Anda di halaman 1dari 10

Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis Multiple Intelligences Zainal Arifin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: derizzain@yahoo.co.id Abstrak: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis Multiple Intelligences. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Munif Chatib tentang konsep Sekolahnya Manusia. Analisis dari kajian pustaka menghasilkan temuan bahwa Sekolahnya Manusia adalah sekolah berbasis Multiple Intelligences (MI), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis kecerdasan siswa. Dengan pendekatan teori Multiple Intelligence (MI) Howard Gardner, Munif Chatib mencoba membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter dan humanis untuk mengenali dan melejitkan kecerdasan setiap anak, yaitu menggunakan alat riset yang dinamakan Multiple Intelligences Reseacrh (MIR) untuk mengetahui kecerdasan siswa yang paling menonjol. Kata kunci: Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, Multiple Intelligence Pendahuluan Membangun sekolah hakikatnya adalah human investment untuk kemajuan masa depan bangsa. Sekolah adalah tempat di mana setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan menikmati fasilitas pendidikan. Sekolah adalah tempat pengembangan potensi, kecerdasan, bakat, maupun keterampilan siswa. Sekolah adalah tempat pembudayaan perilaku atau karakter terpuji. Sayangnya, menurut Munif Chatib, banyak sekolah yang sadar atau tidak, malah membunuh banyak potensi siswa-siswa didiknya. 1 Hal ini dikarenakan, sekolah tidak menghargai potensi kecerdasan siswa selain kecerdasan inteligensi. Realitas menunjukan masih banyak guru di sekolah menganggap siswa cerdas adalah siswa yang memiliki kecerdasan inteligensi (IQ) tinggi. Realitas membuktikan bahwa masih banyak guru maupun sekolah, bahkan orang tua dan masyarakat hanya memandang siswa cerdas adalah siswa yang memiliki nilai matematika: 9, Kimia: 9, Fisika: 9, dan Bahasa Indonesia 8 atau nilai Ujian Nasional (UN) dengan rata-rata 8. Sedangkan, siswa dengan kecerdasan lain, misalnya musik, kinestetik, naturalis, emosional, spiritual, kurang dihargai. Penilaian yang dilakukan oleh guru maupun sekolah masih banyak menggunakan penilaian dengan angka-angka (kognitif), belum menekankan pada penilaian afektif (moral), maupun psikomotoriknya. Maka, tidak heran jika masih banyak anak yang mendapatkan nilai 9 dalam pelajaran agama tapi jarang melakukan sholat atau bahkan gerakan sholatnya belum sempurna. Berdasarkan latar belakang masalah ini, artikel ini akan membahas pandangan Munif Chatib tentang Sekolahnya Manusia, yang memanusiakan manusia (humanis), di mana seorang guru atau sekolah menghargai setiap potensi,
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,(Bandung: Kaifa, 2010), hlm. xxi
1

