Anda di halaman 1dari 53

BAB II FRAKTUR

A. Anatomi Fisiologi Muskuloskeletal


Muskuloskeletal terdiri atas : Muskuler/Otot Skeletal/Rangka 1. Muskuler/Otot 1.1 Otot Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk berkontraksi. Terdapat lebih dari 600 buah otot pada tubuh manusia. Sebagian besar otot-otot tersebut dilekatkan pada tulang-tulang kerangka tubuh oleh tendon, dan sebagian kecil ada yang melekat di bawah permukaan kulit. Fungsi sistem muskuler/otot: Pergerakan. Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut melekat dan bergerak dalam bagian organ internal tubuh. Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk terhadap gaya gravitasi. Produksi panas. Kontraksi otot-otot secara metabolis menghasilkan panas untuk mepertahankan suhu tubuh normal. Ciri-ciri sistem muskuler/otot: Kontrakstilitas. Serabut otot berkontraksi dan menegang, yang dapat atau tidak melibatkan pemendekan otot. Eksitabilitas. Serabut otot akan merespons dengan kuat jika distimulasi oleh impuls saraf. Ekstensibilitas. Serabut otot memiliki kemampuan untuk menegang melebihi panjang otot saat rileks. Elastisitas. Serabut otot dapat kembali ke ukuran semula setelah berkontraksi atau meregang. : Otot, tendon,dan ligamen : Tulang dan sendi

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

Jenis-jenis otot a) Otot rangka, merupakan otot lurik, volunter, dan melekat pada rangka. Serabut otot sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris dengan lebar berkisar antara 10 mikron sampai 100 mikron. Setiap serabut memiliki banyak inti yang tersusun di bagian perifer. Kontraksinya sangat cepat dan kuat. Struktur Mikroskopis Otot Skelet/Rangka Otot skelet disusun oleh bundel-bundel paralel yang terdiri dari serabutserabut berbentuk silinder yang panjang, disebut myofiber /serabut otot. Setiap serabut otot sesungguhnya adalah sebuah sel yang mempunyai banyak nukleus ditepinya. Cytoplasma dari sel otot disebut sarcoplasma yang penuh dengan bermacam-macam organella, kebanyakan berbentuk silinder yang panjang disebut dengan myofibril. Myofibril disusun oleh myofilament-myofilament yang berbeda-beda ukurannya : yang kasar terdiri dari protein myosin yang halus terdiri dari protein aktin/actin. b) Otot Polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding berongga seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius, dan sistem sirkulasi darah. Serabut otot berbentuk spindel dengan nukleus sentral. Serabut ini berukuran kecil, berkisar antara 20 mikron (melapisi pembuluh darah) sampai 0,5 mm pada uterus wanita hamil. Kontraksinya kuat dan lamban. Struktur Mikroskopis Otot Polos Sarcoplasmanya terdiri dari myofibril yang disusun oleh myofilamenmyofilamen. Jenis otot polos Ada dua kategori otot polos berdasarkan cara serabut otot distimulasi untuk berkontraksi.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

Otot polos unit ganda ditemukan pada dinding pembuluh darah besar, pada jalan udara besar traktus respiratorik, pada otot mata yang memfokuskan lensa dan menyesuaikan ukuran pupil dan pada otot erektor pili rambut. Otot polos unit tunggal (viseral) ditemukan tersusun dalam lapisan dinding organ berongga atau visera. Semua serabut dalam lapisan mampu berkontraksi sebagai satu unit tunggal. Otot ini dapat bereksitasi sendiri atau miogenik dan tidak memerlukan stimulasi saraf eksternal untuk hasil dari aktivitas listrik spontan. c) Otot Jantung Merupakan otot lurik Disebut juga otot seran lintang involunter Otot ini hanya terdapat pada jantung Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut. Struktur Mikroskopis Otot Jantung Mirip dengan otot skelet

Otot Rangka Kerja Otot

Otot Polos

Otot Jantung

Fleksor (bengkok) >< Ekstentor (meluruskan) Supinasi(menengadah) >< Pronasi (tertelungkup) Defresor(menurunkan) >< Lepator (menaikkan) Sinergis (searah) >< Antagonis (berlawanan) Dilatator(melebarkan) >< Konstriktor (menyempitkan) Adduktor(dekat) >< Abduktor (jauh)

1.2 Tendon

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang dengan otot atau otot dengan otot.

