PPDS I BEDAH BAGIAN / SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAHMADA/RSUP DR.SARDJITO YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Keloid merupakan kelainan kulit hasil dari respon penyembuhan luka yang abnormal. Keloid adalah bekas luka, yang hanya dialami oleh manusia, yang tumbuh meluas diluar batas luka aslinya. Keloid berhubungan dengan deposisi kolagen yang berlebihan di dalam lapisan dermis kulit akibat dari hiperaktifitas fibroblast.1,2,3,4 Keloid dapat terbentuk tanpa didahului adanya trauma, biasanya ini terbentuk pada daerah sternum. Meskipun bersifat jinak, keloid dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti masalah estetik, timbulnya nyeri, dan rasa gatal. 19,20 Etiologi keloid masih belum diketahui dengan jelas. Ada yang menghubungkan kejadian keloid dengan faktor genetik maupun warna kulit. Keloid memang banyak dialami oleh individu yang berkulit gelap. Bangsa Afro-amerika mengalami keloid lebih sering dibandingkan dengan bangsa Caucasian dengan rasio bervariasi mulai dari 5:1 sampai dengan 16:1. 20 Hingga saat ini dari data global diperoleh bahwa 4,5% sampai 16% orang Negro, Hispanik dan Asia menderita keloid. Dari beberapa penelitian didapatkan Pada orang afrika angka insidensinya mencapai 6 sampai 16%, sedangkan pada orang inggris mencapai 0,09%.2,5 Keloid tidak terjadi pada individu dengan albino. Insidensi keloid sama besar rasionya bila dibandingkan pada wanita dengan pada pria. Tingginya angka prevalensi pada populasi dan etiologi yang belum jelas membuat keloid masih menjadi sebuah tantangan bagi ahli bedah.5,6 Terapi keloid yang telah dikembangkan saat ini mempunyai tingkat kesuksesan yang bervariasi. Saat ini belum ada modalitas tunggal yang dapat selalu memberikan hasil yang sukses untuk mengatasi keloid. Meskipun telah ada berbagai macam terapi dan kombinasinya, tetapi belum ada terapi yang terbukti efektif untuk menangani keloid.
Timbulnya rekurensi setelah terapi telah menjadi hal yang wajar ditemukan namun dapat menimbulkan masalah psikis pada pasien. Upaya pencegahan merupakan langkah yang terbaik untuk penanganan keloid.2,4,6 Salah satu terapi yang dikembangkan untuk mengatasi keloid adalah terapi laser. Laser digunakan sebagai terapi parut pertama kali pada tahun 1978. Laser pertama yang digunakan untuk mengobati parut hipertrofik dan keloid adalah argon dengan gelombang continuous. Beberapa studi kemudian mengemukakan bahwa argon mempunyai efektifitas terapi yang terbatas dan insidensi efek sampingnya tinggi. Kemudian dikembangkanlah penggunaan laser Neodymium : Yttrium-Aluminium-Garnet (Nd:YAG laser) dan laser CO2 gelombang continuous pada tahun 1980 sebagai alternatif dari laser argon untuk menghambat pembentukkan kolagen. Sampai saat ini masih dikembangkan terapi dengan menggunakan laser sebagai kombinasi dengan modalitas terapi keloid yang lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Keloid adalah bekas luka yang tumbuh melebihi batas dari luka aslinya, yang merupakan proliferasi dari kolagen yang berlebih akibat dari hiperaktifitas fibroblast. Istilah keloid berasal dari bahasa yunani yaitu chele atau cheloides yang berarti cakar kepiting, hal ini sesuai dengan potensi lesi meluas secara lateral, meluas di batas luka, tidak mengalami regresi secara spontan, tumbuh mirip pseudotumor dan cenderung rekuren setelah eksisi. Keloid sering dibandingkan dengan parut hipertrofik. Berbeda dengan parut hipertrofik yang biasanya muncul dalam waktu 1 bulan setelah terjadi luka, keloid berkembang dalam waktu 3 bulan atau lebih, bahkan menahun. Keloid yang tumbuh melebihi batas luka aslinya juga berbeda dengan parut hipertrofik yang hanya tumbuh terbatas pada luka. Keloid yang lebih dari satu sering disebut sebagai keloidosis.1,2,5,19 B. Epidemiologi Hanya manusia yang dapat terkena keloid .Diperkirakan di Negara berkembang setiap tahunnya terdapat 100 juta penderita dengan keluhan parut sebagai hasil dari sekitar 55 juta pembedahan elektif dan 25 juta pembedahan kasus trauma. Keloid dapat terjadi pada semua golongan usia, tetapi umumnya banyak terjadi pada usia 10-30 tahun dan jarang terjadi pada bayi baru lahir atau orang tua. Sesuai hasil penelitian observasional pada 30 kasus keloid yang dilakukan di RSU Dr.Soetomo Surabaya didapatkan bahwa 76,67% penderita keloid berusia 10-30 tahun. Alasan fenomena ini disebabkan pada
rentang usia ini seseorang lebih sering mengalami trauma, dan kulitnya relatif lebih tegang dan laju sintesis kolagen lebih besar pada usia ini. Pada penelitian yang sama didapatkan hasil kasus keloid terbanyak dialami oleh wanita walaupun pada kepustakaan yang lain dikatakan bahwa angka kejadian keloid pada laki-laki dan wanita sama. Hasil penelitian tersebut diperkirakan karena lebih banyak penderita wanita yang berobat untuk keloidnya terutama bila keloid ada di wajah. Selain itu tingginya frekuensi pada wanita juga dihubungkan dengan tradisi tindik telinga. Insiden keloid pada seluruh populasi diperkirakan 3%-16%.2 Semua ras dapat terkena, tetapi lebih sering ditemukan pada orang berkulit gelap. Latar belakangnya adalah fakta bahwa pada orang kulit hitam punya kecenderungan terjadi akumulasi kolagen lebih besar dibandingkan dengan kulit putih (ras kaukasoid). Insidensi keloid 4,5% sampai 16% pada orang kulit hitam dan Hispanik. Sedangkan insiden tertinggi dari semua ras adalah ras asli di Sahara, Afrika. Individu bergolongan darah A juga dianggap lebih rentan terhadap terbentuknya keloid. Keloid memiliki polisakarida glikosaminoglikan yang sintesisnya diinduksi oleh enzim Nasetilgalaktosaminiltransferase pada antigen golongan darah A dan AB. (david,soetomo)
C. Etiologi Penyebab keloid masih belum diketahui dengan pasti. Faktor yang diduga berperan dalam pembentukkan keloid yaitu faktor predisposisi genetik dan beberapa bentuk trauma kulit. Keloid sering dihubungkan dengan faktor genetik karena sering dikaitkan dengan ekspresi gen HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16, HLA-BW35, HLA-DR5, HLA-DQW3, dan golongan darah A.7,8,9 Meskipun keloid dapat terjadi pada semua usia, namun keloid cenderung berkembang pada saat pubertas dan setelah pubertas. (English RS,hypertrophic scars and keloids) Hal ini menjelaskan bahwa individu muda lebih sering mengalami