kecerdasan, bakat, maupun keterampilan siswa. Dengan pendekatan teori Multiple Intelligences Howard Gardner, Munif Chatib berusaha membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter berbasis Multiple Intelligences. Pembahasan Biografi Munif Chatib Munif Chatib lahir di Sidoarjo. Ketertarikannya di dunia pendidikan di awali ketika masih di bangku SMA. Meskipun masih berstatus siswa kelas 3, beliau ikut membantu gurunya memberi bimbingan belajar kepada temantemannya. Meskipun ia suka mengajar namun waktu itu tidak ada orang yang mengarahkan untuk jenjang S1 mengambil kuliah di fakultas pendidikan, sehingga beliau merasa salah jurusan. Saya masuk di fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, dan tahun pertama saya seperti masuk ke dunia lain, kenang bapak yang senang menulis puisi. Karena itulah beliau tidak begitu tertarik pada dunia hukum, seperti menjadi hakim, jaksa atau pengacara, meskipun profesi pengacara pernah dijalaninya pada tahun pertama kelulusannya menjadi sarjana hukum. Namun hatinya lebih mantap menjadi pengajar. Dan pada tahun 1992 sebelum diwisuda beliau dipercayakan untuk menjadi seorang asisten dosen di fakultas hukum sebuah universitas baru di Sidoarjo. Namun malang, hanya 1 bulan, beliau dikeluarkan dari kampus tersebut karena mengkritik dosennya dalam memberikan kuliah yang monoton dan menjemukan.2 Mutiara dari Sidoarjo ini, Neno Warisman menjulukinya, pada tahun 1998 sampai 1999 telah menyelesaikan studi dengan Distance Learning di Supercamp Oceanside California USA yang dipimpin oleh Bobby de Porter. Dari 73 lulusan alumni pertama tersebut, beliau menduduki rangking 5 dan satusatunya lulusan dari Indonesia. Tesisnya,Islamic Quantum Learning, cukup menggemparkan dan sampai sekarang dijadikan referensi yang diminati di Supercamp. Islamic Quantum Learning adalah kritik tentang penokohan fiktif yang dikembangkan oleh Bobby dePorter. Dan sepertinya saya menemukan hal yang luar biasa, yaitu ternyata mereka mengakui bahwa nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai terbaik dalam penerapan penokohan dan character building yang diajarkan di sekolah-sekolah. Seperti seorang menimba air dari dalam sumur. Air sumur itu adalah nilai Islam dan mereka menyedotnya dengan mesin yang canggih. Sedangkan kita di Indonesia atau di sekolah-sekolah Islam mengambil air itu dengan timba bocor. Inilah kelemahan kita yaitu terletak pada metodologi, ujar Munif Chatib yang selalu yakin bahwa sekolah Islam mestinya dapat menjadi sekolah terbaik dan unggul.3 Redefinisi Kecerdasan, Sebuah Awal yang Manusiawi Setiap suku bangsa di dunia ini mempunyai kriteria tertentu untuk menentukan definisi kecerdasan. Bangsa Yunani Kuno sangat menghargai orang yang cerdas mempunyai fisik kuat, pemikiran yang rasional, dan menunjukkan
http://munifchatib.wordpress.com/2008/07/22/munif-chatib-mutiara-dari-sidoarjo/. Diakses pada 14 April 2012. 3 http://munifchatib.wordpress.com/2008/07/22/munif-chatib-mutiara-dari-sidoarjo/. Diakses pada 14 April 2012.
2

perilaku yang baik dan bermoral. Bangsa Romawi pada sisi lain sangat menghargai keberanian. Bangsa Cina, dibawah pengaruh filsuf Confusius, sangat menghargai orang yang mahir di bidang puisi, musik, kaligrafi, ilmu perang, dan melukis. Sedangkan pada orang-orang Keres, dari suku Indian Pueblo, sangat menghargai orang yang peduli dengan orang lain. 4 Definisi kecerdasan di sini lebih menitik beratkan pada keahlian dalam bidang tertentu dan karakter yang baik. Charles Darwin, dalam bukunya Origin of Species mengenai teori evolusi yang sangat berpengaruh pada tahun 1959, berpendapat bahwa makhluk yang ada saat ini adalah makhluk yang bisa bertahan dari seleksi alam. Makhluk yang tidak bisa lolos dari seleksi alam akan mati dan punah. Makhluk yang lolos dari seleksi alam ini dipercaya mempunyai kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk yang gagal melewati seleksi alam. 5 Kecerdasan bagi Charles Darwin adalah makhluk yang pandai beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Dia dapat bertahan dan beradaptasi dengan perubahan alam dan lingkungan. Sehingga, makhluk tersebut dapat selamat dari seleksi/persaingan alam. Punahnya Dinasaurus salah satu indikator bahwa kecerdasan tidak menunjukan pada kekuatan (power) tapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Sebelum datangnya teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) yang dicetuskan Howard Gardner, selama bertahun-tahun Kecerdasan Intelegensi (IQ) telah menjadi ukuran standar kecerdasan dan kesuksesan seseorang. Semakin tinggi tes IQ yang diperoleh seseorang, maka semakin dia dianggap cerdas bahkan jenius. Pendapat ini menyebabkan tidak dihargainya bentuk kecerdasan lain, misalnya kecerdasan emosional, spiritual, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, dan lain sebagainya. Padahal, Menurut penelitian Psikolog Daniel Goleman, IQ yang lebih menekankan pada pola berpikir logis matematis dan bahasa itu ternyata hanya menyumbangkan sekitar 5 20 % bagi kesuksesan hidup seseorang. Sisanya adalah kombinasi beragam faktor yang salah satunya kecerdasan emosi.6 Tes IQ yang kita kenal sekarang ini lahir dari karya Psikolog Perancis Alfred Binet. Selain sebagai pencipta tes IQ, Alferd Binet sebenarnya mempunyai teori kecerdasan, yaitu terdiri 3 elemen yang dinamakan arah (direction), adaptasi (adaptation), dan kritik (criticism). Yang dimaksud dengan arah adalah mengetahui apa yang harus dikerjakan caranya. Adaptasi adalah cara atau strategi yang dibuat untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan menerapkan strategi itu sambil melakukan adaptasi sesuai dengan implementasi. Sedangkan kritik adalah kemampuan untuk melakukan kritik terhadap pikiran dan tindakan sendiri.7 Pada awal abad ke-20, Alferd Binet melakukan ujicoba untuk mengindentifikasi anak-anak yang masalah belajarnya membutuhkan pendidikan perbaikan. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford membakukannya
Adi W. Gunawan, Born to be a genius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 153 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 155 6 Hanifudin, Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multiple Intelligences (MI) (Studi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang SMP, (Desertasi), (Yogyakarta: Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 60 Atau baca Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. (Jakarta: Gramedia Psutaka, 1999), hlm.14 7 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 157-158.
5 4

dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga tes tersebut menjadi dikenal sebagai Stanford-Binet. 8 Terman kemudian menggabungkan pandangan Psikolog William Stern tentang angka kecerdasan. IQ, seperti yang telah dikenal secara global, adalah usia mental seseorang, sebagaimana ditentukan berdasarkan pengujian kecerdasan, dibagi dengan usia kronologis seseorang - dan hasil baginya dikalikan 100. 9 Rumus tes IQ adalah: IQ = MA/CA x 100 MA adalah Mental Age dan CA adalah Chronological Age Jadi, jika usia mental seseorang sama dengan usia kronologis, IQ orang itu adalah 100. Kemudian, angka IQ tersebut dimasukkan ke sebuah daftar yang memuat angka IQ dari banyak orang, lalu dibuat sebuah grafik dan dibandingkan antara angka orang satu dengan yang lainnya. Metode perhitungan inilah yang menimbulkan perdebatan di kalangan ahli. Jika, ada sejuta anak yang dites IQ, maka akan menghasilkan angka IQ yang dipaksa masuk dalam range angka anak bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak jenius.10 Menurut Adi W. Gunawan, kalau nilainya (tes IQ) di antara 100-110, maka ia termasuk golongan yang biasa-biasa saja. Kalau di bawah 100, maka ia termasuk yang agak bodoh. Kalau di atas 110, maka ia masuk golongan yang cerdas. Semakin tinggi hasil tesnya berarti semakin cerdas.11 Bahkan, jika hasil tes IQ-nya di atas 140 maka dia digolongkan anak jenius, sebagaimana pendapat Robert Woodworth dalam Psychology, anak jenius adalah anak yang memiliki IQ di atas 140.12 Sebenarnya, apa yang diukur oleh tes IQ itu? Secara khusus, tes IQ mengukur kemampuan individu dengan soal-soal linguistik (kebahasaan) dan logis-matematis di samping beberapa tugas pandang dan ruang (visual dan spasial). 13 Berdasarkan penjelasan ini, tes IQ hanya mengukur tiga kecerdasan manusia, yaitu linguistik, logis-matematis, dan visual dan spasial. Maka bisa dibayangkan, jika nilai tes IQ yang hanya mengukur tiga kecerdasan tersebut rendah (di bawah skor 100), maka orang tersebut digolongkan agak bodoh, walaupun mungkin orang tersebut ahli dalam bidang olah raga tertentu, memiliki kepribadian yang baik, dan lain sebagainya. Menurut Munif, Alfert Binet, pembuat tes (IQ), adalah seorang psikolog yang professional, tetapi dia tidak mampu menolak permintaan penguasa dan birokratis yang tidak professional untuk menghubungkan kecerdasan seseorang dengan eugenic (faktor keturunan). Permintaan ini dilatarbelakangi oleh fakta sejarah yang terjadi pada tahun 1990-an