Gambar.2 Tendon

1.3 Ligamen Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan jaringan elastis penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus tulang dengan tulang yang diikat oleh sendi. Beberapa tipe ligamen : Ligamen Tipis Ligamen pembungkus tulang dan kartilago. Merupakan ligament kolateral yang ada di siku dan lutut. Ligamen ini memungkinkan terjadinya pergerakan. Ligamen jaringan elastik kuning. Merupakan ligamen yang dipererat oleh jaringan yang membungkus dan memperkuat sendi, seperti pada tulang bahu dengan tulang lengan atas. Gambar.3 Ligamen

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

2. Skeletal 2.1 Tulang/ Rangka Skeletal disebut juga sistem rangka, yang tersusun atas tulang-tulang. Tubuh kita memiliki 206 tulang yang membentuk rangka. Bagian terpenting adalah tulang belakang. Fungsi Sistem Skeletal : 1. 2. Memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis. Membentuk kerangka yang yang berfungsi untuk menyangga tubuh dan otot-otot yang. 3. 4. Melekat pada tulang Berisi dan melindungi sum-sum tulang merah yang merupakan salah satu jaringan pembentuk darah. 5. Merupakan tempat penyimpanan bagimineral seperti calcium daridalam darah misalnya. 6. Hemopoesis

Struktur Tulang Tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar diantara material tidak hidup (matriks). Matriks tersusun atas osteoblas (sel pembentuk tulang). Osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan garam mineral. Jika pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan dibentuk. Jika tulang telah dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel tulang dewasa). Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan tulang). Jaringan tulang terdiri atas : a. Kompak (sistem harvesian matrik dan lacuna, lamella intersisialis)

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

b.

Spongiosa (trabecula yang mengandung sumsum tulang dan pembuluh darah)

Klasifikasi Tulang berdasarkan bentuknyanya Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses Osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya : 1). Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon

pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang. 2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat. 3). Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous. 4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek. 5). Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut). Pembagian Sistem Skeletal 1. Axial / rangka aksial, terdiri dari :
8

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

2.

tengkorak kepala / cranium dan tulang-tulang muka columna vertebralis / batang tulang belakang costae / tulang-tulang rusuk sternum / tulang dada

Appendicular / rangka tambahan, terdiri dari : tulang extremitas superior a. korset pectoralis, terdiri dari scapula (tulang berbentuk segitiga) dan clavicula (tulang berbentuk lengkung). b. c. d. lengan atas, mulai dari bahu sampai ke siku. lengan bawah, mulai dari siku sampai pergelangan tangan. tangan

tulang extremitas inferior: korset pelvis, paha, tungkai bawah, kaki. Penyusun Tulang Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Selselnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang. Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm). Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik . Lapisan yang paling

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna permukaan tulang). Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garamgaram menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi Howship (cekungan pada

(kemampuan menahan tekanan).

Gambar 1 Anatomi tulang panjang


Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 10

Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas. Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang. Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah. Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat. Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas

menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas,
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 11

sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon. Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang. Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang. Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 12

merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas. Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.

2.2 Sendi Persendian adalah hubungan antar dua tulang sedemikian rupa, sehingga dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya gerakan. 1. Synarthrosis (suture) Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat digerakkan, strukturnya terdiri atas fibrosa. Contoh: Hubungan antara tulang di tengkorak. 2. Amphiarthrosis Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan, strukturnya adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang 3. Diarthrosis Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan, yang terdiri dari struktur sinovial. Contoh: sendi peluru (tangan dengan bahu), sendi engsel (siku), sendi putar (kepala dan leher), dan sendi pelana (jempol/ibu jari).

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

13

B. Definisi Fraktur
Definisi fraktur dari berbagai sumber, antara lain : 1. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. 2. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. 3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). 4. Doengoes (2000) patahnya tulang. 5. Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Disimpulkan bahwa, fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma. memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau

C. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Berdasarkan keadaan
14

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

1) Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. 2) Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang menjadi lemah karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor, baik tumor primer maupun metastasis. 3) Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu. b. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan). 1). Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. 2). Fraktur terbuka (compound fraktur). Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), atau from without (dari luar).

c. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto. 2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) b) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 15

c)

Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. Fraktur Komplit
Fraktur Inkomplit

Greenstick

Hairline

d. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma. 1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga. 3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

e. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

16

Kominutif

Segmental

Multiple

f. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. 2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping). b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh). Fraktur Displaced

Angulasi
g. Berdasarkan posisi frakur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian : A. 1/3 proksimal B. 1/3 medial C. 1/3 distal

Overlaping

h. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. i. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

17

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

D. Etiologi Fraktur
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang menyabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat

menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak (Arif muttaqin, 2008). Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,

pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.