trauma dan kulitnya lebih elastis dibandingkan kulit pada orang yang lebih tua. Fakta bahwa keloid 15 kali lebih sering dialami oleh individu yang berkulit gelap berkaitan dengan faktor genetik, dimana pembentukkan keloid utamanya terjadi pada bagian tubuh yang kaya akan melanosit, sehingga jarang terjadi pada telapak tangan dan telapak kaki. Pembentukkan keloid juga berkaitan dengan faktor endokrin. Menopause mendorong resesi dari keloid, dan dilaporkan kemunculan serta pembesaran keloid selama masa kehamilan. Selain faktor predisposisi genetik, faktor presipitasi timbulnya keloid dapat berasal dari infeksi, baik karena infeksi bakterial maupun infeksi viral. Herpes zoster dan pseudofolikulitis dapat menyebabkan terbentuknya keloid pada komunitas laki-laki AfroAmerika yang bercukur , begitu juga dengan acne keloidalis pada nuchae yang dicirikan dengan papula dan plak seperti keloid pada kulit kepala occipital dan leher belakang. Penyebab terbentuknya keloid yang lain yaitu iritasi karena luka termal atau kimia, tindik telinga, tattoo, bekas akne dan gigitan serangga dan bekas vaksin BCG. D. Patogenesis Respon fisiologis dari luka pada jaringan dewasa adalah pembentukkan parut, sebuah proses yang dapat di bagi dalam 3 fase yang berbeda : inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Segera setelah terjadi luka, terjadi degranulasi platelet dan aktivasi komplemen dan jalur pembekuan membentuk bekuan fibrin untuk hemostasis, yang membentuk jala-jala untuk menyembuhkan luka. Degranulasi platelet berperan pada pelepasan dan aktivasi sitokin yang poten, seperti Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin like Growth Factor (IGF-I), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF), dan Transforming Growth Factor (TGF-) yang bertindak sebagai agen kemotaktik untuk menarik
neutrofil, makrofag, sel epithelial, sel mast, sel endotel dan fibroblast. Dalam waktu 48-72 jam setelah fase inisial, proses penyembuhan lanjut dalam fase proliferasi, yang akan berakhir dalam waktu 3-6 minggu. Fibroblast tertarik kedalam luka untuk mensintesis jaringan granulasi. Jaringan granulasi terbentuk dari prokolagen, elastin, proteoglikan, dan asam hialuronat, dan membentuk jalinan structural untuk menyokong ppertumbuhan vascular. Myofibroblast yang mengandung myofilamen (-SMA, desmin) berperan dalam kontraksi fisiologis luka, dan saat luka telah menutup, parut immature dapat berlanjut ke fase maturasi final,yang berlangsung beberapa bulan. Pada fase maturasi yang normal, nodul dan kemerahan pada luka akan melunak dan mendatar terkait proses sintesis kolagen dan degradasi dan elemen jaringan ikat akan regresi setelah 3 minggu. Pada keloid, sintesis kolagen meningkat hingga 20 kali lipat dibanding jaringan normal tanpa parut, dan meningkat 3 kali lipat bila dibangdingkan dengan jaringan parut hipertrofik. Abergel dkk, menunjukkan bahwa tidak hanya produksi kolagen saja yang meningkat, namun rasio kolagen tipe I dibanding tipe III juga meningkat. Friedman dkk menyatakan bahwa penghambatan sintesis kolagen tipe I tidaklah efisien. Produksi yang berlebihan dari kolagen dikaitkan dengan aktivitas proliferasi yang berlebih pada fibroblast keloid. Disamping tingginya sintesis kolagen serta proliferasi fibroblast pada keloid, Oliver dkk menemukan bahwa fibroblast pada keloid menunjukkan kecepatan biosintesis fibronektin 4 kali lipat dibandingkan fibroblast dari jaringan normal. Studi terbaru meneliti mengenai pengaruh berbagai faktor pertumbuhan pada pembentukkan parut dan keloid. TGF- dan PDGF telah menunjukkan peranan dalam pembentukkan parut hipertrofik dan keloid. Mayoritas sel yang berkaitan dengan penyembuhan jaringan mengekspresikan TGF- dalam bentuk inaktif yang mnyebabkan
kemotaksis fibroblast ke daerah luka. Lebih lanjut dikatakan, faktor pertumbuhan tersebut berperan dalam proliferasi fibroblast dan produksi kolagen. Saat penyembuhan luka telah selesai, aktivitas TGF- berhenti secara normal. Pada jaringan keloid, TGF- diproduksi berlebihan dan tidak diatur oleh mekanisme sinyal autokrin secara normal. Pada waktu yang sama, fibroblast keloid mempunyai reseptor faktor pertumbuhan yang meningkat dan berespon lebih terhadap faktor pertumbuhan seperti TGF- dan PDGF. Sintesis yang kurang pada molekul yang berperan dalam pemecahan matriks juga menjelaskan kurangnya regresi parut keloid. Lebih lanjut lagi, terganggunya mekanisme apoptosis menjadi faktor pendukung dalam pembentukkan keloid dan parut hipertrofik. Messadi dkk dan Luo dkk menunjukkan aktivitas apotosis lebih tinggi pada fibroblast kulit yang normal dibandingkan fibroblast pada keloid. Menurut Wolfram dkk, secara singkat keloid terjadi akibat prose penyembuhan jaringan yang berlangsung abnormal. Terdapat 3 faktor yang mendukung terjadinya keloid, yaitu : faktor pasien, faktor topografi, dan faktor lingkungan. Faktor pasien meliputi : faktor genetik, rasial, dan ketidakseimbangan hormonal. Faktor topografi berkaitan dengan lokasi tertentu pada tubuh yang cenderung menjadi lokasi terbentuknya keloid. Faktor lingkungan antara lain : trauma, inflamasi, luka bakar, pembedahan, dan tarikan. Ketiga faktor utama tersebut berkaitan dalam menyebabkan respon sel abnormal dalam mengatasi luka. Respon abnormal tersebut berlangsung dalam 2 jalur, yaitu peningkatan produksi faktor pertumbuhan (PDGF,TGF-, VEGF) dan penurunan aktivitas metalloproteinase.Peningkatan produksi faktor pertumbuhan terjadi melalui peristiwa proliferasi berlebihan dari fibroblast, neovaskularisasi, peningkatan sintesis kolagen, dan peningkatan sintesis fibronektin. Penurunan aktivitas metalloproteinase berakibat pada