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century, Cara Belajar Cepat Abad XXI, (Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 57 9 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century, hlm. 57 10 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia hlm. 74 11 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 159. 12 Jamal Mamur Asmani, Mencetak Anak Genius, (Yogyakarta: Dive Press, 2009), hlm. 42. 13 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century, hlm. 57

di Perancis dan negara Eropa lainnya bahwa peran kaum buruh dalam konstelasi politik domistik meningkat tajam.14 Jika diteliti secara mendalam, tes IQ yang diciptakan Binet mengandung konsep eugenic (keturunan). Sebenarnya, hasil tes ini ingin menggabungkan faktor keturunan dengan faktor kecerdasan. Argumentasi yang ingin dikembangkan pada saat itu adalah penguasa atau bangsawan pasti memiliki keturunan anak-anak yang cerdas sebab penguasa dan bangsawan adalah kelompok masyarakat yang cerdas. Sebaliknya, kelompok buruh yang notabene pekerja kasar adalah mereka yang tidak cerdas, dan oleh karena itu pasti akan melahirkan keturunan-keturunan yang bodoh. Hal yang berbahaya lagi sebuah negara jika dipimpin oleh generasi yang bodoh dan tidak cerdas.15 Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan Otak menyampaikan seberapa besar pengaruh hereditas (keturunan) pada kecerdasan. Secara singkat, para peneliti umumnya menilai perbandingan kedua pengaruh itu secara fifty-fifty. Setengah disebabkan oleh keturunan dan setengahnya lagi oleh lingkungannya. Jika hasil tes IQ 20 poin di atas rata-rata kira-kira 120 maka 10 poin berasal dari orang tua dan 10 poin berasal dari lingkungan.16 Hal senada disampaikan Valentine Dmitriev, dalam bukunya, Smart Baby, Clever Child, ada dua faktor dalam perkembangan otak manusia yang menjadikan beberapa orang lebih pandai daripada orang lain. Faktor itu adalah keturunan dan lingkungan.17 Tetapi lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat menekankan, secara keseluruhan, lingkungan pada akhirnya lebih menentukan daripada keturunan. Memang betul, gen dan pengaruh orangtua ikut membentuk otak. Tetapi gen tidak menentukan nasib.18 Pada awal 1970-an, tak sedikit Psikolog dunia yang berpendapat bahwa tes IQ yang banyak diterapkan di dunia pendidikan itu tidak valid. Gardner menulis tentang konsep multiple Intelligences dalam bukunya Frames of Mind, yang diterbitkan pada 1983. Buku ini dipublikasikan dengan tujuan memberikan kritik yang mendalam tentang ketidakvalidan tes IQ.19 Gardner mengatakan bahwa IQ tidak boleh dianggap sebagai gambaran mutlak seperti halnya tinggi, berat, dan tekanan darah. Menurut Gardner, manusia memiliki sejumlah keterampilan untuk memecahkan berbagai jenis masalah yang berbeda. Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih.20 Dalam bukunya, Frames of Mind, Howard Gardner membagi delapan kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, yaitu: Kecerdasan Linguistik (bahasa), Logis-Matematis, Visual-Spasial (Kemampuan berpikir menggunakan gambar), Musikal (musik), Kinestetik-Tubuh, Interpersonal (Sosial), dan Kecerdasan
14 15

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 72 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 72-73. 16 Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas Belajar Berbasis Otak, (Bandung: Kaifa, 2010), hlm. 35.
17 18

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 73 Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas Belajar Berbasis Otak, hlm. 37 19 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 72 20 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century, hlm. 57