E. Patofisiologi Fraktur
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

18

Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang menyabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat

menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak (Arif muttaqin, 2008). Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,

pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Trauma Langsung Atau Tidak Langsung Patologis (Osteoporosis, Metastase Dari Tulang) Spontan (Gerakan Pintir Mendadak)

Luka Tertutup

Kerusakan fragmen tulang, cedera jar. lunak

Diskontuinitas Fragmen Tulang

Luka Terbuka

Pergeseran tulang Pembuluh darah terputus deformitas Perdarahan Ekstremitas tdk dpt berfungsi dg baik Pengumpulan darah (hematoma) Gangguan mobilitas Devitaslisasi (Hb, Ht) Penatalaksanaan Medis Dilatasi pembuluh kapiler Prosedur Pemasangan Fiksasi Eksternal Tek. kapiler otot naik Ada Port Histamin menstimulasi otot Jakarta Entry Kelompok 5. S1De Keperawatan.2010. UPN Veteran Dehidrasi Body Image Resiko Spasme otot Syok Gangguan Gangguan. Perfusi Jaringan Kekurangan Cairan dan Elektrolit Perfusi jar. Hb Darah banyak keluar

Lepasnya Lipid Pada Sum-Sum Tulang

Reaksi Peradangan

Terabsorbsi Masuk Kealiran Darah

Pengeluaran Bradikinin & Berikatan Dengan Nociceptor

Emboli Pengeluaran Mediator Oklusi Arteri Paru Kimia (Histamin)

Pembengkakan Nekrosis Jaringan Paru (tumor) dan rubor

Luas Permukaan Paru Menurun

Edema

Penurunan Laju Difusi

Penekanan 19 Pada Jaringan Vaskuler

Syok dapat bersifat progresif atau tidak begitu hebat tergantung jumlah darah yang hilang serta efektifitas pengobatan. Hilangnya darah antara 10-20% dapat dikompensasi dengan vasokontriksi perifer. Kehilangan 20-30% berkembang secara perlahan dan dapat bersifar reversible apabila diberikan penambahan darah. Kehilangan 30-40% volum darah tidak dikompensasasi dan terjadi syok secara cepat dan hebat dan dapat berubah menjadi ireversible apabila tidak dikompensasi secepatnya.

F. Manifestasi Klinis Fraktur


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepituis, pembekakan lokal, dan perubahan warna (smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk. a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di

imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk badai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cendrung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstermitas normal.ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot. c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering Saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 20

d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa beberapa jam atau hari setelah cedera. baru terjadi setelah

G. Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: 1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

21

permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 4) Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast

menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5) Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

H. Faktor Penyembuhan Tulang


Faktor penyembuhan tulang Faktor-faktor yang menentukan lama penyembuhan fraktur adalah sebagai berikut. a) Usia penderita. Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan aktivitas proses

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

22

osteogenesis pada periosteum dan endosteum serta proses pembentukan tulang pada bayi sangan aktif. Apabila usia bertambah, proses tersebut semakin berkurang. b) Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat daripada fraktur diafisis. Di samping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak. c) Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang periosteumnya tidak bergeser, penyembuhannya dua bergeser. d) Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen mempunyai kali lebih cepat dibandingkan dengan fraktur yang

vaskularisasi yang baik, penyembuhannya tanpa komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur memeiliki vaskularisasi yang jelek sehingga mengalami kematian, pembentukan union akan terhambat atau mungkin terjadi nonunion. e) Reduksi serta imoblisasi. Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang

menggangu penyembuhan fraktur. f) Waktu imobilisasi. Bila imoblisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi union, kemungkinan terjadinya non-union sangat besar. g) Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi jaringan, baik berupa periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya akan mengahambat vaskularisasi kedua ujung fraktur. h) Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal. i) Cairan sinovial. Cairan sinovial yang terdapat pada persendian merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur. j) Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur. Akan tetapi, gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan menggangu vaskularisasi. Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan. Secara kasar, waktu penyembuhan pada anak waktu penyembuhan orang dewasa. Faktor lain yang mempercepat adalah penyembuhan fraktur adalah nutrisi yang baik, hormone-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolic, seperti kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan).
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 23

