Anda di halaman 1dari 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Terminal 2.1.1 Definisi terminal a. Berdasarkan Juknis LLAJ 1995, terminal Transportasi merupakan : Titik simpul dalam jaringan transportasi jalan yang berfungsi sebagai tempat pelayanan umum. Tempat pengendalian, pengawasan, peraturan dan pengoperasian lalu lintas. Prasarana angkutan yang merupakan bagian dari sistem transportasi untuk melancarkan arus penumpang dan barang. Unsur tata ruang yang mempunyai peranan penting bagi efisiensi kehidupan kota.

b. Terminal sebagai salah satu prasarana perhubungan merupakan bangunan yang membentuk elemen kota yang dimanfaatkan oleh masyarakt. Sebagai salah satu segmen pembentuk kota maka keberadaan suatu terminal sangat berkaitan dengan penataan ruang. Oleh karena itu penetapan lokasi terminal di suatu lokasi tertentu akan mempengaruhi aktifitas perkotaan secara keseluruhan. c. Terminal adalah tempat di mana sekumpulan bis mengakhiri dan mengawali lintasan operasionalnya. d. Mengacu pada definisi tersebut, terminal dimanfaatkan oleh : penumpang, untuk mengakhiri, memulai atau menyambung perjalanannya dengan mengganti (transfer) lintasan bus lainnya.

e. Bagi pengemudi bus, maka bangunan terminal adalah tempat untuk memulai, mengakhiri perjalanan dan juga sebagai tempat bagi kendaraan untuk beristirahat sejenak, yang selanjutnya menggunakan kesempatan tersebut untuk perawatan ringan ataupun pengecekan mesin. f. Di dalam system terminal terdapat sekelumpulan komponen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.

2.1.2

Tipe terminal penumpang a. Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995 tanggal 28 Juli 1995 tentang Terminal Transportasi jalan, terminal penumpang terdiri dari : Teminal penumpang tipe A : berfungsi melayani kendaraan umum angkutan antar kota antar provinsi dan atau angkutan lintas batas Negara, angkutan antar kota propinsi, angkatan kota dan angkutan pedesaan. Fasilitas terminal penumpang sesuai Keputusan Menteri perhubungan Nomor 31 Tahun 1995 tanggal 28 Juli 1995 terdiri dari fasilitas penunjang. Fasilitas Utama Jalur pemberangkatan kendaraan umum Jalur kedatangan kendaraan umum Tempat parkir kendaraan umum selama menunggu keberangkatan, termasuk didalamnya tempat tunggu dan tempat istirahat kendaraan umum Bangunan kantor terminal Tempat tunggu penumpang dan atau pengantar Menara pengawas Loket penjualan tiket

Rambu-rambu dan papan informasi, yang sekurang-kurangnya memuat penunjuk jurusan, tarif dan jadwal perjalanan.

Pelataran parkir kendaraan pengantar dan atau taksi

Fasilitas penunjang terdiri dari : Kamar kecil/toilet Musholla Kios/kantin Ruang pengobatan Ruang informasi dan pengaduan Telepon umum Tempat penitipan barang Taman

Lokasi terminal Terletak dalam jaringan trayek AKAP dan atau angkutan lintas batas Negara Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan minimum IIIA Jarak antara dua terminal penumpang tipe A minimum 20 km Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 Ha Mempunyai akses jalan masuk dan keluar ked an dari terminal dengan jarak minimal 100 m

Instansi penetap terminal : Dirjen Perhubungan Darat setelah mendengar pendapat Gubernur dan Kepala Kanwil Setempat.

