Anda di halaman 1dari 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Persalinan

2.1.1. Pengertian Persalinan Persalinan adalah pengeluaran hasil konsepsi yang dimulai dengan secara spontan dengan presentasi belakang kepala pada usia kehamilan 37-42 minggu. Waktu yang diperlukan selama 18 jam kurang dari 24 jam tanpa komplikasi apapun. Persalinan dapat diselesaikan dengan tenaga ibu sendiri ataupun tenaga bantuan alat-alat persalinan (Rukiyah et al, 2009). Proses persalinan mencakup transisi anatomik dan fisiologik yang memudahkan kemampuan wanita secara aktif dan aman untuk melahirkan bayinya (Walsh, 2007). Menurut Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR) persalinan merupakan salah satu fungsi dari seorang wanita. Fungsi ini berupa produk hasil konsepsi (janin, air ketuban, plasenta, selaput ketuban) yang dilepaskan dan dikeluarkan dari uterus melalui vagina ke dunia luar. Menurut caranya, persalinan dibagi menjadi dua cara yaitu persalinan biasa atau normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada kehamilan cukup bulan (aterm : 37-42 minggu), pada janin letak memanjang, presentasi belakang kepala yang disusul dengan pengeluaran plasenta dan seluruh proses kelahiran itu berakhir dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tindakan/pertolongan buatan dan tanpa komplikasi. Persalinan abnormal adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat maupun melalui dinding perut dengan operasi caesarea.

2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan Menurut Farrer (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi proses persalinan ada 5 hal yaitu Power (kekuatan yang ada pada ibu), Passage (jalan lahir), Passanger (janin dan plasenta), Psikhe (psikologis), Penolong. Proses persalinan dapat berjalan dengan baik bila terdapat kerja sama yang baik antara beberapa pihak yaitu ibu, bidan atau dokter, bayi dalam kandungan dan bahkan suami. Menurut Simkin (2005) dan Manuaba (2007) persalinan normal ditentukan oleh 5 faktor utama, yaitu: 1. Tenaga atau Kekuatan (power) : his (kontraksi uterus), kontraksi otot dinding perut, kontraksi diafragma pelvis, ketegangan, kontraksi ligamentum rotundum, efektivitas kekuatan mendorong dan lama persalinan. 2. Janin (passanger) : letak janin, posisi janin, presentasi janin dan letak plasenta. 3. Jalan Lahir (passage) : ukuran dan tipe panggul, kemampuan serviks untuk membuka, kemampuan kanalis vaginalis dan introitus vagina untuk memanjang. 4. Kejiwaan (psyche) : persiapan fisik untuk melahirkan, pengalaman persalinan, dukungan orang terdekat dan intregitas emosional. 5. Penolong : kesiapan alat dan tenaga medis yang akan membantu jalannya persalinan.

2.1.3. Tanda Persalinan 1. Tanda Permulaan Persalinan Sebelum terjadi persalinan sebenarnya beberapa minggu sebelumnya wanita memasuki bulannya atau minggunya atau harinya yang disebut kala pendahuluan (preparatory stage of labor). Ini memberikan tanda-tanda sebagai berikut : a. Lightening atau settling atau dropping yaitu kepala turun memasuki pintu atas panggul terutama pada primigravida. Pada multipara tidak begitu terlihat, karena kepala janin baru masuk pintu atas panggul menjelang persalinan. b. c. Perut kelihatan lebih melebar dan fundus uteri menurun. Perasaan sering-sering atau susah kencing (polakisuria) karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin. d. Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksikontraksi lemah dari uterus (false labor pains). e. Serviks menjadi lembek, mulai mendatar dan sekresinya bertambah bisa bercampur darah (bloody show). 2.1.4. Tanda in-partu 1. 2. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur. Keluar lendir bercampur darah yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks. 3. 4. Dapat disertai ketuban pecah dini. Pada pemeriksaan dalam, serviks mendatar dan terjadi pembukaan serviks.