penurunan degradasi kolagen dan peningkatan rasio kolagen I/III. Produk akhir dari proses ini adalah penyembuhan luka yang abnormal, ditandai pembetukkan keloid. Menurut kepustakaan yang lain, yang dikemukakan oleh Robles dkk, ketidakseimbangan sintesis dan degradasi kolagen dapat terjadi 3 kemungkinan; Pertama, sintesis meningkat tanpa disertai peningkatan degradasi. Kedua, sintesis meningkat dan degradasi meningkat tetapi peningkatan sintetisnya lebih tinggi dari degradasinya. Ketiga, sintesis normal namun degradasinya menurun.2 Meskipun setelah luka menutup, pertumbuhan yang berlebih terus terjadi sehingga mengakibatkan penumpukan fibroblast dan kemudian penonjolan keluar permukaan kulit yang akhirnya membentuk benjolan di jaringan luka. Berikut dijelaskan beberapa teori yang paling sering dianggap sebagai patogenesis keloid 6,7: 1. Aktifitas Fibroblast Abnormal Fibroblast keloid menghasilkan kolagen yang sangat tinggi juga elastin, fibronektin, dan proteoglikan serta chondroitin 4 sulfat (C4S). Fibroblast keloid menghasilkan kolagen tipe I dan memiliki kapasitas untuk berproliferasi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan kulit normal. Pada keloid juga terjadi penurunan degradasi kolagen, hal ini disebabkan C4S yang meningkat membuat serat kolagen sukar didegradasi, selain itu ditemukan penurunan enzim collagenase inhibitor seperti -antitrypsin 2-macroglobulin.6,7 2. Reaksi Imun yang tidak normal Beberapa teori mengatakan bahwa keloid dihasilkan oleh reaksi imun spesifik. Kadar immunoglobin (Ig) yang ditemukan meningkat pada keloid antara lain: IgA, IgG, IgM, dan IgC3. Diduga bahwa antigen memiliki peranan pada terbentuknya keloid.Kenaikan serum IgE yang menjadi mediator histamin oleh sel mast juga ditemukan pada orang dengan
keloid.Histamin berhubungan dengan sintesis kolagen dengan menghambat lysil oksidase kolagen yang bertanggung jawab terhadap cross-linking kolagen, sehingga memberi kontribusi peningkatan jumlah kolagen pada keloid. Aktifitas metabolik sel mast juga berperan dan mendasari terjadinya rasa gatal yang sering bersama dengan penyakit ini.6,7 3. Peningkatan produksi asam hyaluronat Asam hyaluronat merupakan glikosaminoglikan yang terikat pada reseptor permukaan fibroblast dan memiliki peranan penting dalam mempertahankan sitokin yang terlokalisasi ke sel, salah satunya adalah TGF-1.Produksi asam hyaluronat meningkat pada fibroblast keloid, dan kadarnya kembali normal setelah pengobatan dengan triamcinolone. Beberapa peneliti lain menentang hasil ini, dengan menemukan kadar asam hyaluronat yang lebih rendah dalam dermis koloidal jika dibandingkan dengan epidermis. Perubahan distribusi yang tidak normal ini, menunjukkan karakteristik fibrosis pada lesi.6,7 4. Peningkatan kadar growth factor dan sitokin Transforming growth factor- (TGF-) memiliki tiga sub-tipe yaitu: tipe 1, 2 dan 3. Tipe 1 dan 2 menstimulasi fibroblast, ditemukan meningkat pada skar hipertrofi dan keloid.Pada keloid, TGF- terkait dengan peningkatan sintesis kolagen fibronektin oleh fibroblast. Peningkatan kadar TGF-1 mempengaruhi matrik ekstraseluler dengan menstimulasi sintesis kolagen dan mencegah penguraiannya. TGF-2 dapat mengaktifkan fibroblast pada keloid. Disamping itu insulin like growth factor-1 (IGF-1) ditemukan juga meningkat pada keloid, di mana fungsinya meregulasi, proliferasi, diferensiasi dan pertumbuhan sel. Penelitian lain telah menunjukkan adanya kadar interleukin 6 (IL-6) yang meningkat pada fibroblast keloid. IL-6 diduga sebagai rekursor produksi fibroblast dari sunsum tulang ke sisi luka dan menstimulasi produksi kolagen yang berlebihan sedangkan IL-13 akan
menghambat degradasi kolagen melalui penghambatan matriks metalloproteinase (MMP) MMP-1 dan MMP-3 sehingga terjadi penumpukan kolagen. Sehingga terjadi penumpukan kolagen. Sehingga sitokin ini juga bisa memiliki peranan dalam patogenesis keloid.6,7 5. Pengaruh kadar melanin terhadap reaksi kolagen-kolagenase. Melanin adalah suatu produk dari organel melanosum dalam melanosit yang bersifat asam. Kepadatan kolagen akan sesuai dengan parut normal bila sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Peranan pH sangat berpengaruh terhadap aktifitas enzim. Terganggunya enzim degradasi menyebabkan produksi kolagen hasil sintesis menjadi tidak terkontrol yang kemudian secara akumulasi akan terbentuk tumpukan kolagen yang padat dan bermanifestasi sebagai suatu kelainan keloid. Enzim yang berperan sebagai degradator adalah kolagenase, dapat bekerja maksimal pada pH 7,5.Hoopes dan Im menemukan fosfatase asam pada keloid dapat meningkat sampai 10 kali jaringan ikat normal. Perdanakusuma dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa peningkatan kadar melanin akan menurunkan pH menjadi lebih asam. Penurunan pH akan menurunkan kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen yang berakibat terjadi akumulasi kolagen. Peningkatan kadar melanin berpengaruh terhadap terjadinya akumulasi kolagen melalui mekanisme penurunan pH menjadi lebih asam sehingga kemampuan enzim kolagenase mendegradasi kolagen menjadi menurun. Penelitian ini menjelaskan juga kejadian keloid pada orang kulit berwarna disebabkan karena keberadaan melanin yang lebih tinggi akan mengganggu keseimbangan sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka.2 Patofisiologi lainnya antara lain nutrisi gen P53, tingkat apoptosis yang rendah, peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1), hipoksia jaringan , peningkatan kadar nitrit oksida, peningkatan kadar melanocyte stimulatif hormone (MSH),
peningkatan angiotensin converting enzyme (ACE), peningkatan Gli-1, protein onkogenik serta tegangan pada luka.6,10