b. Terminal penumpang tipe B Terminal penumpang tipe B : melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan. Fasilitas sama dengan terminal tipe A Lokasi terminal Terletak dalam jaringan trayek AKAP Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan minimum IIIB Jarak antara dua terminal penumpang tipe A dengan tipe B minimum 15 km Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 Ha Mempunyai akses jalan masuk dan jalan keluar ked an dari terminal dengan jarak minimal 50 m Instansi penetap terminal : Gubernur setelah meendengar pendapat dari Kepala Kanwil Departemen Perhubungan dan persetujuan Dirjen. c. Terminal penumpang tipe C Terminal penumpang tipe C melayani angkutan pedesaan. Fasilitas terminal Jalur pemberangkatan kendaraan umum Jalur kedatangan kendaraan umum Bangunan kantor terminal Tempat tunggu penumpang atau pengantar Loket penjualan tiket Rambu-rambu dan papan informasi

Lokasi terminal Terletak dalam wilayah kabupaten dan dalam jaringan trayek pedesaan Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan minimum IIIC Luas lahan yang tersedia sesuai dengan permintaan angkutan Mempunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal sesuai kebutuhan

Instansi penetap terminal : Bupati setelah mendengar pendapat dari Kepala Kanwil Departemen Perhubungan dan persetujuan gubernur.

2.1.3

Kriteria teknis penentuan terminal a. Harus dapat menjamin kelancaran arus angkutan baik penumpang maupun barang, yang harus memenuhi syarat : Sebagai tempat pemindahan, penyimpanan, dan pengolahan Sebagai tempat penggantian moda angkutan Sebagai sarana pengendali, pengawas dan pengatur arus kendaraan umum yang baik b. Harus sesuai dengan rencana tata ruang pengembangan kota, yaitu tidak mengakibatkan gangguan pada kelancaran arus kendaraan umum dan keamanan lalu lintas dalam kota dan tidak mengganggu lingkungan sekitar.

2.1.4

Kriteria perencanaa terminal dari segi lalu lintas a. Jalan masuk dan keluar harus lancar, baik kendaraan yang datang maupun keluar dapat bergerak dengan mudah b. Penumpang dapat memasuki terminal bus tanpa berjalan jauh

c. Setelah kendaraan masuk terminal harus dapat bergerak tanpa halangan terhenti d. Pada perencanaan fasilitas utama, harus diperhatikan kebutuhan minimum daerah bebas bagi maneuver kendaraan baik untuk kedatangan/keberangkatan.

2.2 Transportasi 2.2.1 Transportasi sebagai suatu system Manusia dan transportasi tidak dapat dipisahkan dan akan membentuk hubungan timbal balik antara kegiatan masyarakat dan pelayanan dan penyediaan transportasi berupa sarana dan prasarana yang merupakan wujud dari kegiatan lalu lintas. Masalah transportasi yang timbul diperkotaan, antara lain dipengaruhi oleh: a. Sistem kegiatan b. Pola kegiatan c. Perilaku kegiatan d. Sarana dan prasarana transportasi (aksesibilitas)

Aksebilitas Sistem Kegiatan Sarana & Prasarana Transportasi

Perilaku Peroranan dan lembaga dalam penentuan lokasi Kegiatan

Kegiatan Transportasi (Travel Decision)

Kebutuhan Transportasi (Transport Demand) Pola Kegiatan Penyediaan Sarana & Prasarana Transportasi Pembangunan dan Pengembangan daerah Gambar 2.1 Keterkaitan Antar Komponen Pada Sistem Transportasi

2.2.2

Karakteristik pelayanan transportasi Karakteristik pelayanan angkutan merupakan atribut dari sistem transportasi yang dapat mempengaruhi keputusan konsumen, seperti kapan, untuk apa, dengan moda apa, dengan rute yang mana melakukan pergerakan/perjalanan. Secara umum masing-masing akan mempertimbangkan atribut pelayanan yang berbeda pula, yang mana melakukan pergerakan/perjalanan, yang mencerminkan perbedaan dalam karakteristik social dan ekonami. Atribut pelayanan untuk jasa transportasi adalah :

