Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktifitas parasimpatis. Rhinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktorfaktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rhinitis yang lainnya. Penatalaksanaan rhinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

1.2 Tujuan 1.2.1Tujuan Umum Untuk memenuhi tugas mata kuliah Telinga Hidung Tenggorokan 1.2.2 Khusus

1. Tujuan Mengetahui tentang penyakit rhinitis vasomotor 2. Mengetahui perjalanan penyakit rhinitis vasomotor 3. Mengetahui komplikasi rhinitis vasomotor 4. Mengetahui tidakkan pengobtan pada penyakit rhinitis vasomotor 1.3 Manfaat Pembuatan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan dan pengetahun tentang penyakit rhinitis atrofi yang belum diketahui sampai saat ini penyebab utamanya. Dan diharapkan makalah ini dapat dijadikan suatu acuan untuk menemukan banyka hal yang masih menjadi teka-teki dalam tahap pengobatan penyakit rhinitis vasomotor ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya obstruksi hidung dan rinorea. Etiologi dari Rinitis Vasomotor dipercayai sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan dari saraf autonom pada mukosa hidung yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan hipersekresi. Menejemen pengelolaan pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan menghindari penyebab, psikoterapi, penggunaan medikamentosa, serta terapi bedah, tetapi sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal. Dalam praktek sehari hari, rinitis seringkali salah anggapan bahwa penyebabnya adalah alergi. Akibatnya type rinitis yang lain (non allergic rinitis / rinitis vasomotor dan mixed rinitis) sering kali tidak terdiagnosa. Hal ini perlu menjadi perhatian karena diagnosis yang tidak tepat menyebabkan pengobatan tidak memuaskan.

Adanya kemiripan gejala antara rinitis vasomotor dan rinitis alergika menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam menegakkan diagnosa pada rinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes yang (-) dan tes allergen yang (-). Sedangkan yang alergik murni mempunyai skin tes yang (+) dan allergen yang jelas.

Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun, sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun dan

terbanyak diderita oleh perempuan. Berdasarkan epidemiologinya, kurang lebih 58 juta penduduk amerika menderita rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis nonalergika dan 26 juta menderita rinitis type campuran.

Dengan demikian diharapkan dokter menjadi lebih teliti dalam melakukan anamnesa dan mempertimbangkan apakah rinitis pada pasien adalah benar benar sebagai rinitis alergika, rinitis vasomotor atau rinitis type campuran. Sehingga pengobatan yang digunakan memberikan hasil yang optimal.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definisi Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk dalam penyakit rinitis kronis selain rinitis alergika.

Rinitis vasomotor adalah infeksi kronis lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus yang encer.

Rinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi.

3.2 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :

1. Pangkal hidung ( bridge )

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung ( nares anterior )

Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka inferior kemudian lebih kecil lagi keatas adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior dan lebih kecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang jumlahnya 3 buah yaitu meatus inferior, meatus media dan meatus superior.

Rongga Hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktori).

Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang mempunyai silia dan terdapat sel sel goblet. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan..

Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a. splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a. palatina mayor dan a. labialis superior yang membetuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cidera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis anterior.

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n. ophtalmicus.

Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari n. maxillaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris ( N V2 ), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.

Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina cribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.

3.2.1 Perjalanan Syaraf Otonom Hidung

Saraf otonom yang mempersarafi mukosa hidung berasal dari nervus vidianus yang mengandung serabut saraf simpatis dan serabut saraf parasimpatis. Nervus vidianus terbentuk dari 2 saraf yaitu n. petrosus superfisialis mayor dan n. petrosus profunda. Nervus petrosus superficialis mayor yang terdapat pada dasar fossa cranialis media yang bersifat parasimpatis dari Vertebra Cervicalis VII menuju ganglion pterigopalatina. Nervus petrosus profunda merupakan nervus yang bersifat simpatis yang meninggalkan pleksus carotis internus.

Nervus vidianus terbentuk pada pertemuan kedua nervus tersebut pada dasar kepala dan memasuki canalis vidianus (pterygoid) pada dinding anterior foramen laserum. Nervus tersebut memasuki ganglion pterygopalatina dari arah permukaan posterior dan inervasi simpatis dan parasimpatis didistribusikan pada semua lokasi yang berhubungan dengan ganlion tersebut ( canalis nasalis, cavum oris, sinus paranasalis dan glandula lakrimalis melalui cabang N.V1 dan N. V2 ).

Fossa pterygopalatina mempunyai bentuk kerucut yang terbalik, terletak di sebelah lateral cavum nasi, anterior inferior dari fossa cranialis media, inferior di apex orbita dan medial dari fossa infratemporalis. Fossa pterygopalatina berhubungan dengan orbita, fossa cranialis medialis, cavum nasi, nasofaring,

cavum oris dan fossa infratemporalis . Fossa pterygopalatina terdapat n. maxilaris, N.V2 (cabang kedua dari N. V), pterygopalatina dan arteri maxillaris.

Batas :

Posterior

permukaan inferior os. Sphlenoidalis ala mayor

dasar dari Proc. Pterigoideus, lamina Proc. Pterygoideus.