I. Komplikasi Fraktur
a. Komplikasi Dini Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. 1) Pada Tulang a) Infeksi, terutama pada fraktur terbuka. b) Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union. Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang

melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi. 2) Pada Jaringan lunak a) Lepuh, Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit

superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik. b) Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol 3) Pada Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek tersebut pada

melekat

serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon, 1993). 4) Pada Pembuluh Darah Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi

sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 24

pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993) 5) Pada saraf Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan

identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993). 6) Kompartement Syndrom Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. 7) Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. b. Komplikasi Lanjut Pada tulang dapat berupa mal union, delayed union atau non union. Pada pemeriksaaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjang. 1) Delayed union Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (1216 minggu). 2) Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe I

(hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih
25

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, rosesunion tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. 3) Mal union Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.

J. Pemeriksaan Diagnostik Fraktur


a) Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan

menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: (1) Bayangan jaringan lunak. (2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. (3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. (4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. (3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. (4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
26

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. b) Pemeriksaan Laboratorium (1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. (2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. (3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c) Pemeriksaan lain-lain (1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. (2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. (3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. (4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. (5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. (6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995)

K. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


a. Fraktur Terbuka Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan: 1) Pembersihan luka 2) Exici 3) Hecting situasi 4) Antibiotik b. Seluruh Fraktur 1) Rekognisis/Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 27

2)

Reduksi/Manipulasi/Reposisi Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan

rotasfanatomis (brunner, 2001). Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan

dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar. Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 28

tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang. 3) Retensi/Immobilisasi Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 4) Rehabilitasi Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna

memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

L. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur


1. Anamnesa a) Identitas Klien

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

29

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: (1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. (2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. c) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakitpenyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang e) Riwayat Penyakit Keluarga

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

30

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f)

Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g)

Pola-Pola Fungsi Kesehatan (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995). (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

31

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002). (4) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). (5) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995). (6) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). (7) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). 10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 32

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien 2. Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti: (a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. (b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. (c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. (d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. (e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 33

(f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. (g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. (h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. (i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. (j) Paru (1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. (2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. (4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (k) Jantung (1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. (2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (l) Abdomen (1) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (2) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (3) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 34

(4) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit. (m) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. b) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) (2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 5 (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 35

diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,

pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. (3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995) 3. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut: a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada (Doengoes, 2000) 4. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
36

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Tujuan : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan

menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah yang sakit dengan tirah baring, malformasi. gips, bebat dan atau traksi

2. Tinggikan

posisi

ekstremitas Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

yang terkena.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak Mempertahankan kekuatan otot dan pasif/aktif. meningkatkan sirkulasi vaskuler.

4. Lakukan

tindakan

untuk Meningkatkan sirkulasi umum,

meningkatkan

kenyamanan menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

(masase, perubahan posisi)

5. Ajarkan

penggunaan

teknik Mengalihkan perhatian terhadap

manajemen nyeri (latihan napas nyeri, meningkatkan kontrol terhadap dalam, imajinasi visual, aktivitas nyeri yang mungkin berlangsung dipersional) lama.

6. Lakukan kompres dingin selama Menurunkan edema dan mengurangi fase akut (24-48 jam pertama) rasa nyeri. sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan nyeri melalui sesuai indikasi. mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

37

Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)

Menilai perkembangan masalah klien.

b.

Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan melakukan latihan mencegah kekakuan sendi.

menggerakkan jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan

restriksi

sirkulasi Mencegah stasis vena dan sebagai

akibat tekanan bebat/spalk yang petunjuk perlunya penyesuaian terlalu ketat. keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan 3. Pertahankan letak tinggi menurunkan edema kecuali pada

ekstremitas yang cedera kecuali adanya keadaan hambatan aliran ada kontraindikasi adanya arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

sindroma kompartemen.

4. Berikan

obat

antikoagulan Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

(warfarin) bila diperlukan.

5. Pantau kualitas nadi

perifer, Mengevaluasi perkembangan

aliran kapiler, warna kulit dan masalah klien dan perlunya kehangatan kulit distal cedera, intervensi sesuai keadaan klien.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

38

bandingkan dengan sisi yang normal.

c.

Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.

Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.

3. Kolaborasi

pemberian

obat

Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.

antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai

indikasi.

4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit

Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

5. Evaluasi frekuensi pernapasan

Adanya takipnea, dispnea dan

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

39

dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.

perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

d.

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai

Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.

keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) keadaan klien. sesuai

Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

40

5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.

Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

6. Dorong/pertahankan cairan 2000-3000 ml/hari.

asupan

Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.

