Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah


Nash syarI atau perundang-undangan wajib diamalakan sesuai dengan sesuatu yang dipahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau dalalahnya, atau iqtidhanya. Karena segala sesuatu yang dipahami dari nash dengan salah jalan dari empat jalan tersebut, maka ini termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan nash adalah hujjah atasnya.1 Satu nash syariat atau teks undang-undang kadang-kadang dapat memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dilihat dari jalan yang dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya. Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi juga dengan mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu, mencari illat yang menjadi sebab ditetapkan suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan peristiwa yang tidak ada nashnya dan juga dengan jalan membubuhkan kata yang layak hingga pengertiannnya menjadi rasionil. Jalan-jalan tersebut oleh ahli Ushul dinamai dalalatul ibarat, dalalatul isyarat, dalalatud dalalah, dan dalalatul iqtidha.2

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. dalalatul ibarat (ibarat nash) dalalatul isyarat (isyarat nash) dalalatud dalalah (dalalatun nash) dalalatul iqtidha (iqtidhaun nash)

1 2

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama Semarang, Semarang, 1994, hlm. 211 Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Al-Maarif, Bandung, 1993, hlm.295

BAB II PEMBAHASAN A. Pembahasan Umum Tentang Dilalah


Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang di sebutkan kedua kalinya disebut dalil ( atau yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.3 Dalam kalimat asap menunjukan adanya api, kata api disebut madlul sedangkan asap yang menunjukan adanya api disebut dalil. Pembahsan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.4 Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu : 1. Dilalah lafzhiyyah (penunjukan berbentuk lafaz), yaitu dilalah dengan dalil yang digunkaan untuk memeberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafazsuara atau kata. 2. Dilalah ghairu lafzhiyyah (dilalah bukan lafaz), yaitu dalil yang digunkan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz, bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa diam atau tidak bersuaranya sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti raut muka seseorang mengandung maksud tertentu.5

3 4

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 131. Ibid., hlm. 132. 5 Ibid., hlm. 134.

B. Macam-macam dalalah lafazh dan tingkatnya


Di antara para ulama Ushul Fiqh terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang pembagian dalalah lafazh dan tingkatannya. Ulama Hanafiah membagi dalalah lafazh kepada 4 macam, yakni : 1. Dalalah ibarat (ibarat nash) Dalalah ibarat (petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nash). Dalalah ibarat yang di sebut juga ibarat nash menurut mereka ialah penunjukan lafazh kepada makna yang dapat segera di pahamkan dan makna itu memang dikehendaki oleh siyaqul kalam (rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli maupun tidak. Maksud ashli menurut mereka adalah maksud utama dari nash dan maksud ynag tidak ashli ialah maksud kedua yang dapat di ambil dari nash itu. 6 Menurut Abu Zahrah, dalalah nash adalah :


Makna yang dapat dipahami dari apa ynag disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zahir.7 Dari definisi di atas, mengandung arti bahwa makna yang di maksud, langsung dapat dipahami dari lafaz yang disebutkan, apakah dlam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zahir). Pemahaman lafaz dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafaz itu. Pemhamannya secara tersurat dalam lafaz.8 Contohnya, firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 :

): (
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat.
6 7

Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman., op. cit. hlm. 296. Amir Syarifuddin., op. cit. hlm. 136 8 Ibid.,

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja. (Annisa : 3) Dengan memperhatikan ibarat nash (apa yang tersurat dalam nash) tersebut kita memperoleh tiga pengertian, yakni : a. Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi b. Membatasi jumlah istri sampai pada 4 orang saja, dan c. Wajib hanya mengawini satu perempuan saja jika di khawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.9 Semua pengertian tersebut ditunjuk oleh lafaz nash secara jelas dan seluruh pengertian itu di maksudkan oleh siyaqul kalam. Akan tetapi, pengertian yang pertama bukan merupakan maksud yang asli, sedangkan pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang asli. Sebab ayat tersebut dikemukakan kepada orangorang yang khawatir berkhianat terhadap hak milik wanita-wanita yatim, sehingga harus di alihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada terbatas kepada dua, tiga, atau empat orang saja. Inilah maksud yang asli dari siyaqul kalam, kemudian maksud yang tidak asli adalah boleh mengawini wanita yang disenangi.10