2.1.5. Tahap Persalinan Menurut Tsokronegoro (2005) tahap persalinan dibagi menjadi 4 fase/kala yaitu : 1. Kala I : Dinamakan kala pembukaan, pada kala ini serviks membuka sampai terjadi pembukaan 10 cm. Proses membukanya serviks dibagi atas 2 fase : a. Fase laten berlangsung selama 7-8 jam pembukaan terjadi sangat lambat sampai mencapai ukuran diameter 3 cm. b. Fase aktif dibagi dalam 3 fase yaitu fase akselerasi dalam waktu 2 jam, pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm dan fase dilatasi maximal dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat dari 4 menjadi 9 cm dan fase deselerasi pembukaan menjadi lambat kembali dalam waktu 2 jam pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap 10 cm. Kala I ini selesai apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida kala I berlangsung kira-kira 12 jam sedang pada multigravida 8 jam. Pembukaan primigravida 1 cm tiap jam dan multigravida 2 cm tiap jam. 2. Kala II : Kala pengeluaran karena berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan janin didorong keluar sampai lahir. Kala ini berlangsung 1,5 jam pada primigravida dan 0,5 jam pada multipara. Batasan persalinan kala II yaitu dimulai saat pembukaan serviks lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya seluruh tubuh janin. Kontraksi pada kala II ini biasanya sangat kuat sehingga kemampuan ibu untuk menggunakan otot-otot abdomen dan posisi presentasi mempengaruhi durasi kala II. Kala II

persalinana dirasakan oleh ibu bersalin sebagai hal yang lebih berat beban penderitaannya dibandingkan dengan kala I. Transisi kala II ini biasanya berlangsung singkat dan umumnya terjadi hanya dalam tempo beberapa menit saja. Periode ini dapat menakutkan karena onsetnya yang begitu cepat. Sehingga pada saat ini banyak ibu mengatakan saya mau pulang ibu akan kehilangan kendali atas dirinya dan akan merasa tertekan sehingga pengendalian saat ini sangat penting bagi ibu. 3. Kala III : Kala uri/plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Prosesnya 6-15 menit setelah bayi lahir. 4. 4) Kala IV : Observasi dilakukan mulai lahirnya plasenta selama 1 jam, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perdarahan postpartum. Observasi yang dilakukan melihat tingkat kesadaran penderita,

pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi dan pernapasan), kontraksi uterus dan terjadinya pendarahan. 2.1.6. Proses Persalinan Kala II Menurut Prawiroharjo (2008) proses persalinan kala II dimulai dari gerakan mekanisme persalinan meliputi masuknya kepala ke dalam pimtu atas panggul, penurunan kepala, fleksi, putaran paksi dalam, ekstensi, putaran paksi luar, ekspulsi. Kepala masuk pintu atas panggul berarti diameter biparietalis pada letak belakang kepala masuk melalui pintu atas panggul. Peristiwa ini dapat terjadi beberapa minggu sebelum mulai persalinan. Penurunan kepala atau penurunan bagian presentasi melalui panggul terjadi akibat tiga kekuatan yaitu tekanan cairan amnion, tekanan akibat kontraksi fundus pada janin, kontraksi diafragma dan otot-otot abdomen ibu pada kala II.

Beberapa tanda bahwa ibu sudah masuk kala II adalah bloody show (lendir bercampur darah) makin hebat, perasaan ingin muntah disertai ingin mengejan, perasaan ingin buang air besar, anus terbuka, kadang-kadang ketuban pecah spontan pada saat ini. Pada saat ini terjadi penurunan kepala dan putaran paksi dalam. Fleksi terjadi karena adanya rintangan kepala janin yang sedang turun. Putaran paksi dalam terjadi ketika kepala mencapai spina ischiadica, bentuk pelvis menyebabkan kepala berputar sehingga dapat melewati panggul yang sangat sempit. Eksistensi merupakan akibat dan ada dua kekuatan yang bekerja yaitu tenaga his yang arahnya kebawah dan tahanan yang ditimbulkan dasar panggul. Gerakan ini terjadi setelah oksiput mencapai tepi bawah simfisis pubis. Makin maju kepala, makin menekan perineum, kemudian terjadi eksistensi sehingga akan lahir bregma, dahi, hidung, mulut dan dagu. Putaran paksi luar terjadi sehingga bahu menempati posisi anterior-posterior. Ekspulsi terjadi setelah putaran paksi luar, bahu depan kelihatan dibawah simfisis dan perineum diregangkan bahu belakang. Dengan tarikan ringan kearah posterior maka lahir bahu depan dan kearah anterior bahu belakang lahir, disusul bagian tubuh janin yang lain (Simkin, 2005). Lama kala II pada primipara adalah 50 menit dan 20 menit pada multipara, tetapi hal ini dapat bervariasi. Lama persalinan kala II maksimal pada ibu primipara adalah 2 jam, dan pada ibu multipara adalah 1 jam. Ibu yang mempunyai status paritas lebih tinggi dengan vagina dan perineum yang lemas, hanya membutuhkan dua atau tiga gaya dorong setelah pembukaan serviks lengkap. Ibu dengan panggul sempit, janin besar, atau terdapat gangguan daya