7. Berikan diet TKTP.

Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.

8. Kolaborasi

pelaksanaan

Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.

fisioterapi sesuai indikasi.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Menilai perkembangan masalah klien.

e.

Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman bersih, dan alat aman tenun (kering, kencang,

Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.

bantalan bawah siku, tumit).

2. Masase kulit terutama daerah

Meningkatkan sirkulasi perifer dan

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

41

penonjolan

tulang

dan

area

meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

distal bebat/gips.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

4. Observasi

keadaan

kulit,

Menilai perkembangan masalah klien.

penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

f.

Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

2. Ajarkan

klien

untuk

Meminimalkan kontaminasi.

mempertahankan sterilitas insersi pen.

3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai

Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

indikasi.

4. Analisa

hasil

pemeriksaan (Hitung Kultur darah dan

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi

laboratorium lengkap,

LED,

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

42

sensitivitas luka/serum/tulang)

pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda pada luka. peradangan lokal

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

h.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.

Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.

Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

2.

Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

3.

Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik

Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.

(nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

4.

Persiapkan

klien

untuk

Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.

mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

43

M. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Diagnosa Fraktur Cruris


1. Data Fokus Data subjektif Data objektif 1. Klien tampak sadar, kes.CM . 2. Klien tampak tidak bisa berdiri. 3. Klien tampak luka 4. Klien terpasang bidai pada tungkai kiri. 5. Klien terpasang mitela pada bahu kiri. 6. Klien tampak bengkak pada sendi bahu kiri dan 7. tungkai bawah tampak terkulai. 8. Nyeri tekan & nyeri sumbu (+) pada cruris sinistra 9. Pada pemeriksaan fisik tampak acral klien dengan keadaan baik. 10. TD :140/100 RR: 20 x/menit S : 380 N : 50x/menit 11. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan fraktur cruris sinistra 1/3 tengah dan pada bagian depan deltoid.

2. Data Tambahan 1. Data Subjektif Kemungkinan klien mengeluhkan nyeri dengan skala : 8. Kemungkinan klien mengeluhkan bagian ekstermitasnya sulit untuk digerakan. Klien mengatakan nyeri yang tidak tertahankan pada cruris sinistranya Kemungkinan klien mengeluhkan sesak Data Objektif 1. Tampak hematom pada area cruris sinistra 2. Tampak adanya bengkak pada cruris sinistra 3. Tampak ada perubahan warna pada cruris sinistra 4. Crepitus (+) pada kruris sinistra klien 5. Ditemukan deformitas pada cruris snistra 6. Cruris sinistra tampak lebih pendek dibandingkan cruris dekstra klien. 7. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kondisi kulit klien tidak elastis. 8. Kemungkinan ditemukan peningkatan suhu tubuh. 9. Kemungkinan ditemukan kulit klien dingin, dan pucat. 10. Kemungkinan ditemukan klien mengalami kelemahan 11. Kemungkinan ditemukan urine output 1200 ml/24jam (1400-1500ml/24jam) 12. Pada Pemeriksaan Laboratorium kemungkinan ditemukan : Hb : 11g /dl ( 14-16g/dl) Ht : 55% (40-48%) Leukosit :8000/ul (5000-10000/ul) Trombosit : 130000/l (150000-450000/l)
44

2.

3.

4.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

Albumin : 2,5 gr/dl (3,8-5,1 gr/dl) Ureum : 15 mg/dl (20 40 mg/dl) Creatinin: 2 mg/dl (0,5 1,5 mg/dl) Elektrolit: Natrium :132mEq/L (135-145mEq/L) Kalium: 3,3mEq/L (3,5-5,3 mEq/L) Klorida: 97 mEq/L (97-107 mEq/L) AGD: pH: 7.30 (7,35 7,45) PO2: 83 mmHg (80 100 mmHg) SaO2: 94% (93% 98%) PCO2: 46 mmHg (35 45 mmHg) HCO3: 23mEq/L (2226 mEq/L) BE: -8 mEq/L (-2 s/d +2 mEq/L) 3. Analisa Data Data DS : 1. Kemungkinan klien mengeluhkan nyeri dengan skala : 8. 2. Kemungkinan klien mengeluhkan bagian Masalah Etiologi

ekstermitasnya sulit untuk digerakan. 3. Klien tampak tidak bisa berdiri. 4. Klien tampak luka 5. Klien tampak bengkak pada sendi bahu kiri dan 6. Tungkai bawah tampak terkulai DO : 1. Klien tampak tidak bisa berdiri. 2. Klien tampak terpasang bidai pada tungkai kiri. 3. Klien tampak terpasang mitela. 4. Klien tamapk bengkak pada sendi bahu kiri dan tungkai bawah terkulai 5. Kemungkinan kelemahan ditemukan klien mengalami