2. Dalalah isyarat (isyarat nash) Dalalah isyarat (petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersirat dalam nash). Dalalah isyarat atau Isyarat nash ialah penunjukan suatu lafaz kepada makna yang tidak segera di pahamkan, akan tetapi makna itu tidak dapat dipisahkan dari makna yang di maksudkan, baik menurut ratio, maupun menurut adat kebiasaan dan baik makna itu jelas maupun samar-samar. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalalah isyarat itu ialah dalalah lafaz kepada makna iltizami (tidak dapat dipisahkan) yang tidak dimaksudkan menurut siyaqul kalam.11 Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. dalam bukunya ushul fiqh, menjelaskan maksud dari dilalah al-isyarah, yaitu :

Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman., op. cit. hlm. 296. Ibid., 11 Ibid.
10


Tunjukan makna suatu lafal yang bukan secara segera tergambar dalam benak yang lahir dari lafal tersebut, tetapi tunjukan tersebut bersifat suatu keniscayaan yang berasal dari logika dan kebiasaan, terhadap makna yang dimaksud, baik tunjukan maknanya bersifat sejak semula maupun makna lain yang sesuai dengannya.12 Dalalah isyarat merupakan suatu pengertian yang ditunjukan oleh redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya dengan hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang ditarik melalui dalalah isyarat ini di anggab sebagai hukum yang yang di tunjuk oleh mantuq secara tidak tegas.13 Sebagai contoh, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 236:


Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Jika ditinjau dari segi tunjukan makna redaksinya (ibarah nash), maka ayat diatas menegaskan bolehnya menjatuhkan talak sebelum terjadinya dukhul (hubungan suami istri) atau sebelum ditegaskan bentuk atau jumlah mahar yang akan diberikan kepada istri. Akan tetapi, dari lafal ayat tersebut juga lahir suatu keniscayaan makna, yaitu akad nikah sah hukumnya meskipun dalam akad tersebut tidak disebutkan bentuk dan jumlah maharnya. Keniscayaan makna ini lahir dari isyarat yang terdapat dalam lafal tersebut, yaitu adanya talak adalah karena didahului oleh adanya akad nikah yang sah.14 Contoh lain dari firman Allah yaitu terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :

12 13

Abd. Rahman Dahlan, ushul fiqh cet. 1, Sinar Grafika Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 287. Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2005. Hlm. 212 14 Abd. Rahman Dahlan., op. cit. hlm. 288.

) :(

dan kewajiban ayah untuk memberikan makan dan pakaian kepada ibu-ibu dengan cara dari ayat yang maruf ( al-baqarah : 233) Makna ibarat nash yang tersurat dari ayat tersebut adalah bahwa memberikan nafakah dan pakaian kepada ibu yang meneteki adalah wajib bagi ayah. Karena demikianlah makna yang dapat diambil dengan segera dari lafaz tersebut dan memang dimaksudkan oelh siyaqul kalam. Adapun makna isyarat nash-nya (yang tersirat) antara lain : a. Ayah tidak dapat disertai orang lain dalam menjalankan kewajibannya memberi nafakah kepada anak-anaknya, lantaran anaknya itu dalah putranya sendiri bukan putra orang lain. b. Ayah dalam keadaan melarat, sedangkan ibunya dalam keadaan mampu misalnya, maka putranya tersebut tetap menjadi tanggungannya. c. Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan, boleh mengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa menggantinya. Karena ia adalah harta anaknya dan harta anaknya termasuk hartanya juga. Pengertianpengertian yang demikian ini diistinbatkan dari isyarah nash. Yaitu dari huruf lam pada lafaz lahu yang mengandung pengertian bahwa seorang anak itu adalah milik bapaknya. Ketiadaan dapat dipisahkan makna-makna tersebut dari ibarah nash melahirkan ketentuan hukum yang lazim bagi ibarah nash yang tidak dimaksudkan oleh siayaqul kalam. Dengan demikian ketentuan hukum itu diperoleh dari isyarah nash, bukan dari ibarat nash.15