dorong akibat anestesia regional atau sedasi kuat, akan mengalami proses kala II yang sangat lama (Cunningham et al, 2006). Ketika kala II ibu diminta mengejan hanya pada saat ada kontraksi supaya efisien dan tidak melelahkan. Jika kepala janin sudah membuka pintu, ibu perlu mengatur diri dengan pengarahan penolong persalinan agar pengeluaran tidak terlalu cepat yang dapat menyebabkan robekan perineum. Kadang-kadang pada saat ini dilakukan episiotomi jika perineum kaku. Setelah kepala lahir akan terjadi putaran paksi luar (Simkin, 2005). 2.1.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama persalinan Menurut Llewellyn (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi lama persalinan, antara lain: 1. Usia Masa reproduksi merupakan masa yang terpenting bagi wanita dan berlangsung kira-kira 33 tahun. Haid pada masa ini paling teratur dan siklus pada alat genetalia bermakna untuk memungkinkan kehamilan. Pada masa ini terjadi ovulasi kurang lebih 450 kali, dan selama ini wanita berdarah selama 1800 hari. Biarpun pada umur 40 tahun keatas perempuan masih dapat hamil, fertilitas menurun cepat sesudah umur tersebut (Wiknjosastro, 2005). Usia ibu merupakan salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan kualitas kehamilan atau berkaitan dengan kesiapan ibu dalam reproduksi. Usia kurang dari 20 tahun, alat-alat reproduksi belum matang, sehingga sering timbul komplikasi persalinan. Umur lebih dari 35 tahun berhubungan dengan mulainya terjadi regresi sel-sel tubuh berhubungan terutama dalam hal ini adalah endometrium (Cuningham, 2005).

Pada umur ibu kurang dari 20 tahun rahim dan panggul belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibanya apabila ibu hamil pada umur ini mungkin mengalami persalinan lama atau macet, karena ukuran kepala bayi lebih besar sehingga tidak dapat melewati panggul. Sedangkan pada umur ibu yang lebih dari 35 tahun, kesehatan ibu sudah mulai menurun, jalan lahir kaku, sehingga rigiditas tinggi. Selain itu beberapa penelitian yang dilakukan bahwa komplikasi kehamilan yaitu preeklamasi, abortus, partus lama lebih sering terjadi pada usia dini dan usia lebih dari 35 tahun. Pada zaman dahulu akibanya ibu hamil pada usi ini mungkin lebih besar anak cacat, persalinan lama, yaitu lebih dari 12 jam pada primi para dan lebih dari 12 jam dan 8 jam pada multi para. Selain itu dapat mengakibatkan perdarahan karena uterus tidak berkontraksi (Depkes, 2002). 2. Paritas Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan ibu. Sampai dengan paritas tiga rahim ibu bisa kembali seperti sebelum hamil. Setiap kehamilan rahim mengalami pembesaran, terjadi peregangan otot-otot rahim selama 9 bulan kehamilan. Akibat regangan tersebut elastisitas otot-otot rahim tidak kembali seperti sebelum hamil setelah persalinan. Semakin sering ibu hamil dan melahirkan, semakin dekat jarak kehamiilan dan kelahiran, elastisitas uterus semakin terganggu, akibatnya uterus tidak berkontraksi secara sempurna dan mengakibatkan perdarahan pasca kehamilan (Prawirohardjo, 2005). 3. Pengetahuan mengenai proses persalinan