a. Waktu Waktu perjalanan total Waktu yang dihabiskan pada tempat perpindahan Frekuensi pelayanan Jadwal waktu keberangkatan/kedatangan b. Biaya/ongkos Biaya transportasi langsung seperti bahan bakar, dan lain-lain Biaya operasi langsug lainnya, seperti pemuatan dan dokumentasi Biaya tak langsung, seperti perawatan, asuransi, bunga, pergudangan c. Keamanan Probabilitas kerusakan pada barang Probabilitas kecelakaan d. kenyamanan pengguna jalan Jarak perjalanan Jumlah ketersediaan kendaraan Kesenangan fisik (temperature, kebersihan, kualitas perjalanan) Kesenangan psikologi (status, kebebasan) Kesenangan yang lain (penanganan bagasi, tiket, pelayanan makanan)

2.2.3

Pendekatan sistem untuk perencanaan transportasi Pendekatan system adalah pendekatan umum utuk suatu perencanan atau teknik dengan menganalisis semua faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang ada. Contohnya, kemacetan lokal yang disebabakan oleh penyempitan lebar jalan dapat

dipecahkan dengan melakukan perbaikan secara lokal. Akan tetapi, hal ini mungkin menyebabkan permasalahan berikutnya yang timbul di tempat lain. (Tamin, 2000). Pendekatan system akan dapat mengaitkan permaalahan yang ada, misalnya apakan permasalahan tersebut disebabkan karena terlalu banyaknya lalu lintas di daerah tersebut? Jika memang demikian, pertanyaan berikutnya adalah mengapa lalu lintas terlalu banyak? Jawabnya mungkin terlalu banyak kantor yang sangat berdekatan letaknya, atau mungkin juga karena ruang gerak yang sangat sempit bagi pergerakan lalu lintas. Pemecahannya dapat berupa manajemen lalu lintas secara lokal, pembangunan jalan baru, peningkatan pelayanan angkutan umum, atau perencanaan tata gua lahan yang baru. Pendekatan system mencoba menghasilkan pemecahan yang terbaik dari beberapa alternatif pemecahan yang adatentunya denga batasan (waktu dan biaya) (Tamin, 2000). Gambar 2.2 memperlihatkan beberapa komponen penting yang saling berhubungan dalam perencanaan transportasi,yang biasa dikenal proses perencanaan. Tampak bahwa proses perencanaan sebenarnya merupakan proses berdaur dan tidak pernah berhenti. P[erubahan dalam suatu komponen pasti mengakibatkan perubahan pada komponen lainnya. Tahap awal proses perencanaan adalah perumusan atau kristalisasi sasaran, tujuan, dan target termasuk mengidentifikasi permasalahan dan kendala yang ada. Proses selanjutnya adalah mengumpulkan data untuk melihat kondisi yang ada dan hal ini sangat diperlukan untuk mengembangkan metode kuantitatif yang akan dipilih yang tentu harus sesuai dengan system yang ada. Proses peramalan sanagt dibutuhkan untuk melihat perkiraan siyuasi pada masa mendatang dan merumuskan beberapa

alternative pemecahan masalah, termasuk standar perencanaan yang diteruskan dengan proses pemilihan alternative terbaik. Untuk itu diperlukan suatu metode atau teknik penilaian yang cocok dalam proses pemilihan alternative terbaik tersebut. (Tamin, 2000).

Sasaran tujuan dan target Pemanfaatan dan evaluasi Rumusan sasaran, tujuan, dan target

Perencanaan Proses Daur Data Alternatif Rencana Data Pelaksanaan Penilaian Alternatif terbaik Perancangan

Gambar 2.2 Proses Perencanaan Transportasi Setelah alternatif terbaik didapatkan, dilakukan proses perancangan yang diteruskan dengan proses pelaksanaan. Setelah proses pelaksanaan, perlu dilakukan proses pengawasan dan evaluasi untuk melihat apakah tujuan perencanaan yang telah dirumuskan pada tahap awal telah tercapai. Jika tidak, mungkin perlu diubah rumusan tujuan dan sasaran yang ada yang secara otomatis pasti mempengaruhi proses berikutnya. Proses daur tersebut terus berlangsung dan tidak pernah berhenti. (Tamin, 2000).