Kerusakan rangka Ganggua n mobilitas fisik neuromuskul er, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

DS : 1. kemungkinan klien mengeluhkan sesak

Gangguan pertukaran

Perubahan aliran darah,


45

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

DO : 1. Kemungkinan ditemukan klien sulit bernapas 2. (pem. Radiologi)?? 3. Pemeriksaan darah lengkap Hb : 11g /dl ( 14-16g/dl) 4. AGD: pH: 7.30 (7,35 7,45) PO2: 83 mmHg (80 100 mmHg) SaO2: 94% (93% 98%) PCO2: 46 mmHg (35 45 mmHg) HCO3: 23mEq/L (2226 mEq/L) BE: -8 mEq/L (-2 s/d +2 mEq/L) DS : 1. Kemungkinan klien mengeluhkan bagian

gas

emboli, perubahan membran aveolar/kapil er

ekstermitasnya sulit untuk digerakan 2. Klien mengatakan nyeri yang tidak tertahankan pada cruris sinistranya DO : 1. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan fraktur cruris sinistra 1/3 tengah dan pada bagian depan deltoid. 2. TD :140/100 50x/menit 3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit klien dingin, dan pucat. RR: 20 x/menit S : 380 C N : Gangguan neurovask uler

Penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukantro mbus)

3. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi). b. Gangguan pertukaran gan berhubungan dengan Perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran aveolar/kapiler c. Gangguan neurovaskuler berhubungan dengan Penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukantrombus)

4. Intervensi

a. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,


Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 46

nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)


Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas Intervensi : 1) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional) R: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama. 2) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan R : Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri. 3) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien. R : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial. 4) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien. R: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi. 5) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi. R :Mempertahankan posis fungsional ekstremitas. 6) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien. R :Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. 7) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. R :Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) 8) Berikan diet TKTP. R : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh. 9) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 47

R : Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual. 10) Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi. R: Menilai perkembangan masalah klien.

b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti).

Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal. Intervensi 1) Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif. Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi. 2) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien. Rasional : Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru. 3) Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral. Rasional : Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal. 4) Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

Rasional : urinarius dan konstipasi 5) Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Rasional : Menilai perkembangan masalah klien. 6) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan

kortikosteroid sesuai indikasi. Rasional : Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak 7) Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit. Rasional : Penurunan pao2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase,

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

48

lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak. 8) Berikan diet TKTP Rasional : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus). Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif. Intervensi
1) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera. Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi. 2) Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat. Rasional : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk. 3) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal. Rasional : Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien. 4) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen. Rasional : Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi 5) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan. Rasional : Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

N. Asuhan Keperawatan Post Operasi Fraktur Cruris


1. Pengkajian

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

49

Segera setelah menerima klien dari kamar operasi, perawat memeriksa klien berdasarkan status pemeriksaan kewaspadaan meliputi tanda vital, irama jantung, kecepatan dan efisiensi pernapasan, saturasi oksigen, patensi intravena, serta kondisi saat pembedahan. Khusus pembedahan ortopedi, perawat mengkaji ulang kebutuhan klien berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas, dan konsep diri. Trauma skelet dan pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot, dan sendi dapat mengakibatkan nyeri. Perfusi jaringan harus dipantau karena edema dan perdarahan ke dalam jaringan dapat memperburuk peredaran darah dan mengakibatkan sindrom kompartemen. Anestesi umum, analgesik dapat

menyebabkan kerusakan fungsi dari berbagai sistem. Pengkajian Beberapa masalah kolaborasi atau risiko komplikasi yang dapat terjadi pada klien pascaoperasi ortopedi adalah syok hipovolemia, atelektasis, pneumonia, retensi urine, infeksi, dan trombosis vena profunda. Penyakit tromboembolik, merupakan salah satu dari semua komplikasi yang paling sering dan paling berbahaya pada klien pascaoperasi ortopedi. Usia lanjut, hemostasis, pembedahan ortopedi ekstremitas bawah, dan imobilisasi merupakan faktor-faktor risiko. Pengkajian tungkai bawah harus dilakukan setiap hari, dari adanya nyeri tekan, panas, kemerahan, dan edema pada betis serta tanda Homan positif. Temuan abnormal harus dilaporkan pada tim medis. Juga perlu dikaji terjadinya emboli lemak, yang ditandai adanya perubahan pola napas, tingkah laku, dan penurunan tingkat kesadaran klien. Peningkatan suhu dalam 48 jam pertama sering kali berhubungan dengan atelektasis atau masalah pernapasan lain. Peningkatan suhu pada beberapa hari kemudian, sering berhubungan dengan infeksi saluran kemih. Infeksi superfisial memerlukan sekitar lima sampai sembilan hari kemudian.