E. Gejala klinis Penampakan keloid secara klinis berupa nodul fibrosa atau plak yang menonjol, lesi elastis atau licin, kenyal sampai keras, padat, berbatas tegas dan warna bervariasi dari merah muda sampai berwarna merah sampai coklat tua, dan dapat memanjang seperti cakar claw atau dapat terjadi ulserasi serta bisa terbentuk sinus di dalamnya Lesi yang masih awal biasanya kenyal, permukaannya licin, kadang dikelilingi halo eritematosa dan mungkin juga teleangiektasis. Keloid dapat disertai rasa gatal dan sakit yang mengganggu secara fisik dan psikologis pada pasien yang mengalaminya. Sedangkan pada lesi yang lanjut biasanya sudah mengeras dan mengalami hiperpigmentasi. Keloid berkembang selama beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah trauma. Keloid meluas di luar batas luka, tidak mengalami regresi secara spontan cenderung rekuren setelah eksisi.keloid sering disertai gejala klinis.2 Pada pemeriksaan fisik perlu ditanyakan riwayat lesi, ciri-ciri lesi, serta frekuensi tempat-tempat lesi. Keloid dapat timbul di seluruh bagian tubuh tetapi mempunyai predileksi pada daerah bahu, telinga, punggung dan dada. Lokasi tersering pada daerah kepala leher adalah lobules telinga sekitar 55% yang hamper semuanya disebabkan oleh tindik lubang telinga. Urutan yang tersering adalah deltoid (21%), sternumb(7%) dan retroaurikuler (5%). Bila keloid berada di kulit persendian dapat membatasi pergerakan. 1,2,5 F. Histopatologi
Secara Histologi keloid menunjukkan serat-serat kolagen terhialinisasi yang tampak menebal dan tersusun melingkar, di bagian tengahnya terisi lebih tebal. Pada awalnya sudah dapat dilihat serat kolagen di jaringan granulasi atau bentuk nodul bertambah ukurannya dan akhirnya menipis. hal ini yang membedakannya dengan skar hipertrofi. Sel mast dan sel plasma tampak lebih banyak dan melepaskan histaminnya, hal ini yang menyebabkan keloid kadang terasa gatal. Sel mast mengalami degranulasi dan terletak tepat di miofibroblast. Serat kolagen biasanya tampak padat dan homogen dengan arah serat yang tidak beraturan dan sel yang sedikit.1 G. Terapi Laser Secara umum terapi untuk keloid sangatlah bervariasi. Banyak penelitian telah dilakukan dalam dua dekade ini, tetapi hanya beberapa yang didukung studi prospektif dengan grup kontrol yang adekuat. Pada pertengahan tahun 1980, Apfelberg dan kolega adalah yang pertama kali mengenalkan penggunaan teknologi laser sebagai terapi pada keloid dan parut hipertrofi. Penemuan pertama mereka tersebut dengan menggunakan laser Argon dan CO2 pada keloid. Namun pada follow-up selanjutnya dilaporkan bahwa terdapat kekambuhan berupa parut pada semua pasien yang diterapi laser tersebut. Pada tahun 1990 barulah dilakukan studi serial kasus yang menunjukkan keberhasilan 585 nm flashlamp pumped pulsed dye laser untuk keloid dan parut hipertrofik. Perkembangan ysng lebih baik juga didapatkan pada pasien dengan keloid yang telah dilakukan laser terapi dengan Argon sebelumnya yang kemudian kambuh menjadi scar dan kemudian dilakukan terapi laser dengan pulsed dye laser. Karakteristik parut luka yang telah diiradiasi dengan pulsed dye laser mempunyai karakteristik yang hampir mirip dengan kulit normal. Referensi lain menyebutkan parut kelaoid yang telah mendapatkan terapi laser ini berubah menjadi lebih
lembut, tidak menonjol, kemerahan, dan terasa gatal. Tidak dijumpai pula adanya rekurensi dalam 4 tahun setelahnya. Penggunaan kombinasi pulsed dye laser dengan laser CO2 dikembangkan untuk terapi parut hipertrofik non eritematosa yang minimal. Jumlah terapi laser yang dibutuhkan untuk merawat parut dan striae tergantung pada tipe lesi H. Terapi Secara umum terapi untuk keloid sangatlah bervariasi. Banyak penelitian telah dilakukan dalam dua dekade ini, tetapi hanya beberapa yang didukung studi prospektif dengan grup kontrol yang adekuat. Banyak cara terapi baru yang sangat menjanjikan pada skala kecil tetapi belum dilanjutkan dengan skala besar dengan pemantauan waktu yang panjang. Secara garis besar terapinya dibedakan menjadi dua, terapi bedah dan terapi non bedah. Terapi bedah mulai dari eksisi total dengan menggunakan eksisi elips, w-plasty, zplasty maupun dengan teknik eksisi intralesi. Sedangkan contoh terapi non bedah seperti: Pressure garmen, Injeksi kortikosteroid, radioterapi dll. Sedangkan penggunaan preparat topical secara umum yang sering digunakan saat ini diantaranya centella asiatica (Madecasol), onion extract cream (Mederma), scar reducer (Hansaplast) dan yang baru dan sedang diteliti penggunaan mitomicin C topical. Secara umum terapi yang sudah ada belum memberikan hasil yang memuaskan, sering didapatkan respon yang kurang optimal maupun rekurensi yang masih tinggi. Dengan menggunakan kombinasi dari beberapa terapi menunjukkan perbaikan respon maupun rekurensinya.2,11 I. Terapi Bedah Pemilihan metode pembedahan untuk menangani keloid harus berdasarkan evaluasi yang cermat terhadap ukuran, letak serta terapi yang telah diberikan. Seperti diketahui angka
rekurensi yang tinggi setelah terapi pembedahan ( 45 - 100% ), sehingga sangat diperlukan pertimbangan penggunaan prosedur pembedahan dalam menangani keloid. Kombinasi pembedahan dengan metode terapi lain juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi penanganan keloid. Eksisi merupakan cara yang sudah berjalan lama untuk menangani keloid.1,2,4 Eksisi total yang diharapkan dapat dilakukan penutupan primer dapat dilakukan dengan desain elips, w-plasty atau geometric broken line closure (GBLC). Eksisi elips merupakan desain yang serba guna dapat dilakukan untuk merevisi lesi kecil < 2 cm, juga dapat untuk lesi sedang sampai besar. Hanya untuk lesi yang besar diperlukan eksisi bertahap dengan cara eksisi elips intralesi. Pada eksisi elips total diusahakan sesuai atau parallel dengan relaxed skin tension lines (RSTLs). Prosedur eksisi intralesi sering dilakukan untuk mengurangi kemungkinan rekurensi. Diharapkan dengan prosedur ini luka dapat ditutup primer dan akan didapatkan volume keloid yang lebih kecil. Prosedur ini mungkin perlu diulang 3-6 bulan setelah eksisi pertama jika ukuran keloidnya cukup besar. Setelah eksisi intralesi dapat dilakukan kombinasi dengan injeksi kortikosteroid. Pengecilan parut pasca eksisi intralesi akan memungkinkan injeksi kortikosteroid sebagai kombinasi menjadi lebih efektif serta pemakaian dosis yang relatif lebih kecil dibandingkan dilakukan dengan sendiri. Teknik w-plasty dapat dilakukan untuk merevisi parut yang panjang dan lurus >2cm yang tegak lurus dengan RSTLs (tidak paralel) dan melintang di area yang melengkung. Teknik ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontraksi parut sehingga tampak parut memendek dan cekung tidak satu level dengan permukaan kulit. Setelah w-plasty tampak garis luka jahitan berbentuk zig-zag, hal ini untuk menghindari parut yang cekung setelah proses penyembuhan luka. Geometric broken-line closure (GBLC) adalah suatu teknik yang dapat digunakan jika menghadapi parut yang ireguler. Teknik ini baik untuk lesi yang panjang dan lurus serta melintang