Wanita yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya serta tidak dipersiapkan dengan teknik relaksasi dan pernafasan untuk mengatasi kontraksinya akan menangis dan bergerak tak terkendali di tempat tidur hanya karena kontraksi ringan. Sebaliknya, wanita yang telah dipersiapkan dalam menghadapi pengalaman pelahiran ini dan mendapat dukungan dari orang terdekatnya atau tenaga profesional yang terlatih memimpin persalinan, atau wanita berpendidikan tidak menunjukkan kehilangan kendali atau menangis bahkan pada kontraksi yang hebat sekalipun. Kontraksi mempunyai efek tambahan, yakni memanjangkan uterus yang berbentuk telur ini sekitar 5 sampai 10 cm, diikuti penurunan lebar bidang horisontal. Akibatnya, kolumna vertebralis janin menjadi lurus sehingga menarik kutub atas janin bersentuhan langsung dengan fundus uteri yang berkontraksi, sementara kutub bagian bawah menuju ke bawah dan terdorong masuk ke dalam pelvis. Dikenal sebagai tekanan aksis janin, hal ini juga menyebabkan serviks dan segmen bawah uterus mendapat tekanan sehingga mempengaruhi penipisan serta dilatasi serviks (Varney, 2008). 4. Besarnya janin dalam uterus. Ukuran bayi terbesar yang dilahirkan per vaginam memastikan keadekuatan panggul wanita untuk ukuran bayi saat ini. Informasi ini juga menjadi dasar untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi jika dibanding dengan perkiraan berat janin dan penting untuk pengambilan keputusan berkenaan dengan rute pelahiran pada presentasi bokong. Wanita yang mempunyai riwayat melahirkan bayi kecil dari ayah yang sama cenderung

memiliki bayi yang kecil juga kali ini. Namun, hal ini dipengaruhi oleh gizi, hipertensi atau diabetes (Varney, 2008). 5. Ukuran dan bentuk panggul ibu. Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar panggul, vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan lunak, khususnya bayi, tetapi panggul ibu jauh lebih berperan dalam proses persalinan. Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya terhadap jalan lahir yang relatif kaku. Oleh karena itu ukuran dan bentuk panggul harus ditentukan sebelum persalinan dimulai (Saifuddin, 2008). 6. Pendidikan Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi, yang bekerja di sektor formal mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi tentang kesehatan, lebih aktif menentukan sikap dan lebih mandiri mengambil tindakan perawatan. Rendahnya pendidikan ibu, berdampak terhadap rendahnya pengetahuan ibu. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Makin rendah pengetahuan ibu, makin sedikit keiinginan memanfaatkan pelayanan kesehatan (Rukmini, 2005). 2.2 Konsep IUFD (Intrauterin Fetal Death)

2.2.1. Definisi IUFD (Intrauterin Fetal Death) Kematian janin dalam kandungan adalah kematian janin ketika masingmasing berada dalam rahim yang beratnya 500 gram dan usia kehamilan 20 minggu atau lebih (Achadiat, 2004). Kematian janin dalam kandungan adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak

bernafas atau tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung, pulsasi tali pusat, atau kontraksi otot (Monintja, 2005) Sedangkan menurut WHO, kematian janin adalah kematian janin pada waktu lahir dengan berat badan <1000 gram. Menurut Wiknjosastro (2005) dalam buku Ilmu Kebidanan, kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan yaitu : 1. Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh. 2. 3. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28 minggu. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late fetal death) 4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di atas. 2.2.2. Etiologi Menurut Mochtar (2004), lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin dalam kandungan tidak ditemukan atau belum diketahui penyebabnya dengan pasti. Beberapa penyebab yang bisa mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, antara lain. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta. Preeklampsi dan eklampsia Penyakit-penyakit kelainan darah. Penyakit infeksi dan penyakit menular Penyakit saluran kencing Penyakit endokrin: diabetes melitus

7.

Malnutrisi.

2.2.3. Diagnosis 1. Anamnesis a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin sangat berkurang. b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau kehamilan tidak seperti biasa. c. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa sakit-sakit seperti mau melahirkan. 2. Inspeksi Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada ibu yang kurus. 3. Palpasi a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba gerakan-gerakan janin. b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala janin. 4. Auskultasi Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar denyut jantung janin (DJJ) 5. Reaksi kehamilan Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam kandungan.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi IUFD (Intrauterin Fetal Death) 1. Faktor Ibu a. Umur

Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan dari organ-organ tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan yang tidak secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Usia reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30 tahun (Wiknjosastro, 2005). Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi belum cukup matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran organ reproduksi secara umum (Wiknjosastro, 2005). b. Paritas

Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada janin. Ibu hamil yang telah melahirkan lebih dari 5 kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan seperti hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2002). c. Pemeriksaan Antenatal

Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.