2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien pascaoperasi ortopedi adalah sebagai berikut. a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi. b. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah. c. Perubahan kemandirian.
Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta 50

pemeliharaan

kesehatan

berhubungan

dengan

kehilangan

d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips). e. Perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri berhubungan dengan dampak masalah musculoskeletal f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive.

3. Rencana Keperawatan Rencana asuhan keperawatan pada klien postoperatif ortopedi disusun seperti berikut ini meliputi diagnosis keperawatan, tindakan, dan kriteria a. Diagnosis Keperawatan: Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan imobilisasi. Hasil yang diharapkan : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang: Menggunakan berbagai pendekatan untuk mengurangi nyeri. Kadang menggunakan obat per oral untuk mengontrol ketidaknyamanan. Meninggikan ekstremitas untuk mengontrol pembengkakan dan

ketidaknyamanan. Bergerak dengan lebih nyaman

Intervensi : 1) Lakukan pengkajian nyeri meliputi skala, intensitas, dan jenis nyeri. Rasional : Untuk mengetahui karakteristik nyeri agar dapat menentukan diagnosa selanjutnya. 2) Kaji adanya edema, hematom, dan spasme otot. Rasional : Adanya edema, hematom dan spasme otot menunjukkan adanya penyebab nyeri 3) Tinggikan ekstremitas yang sakit. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri. 4) Berikan kompres dingin (es). Rasional : Menurunkan edema dan pembentukan hematom 5) Ajarkan klien teknik relaksasi, seperti distraksi, dan imajinasi terpimpin. Rasional : Menghilangkan / mengurangi nyeri secara non farmakologis 6) Laporkan kepada tim medik, bila nyeri tidak terkontrol. Rasional : Agar dapat menentukan terapi yang tepat 7) Berikan obat-obatan analgetik sesuai order.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

51

Rasional : Pemberian rutin mempertahankan kadar analgesic darah secara adekuat, mencegah fluktuasi dalam menghilangkan nyeri. b. Diagnosis Keperawatan: Risiko perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah. Hasil yang diharapkan : Klien memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat: Warna kulit normal. Kulit hangat. Respons pengisian kapiler normal (c 3 detik). Perasaan dan emosi normal. Memperlihatkan pengurangan pembengkakan.

Intervensi : 1) Kaji status neurovaskular (misal warna kulit, suhu, pengisian kapiler, denyut nadi, nyeri, edema, parestesi, gerakan). Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya 2) Tinggikan ekstremitas yang sakit. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri. 3) Balutan yang ketat harus dilonggarkan. Rasional : Untuk memperlancar peredaran darah. 4) Anjurkan klien untuk melakukan pengesetan otot, latihan pergelangan kaki, dan "pemompaan" betis setiap jam untuk memperbaiki peredaran darah. Rasional : Latihan ringan sesuai indikasi untuk mencegah kelemahan otot dan memperlancar peredaran darah. 5) Laporkan kepada tim medis jika peredaran darah mengalami gangguan Rasional : Agar dapat menentukan intervensi yang tepat. c. Diagnosis Keperawatan: Perubahan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan kehilangan kemandirian Hasil yang diharapkan : Klien memperlihatkan upaya memperbaiki kesehatan. Mengubah posisi sendiri untuk menghilangkan tekanan pada kulit. Menjaga hidrasi yang adekuat. Berhenti merokok. Melakukan latihan pernapasan.
52

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

Bergabung dalam latihan penguatan otot.