2.2.4

Bangkitan dan tarikan pergerakan Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tat guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan lalu lintas merupakan tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup : Lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi Lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi

Pergerakan yang berasal dari zona i (Bangkitan)

Pergerakan yang menuju ke zona d (Tarikan)

Hasil keluaran dari perhitungan bangkitan dan tarikan lalu lintas berupa jumlah kendaraan, orang atau barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Setelah dapat dihitung jumlah orang atau kendaraan yang masuk atau keluar dari suatu luas tanah tertentu dalam satu hari (atau satu jam) untuk mendapatkan bangkitan dan tarikan pergerakan. Bangkitan da tarikan lalu lintas tersebut tergantung pada dua aspek tata guna lahan : Jenis tata guna lahan Jumlah akivitas (dan intensitas) pada tat guna lahan tersebut (Tamin, 2000).

2.2.5

Tingkat pelayanan Tingkat pelayanan adalah kondisi suatu jalan dalam melayani pejalan yaitu tingkat pelayanan berdasarkan nilai kuantitatif seperti NVK (nisbah antara volume dam kapasitas), kecepatan perjalanan, dan faktor lain yang ditentukan berdasarkan nilai kualitatif seperti kebebasan pengemudi dalam mengambil kecepatan, derajat hambatan lalu lintas, serta kenyamanan. Secara umum tingkat pelayanan dibedakan seperti pada tabel 2.1 Tabel 2.1. Tingkat pelayanan berdasarkan nilai kuantatif

Indek Keadaan lalu lintas tingkat pelayanan Kondisi arus lalu lintas antara satu kendaraan dengan A kendaraan lainnya, besarnya kecepatan sepenuhnya ditentukan oleh keinginan pengemudi dan sesuai dengan batas kecepatan yang telah ditentukan. B Kondisi lalu lintas stabil, kecepatan operasi mulai dibatasi olek kendaraan lainnya dan mulai dirasakan hambatan oleh kendaraan sekitarnya. Kondisi lalu lintas masih batas stabil, kecepatan operasi mulai dibatasi dan hambatan dari kendaraan lain semakin besar Kondisi lalu lintas mendekati tidak stabil, kecepatan operasi menurun relatif cepat akibat hambatan timbul dan kebebasan bergerak relative kecil. Volume lalu lintas sudah mendekati kapasitas jalan, kecepatan rata-rata lebih rendah dari 40 km/jam. Pergerakan lalu lintas kadang terhambat.

DS 0,00-0,20

0,20-0,44

0,45-0,74 0,75-0,84

0,85-1,00

Pada tingkat pelayanan ini arus lalu lintas berada dalam keadaan dipaksakan, kecepatan relatif rendah, arus lalu lintas sering berhenti sehingga sering terjadi antrian kendaraan yang panjang. Sumber : Tamin, Nahdalina (1998) F

>1,00

2.2.6

Antrian Kendaraan Dalam suatu antrian dikenal istilah Disiplin Antrian, yaitu antrian pelayanan yang mengacu kepada pemberian pelayanan. Antrian pelayanan tersebut dapat berupa (Tamin, 2000) : a. Pertama Masuk Pertama Keluar / First in First out (FIFO) Merupakan suatu peraturan dimana yang dilayani terlebih dahulu adalah yang pertama kali datang. b. Terahir Masuk Pertama Keluar / Last in First out (LIFO) Merupakan suatu peraturan dimana yang paling terahir datang adalah yang dilayani paling awal. c. Pelayanan Acak / Service in Random Order (SIRO) Merupakan suatu peraturan dimana pelayanan dilakukan secara acak. Pada penelitian ini yang akan dibahas lebih lanjut hanyalah antrian dengan menggunakan menggunakan disiplin antrian FIFO. Terdapat 4 parameter utama yang digunakan dalam menganalisis antrian, yaitu :
n = jumlah kendaraan atau orang dalam system (kendaraan atau orang persatuan

waktu)
q = jumlah kendaraan atau orang dalam antrian (kendaraan atau orang per satuan

waktu)
d = waktu kendaraan atau orang dalam system (satuan waktu).