1)

Satu

kali

kunjungan

selama

trimester

pertama

(umur

kehamilan1-3 bulan) 2) Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 46 bulan). 3) Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 79 bulan). 4) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik minimal 4 kali selama kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim, hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut jantung janin (Saifuddin, 2002). d. Penyulit / Penyakit 1) Anemia

Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi dalam jumlah besar untuk pembuatan butir-butir darah

pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat besi. Jumlah ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan turun dan bila persediaan ini habis,

Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan keenam kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah kematian janin dalam kandungan (Mochtar, 2004). Menurut Manuaba (2003), pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli, dapat digolongkan sebagai berikut : - Normal : 11 gr% - Anemia ringan : 9-10 gr% - Anemia sedang : 7-8 gr% - Anemia berat : <7 gr%. 2) Pre-eklampsi dan eklampsi

Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenjaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin (Mochtar, 2004) 3) Solusio plasenta

Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis,

spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah terjadinya hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian janin (Wiknjosastro, 2005). 4) Diabetes Mellitus

Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciriciri kekurangan atau tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam darah yang tinggi dan mempengaruhi metabolisme tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Umumnya wanita penderita diabetes melarikan bayi yang besar (makrosomia). Makrosomia dapat terjadi karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang menghasilkan lebih banyak insulin untuk menanggulangi kadar gula yang tinggi. Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia menimbulkan masalah sewaktu melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir (Stridje, 2000). 5) Rhesus Iso-Imunisasi

Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka antigen rhesus akan membuat penerima darah membentuk antibodi antirhesus. Jika transfusi darah rhesus positif yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada sel darah rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus isoimunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi

perlahan- lahan sesuai perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi antihresus bertemu dengan sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga pecah melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam darah, dan sebagian dieklaurkan ke kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak sel darah merah yang hancur maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005). 6) Infeksi dalam kehamilan

Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun keparahan setiap infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin, sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero (Llewellyn, 2001). 7) Ketuban Pecah Dini

Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dan kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan. Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 mninggu, kejadiannya sekitar 4%.

Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003). 8) Letak lintang

Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada letak lintang dengan ukuran panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian janin. Bahu masuk ke dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas antara dua bagian ini makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi patologik sehingga dapat mengakibatkan kematian janin (Wiknjosastro, 2005). 2. Faktor Janin a. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Dilihat dari bentuk morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk suatu deformitas atau bentuk malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas secara anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan tidak normal. Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab mekanik atau pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital malformitas, susunan anatomik maupunbentuknya akan berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali melalui

pemeriksaanultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri,2005). b. Infeksi intranatal

Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Kuman dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah dini mempunyai peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia. Infeksi

intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja, 2006). 3. Kelainan Tali Pusat Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam cairan amnion, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan pada leher, sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam kandungan. a. Kelainan insersi tali pusat

Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis sehingga saat ketuban pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian janin akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu (Wiknjosastro, 2005). b. Simpul tali pusat

Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi peluntiran pembuluh darah umblikalis, karena selei Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah tersebut menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin dalam rahim. Gerakan janin yang begitu

aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai (Manuaba, 2002). c. Lilitan tali pusat

Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada leher sangat berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat menumbung, atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin sehingga dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005). 2.2.5. Pemeriksaan Penunjang 1. Ultrasonografi Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin, seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak sering dijumpai overlapping cairan ketuban berkurang. 2. Rontgen foto abdomen a. Tanda Spalding

Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling tumpang tindih (overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal ini terjadi setelah bayi meninggal beberapa hari dalam kandungan. b. Tanda Nojosk

Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting (hiperpleksi).

c. d. 3.

Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah. Tampak udema di sekitar tulang kepala

Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen (Achadiat 2004).

2.2.6. Penanganan Kematian Janin Dalam Kandungan 1. Penanganan Pasif a. b. 2. Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu Pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu

Penanganan Aktif a. Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan dilatasi atau kuretase. b. Untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin. Untuk oksitosin diperlukan pembukaan serviks dengan pemasangan kateter foley intra uterus selama 24 jam (Achdiat, 2004)

Anda mungkin juga menyukai