Intervensi : 1) Bantu klien untuk merubah posisi setiap 2 jam. Rasional : Untuk mencegah tekanan pada kulit sehingga terhindar pada luka decubitus. 2) Pantau adanya luka akibat tekanan. Rasional : Untuk mengetahui tindakan selanjutnya. 3) Lakukan perawatan kulit, lakukan pemijatan dan minimalkan tekanan pada penonjolan tulang. Rasional : Untuk menjaga kulit tetap elastic dan hidrasi yang baik. 4) Kolaborasi kepada tim gizi; pemberian menu seimbang dan pembatasan susu. Rasional : Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan. d. Diagnosis Keperawatan: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur pembedahan, adanya alat imobilisasi (misal bidai, traksi, gips) Hasil yang diharapkan : Klien memaksimalkan mobilitas dalam batas terapeutik. Meminta bantuan bila bergerak. Meninggikan ekstremitas yang bengkak setelah bergeser. Menggunakan alat imobilisasi sesuai petunjuk. Mematuhi pembatasan pembebanan sesuai anjuran

Intervensi : 1) Bantu klien menggerakkan bagian cedera dengan tetap memberikan sokongan yang adekuat. Rasional : Agar dapat membantu mobilitas secara bertahap 2) Ekstremitas ditinggikan dan disokong dengan bantal. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dan mengurangi edema dan mengurangi nyeri 3) Nyeri dikontrol dengan bidai dan memberikan obat anti-nyeri sebelum digerakkan. Rasional : Mengurangi nyeri sebelum latihan mobilitas 4) Ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak (tongkat, walker, kursi roda), dan anjurkan klien untuk latihan.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

53

Rasional : Alat bantu gerak membantu keseimbangan diri untuk latihan mobilisasi e. Diagnosis Keperawatan: Perubahan konsep diri; citra diri, harga diri, dan peran diri berhubungan dengan perubahan penampilan diri. Hasil yang diharapkan : Klien memperlihatkan konsep diri yang positif: Mendiskusikan perubahan sementara atau menetap terhadap perubahan citra tubuh. Mendiskusikan kinerja peran. Mempunyai pandangan diri dan mampu menerima tanggung jawab. Berpartisipasi aktif dalam merencanakan perawatan dan dalam program terapeutik. Intervensi : 1) Dorong klien mengungkapkan perasaan dan rasa ketakutan, mengenai perubahan konsep diri. Rasional : Ekspresi emosi membantu pasien mulai menerima kenyataan dan realitas hidup 2) Bantu klien dalam penerimaan perubahan citra diri sesuai kebutuhan klien. Rasional : Agar pasien dapat memahami perubahan citra diri dengan proses rekonstruksi perbaikan pada dirinya. 3) Jelaskan setiap kesalahpahaman yang di alami klien, untuk membantu penyesuaian terhadap perubahan kapasitas fisik dan konsep diri. Rasional : Salah memberikan informasi akan berakibat salah persepsi. 4) Susun sasaran dan tujuan yang akan dicapai bersama klien. Rasional : Agar proses penyampaian informasi tersusun sesuai rencana. 5) Anjurkan dan motivasi klien untuk melakukan perawatan diri sendiri mandiri sesuai kemampuan. Rasional : Perawatan diri secara mandiri dapat menambah kepercayaan dalam diri klien. 6) Berikan dukungan dan pujian terhadap upaya klien. Rasional : Dukungan bantuan orang terdekat memotivasi dan membantu proses rehabilitasi. 7) Anjurkan keluarga/orang terdekat untuk mendukung penyembuhan klien dengan dampak masalah muskuloskeletal.

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

54

Rasional : Keluarga merupakan orang terdekat yang dapat membantu proses penyembuhan penyakit klien. f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif. Hasil yang diharapkan : Tidak terjadi Infeksi

Intervensi : 1) Kaji respon pasien terhadap pemberian antibiotik Rasional : Untuk menentukan antibiotic yang tepat untuk pasien 2) Pantau tanda-tanda vital Rasional : Peningkatan suhu tubuh di atas normal menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi 3) Pantau luka operasi dan cairan yang keluar dari luka Rasional : Adanya cairan yang keluar dari luka menunjukkan adanya tanda infeksi dari luka. 4) Pantau adanya infeksi pada saluran kemih Rasional : Retensi urine sering terjadi setelah pembedahan

4. Pelaksanaan Keperawatan Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan rencana keperawatan yang telah disusun.

5. Evaluasi a. Nyeri berkurang sampai dengan hilang b. Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan perifer c. Pemeliharaan kesehatan terjaga dengan baik d. Dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri. e. Tidak terjadi perubahan konsep diri; citra diri, harga diri dan peran diri

Kelompok 5. S1 Keperawatan.2010. UPN Veteran Jakarta

55

Anda mungkin juga menyukai