Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Tinjauan pertama: Status Perbankan yang Tidak Jelas Perbankan syariah

yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Sekilas hal ini tidak menjadi masalah padahal masalah ini adalah masalah besar yang perlu di tinjau ulang. Sebab perbankan dalam hal ini memaikan status ganda yang saling bertentangan. Sebagaimana dijelaskan skema berikut

Gambar 1. Skema Peran Perbankan Syariah Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah (kreditur) sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status itu berubah, dimana bank berperan sebagai pemodal, yaitu ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya. Status ganda yang diperankan oleh perbankan ini membuktikan bahwa akad yang dijalankan perbankan syariah selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu karena bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan amanah

dari pemodal ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil keuntungan, sehingga tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal, maka ia mendustakan kenyataan sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah. Imam an-nawai berkata, hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha ( mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ketiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas izin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua batal. Ucapan senada juga diutarakan oleh imam ibnu qudamah al-hanbali, ia berkata, tidak dibenarkan bagi pelaku usaha menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan imam ahmad. Pendapat ini adalah pendapat imam abu hanifah, asy-syafiI dan aku tidak mengetahui ada ulama lain yang menyelisihkannya. Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut sertadalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapakan bagian dari keuntunggan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah karena hasil/keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagi hasil.

Tinjauan Kedua; Bank Tidak Memiliki Usaha Riil Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Taala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak dapat dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak beresiko. Oleh karena itu perbankan yang ada biasanya-tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah. Metode ini menjadikan kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan Negaranegara kafir pun ikut berlomba-lomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan beberapa Negara kafir tersebut-misalnya Singapura-telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagi pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaanya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratka oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan beberapa ulama diantaranya sebagaimana yang disebutkan imam an-nawawi diatas.

Tinjauan Ketiga: Bank tidak siap Menanggung Kerugian Andaikata kita menutup mata dari kedua hal diatas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menaggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang piutang yang berbunga alias riba. Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usahamemberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan di perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil. Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang bathil, maka solusinya adalah satu diantara dua hal berikut: 1. Akad beserta persyaratan tersbut tidak sah, sehingga masing-masing pihak terkait, harus mengembalikan seluruh hak lawan akdnya. 2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut. Sebagai contoh misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal kepada Pak Ahmadmisalnya-sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari Bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-.

Dalam keadaan semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modal utuhnya, yaitu Rp. 100.000.000,;. Mungkin operator Perbankan Syariah akan berdalh, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan, alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: Dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariah, pelaku usaha merugi dua kali: Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank. Contoh lain dari produk Perbankan Syariah ialah bai al murabahah. Bentuknya kurang lebih demikian, bila ada seseorang yang ingin memiliki motor, ia dapat mengajukan permohonan ke salah satu perbankan syariah agar Bank tersebut membelikannya. Selanjutnya pihak bank akan mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank akan segera mengadakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada pemesan, dengan ketentuan yang sebelumnya telah disepakati. Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan tetapi bila kita cermati lebih seksama, maka akan Nampak dengan jelas bahwa pihak bank berusaha untuk menutup segala resiko. Oleh karenanya, sebelum bank mengadakan barang yang dimaksud, bank telah membuat kesepakatan jual beli

dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian bank telah menjual barang yang belum ia miliki, dan itu adalah terlarang. dari sahabat ibnu Abbas ia Menuturkan: Rasulullah SAW bersabda,Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya. Ibnu Abbas berkata,dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan. (muttafaqun alaih) Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, diantaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut. Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini: saya bertanya kepada Ibnu Abbas, bagaimana kok demikian? ia menjawab, itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda. (Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas diatas sebagai berikut, Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar-misalnya-dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia lagsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/menukar uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja. Tinjauan Keempat:

Nasabah Bank tidak siap menanggung kerugian. Bila kita berdiri di pintu masuk salah satu bank syariah yang ada di negeri kita, lalu kita bertanya kepada setiap nasabah yang menabungkan atau menginvestasikan dananya: apakah sikap bapak/ibu bila pada suatu saat pihak operator bank menyatakan bahwa usaha yang dikelola merugi, sehingga dana bapak/ibu berkurang atau bahkan hangus? Saya yakin, mayoritas atau bahkan seluruh nasabah dengan berbagai macamnya akan menjawab pertanyaan diatas dengan tegas, Tidak, dana saya harus aman, minimal, bila tidak ada bagi hasil, maka harus kembali utuh. Jawaban mereka ini, merupakan bukti bahwa sebenarnya mereka adalah pemberi piutang kepada bank, buka pemodal. Dengan demikian, setiap keuntungan yang mereka peroleh dari bank dan yang sebelumnya telah disepakati (baik tertulis atau tidak) adalah riba, bukan bagi hasil, karena tercakup oleh kaidah: Kullu qordin jarra nafan fahuwa riiba Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.