w = waktu kendaraan atau orang dalam antrian n=

( )

(1 )

Dimana :

3600 WP

Dengan :

WP

= tingkat pelayanan (kendaraan/jam) = waktu pelayanan (detik/kendaraan)

2.3 Metode Pos Pengamat Tetap


2.3.1 Kinerja Jalan Berdasarkan MKJI 1997

Tingkat kinerja jalan berdasarkan bedasarkan MKJI 1997 adalah ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional. Nilai kuantitatif dinyatakan dalam kapasitas, derajat kejenuhan, kecepatan rata-rata, waktu tempuh, tundaan, dan rasio kendaraan berhenti. Ukuran kualitatif yang menerangkan operasional dengan arus lalu lintas dan persepsi pengemudi tentang kualitas perkendaraan dinyatakan dengan tingkat pelayanan jalan. a. Kapasitas Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimal melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas yaitu : C = Co x FCw x FCsp x FCsf

Dengan : C Co FCw FCsp FCsf = kapasitas sesungguhnya (smp/jam) = kapasitas dasar (smp/jam) = faktor penyesuaian akibat jalur lalu lintas = faktor penyesuaian pemisahaan arah (untuk jalan tak terbagi) = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan

Kapasitas dasar (Co) ditentukan bedasarkan tipe jalan sesuai dengan tabel 2.2 sebagai berikut : Tabel 2.2 Kapasitas Dasar (Co) Jalan Luar Kota Tipe Jalam Empat lajur terbagi - Datar - Bukit - Gunung Empat lajur tak terbagi - Datar - Bukit - Gunung Dua lajur tak terbagi - Datar - Bukit - Gunung Sumber : MKJI 1997 Kapasitas Dasar (smp/jam) 1900 1850 1800 1700 1650 1600 3100 3000 2900 Catatan Per Lajur

Per Lane

Total Kedua Arah

Faktor penyesuaian lebar jalan ditentukan berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif yang dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut :

Tabel 2.3 Penyesuaian Kapasitas Untuk Pengaruh Lebar Jalur Lalu Lintas (FCw) Lebar Jalur Lalu Lintas Tipe Jalan (Wc) FCw (meter) Empat lajur terbagi Per lajur 0,91 Enam laljur terbagi 3,00 0,96 3,25 1,00 3,50 1,03 3,75 Empat lajur tak terbagi Per lajur 0,91 3,00 0,96 3,25 1,00 3,50 1,03 3,75 Dua lajur tak terbagi Total kedua arah 0,69 5 0,91 6 1,00 7 1,08 8 1,15 9 1,21 10 1,27 11 Sumber : MKJI 1997 Faktor penyesuaian pembagian arah jalan didasarkan pada kondisi dan distribusi arus lalu lintas dari kedua arah jalan atau untuk tipe jalan tanpa pembatas median. Faktor penyesuaian pemisah jalan dapat didlihat pada tabel 2.4 sebagai berikut : Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Untuk Pemisah Arah (FCsp) Untuk Jalan Dua Lajur Dua Arah (2/2) Dan Empat Lajur Dua Arah (4/2) Yang Tak Terbagi Pemisah Arah SP % - % 50 50 55 45 60 40 65 35 70 - 30 FCsp Dua lajur (2/2) 1,00 0,97 0,96 0,94 0,92 0,91 0,88 0,88 0,84