Intrapersonal (kemampuan menganalisis diri sendiri). Pada tahun 1996, 21Gardner menambahkan satu jenis kecerdasan lagi, yaitu kecerdasan Naturalis (kemampuan mengenal flora dan fauna).22 Kendati pun banyak pendapat yang menentang, ada godaan untuk menambahkan yang kesembilan, yaitu kecerdasan spiritual.23Tetapi, menurut Adi W. Gunawan, Howard Gardner tidak menggunakan istilah kecerdasan spiritual, tetapi kecerdasan eksistensial. Menurut Gardner, istilah spiritual ini mempunyai konotasi yang berbeda dengan di setiap agama maupun aliran kepercayaan. Oleh karena itu, ia menggunakan istilah yang netral, yaitu eksistensial. Kecerdasan eksistensial adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kapasitas atau kemampuan untuk berpikir kosmis atau hal-hal yang berhubungan dengan keberadaan; mulai dari keberadaan dan tujuan manusia di alam semesta hingga pada sifat kehidupan itu sendiri seperti kebahagiaan, tragedi, penderitaan, hidup, mati, dan ke mana manusia setelah mati.24 Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis Multiple Intelligences Menurut Munif Chatib, Sekolahnya Manusia adalah sekolah berbasis MI (Multiple Intelligences), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis kecerdasan siswa. 25 Konsep MI yang menitik beratkan pada ranah keunikan selalu menemukan kelebihan setiap anak. Lebih jauh, konsep ini percaya bahwa tidak ada anak bodoh sebab setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila kelebihan tersebut dapat dideteksi sedari awal, otomatis kelebihan itu adalah potensi kepandaian sang anak. 26 Atas dasar itu, seyogianya Sekolah menerima siswa barunya dalam kondisi apa pun. Tugas sekolahlah meneliti kondisi siswa secara psikologis dengan cara mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa melalui metode riset yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR).27 MIR adalah instrument riset yang dapat memberikan deskripsi tentang kecenderungan-kecenderungan seseorang. Dari analisis terhadap kecenderungan kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan gaya belajar terbaik bagi seseorang. Gaya belajar di sini diartikan dengan cara dan pola bagaimana sebuah informasi dapat dengan baik dan sukses diterima oleh otak seseorang. Oleh karena itu, seharusnya setiap guru memiliki data tentang gaya belajar siswanya masing-masing. Kemudian setiap guru harus menyesuaikan gayanya dalam mengajar dengan gaya belajar siswa yang telah diketahui dari hasil MIR. Yang selanjutnya terjadi adalah quantum. Setiap guru akan masuk ke dunia siswa sehingga siswa merasa nyaman
Adi W. Gunawan dalam bukunya Born to be Genius menyatakan, pada tahun 1995, Howard Gardner menambahkan kecerdasan naturalis ke daftar Multiple Intelligences. Semula kecerdasan naturalis sebagai bagian dari kecerdasan logika-matematika. (Adi W. Gunawan, Born to be Genius, hlm. 131) 22 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century,.. hlm. 5960 23 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century, hlm. 60 24 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 133-134 25 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. xxi 26 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 92 27 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 92
21

dan tidak berhadapan dengan resiko kegagalan dalam proses belajar. Inilah yang dimaksud asas utama quantum learning oleh Bobbi DePorter, yaitu masuk ke dunia siswa. Apabila guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat penyesuaian gaya belajar siswa, siswa akan rela memberikan hak mengajarnya kepada guru. 28 Sebagaimana asas utama Quantum Teaching adalah Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Menurut dePorter, hak mengajar berbeda dengan kewenangan mengajar. Untuk mendapatkan hak mengajar, guru harus membangun jembatan autentik memasuki kehidupan murid. Sertifikat mengajar atau dokumen yang mengizinkan guru mengajar atau melatih hanya berarti mempunyai memiliki kewenangan untuk mengajar. Hal ini tidak berarti bahwa guru mempunyai hak mengajar. Mengajar adalah hak yang harus diraih, dan diberikan oleh siswa, bukan oleh Kementerian Pendidikan.29 Dalam membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter berbasis Multiple Intelligences, diperlukan prinsip keadilan bagi seluruh siswa untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Misalnya dalam proses Penerimaan Siswa Baru (PSB), Sekolahnya Manusia memegang prinsip The Best Process (Proses pembelajaran terbaik di sekolah) bukan The Best Input (In Put atau masukan siswa terbaik melalui tes seleksi). Artinya adalah setiap calon siswa yang mendaftar masuk di Sekolahnya Manusia pasti diterima dalam keadaan apa pun tanpa tes seleksi. Sekolah tidak melihat, apakah anak ini pandai atau bodoh, normal atau difabel. Sekolahnya Manusia hanya menentukan kuota berapa siswa yang harus diterima dalam tahun pelajaran tertentu. Misalnya, dalam tahun pelajaran 2012/2013, Sekolahnya Manusia menentukan kuota 100 siswa yang akan diterima masuk, maka siswa yang mendaftar di Sekolahnya Manusia nomor urut 1 hingga 100 langsung diterima tanpa tes. Setelah itu, baru dilakukan MIR untuk mengetahui kecerdasan (potensi) setiap calon siswa. Model Penerimaan Siswa Baru (PSB) seperti ini berbeda dengan sekolah lain, yang biasanya menekankan the best input melalui tes seleksi untuk menjaring siswa-siswa yang pintar. Menurut Munif Chatib, sikap seperti ini tidak manusiawi (dehumanisasi) atau dengan bahasa penulis, sekolah yang kurang berkarakter baik. Karena, stigma sebagai anak yang gagal masuk sekolah akan terus melekat seumur hidup dan membayang dalam pikiran siswa selamanya. Di sinilah, maksud dari membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter. Selama ini, yang sering dibahas adalah bagaimana menjadikan siswa berkarakter, bukan Sekolahnya dulu yang harus berkarakter, atau bahkan gurunya dulu yang harus berkarakter. Di samping merumuskan Sekolahnya Manusia, Munif Chatib berpendapat bahwa, sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran bergantung pada kualitas para guru yang bekerja di sekolah tersebut. Apabila kualitas guru di sekolah tersebut baik, mereka akan berperan sebagai agen pengubah siswanya. Sekolah unggul adalah sekolah yang para gurunya mampu menjamin semua siswa akan dibimbing ke arah perubahan yang lebih baik,
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 101-102. Bobbi DePorter, Mark Reardon, Sarah Singer-Nourie, Quantum Teaching: Mempraktekkan Qauntum Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 6
29 28