tegak lurus dengan RSTLs. GBLC menggunakan desain berbagai bentuk geometris yang saling berhadapan seperti kaca cermin yang dapat saling dihubungkan sesuai dengan bentuknya. Teknik ini dapat menggunakan berbagai model desain tergantung pada bentuk lesinya yang penting adalah ada kesesuaian garis desain yang dapat saling dipertemukan. Pada keloid yang besar dapat digunakan prosedur z-plasty, cara ini terbukti sukses untuk mereduksi tension dari kulit. Z-plasty berguna untuk memperpanjang parut yang melintang atau melawan garis lipatan kulit atau RSTLs menjadi parut yang sejajar/paralel dengan garis lipatan kulit. Selain itu z-plasty dapat juga mengatasi problem web/selaput pada sela jari. Prinsip dari z-plasty adalah 2 flap segitiga yang saling bertukar tempat. Untuk keloid yang berukuran besar jika dilakukan eksisi total maka akan meninggalkan defek yang luas, sehingga perlu dilakukan penutupan dengan skin graft maupun flap. Terapi pembedahan suatu metode yang telah lama dipakai dalam menangani keloid. Perlu penilaian yang teliti sebelum melakukan tindakan pembedahan, mengingat angka rekurensinya yang cukup tinggi. Ada berbagai teknik pembedahan yang bisa dilakukan dalam menangani keloid baik secara tunggal maupun dikombinasi dengan modalitas terapi nonbedah.1,2,6 Terapi Bedah dengan Laser Penggunaan laser untuk parut hipertrofik dan keloid telah banyak dilakukan penelitian secara luas. Laser CO2 panajng gelombang 10.600nm dengan target jaringan yang mengandung air. Banyak digunakan untuk melakukan eksisi atau membakar parut abnormal dengan keunggulan lapangan operasi yang kering/perdarahan minimal serta trauma jaringan yang minimal. Masih didapatkan rekurensi yang cukup tinggi yaitu 3992%. Kombinasi laser dengan kortikosteroid menunjukkan sedikit perbaikan yaitu rekurensi sekitar 16-74%. Penggunaan laser CO2 untuk terapi parut saat ini tidak diterima
secara luas untuk penanganan keloid karena tingginya angka rekurensi. Laser Argon mirip dengan CO2 merangsang pengkerutan kolagen melalui pemanasan local, rekurensinya bervariasi 45-93%. Hasil penelitian menunjukkan metode ini tidak berhasil mendapatkan perbaikan untuk jangka panjang. Terjadi kerusakan non spesifik akibat efek termal di mana hal ini berhubungan dengan tingginya level rekurensi. Laser Nd YAG panjang gelombang 1320nm secara in vitro menurunkan kolagen dengan menghambat produksi kolagen secara selektif.2,6 Didapatkan pengecilan volume parut, pengurangan eritema, dan indurasi. Respon yang didapat menggunakan laser jenis ini berkisar36-47%. Secara umum rekurensinya masih cukup tinggi yaitu 53-100%. Pada suatu penelitian 17 penderita keloid yang dilakukan Nd YAG didapatkan 60% parut yang rata pada sesi pertama terapi. Pada pemantauan sampai sekitar 18 bulan sampai 5 tahun tidak didapatkan rekuren. Sekitar 40% membutuhkan pemberian laser dikombinasi dengan injeksi kortikosteroid. Penelitian terkini menunjukkan bahwa pulsed erbium YAG laser efektif dan aman untuk parut hipertrofik. Pulsed Dye Laser (PDL) panjang gelombang 585 atau 595nm adalah laser yang spesifik untuk vaskuler dan didapatkan perbaikan keloid dan parut hipertrofik pada 57-83% kasus yang diterapi dengan cara ini. Parut yang telah dilakukan dengan laser tampak lebih lunak, hipertrofik berkurang demikian juga eritema dan keluhan gatalnya juga berkurang. Pada studi molekuler didapatkan ada hubungan regresi keloid setelah PDL dengan supresi proliferasi fibroblast, peningkatan regulasi MMP-13, induksi apoptosis dan aktifitas protein kinase serta penurunan regulasi TGF -1.1,2,6 Saat ini terapi laser yang merupakan pilihan utama untuk penangan parut hipertrofik dan keloid adalah PDL. Penelitian terkini pada 106 penderita parut hipertrofik dan keloid menunjukkan resolusi yang cepat terhadap kerasnya dan eritema. Didapatkan perbaikan kualitas parut bila dilakukan PDL 2 minggu pasca pembedahan. Perawatan pasca terapi laser harus hati-hati,
misalnya saja tidak boleh terkena air, mengganti perban harus bersih untuk mencegah terjadinya infeksi.2,11 II. Terapi non-bedah a. Injeksi kortikosteroid intralesi Saat ini injeksi kortikosteroid telah dipakai secara luas dan secara konsesus internasional diakui efektif sebagai terapi lapis pertama untuk keloid dan terapi lapis kedua untuk parut hipertrofik jika cara yang lebih mudah gagal. Penggunaan injeksi kortikosteroid ini untuk penanganan parut telah dilakukan sejak tahun 1960an hingga kini. Mekanisme kerja prosedur ini dengan menghambat sintesis kolagen melalui reduksi 2-makroglobulin dan menghambat proliferasi fibroblast melalui penekanan pada vascular endothelial growth factor (VEGF). Injeksi yang sering digunakan adalah triamcinolon acetonide 10-40 mg/ml dengan interval waktu 4-6 minggu. Menggunakan jarum ukuran 25-27 dilakukan injeksi intralesi sampai berwarna kepucatan. Penyuntikan harus disuntikkan langsung intralesi untuk mencegah kerusakan pada kulit normal disekitarnya. Injeksi ini perlu dilakukan berulang-ulang sehingga sering kali pasien mengeluhkan ketidaknyamanan dan rasa nyeri waktu penyuntikan sehingga bila perlu ditambahkan anestesi lidokain. Angka responnya 50-100% dengan rekurensi berkisar 9-50%. Chowdri et al. menyatakan bahwa respon dari penggunaan steroid intalesi ini mencapai 91.9%.Didapatkan hasil yang baik bila dikombinasi dengan terapi lain seperti pembedahan dan cryotherapy. Efek samping dari terapi ini berupa artrofi kulit, depigmentasi dan teleangiektasis pada 63% penderita.2,11 b. Silicone Gel Sheeting Silicone gel sheeting merupakan terapi baru dan tidak menyebabkan rasa sakit pada keloid dan parut hipertrofik. Telah dipakai secara luas sejak awal tahun 1980an. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara pasti, cara ini menunjukkan perbaikan