Empat lajur (4/2) 1,00 Sumber : MJKI 1997

Faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping untuk ruas jalan yang mempunyai kereb didasarkan pada 2 faktor yaitu lebar kereb (Wk) dan kelas

hambatan samping. Nilai faktor penyesuaian kapasitas akibat hambatan samping ini dapat dilihat pada tabel 2.5 sebagai berikut : Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Kapasitas Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FCsf) Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Tipe Kelas Jalan Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FCsf) Samping Lebar Bahu Efektif Ws (meter) 0,5 1,0 meter 1,5 meter meter 1,01 1,00 0,99 0,99 0,97 0,96 0,96 0,95 0,93 0,95 0,92 0,90 0,93 0,90 0,88 1,00 0,99 0,97 0,97 0,95 0,93 0,94 0,91 0,88 0,91 0,87 0,84 0,88 0,83 0,80 2,0 meter 1,03 1,01 0,99 0,97 0,96 1,02 1,00 0,98 0,95 0,93

4/2 D

VL L M H VH 2/2 UD VL 4/2 UD L M H VH Sumber : MJKI 1997 b. Volume lalu lintas

Pengukuran volume kendaraan dengan metode pos pengamat tetap dilakukan dengan cara pengamat berada di pos pengamat yang telah ditentukan. Setiap orang dalam pos pengamat menghitung kendaraan yang keluar masuk terminal yang telah ditentukan dan mengklasifikasi jenis kendaraan sesuai dengan klasifikasi kendaraan yang diperlukan. (Tan Lie Ing, Indra Rachman Efendi, 2007). c. Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus jalan terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukan apakah segmen jalan tersebut

mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar untuk menentukan derajat kejenuhan (DS) adalah sebagai berikut :
DS = Q C

DS Q C

= Derajat Kejanuhan = Volume lalu lintas (smp/jam) = Kapasitas jalan (smp/jam) Jika derajat kejenuhan (DS) > 0,80 berarti bahwa jalan tersebut mendekati

lewat jenuh, yang akan mengakibatkan antrian panjang pada kondisi lalu lintas puncak. Kemungkinan untuk menambah kapasitas jalan bias dilakukan dengan pelebaran jalan dan penambahan lebar bahu jalan. d. Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus nil, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pengemudi seandainya mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermotor lain di jalan (yaitu saat arus = 0). FV = (FV0 + FVW) x FFVSF x FFVRC Keterangan : FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi sesungguhnya

(km/jam). FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan dan alinyemen yang diamati (km/jam). FVW FFVSF = Penyesuaian kecepatan akibat lebar jalan (km/jam). = Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu

FFVRC

= Faktor penyesuaian akibat klas fungsi jalan dan guna lahan. Kecepatan arus bebas ditentukan berdasarkan tipe jalan dan jenis kendaraan

sesuai dengan tabel 2.6 sebagai berikut : Tabel 2.6 Kecepatan Arus Bebas Dasar FV0 Untuk Jalan Luar Kota, Tipe Alinyemen Umum Kecepatan Arus Bebas Dasar FV0 (km/jam) Kendaraan Sepeda Truk Bus Kendaraan Tipe Jalan Berat Motor Besar Besar Ringan Menengah (MC) (LT) (LT) (LV) (HV) Enam lajur terbagi: - Datar - Bukit - Gunung Empat jalur terbagi : - Datar - Bukit - Gunung Four lane undivided : - Datar - Bukit - Gunung Two lane undivided : - Datar SDC:A - Datar SDC:B - Datar SDC:C - Bukit - Gunung Sumber : MJKI 1997 83 70 61 78 68 60 74 66 58 68 65 61 61 55 67 56 45 65 55 44 63 54 43 60 57 54 52 42 85 67 54 81 66 53 78 65 52 73 69 63 62 50 64 51 39 62 51 39 60 50 39 58 55 52 52 38 64 58 55 64 58 55 60 56 53 55 54 53 53 51

