muntah, ntropenia. Efek samping lain dari capetabine yang sering dijumpai adalan Hand foot syndrome Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan kriteria: Derajat keganasan III-IV Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah Adanya obstruksi usus Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah Stadium T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi Tepi sayatan dengan positif untuk tumor Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor atau sulit ditentukan Beberapa protokol atau cara pemberian sitostatika pada kanker kolon dan rektum yang saat ini digunakan: Capetabine tunggal 2500mg/m2/hari dibagi 2 dosis, hari 1-14 diikuti istirahat. Ulangi setiap 3 minggu Protokol Mayo: Leucovorin 20 mg/m2 IV bolus, hari 1-5; 5-FU 425 mg/m2 IV bolus 1 jam setelah leucovorin hari 1-5; ulangi setiap 4 minggu Protokol Roswell Park: Leucovorin 500 mg/m2 IV selama 2 jam/hari 1,8,15,22,29, dan 36; 5-FU 500 mg/m2 IV selama 1 jam setelah leucovorin hari 1,8,15,22,29, dan 36; ulangi dosis setiap 6 minggu Protokol deGramont: dekstro-leucovorin 200 mg/m2 (100 mg/m2 bila digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) IV selama 2 jam, hari 1 dan 2 5-FU 400 mg/m2 IV bolus, kemudian 600 mg/m2 IV selama 22 jam kontinu, hari 1 dan 2; ulang setiap 2 minggu Protokol Oxaliptalin bevacizumab Cetuximab gabungan/modifikasi (FOLFOX), dengan obat tambahan seperti dan
irenotecan
(FOLFIRI),
XELOX
35
II. 11 PROGNOSIS
Secara keseluruhan, 5-year survival rates untuk kanker rektum adalah sebagai berikut: a. Stadium I 72% b. Stadium II 54% c. Stadium III 39% d. Stadium IV 7%
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemampuan untuk memperoleh batas-batas negatif tumor.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan, Isaac. Rectal Carsinoma. 2006. Available from: www.emedicine.com. (Download: 25 Desember 2013) 2. Sadler TW. Langman embriologi kedokteran. 10th ed. Jakarta: EGC, 2009. 3. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC, 2010. 4. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC, 2007. 5. Manuaba TW. Panduaan penatalaksanaan kanker solid peraboi 2010. Jakarta: Sagung seto, 2010. 6. Meredith et al. The multidisciplinary management of rectal cancer. Surg Clin N Am. 2009. Available from:
http://www.sassit.co.za/Journals/Colorectal/Colorectal%20Ca/Rectal%20Ca/MDT%2 0Mx%20rectal%20Ca%20SCNA.pdf. (Download 25 Desember 2013) 7. College of oncology national guidelines. Rectum cancer. 2007. Available from: http://www.collegeoncologie.be/files/files/Richtlijnen/Rectal_Cancer_10646440_nl.p df. (Download 25 Desember 2013) 8. Schwartz SI. Schwartzs principles of surgery. 9th ed. United States of America: The McGraw-Hill companies, 2010. 9. Cagir B. Rectal cancer. 2012 Available from: http://emedicine.medscape.com/article/281237-overview. (Download 30 April 2013) 10. Dalal KM, Bleday R. Cancer of the rectum. In: Zinner MJ, Ashley SW, editors. Maingots abdominal operations. The United States of America: The McGraw-Hill companies: 2007. P. 693-725. 11. Sabiston DC. Sabiston buku ajar bedah (Essentials of surgery). 19th ed. Jakarta: EGC. 2012. 12. Engstrom FP, Arnoletti PJ. Rectal Cancer. J Natl Compr Canc Netw 2009;7:838-881 Available from: http://www.jnccn.org/content/7/8/838.full.pdf+html (Download 30 Desember 2013) 13. Cutsem1 EV, Dicato M. The diagnosis and management of rectal cancer: expert discussion and recommendations derived from the 9th World Congress on
38
Gastrointestinal Cancer, Barcelona, 2007. Annals of Oncology 19 (Supplement 6): vi1vi8, 2008 Available from: http://annonc.oxfordjournals.org/content/19/suppl_6/vi1.full.pdf+html (Download 30 Desember 2013) 14. Khuhaprema T, Srivatanakul P. Colon and Rectum Cancer in Thailand: An
Overview. Jpn J Clin Oncol 2008;38(4)237243 Available from: http://jjco.oxfordjournals.org/content/38/4/237.full.pdf+html (Download 30 Desember 2013) 15. Smith N, Brown G. Preoperative staging of rectal cancer. Acta Oncologica, 2008; 47: 20-31. Available from: (Download 30
16. Law LW, Lee MY. Impact of Laparoscopic Resection for Colorectal Cancer on Operative Outcomes and Survival. Ann Surg 2007;245: 17. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1867940/pdf/20070100s00001p1.pdf (Download 30 Desember 2013)
39