kontur parut, warna dan tekstur. Diduga silicone gel mempunyai efek dengan cara meningkatkan temperature parut 1-2 derajat dari suhu tubuh, di mana hal ini akan meningkatkan aktifitas kolagenase. Meskipun awalnya meragukan, saat ini didapatkan bukti yang bagus dan cukup efektif sebagai standar perawatan parut. Hasil dari delapan randomized control trials dan 27 penelitian berupa percobaan menunjukkan bahwa
silicone gel sheeting aman dan efektif untuk parut hipertrofik dan keloid. Beberapa penelitian menunjukkan silicone gel sheeting dengan penekanan yang dipakai berkisar 1224 bulan efektif untuk parut hipertrofik dan keloid dengan perbaikan baik 34%, perbaikan sedang 37,5%, tidak ada atau sedikit perbaikan 28%. Penggunaan silicone gel sheeting sangat berguna bagi anak-anak dan orang yang tidak tahan sakit. Cara menggunakan silicone gel sheeting adalah 12 jam/hari selama 3 bulan kemudian diteruskan lagi selama 3 bulan untuk mempertahankan hasil. Banyak penelitian yang menyatakan hasil yang baik pada pemakaian jangka panjang yaitu 12 bulan dengan pemakaina 24 jam/hari. Kebanyakan sheet mempunyai ketahanan sekitar 2 3 minggu dan harus dibersihkan dan dikeringkan setiap hari untuk mencegah iritasi bakteri. Efek samping dari penggunaan terapi ini dapat menimbulkan maserasi, erosi, rash dan pruritus pada kulit. Semua efek samping ini akan hilang setelah penghilangan gelnya.2,11,12,13 c. Pressure/Compression Terapi pressure (penekanan) ini sudah digunakan untuk menangani parut hipertroik dan keloid sejak tahun 1970an. Sudah menjadi standar terapi lapis pertama untuk parut luka bakar pada berbagai senter. Termasuk dalam metode ini adalah anting-anting penekan, kancing penekan, elastis bandage, lycra bandages dan compression wrap/compression garment. Tekanan yang direkomendasikan adalah 24-30 mmHg, 18-24 jam/hari selama 612 bulan dapat diukur dengan sphygmomanometer atau durometer. Dengan tekanan akan
menurunkan hidrasi parut, yang akan menyebabkan stabilisasi sel mast dan menurunkan vaskularisasi dan produksi matriks ekstraseluler. Mekanisme yang lainnya adalah hipoksia local pada daerah yang menglami penekanan akan meningkatkan degenerasi fibroblast dan kolagen. Juga dilaporkan dapat menurunkan alfa macroglobulin yang secara normal berperan menghambat kolagenase untuk mendegradasi kolagen. Dilaporkan keberhasilan berkisar 60-85%. Penekanan untuk daun telinga dan kancing penekan didapatkan perbaikan sekitar 75-100% dari 60% kasus yang dilakukan dengan terapi cara ini. Pada pasien yang dilakukan kombinasi pembedahan dengan penekanan didapatkan respon hasil yang baik 90-100%. Untuk terapi parut hipertrofik dilakukan penekanan untuk beberapa bulan sampai 2 tahun dapat mengatasi parut hipertrofik secara menetap. Garment digunakan segera setelah luka tertutup epitel, tekanan akan menurunkan aliran darah parut, menurunkan deposisi protein, meningkatkan lisis dan menurunkan edema. Secara umum akan didapatkan parut lebih tipis, lebih matang, lebih elastic pada lebih dari 50% penderita. Teori yang terkini garment yang ketat akan meningkatkan temperatur parut sebesar 1C, yang mana hal ini secara signifikan dapat meningkatkan kolagenolisis dan pematangan parut.1,2,6 d. Radioterapi Radioterapi telah digunakan sebagai terapi tunggal dan kombinasi dengan pembedahan untuk parut hipertrofik dan keloid. Walaupun masih kontroversial dalam menggunakan cara ini sebagai terapi tunggal. Mekanismenya dengan menghancurkan fibroblast, connective tissue, stem cells dan acute inflammatory cells. Dengan cara ini keseimbangan pembentukan kolagen dan degradasi kolagen dapat diatur. Didapatkan respon dengan radioterapi 10-94 % dan rekurensi 50-100%. Hasil terbaik didapatkan dengan 1500-2000 rad sampai 5-6 sesi pada periode pasca pembedahan dini. Radioterapi sering dilakukan
pada penderita keloid dewasa yang telah resisten terhadap modalitas terapi lain. Hasil multi studi menggunakan radioterapi setelah eksisi parut didapatkan angka kesuksesan diatas 97%. Rekurensi timbul antara 1-3 tahun. Radioterapi dengan irdium-192 yang diimplantasikan keluka setelah eksisi parut didapatkan rekurensi 20-40%. Hiperpigmentasi paling sering ditemukan pasca radioterapi, dilaporkan pula resiko keganasan setelah radioterapi.2,11 e. Cryoterapi Cryoterapi adalah melakukan freezing terhadap lesi menggunakan nitrogen cair yang akan menyebabkan kerusakan sel dan mikrovaskuler. Secara umum digunakan secara terbatas untuk terapi parut yang berukuran kecil. Pertama kali digunakan tahun 1899. Dapat digunakan sebagai terapi tunggal maupun dikombinasi dengan terapi yang lainnya. Cara melakukannya nitrogen cair pada suhu -195,8 C atau -320,4 C diaplikasi dengan cotton swab selama 4 detik sampai 2 menit dan diulang 2 3 minggu sampai 2 12 kali tergantung ukurannya. Akan terjadi nekrosis jaringan dan sloughing karena anoksia. Hal ini akan menjadikan parut lebih datar. Didapatkan parut yang lebih datar pada 51-74% penderita setelah dua sesi atau lebih. Bila dikombinasikan dengan injeksi kortikosteroid intralesi didapatkan respon 84%. Pada keloid yang masih muda dan parut hipertrofik didapatkan respon yang lebih baik daripada keloid. Nyeri lokal, atrofi kulit dan hipopigmentasi terjadi sebagai efek samping prosedur ini. Pada keloid daun telinga dan daerah hidung terkadang dapat menyebabkan kerusakan pada kartilago.1,2,11 f. Adhesive Microsporous Hypoallergenic Paper Tape Penggunaan adhesive microsporous hypoallergic paper tape kurang efektif sebagai terapi untuk parut, tetapi dapat digunakan sebagai pencegahan pada penderita dengan resiko yang relatif rendah untuk terjadinya parut abnormal. Penggunaan tape bersama dengan