bagaimana pun kualitas akademis dan moral yang mereka miliki. Dalam kata lain, sekolah yang guru-gurunya mampu mengubah kualitas akademis dan moral siswanya dari negatif (baca: bodoh dan nakal) menjadi positif, itulah sekolah unggul.30 Resiko bagi pengurus sekolah yang berani mengklaim sekolahnya adalah sekolah unggul: mereka harus dengan senang hati menerima semua siswa apa adanya, tanpa pandang bulu, dan tanpa memilih siswa dengan tes seleksi. Ini karena prinsip sekolah tersebut: tidak ada siswa yang bodoh. 31 Kesimpulannya, sekolah unggul adalah sekolah yang memanusiakan manusia, dalam arti menghargai setiap potensi yang ada pada diri siswa. Sekolah yang membuka pintunya pada semua siswa, bukan dengan menyeleksinya dengan tes-tes formal yang memiliki interval nilai berupa angka-angka untuk menyatakan batasan diterima atau tidak.32 Konsep sekolah unggul ini berbeda pada umumnya, baik sekolah unggul yang didirikan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pada umumnya, yang namanya sekolah unggul selalu identik dengan tes seleksi masuk yang sangat ketat dan biaya pendidikan yang mahal. Contohnya: Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI). Munculnya proyek RSBI terkesan adanya kastanisasi pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas siswa RSBI adalah siswa pintar dan anak orang kaya (the have), walaupun biasanya ada beasiswa bagi anak miskin yang pandai, tapi kuota tidak banyak. Siswa RSBI mendapatkan fasilitas pendidikan yang mewah dan media pembelajaran canggih (multimedia) berbeda dengan fasilitas pendidikan di sekolah reguler pada umumnya, atau bahkan di sekolah swasta. Dalam membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter, dibutuhkan Gurunya Manusia yang berkarater pula. Guru adalah ujung tombak keberhasilan kemajuan suatu bangsa. Melalui guru yang hebat, sebuah negara dapat menyiapkan generasi masa depan yang hebat pula. Sebaliknya, jika kualitas guru rendah sama artinya mempersiapkan generasi lemah bagi bangsa. Gambaran ini tidak berlebihan. Kaisar Hirohito saat Hiroshima dan Nagasaki hancur pada 1945. Saat itu, dia langsung menanyakan banyaknya guru yang masih hidup setelah peristiwa pengeboman terjadi.33 Tak heran, sekarang, Jepang menjadi salah satu negara maju karena peran besar guru yang hebat. Miriam Kronish, Kepala Sekolah SD John Eliot, Needham, Massachusetts yang merupakan sekolah terbaik di Amerika, mengatakan dalam sebuah pidato: Masa depan pendidikan Amerika ditentukan oleh sebuah kekuatan. Dan jika saja kami memiliki kekuatan, kekuatan tersebut adalah program utama di sekolah kami, yaitu pelatihan guru. Guru tidak hanya cukup membaca metode-metode pembelajaran terbaru. Guru harus dilatih didalamnya, seperti halnya aktor atau penyair perlu dilatih. Setelah itu,