Penyesuaian kecepatan arus bebas untuk lebar jalur lalu lintas berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif dan kelas hambatan samping dapat dilihat pada tabel 2.7. Lebar lalu lintas efektif diartikan sebagai lebar jalur tempat gerakan lalu lintas setelah dikurangi oleh lebar jalur akibat hambatan samping. Faktor penyesuaian kecepatan

arus bebas akibat lebar jalan (FVw) dipengaruhi oleh kelas jarak pandang dan lebar jalur efektif (Wc). Tabel 2.7 Penyesuaian Untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FVw) Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc) (meter) Perlajur 3,00 3,25 3,50 3,75 Perlajur 3,00 3,25 3,50 3,75 Total 5 6 7 8 9 10 11 FVw (km/jam) Bukit : Datar : SDC = A,B, C SDC = A, B Datar : SDC=C -3 -1 0 2 -3 -1 0 2 -11 -3 0 1 2 3 3 -3 -1 0 2 -2 -1 0 2 -9 -2 0 1 2 3 3

Tipe Jalan

Gunung

Empat lajur dan Enam lajur terbagi

-2 -1 0 2 -1 -1 0 2 -7 -1 0 0 1 2 2

Empat lajur tak terbagi

Dua lajur tak terbagi

Sumber : MJKI 1997 Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas akibat hambatan samping berdasarkan jarak kereb dan penghalang pada trotoar (FFVSF). Untuk jalan dengan kereb dapat dilihat pada tabel 2.8 sebagai berikut:

Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FFVSF) Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping Kelas dan Lebar Bahu Hambatan Tipe Jalan Samping Lebar Bahu Efektif Rata-rata Ws (SFC) (meter) 0,5 m 1,0 m 1,5 m > 2 m 1,00 1,00 1,00 1,00 Empat lajur terbagi (4/2 D) Sangat rendah 0,99 0,98 0,98 0,98 Rendah 0,98 0,96 0,95 0,95 Sedang 0,97 0,93 0,92 0,91 Tinggi 0,96 0,89 0,87 0,86 Sangat tinggi 1,00 1,00 1,00 1,00 Empat lajur tak terbagi Sangat rendah 0,98 0,97 0,97 0,96 (4/2 UD) Rendah 0,97 0,95 0,94 0,92 Sedang 0,96 0,90 0,89 0,88 Tinggi 0,95 0,85 0,83 0,81 Sangat tinggi 1,00 1,00 1,00 1,00 Dua lajur tak terbagi (2/2 Sangat rendah 0,98 0,97 0,97 0,96 UD) atau jalan satu arah Rendah 0,97 0,93 0,92 0,91 Sedang 0,95 0,88 0,87 0,85 Tinggi 0,93 0,82 0,79 0,76 Sangat tinggi Sumber : MJKI 1997 Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata guna lahan (FFVRC) bias ditentukan berdasarkan tipe jalan dan prosentase pengembangan samping jalan. Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata guna lahan (FFVRC) bisa dilihat pada tabel 2.9 sebagai berikut :

Tabel 2.9 Faktor Penyesuaian FFVRC Akibat Pengaruh Kelas Fungsional Jalan dan Tata Guna Lahan Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan Faktor Penyesuaian FFVRC Tipe Jalan Pengembangan Samping Jalan (%) 0 25 50 75 100 Empat lajur terbagi 0,95 0,96 0,98 0,99 1,00 - arteri 0,94 0,95 0,97 0,98 0,99 - kolektor 0,93 0,94 0,96 0,97 0,98 - local Empat lajur tak terbagi 0,94 0,96 0,97 0,99 1,00 - arteri 0,91 0,93 0,94 0,96 0,97 - kolektor 0,89 0,91 0,92 0,94 0,95 - local Dua lajut tak terbagi 0,94 0,96 0,97 0,98 1,00 - arteri 0,88 0,90 0,91 0,93 0,94 - kolektor 0,84 0,86 0,87 0,88 0,90 - local Sumber : MJKI 1997 e. Hambatan Samping Hambatan samping yaitu aktifitas samping jalan yang dapat menimbulkan konflik dan berpengaruh terhadap pergerakan arus lalu lintas serta menurunkan kenerja jalan. Adapun tipe kejadian hambatan samping, adalah : Pejalan kaki (PED) Pemberhentian angkutan umum dan kendaraan lain (PSV) Kendaraan lambat (SMV) Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan (EEV) Tingkat hambatan samping dikelompokan ke dalam lima kelas dari yang rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan samping sepanjang segmen jalan yang diamati. Menurut MKJI 1997 kelas hambatan samping dikelompokan seperti yang ada pada Tabel 2.10