Anterior

permukaan posterior os maxillaris

Superior

bagian posterior fissura orbitalis inferior

proc. Orbitalis os palatina

corpus os palatina

Inferior

puncak dari canalis pterygopalatina

Medial

perpendicularis os palatina

Lateral

terletak pada fissura pterygomaxillaris

Menghubungkan

1. Lokasi pada pembukaan dinding posterior. Canalis Vidian (Canalis Pterygoideus), berhubungan dengan fossa cranialis media pada bagian anterior dari foramen laserum. Berisi N. Vidianus yang di bentuk oleh N. Petrosus Profunda (serabut simpatis

postganglionik). N.Vidianus juga mengandung serabut sensoris dari nervus kranialis VIII yang menginervasi palatum molle. Foramen Rotundum, berhubungan dengan fossa cranialis media. Berisi n. maxillaris cabang ke II N.V (N.V2). Canalis Pharyngeal, (cabang berhubungan dari N.V2, dengan yang nasofaring. dari Berisi ganglion

N.Pharingealis

berasal

pterygopalatina) dan A.pharyngealis (cabang A.Maxillaris).

2. Lokasi pada pembukaan dinding superior

Foramen sphenopalatina, berhubungan dengan cavum nasi. Berisi N.Sphenopalatina, merupakan cabang dari N.V2 dari ganglion

pterygopalatina dan A.Sphenopalatina (cabang dari A.Maxillaris).

3. Keluar dari dinding anterior

Fissure

orbitalis

inferior,

berhubungan

dengan

orbita.

Berisi

N.Infraorbitalis (cabang N.V2), A.Infraorbitalis (cabang A.Maxilaris).

4. Bagian inferior fossa pterygopalatina yang masuk kedalam canalis.

Canalis pterygopalatina, berhubungan dengan dasar cavum oris. Canalis pterygopalatina menghubungkan foramina palatina superior dan inferior. Berisi V.Palatina desenden (cabang N.V2) dan A.Palatina desenden. Didalam canal, N.Palatina desenden dan A.Palatina desenden

mengeluarkan cabang media dan lateral inferior hidung.

3.2.2 Fisiologi Hidung

Fungsi hidung adalah untuk

1. Jalan nafas

2. Alat pengatur kondisi udara ( air conditioning )

3. Penyaring udara

4. Sebagai indera peghidu

5. Resonansi suara

6. Turut membantu untuk proses suara

7. Reflek nasal.

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara dilakukan oleh palut lendir atau mucous blanket. Pada musim panas udara hampir jenuh dengan uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebaliknya. Pengaturan suhu dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka serta septum yang luas sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal, dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37C.

Silia juga berfungsi sebagai pembersih hidung sehingga akan membersihkan udara yang masuk ke dalam rongga hidung .Kerusakan silia akan menyebabkan terkumpulnya mucus serta hilangnya fungsi pembersih udara sehingga

memudahkan terjadinya infeksi. Kerusakan silia dapat terjadi pada penyakitpenyakit seperti rhinitis. sinusitis, merokok serta pada sindroma Kartagener, yaitu gangguan herediter yang mencakup gabungan dekstrokardia ( situs inversus), bronkiektasis, dan sinusitis yang diturunkan sebagai ciri resesif autosomal.

3.3 Etiologi Etiologi dari rhinitis dapat di klasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori utama, yaitu : Rhinitis alergi Rhinitis infeksi Rhinitis non-alergi, non-infeksi (rhinitis vasomotor)

Etiologi pasti rhinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1. Obat-obatan yang menekan dan mengahambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. 2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas, pemakai pil anti hamil dan hipotiroidisme. 4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatique.

Mygind (1988), seperti yang dikutip oleh Sunaryo (1998), memperkirakan sebanyak 30-60% dari kasus rhinitis sepanjang tahun merupakan kasus rhinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita.

Walaupun demikian insiden pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3-4. Secara umum prevalensi rhinitis vasomotor bervariasi antara 721%. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon (1989) dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan hidung non-alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non-alergi dijumpai pada dekade ke 3. Sibbald dan Rink (1991) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien, menderita rhinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rhinitis vasomotor. Sunaryo, dkk (1998) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rhinitis selama 1 tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rhinitis vasomotor sebanyak 33 kasus (1,38%) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rhinitis vasomotor sebanyak 240 kasus (10,07%). 3.4 Patogenesis Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang

menyebabkan terjadinya rinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler).3. Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi

klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. Teori lain meyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang meyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga

meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rinitis vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan psikis) . Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktorii. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi

fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor. Dari penelitian binatang telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menim bulkan vasokonstriksi hidung. Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika. Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai udema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rinitis alergika dengan rinitis vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis)

yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas, yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada pokoknya, reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom. 3.5 Tanda dan Gejala Gejala penderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor kadang kadang sulit dibedakan karena gejala gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan bersin. Biasanya penderita rinitis alergika lebih merasakan gatal dan bersin berulang seperti staccato. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada rinitis vasomotor.Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor iritasi , fisik, endokrin dan faktor lain.Hidung mungkin sensitive terhadap pengaruh hormone, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tapi rhinitis vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan dengan keseimbangan hormone. Penderita dengan anamnesis rinitis vasomotor bisa menggambarkan sensitivitas yang tidak biasa terhadap kelembaban udara. Biasanya rinitis non alergika ini disertai dengan gejala gejala obstruksi saluran pernafasan hidung