elastic bandage mungkin bermanfaat pada parut di area yang banyak bergerak seperti ekstremitas termasuk juga di daerah persendian.2 g. Antihistamin Golongan H1 blocker seperti mepyramin dan promethazine dapat mengurangi kandungan kolagen. Antihistamin dapat membantu mencegah pembentukan parut yang berlebih.2 h. Verapamil Penyuntikan intralesi dengan verapamil hydrochloride menunjukkan efek yang menguntungkan pada terapi keloid. Verapamil termasuk golongan calcium channel blocker. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi diduga verapamil menurunkan sintesis kolagen di dalam matriks ekstraseluler dan meningkatkan sintesis enzim kolagenase yang berperan dalam degradasi kolagen. Dosis yang diberikan bervariasi mulai dari 0,5 sampai 2 ml dengan konsentrasi 2,5mg/ml tergantung ukuran keloid tersebut selama periode 2 bulan. Biasanya digunakan sebagai terapi tambahan dan diberikan pada hari ketujuh setelah eksisi keloid. Berdasarkan penelitian oleh Lawrence, didapatkan angka respon 55% pada pengobatan keloid di telinga dengan eksisi, verapamil dan pressure earings.1,2,11 i. Topikal Retinoic Acid/Tretinoin (derivat vit A) Retinoic acid secara in vitro didapatkan reduksi metabolisme kolagen. Secara in vivo aplikasi tretinoin atau retinoic acid didapatkan reduksi dari parut hipertrofik dan keloid pada 50-100% pasien. Uji klinis lain pada 28 keloid dan parut hipertrofik didapatkan hasil yang baik sebesar 77-79% selain mengecil ukurannya juga berkurangnya keluhan gejala lain dari parut abnormal tersebut. Hasil pengamatan dengan cara ini didapatkan pengecilan volume kurang dari 20% dari total volume keloid. Retinoic acid diaplikasikan 2 kali sehari selama 3 bulan.1,2
j. Imiquimod Krim imiquimod merupakan terapi alternatif pada keloid dan masih menjadi focus penelitian-penelitian saat ini. Krim imiquimod 5 % dapat merangsang TNF-alfa, IFN-alfa, IFN-gamma, IL-1,6,8 dan 12. Berman dan Kaufman menerapi 12 pasien dengan imiquimod 5% krim setelah eksisi. Pemberian dilakukan segera setelah eksisi dan dilanjutkan setiap malam sampai 8 minggu. Hasilnya tidak didapatkan adanya rekurensi pada pemantauan selama 24 minggu. Efek samping dari penggunaan terapi ini adalah hiperpigmentasi dan iritasi kulit.1,2,6,11 k. Tacrolimus Tacrolimus adalah imunomodulator yang dapat menghambat TNF-, Gli-1, suatu onkogen yang ditemukan ekspresinya berlebih di fibroblas keloid. Rapamycin analog dengan tacrolimus yang sudah digunakan pada studi in vitro, ditemukan menghambat onkogen Gli-1. Hal ini memberikan alas an untuk memulai percobaan klinis topical salep tacrolimus 0,1% 2 kali sehari selama 12 minggu. Ditemukan penurunan indurasi, konsistensi, eritema dan rasa gatal pada sebagian besar penderita yang diaplikasikan salep ini, walaupun secara statistik tidak signifikan. Tacrolimus merupakan antibiotic golongan makrolid yang memiliki efek antitumor dan imunosupresi. Terjadi penghentian siklus sel pada fase G1. Awal mulanya penggunaan tacrolimus pada keloid secara tidak sengaja dioleskan pada keloid didapatkan pengecilan.2,6,11 l. Injeksi Interferon Interferon termasuk terapi yang menjanjikan untuk masa depan, sering dikombinasi bersama dengan 5 FU dan injeksi bleomisin. Interferon alfa(IFN-), beta (IFN-) dan gamma (IFN-) dapat menurunkan sintesis kolagen tipe I dan III melalui reduksi R NA seluler, menghambat produksi glykosaminoglikan dan juga didapatkan peningkatan
penghancuran kolagen melalui peningkatan kolagenase. Pemberian injeksi IFN-2b 3 kali seminggu didapatkan perbaikan pada parut hipertrofik yang signifikan dibandingkan dengan control dan juga terjadi pengurangan serum TGF- setelah terapi. Penggunaan injeksi interferon untuk pencegahan rekurensi lebih baik daripada triamcinolon didapatkan rekurensi hanya 18,7%, sedangkan eksisi dikombinasi dengan injeksi triamcinolon rekurensinya 58,4%. Pemberian injeksi intralesi IFN- dengan dosis 0,001 mg atau 0,1 mg setiap minggu selama 10 minggu didapatkan respon lebih dari 50% berupa penurunan tinggi parut. Efek samping yang timbul seperti gejal flu seperti demam, pusing dan sakit kepala. Dapat dicegah dengan pemberian parasetamol 500mg profilaktif.1,2,6,11 m. Bleomisin Intralesi Injeksi Bleomisin intralesi menyebabkan nekrosis dari keratinosit. Injeksi 1,5 IU/ml dengan multiple puncture method selama periode 1 bulan didapatkan regresi pada 84% dari 31 penderita keloid. Didapatkan pengurangan dari volume keloid. Penderita dengan parut yang lama dan telah resisten dengan kortikosteroid menunjukkan respon yang baik menggunakan injeksi bleomisin 0,01% setiap 3-4 minggu.2,6 n. 5-Fluorouracil (5-FU) Intralesi Meskipun dikenal sebagai agen kemoterapi, 5-Flourouracil (5-FU) merupakan terapi eksperimental untuk keloid karena mempunyai efek menghambat proliferasi fibroblast. Dosis akumulasinya dari 50mg sampai 150mg dengan konsentrasi 50mg/ml tiap pemakaian. Menunjukkan hasil yang lebih efektif bila dikombinasi dengan kortikosteroid. Komposisinya 0,9 ml 5 FU (50mg/ml) dengan 0,1 ml triamcinolon acetonide (10mg/ml) 3 kali/minggu. Efek sampingnya nyeri dan purpura pada daerah suntikan serta dapat terjadi hiperpigmentasi temporer.1,2,3,6,11 o. Anti TGF-
Saat ini penelitian upaya menghambat TGF- sedang dilakukan, seperti diketahui bahwa TGF- berperan penting dalam pembentukan parut pada proses penyembuhan luka. Pada eksperimental binatang dilakukan penghambatan TGF- dengan antibody. Dikemukakan bahwa penghambatan TGF- terjadi melalui reseptor mannose-6-phosphate ditambah dengan TGF- isoform. Pada uji binatang cara ini memberikan hasil yang baik. Percobaan pada manusia sedang dikembangkan menggunakan cara ini.1,2,6 p. Krim Depigmentasi Hasil penelitian eksperimental dan uji klinis walaupun masih dalam skala kecil menunjukkan bahwa penurunan kandungan kolagen dan secara klinis didapatkan perlunakan, perubahan warna yang lebih terang, pengurangan ukuran parut serta pengurangan keluhan nyeri dan gatal. Mekanisme kerjanya dengan menurunnya kandungan melanin dermis akan mengurangi kondisi asam karena pada kondisi asam enzim kolagenase akan menurun aktifitasnya. Dalam keadaan yang relatif basa, aktifitas enzim kolagenase untuk mendegradasi kolagen akan optimal, sehingga penumpukan kolagen secara perlahan akan menurun dan volume parut akan mengecil.2 q. Pulsed Light Heat Energy (LHE) Pulsed light heat energy (LHE) adalah energi sinar panas yang terlihat (400-1200nm) yang dihasilkan oleh lampu khusus. Merupakan teknik penyinaran yang mampu melepaskan spesies oksigen reaktif dalam jaringan. Berdasarkan dari teknik ini terjadinya rekurensi dengan ukuran yang lebih besar dapat dicegah.. Atsumi et al (2007) melaporkan kemampuan dari LHE untuk membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai efek sitotoksik seperti yang terlihat dari efek untuk menghilangkan rambut secara permanen. Pada penelitian atsumi et al (2007), LHE ditemukan untuk menghasilkan ROS (Reaktive Oxygen Species). Berdasarkan penelitian Wirihadijojo et al (2008) terapi ini