Tabel 2.10. Kelas Hambatan Samping Kelas hambatan samping Frekuensi berbobot dari kejadian (kedua sisi) <50 50 - 150 150 - 250 250 - 350 >350 Kondisi Khusus

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Sumber : MKJI 1997

VL L M H VH

Pedesaan : pertanian atau belum berkembang Pedesaan : beberapa bangunan atau kegiatan samping jalan Kampung : kegiatan pemukiman Kampung : beberapa kegiatan pasar Hamper perkotaan : banyak pasar/kegiatan niaga

f. Derajat Iringan Derajat iringan yaitu arus kendaraan di dalam peleton terhadap arus total. Derajat iringan hanya untuk jalan 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 UD). Untuk menentukan derajat iringan pada jalan 2 lajur 2 arah (2/2 UD) bisa dihitung dari derajat kejenuhan. g. Variasi arus lalu lintas harian Tingkat arus lalu lintas bervariasi terhadap hari dalam satu minggu. Variasi harian dalam satu minggu sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang umumnya mempunyai jadwal yang tetap dalam seminggu, variasi harian jalan perkotaan berbeda dengan jalan antar kota, dan jalan yang menuju tempat rekreasi berbeda dengan jalan bukan di daerah rekreasi. Menurut penelitian Titi Liani 2007 bahwa variasi arus lalu lintas untuk jalan perkotaan, jalan antar kota, dan jalan yang menuju tempat rekreasi adalah sebagai berikut :

Untuk jalan perkotaan puncak kesibukan berada pada tengah hari minggu, yaitu pada hari Senin sampai Jumat. Sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu arus lalu lintasnya cenderung rendah.

Untuk jalan antar kota, mempunyai puncak pada akhir hari minggu, yaitu Jumat, Sabtu dan Minggu. Sedangkan untuk hari Senin sampai Kamis arus lalu lintasnay cenderung rendah.

Untuk jalan yang menuju tempat rekreasi mempunyai variasi arus lalu lintas sama dengan jalan antar kota yaitu puncak arus berada pada akhir hari minggu yaitu Jumat, Sabtu dan Minggu. Dan untuk hari Senin sampai Kamis arus lalu lintasnya cenderung rendah.

h.

Karakteristik volume lalu lintas Lalu lintas di jalan raya terdiri dari berbagai macam jenis kendaraan, dalam hubungannya dengan kapasitas jalan raya adalah pengaruh dari setiap jenis kendaraan terhadap arus lalu lintas secara keseluruhan. Sedangkan pada perhitungan yaitu dengan membandingkan terhadap satuan mobil penumpang (smp). Tabel 2.11 Faktor Konversi Jenis Kendaraan LV (kendaraan ringan) MHV (kendaraan berat menengah) LB (bis besar) LT (truk besar) MC (sepeda motor)
Sumber : MKJI 1997

Faktor Konversi 1,00 1,30 1,50 2,50 0,50

2.3.2

Pertumbuhan Lalu Lintas

Untuk mengetahui jumlah volume lalu lintas beberapa tahun yang akan datang digunakan rumus berbunga

VJPn = VJPo (1 + r)n Dengan : VJPn = Volume jam puncak tahun ke-n VJPo = volume jam puncak tahun dasar r n = Tingkat pertumbuhan lalu lintas harian rata-rata = Tahun ke-n

Anda mungkin juga menyukai