dan rinorea yang hebat. Biasanya tidak terdapat variasi musim, tetapi gejalanya dapat menyerupai rinitis alergika sepanjang tahun. Tetapi karena mungkin terdapat remisi dan eksaserbasi, maka ia dapat pula menyerupai rinitis alergika musiman. Hal ini terjadi bila pasien sensitif pada perubahan suhu yag menyertai perubahan musim. Biasanya penderita rinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya. 3.6 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis inferior mungkin pucat, membengkak dan polipoid. Dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, seperti yang dapat dijumpai pada rinitis alergika. Walaupun belum diketahui mengapa eosinofil juga ditemukan pada rinitis vasomotor. 3.7 Diagnosis Diagnosis rinitis vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lain dengan mengetahui riwayat penyakit, pemeriksaan fisik pada hidung dan tenggorok serta tidak didapatkannya allergen spesifik yang menyebabkan terjadinya gejala tersebut atau dengan pemeriksaan skin tes yang negativ. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rinitis vasomotor bisa terjadi bersama sama

dengan rinitis alergika. Setelah menyingkirkan setiap penyebab obstruksi hidung dan sekresi hidung lainnya, maka dapat dibuat diagnosis rinitis vasomotor. 3.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada factor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Menghindari penyebab Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal secar periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan irigator. 2. Farmakologik Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium Bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukom sudut sempit.Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal yang

dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan Fluticasone. Efek samping dengan steroid ; udem mukosa,eritema ringan. Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung tersumbat. Untuk gejala yang multiple, penggunan dekongestan yang

diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta

Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor dan baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi rinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta tekanan darah yang labil. Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat juga digunakan.Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin sebagai akibat dari dominasi parasimpatis ,untuk menurunkan kadar asetil cholin maka diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase.Dengan pemberian prerat Kalk dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase sehingga dapat memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut. 3. Bedah Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya hidung tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke

mukosa sehingga dapat menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih dipertimbangkan daripada cauterisasi karena dapat mencapai lapisan submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik Komunikasi dan diskusi dengan pasien merupakan bagian penatalaksanaan medis yang sangat penting, terutama bila tidak ditemukan abnormalitas yang mendasari. Konsep reaksi hidung normal berlebihan harus didiskusikan ke pasien bahwa beberapa orang mempunyai hidung yang sensitif. Penderita dengan sensitivitas hidung dapat diiritasi oleh pengatur udara (AC) atau polusi udara (ruangan yang penuh dengan asap rokok atau smog). Bila telah diterangkan konsep variabilitas biologis dan sensitivitas hidung, pasien akan lebih memahami gangguannya. Pengertian akan sangat membantu pasien untuk menerima dan hidup dengan kelainan ini. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga dapat meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor. Peningkatan aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein yang memacu timbulnya mucus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membrane, karena dengan olah raga dapat meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mucus.Juga dengan olahraga akan membentuk reflek naso pulmonal yaitu dengan meningkatkan Volume Tidal ( VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka maksimal maka hidung juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi sumbatan hidung. Ini bukanlah suatu solusi permanent dalam menangani rhinitis

vasomotor, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan terjadinya eksaserbasi gejala. 3.9.Prognosis Prognosis dari rhinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya

BAB IV KESIMPULAN Rhinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang-kadang dijumpai adanya bersin-bersin. Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan

keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu. Biasanya dijumpai setelah dewasa (30 40 tahunan) Rhinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya mirip dengan rhinitis alergi, oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis lainnya terutama rhinitis alergi dan mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan tindakan operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kasakeyan EL. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed.Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2006. h. 107-8. 2. Wainwright M., Gombako LA. Vaomotor Rhinitis : School of Medicine at New Orleans. January 28th,2004. http://www.medschool.lsuhsc.edu/otorhinolaryngology/common_article2.asp 3. Wheeler PW, Wheeler SF. Vasomotor Rhinitis : American Academy of Family Physicians . Vol. 72/No. 6 (September 15th,2005). http://www.aafp.org 4. Rhinitis Vasomotor : http://www.icondata.com/health/pedbase/files/RHINITI1.HTM 5. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII, Semarang, 28 30 Oktober, 1999. 6. OHollaren MT. Evaluating The Risk Factors for Nonallergic Vasomotor Rhinitis: Medscape Allergy & Clinical Immunology. (May 26th,2006). http://www.medscape.com 7. Rhinitis Category, Allergic Rhinitis, Persisten Rhinitis, Vasomotor Rhinitis And Non-Allergic Rhinitis Treatment Method : Rhinitis Faq. Copyright 2006. http://www.rhinitisfaq.com 8. Montanaro, A. Studies Confirm Effectiveness of Therapy for Rhinitis : Med Students. http://www.medscape.com Medscape Portals, Inc. 2001.

Anda mungkin juga menyukai