dikombinasikan dengan operasi flap suprakeloidal. Dilakukan Operasi flap suprakeloidal pada pengobatan keloid dilakukan agar hipoksia di tepi jahitan dapat diminimalisasi, sekaligus untuk mencegah terjadinya tension kulit. Faktor yang yang menyebabkan penyembuhan keloid berulang pada kasus ini menjadi jelas. ROS yang dihasilkan oleh LHE dikombinasi dengan teknik flap suprakeloidal, mencegah terjadinya hipoksia jaringan kulit. Hal ini membuat proses remodeling berjalan efektif.14 r. Mitomicin C Topikal Mitomicin C merupakan golongan dari aziridine yang mengandung streptomyces lavendulae. Sering digunakan sebagai agen kemoterapi karena mempunyai efek antitumor dan antibiotik. Merupakan alkylating agent yang mencegah sintetis DNA dengan cara membentuk rantai crosslinkage dari rantai ganda DNA tumor sehingga sel-sel tumor tidak dapat proliferasi.15,16 Mitomicin C mempunyai efek mencegah divisi dari sel, proliferasi fibroblast, protein, dan sintetis kolagen dan neoangiogenesis. Simman et al menemukan peningkatan Biasanya diberikan pada kasus tumor payudara, tumor gastrointestinal dan tumor kandung kemih. Telah dilaporkan sukses sebagai terapi laryngeal dan trakeal stenosis (upper airway stenosis).16,17 Penggunannya dikombinasikan dengan terapi bedah. Pemberian pada kasus keloid dengan cara pengolesan mitomicyn-C topikal 0,4 mg/ml selama 5 menit setelah dilakukan eksisi dan homeostasis dan diulangi setelah 3 minggu pemberian yang pertama. Dari penelitian oleh Bailey et all (2006) didapatkan angka keberhasilan yang tinggi (80%). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa mitomycin-c mempunyai efek memodulasi penyembuhan luka dengan mengurangi aktifitas fibroblast tanpa menganggu proses epitelisasi. Efek samping yang sering ditemukan adalah hiperpigmentasi dan atrofi kulit.17,18
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Berman B, Amini S, Viera M.H, 2009. Keloid and Hypertrophic Scar. http://emedicine.medscape.com/article/1057599. Accessed 20 August, 2009. 2. Perdanakusuma D.S, Noer M.S, 2006. Penanganan Parut Hipertrofik Dan Keloid. Surabaya : Airlangga University Press. p. 43-61 3. Wilhelmi B.J, 2008. Wound Healing, Widened and Hypertrophic Scars. http://emedicine.medscape.com/article/1298541. Accessed 20 August, 2009. 4. Thorne C.H, Beasley R.W, Aston S.J, Bartlett S.P, Gurtner G.C, Spear S.L, 2007. Grabb & Smiths Plastic Surgery. USA : Lippincott Wolliams & Wilkins. p 21-22
5. Kokoska
M.S,
Prendiville,
2007.
Hypertrophic
Scarring
and
Keloids.
http://emidicine.medscape.com/article/876214. Accessed 20 August, 2009. 6. Newsome R.E, Tandon R, Bolling R.P, Wang A.R, Jansen D.A, 2009. Wound Healing, Keloids. http://emedicine.medscape.com/article/1298013. Accessed 20 August, 2009. 7. Robles D.T. MD PhD, Moore E, Draznin M. MD, Berg D. MD, 2007. Keloids: Pathophysiology and Management. Dermatology Online Journal 2007, 13 (3): 9. 8. Lim C.P, Phan T-T, Lim I.J, Cao X, 2006. Stat3 Contributes to Keloid Pathogenesis Via Promoting Collagen Production, Cell Proliferation and Migration. Oncogene 9. Clare M.M, Nanchahal JD, 2005. Advances in the Modulation of Cutaneous Wound Healing and Scarring. Biodrug 2005, pp:363-376 10. Fujiwara M, Muragaki Y, Ooshima A, 2005. Keloid Derived Fibroblasts Show Increased Secretion of Factors Involved in Collagen Turnover and Depend on Matrix Metalloproteinase for Migration. British Journal of Dermatology 2005 153, pp 295-300. 11. Froelich K, Staudenmaier R., Klesinsasser N, Hagen R, 2007. Therapy of Auricular Keloid : Review of Different Treatment Modalities and Proposal for Theraupetic Algorithm. Eur arch Otorhinolaryngol 2007,264 :1497-1508 12. Signorini M, Clementoni M.T, 2007. Clinical Evaluation of a New Self-Drying Silicone Gel in the Treatment of Scars : A Preliminary Report. Aesth. Plast. Surg. 31:183-187.
13. Chernoff W.G, Cramer H, Su-Huang S, 2007. The Efficacy of Topical Silicone Gel Elastomers in the Treatment of Hypertrophic Scars, Keloid Scars, and Post-Laser Exfoliation Eryhema. Aesth. Plast. Surg.31:495-500. 14. Yohanes W. W, Kristiana E, Retno D, 2008. The Combination of Suprakeloidal Flap and Pulsed Light Heat Energy in Keloid Management : A Case Report. Berkala Ilmu Kedokteran vol. 40, no 1, Maret 2008: p 45-49. 15. Simman R; Alani H; Williams F, 2003. Effect of Mitomycin C on Keloid Fibroblasts: an In vitro Study. Ann Plast Surg 2003 Jan; Vol. 50 (1), pp. 71-6. 16. Talmi Y.P, Orenstein A , Wolf M, Kronenberg J , 2005. Use of mitomycin C for treatment of keloid: A preliminary report. [Otolaryngol Head Neck Surg] 2005 Apr; Vol. 132 (4), pp. 598-601. 17. Sanders K.W, Gage-White, Stucker F.J, 2005. Topical Mitomycin C in the Preventoin of Keloid Scar Recurrence. Arch Facial Plast Surg. 2005;7:172-175. 18. Bailey J.N.R, Waite A.E, Clayton W.J and Rustin M.H.A, 2006. Application of Mitomycin C to the Base of Shave-Removed Keloid Scars to Prevent Their Recurrence. British Journal of Dermatology 2007 156,pp 682-686. 19. Juckett G, Adams H.H, 2009. Management of Keloids and Hypertrophic Scars. American Family Physician. 2009 August : Vol. 80, Number 3, pp. 253-260. 20. Kelly A.P, 2009. Update on the Management of Keloids. 2009 Elsevier : Semin Cutan Med Surg 28 : pp 71-76.