Tinjauan kelima: Semua nasabah mendapatkan bagi hasil Perbankan syariah mencampur-adukan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan, dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan. Mungkin menurut perbankan syariah yang ada, hal ini tidak masalah. Sebab yang menjadi pertimbangan utama bank dalam membagikan keuntungannya adalah total modal nasabah, bukan keuntungan yang diperoleh dari dana masing-masing nasabah.

Akan tetapi hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagi hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum disalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan. Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariah untuk menyimpan dana yang tidak disalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk sertifikat wadiah. Sebagi contoh: pada periode januari 2004 dilaporkan, perbankan syariah berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,85 triliun rupiah. Keadaan ini menjadi masalah besar, dikerenakan perbankan syariah yang ada telah menjanjikan (baik tertulis atau tidak) untuk memberikan keuntungan kepada setiap nasabahnya. Bank dalam hal ini tidak membedakan antara nasabah yang dananya berhasil disalurkan. Fenomena perbankan syariah ini membuktikan bahwa sebenarnya hubungan antara bank dan pelaku usaha atau konsumen produk perbankan adalah hubungan antara pemilik uang dengan penghutang. Dalam hal ini bank bukanlah pemodal, akan tetapi pemberi piutang dan nasabah bukanlah pelaku usaha, akan tetapi penghutang. Dengan demikian, seluruh keuntungan yang diperoleh bank dari nasabahnya adalah riba bukan keuntungan (bagi hasil). Tinjauan keenam: Metode Bagi Hasil yang Berbelit-belit

Bila kita dating ke salah satu kantor perbankan syariah yang terdekat dengan rumah kita, niscaya kita akan dapatkan suatu brosur yang menjelaskan tentang metode pembagian hasil. Untuk memahami metode pembagian hasil tersebut buklanlah suatu hal yang mudah, terlebih-lebih bagi yang taraf pendidikannya rendah. Berikut adalah metode bagi hasil yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:

E= pendapatan rata-rata investasi dari setiap 100 rupiah dari dana nasabah. Dapat dilihat dengan jelas bahwa salah satu pengali dalam perhitungan hasil pada skema diatas adalah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad mudharabah, maka yang dihitung adalah keuntungan atau hasilnya, oleh karena itu akad ini dinamakan bagi hasil. Muhammad Nawawi al bantani berkata, rukun mudharabah kelima adalah keuntungan. Rukun ini memiliki beberapa persyaratan diantaranya , keuntungan hanya milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian masingmasing dari mereka ditentukan oleh prosentase. Inilah yang menjadi penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syarI sangat simple, dan mudah dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabah:

Perbedaan antara dua metode diatas dapat dipahami dengan jelas melalui contoh berikut. Pak ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian 50% untuk pemodal dan 50% untuk pelaku usaha (bank), dan total uang yang dikelola oleh bank sejumlah 10.000.000.000,- (10 miliar). Dengan demikian, modal pak ahmad adalah 1% dari keseluruhan dana yang dikelola oleh bank. Pada akhir bulan, bank berhasil membukukan laba bersih sebesar

1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank-setelah itu melalui perhitungan yang berbelit-belit pulamenentukan bahwa pendapatan investasi dari setiap Rp. 1000,- adalah Rp11,61. Bila kita menggunakan metode perbankan syariah maka hasilnya adalah sebagai berikut:

Dengan metode ini, Pak Ahmad hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp 580.500,- saja. Sedangkan bila kita menggunakan metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut:

Dengan metode penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, pak ahmad berhak mendapatkan bagi hasil sebesar Rp. 5000.000,-. Metode pembagian yang diterapkan oleh bank, berbelit-belit dan merugikian nasabah. Yang lebih rumit lagi adalah metode bank dalam menentukan pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah. Berikut salah satu contoh dari metode yang diterapkan oleh salah satu perbankan syariah di Indonesia:

Metode perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit ini, membuktikan bahwa Perbankan Syariah yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit pemaparan diatas, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariah yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya memermainkan istilahistilah syariah. Mungkin inilah yang mendorong sebagian umat islam berani mempermainkan berbagai istilah syariah.

Anda mungkin juga menyukai