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 93-94 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 94 32 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 96 33 Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, (Bandung: Kaifa, 2011), hlm. 30
31

30

guru baru bisa mengajarkannya kepada orang lain. Guru professional adalah gelombang masa depan Amerika.34 Pidato Miriam Kronish tersebut dengan tegas mengatakan, di tangan guru profesional kemajuan masa depan suatu bangsa dipertaruhkan. Jika melihat realitas guru di Indonesia, tentu keadaannya berbeda. Kualitas guru di Indonesia masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari jenjang pendidikan dan linieritas pendidikan guru bidang studi, dan profesionalisme guru. Akan tetapi, akhir-akhir ini pemerintah telah mencanangkan pelbagai program beasiswa bagi guru-guru yang belum S1 untuk kuliah S1. Bahkan, pemerintah Indonesia sekarang mewajibkan sarjana S1 sebagai syarat mengajar. Semoga, kebijakan ini dapat memperbaiki kualitas guru menjadi lebih baik seiring sejalan dengan kualitas lulusan menjadi lebih baik. Munif Chatib membagi guru dilihat dari faktor kemauan untuk maju menjadi tiga: 1). Guru robot, yaitu guru yang persis seperti robot. Mereka hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tak punya kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi, apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. 2). Guru Materialis, yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas jual-beli. Parahnya, yang dijadikan patokan adalah hak yang mereka terima, barulah kewajiban mereka akan dilaksanakan sesuai hak yang mereka terima. 3). Gurunya manusia, yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang meluangkan waktu belajar, mengikuti pelatihan, dan pengembangan kompetensi.35 Untuk menjadi Gurunya Manusia memang diperlukan keikhlasan dalam mengajar dalam kondisi apa pun. Gurunya Manusia selalu melihat bahwa setiap anak di hadapannya adalah sang juara. Gurunya Manusia mengajar dengan hati, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Gurunya Manusia mengajar dengan cara menyenangkan bukan mengancam.

Simpulan Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Dalam pelaksanaan pendidikan, diperlukan sikap keadilan dalam memandang potensi siswa, bahwa semua siswa berhak untuk mendapat pendidikan yang baik dan bermutu. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas No. Tahun 2003 Pasal 5 ayat 1. Sekolah adalah tempat yang biasanya digunakan untuk pembelajaran. Seharusnya, di sekolah semua siswa dapat mengembangkan potensi, kecerdasan, bakat, dan keterampilannya dengan baik. Akan tetapi, sadar atau tidak sadar, banyak sekolah yang kurang menghargai potensi siswa, bahkan membunuhnya. Hal ini dikarenakan sekolah tidak menghargai potensi kecerdasan siswa selain kecerdasan inteligensi. Maka dari itu, perlu dibangun Sekolahnya Manusia yang berkarater
34 35

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 148 Munif Chatib, Gurunya Manusia, hlm. 56-57

berbasis Multiple Intelligences yang menghargai semua kecerdasan siswa untuk membangun generasi masa depan yang lebih baik.

Daftar Pustaka Chatib, Munif, Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,(Bandung: Kaifa, 2010) Chatib, Munif, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, (Bandung: Kaifa, 2011) Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. (Jakarta: Gramedia Psutaka, 1999) DePorter, Bobbi, Reardon, Mark, Singer-Nourie, Sarah, Quantum Teaching: Mempraktekkan Qauntum Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Bandung: Kaifa, 2000). Hanifudin, Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multiple Intelligences (MI) (Studi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang SMP, (Desertasi), (Yogyakarta: Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010) Gunawan, Adi W, Born to be a genius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) Rakhmat, Jalaluddin, Belajar Cerdas Belajar Berbasis Otak, (Bandung: Kaifa, 2010) Rose, Colin dan Nicholl, Malcolm J, Accelerated Learning For The 21st Century, Cara Belajar Cepat Abad XXI, (Bandung: Nuansa, 2002) Mamur Asmani, Jamal, Mencetak Anak Genius, (Yogyakarta: Dive Press, 2009) http://munifchatib.wordpress.com/2008/07/22/munif-chatib-mutiara-dari-sidoarjo/. Diakses pada 14 April 2012.

Artikel ini sudah diproceeding dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter-Spiritual Anak yang diadakan oleh Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 28 April 2012 Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga

10

Anda mungkin juga menyukai