3. Dalalatud-dalalah (dalalatun nash) Dalalatud-dalalah atau Dalalatun nash ialah penunjukan suatu lafazh bahwa hukum yag dipetik dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak dituturkan dalam nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam perbuatan tersebut.16 Para ahli bahasa mengakui bahwa illat itulah yang menjadikan sebab untuk ditetapkan hukum bagi perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash.

15 16

Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman., op. cit. hlm. 298. Ibid.,

Menurut dalam buku kaidah-kaidah hukum islam karangan Prof. DR. Abdul Wahhab Khallaf, dalalah nash adalah makna yang dipahami dari jiwa nash dari rasionalnya. Maka apabila ungkapannya menunjukkan atas hukum mengenai kejadian karena illat (alasan) yang menjadi dasar hukum ini, dan terdapat kejadian yang sma illat hukumnya dengan kejadian pertama atau bahkan lebih utama daripadanya.17 Menurut Abu Zahrah :


Dilalah lafaz yang disebutkan dalam penepatan hukum untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.18 Dalalatud-dalalah ini juga disebut Fahwal-Khitab atau Laul-khithab, Ulama Syafiiyah menamai Mafhum muwafaqah, karena adanya persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dengan disebutkan dalam nash. Dinamakan Dalalatud-dalalah, adalah karena hukum yang ditetapkannya bukan diambil secara langsung dari madlul lafazh, akan tetapi diambil dari makna madlul lafazh. Oleh karena pemikiran manusia dalam hal ini menjalar dari madlul lafazh kepada makna yang lebih umum yang dapat mencakupnya dan mencakup pula yang lain, maka Dalalatud-dalalah ini pada hakikatnya adalah Dalalah nash. Menjalarnya pemikiran ini dapat terjadi pada sneseorang ahli bahasa tanpa memerlukan ijtihad atau istimbat. Dan inilah perbedaan antara Dalalatud-dalalah dengan qiyas.19 Menurut Prof. Dr. Muchsin Nyak Umar, MA, dalam bukunya yang berjudul ushul fiqh, di jelaskan tentang dalalah al-nash, yaitu penunjukan suatu lafaz bahwa
17

Prof. DR. Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushulul fiqh, Jakarta : PT. Raja grafindo Persada 2002, hal 231 18 Amir Syarifuddin., op. cit. hlm. 140. 19 Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman., op. cit. hlm. 298.

hukum yang dipetik dari nash yang disebutkan berlaku pula bagi perbuatan yang tidak dituturkan dalam nash, karena adanya persamaan illat antara kedua macam persamaan tersebut. Boleh jadi maknanya lebih utama dari makna nash tersebut, yang dengan mudag bisa dipahami setelah mendengar suatu teks. Ada juga yang menyatakan dalalah al nash sebagai makna perluasan dari makna tersurat karena ada kesamaan illat. Maksudnya dengan mengetahui makna tersurat dari sesuatu teks, maka pendengar (pembaca) akan mengetahui bahwa makna tersebut akan lebih sempurna sekiranya diperluas kepada keadaan lain, karena daa tambatan, kesamaan illat yang mengikat keduanya.20 Misalnya firman Tuhan :

)32 : (
Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan uf (al-isra : 23) Hukum yang dipahamkan dari ayat ini menurut dalalatun-nash adalah larangan menyebut uff (ah) kepada kedua orang tua. Setiap ahli bahasa tentu mengetahui bahwa illat larangan tersebut adalah karena berkata ah itu menyakitkan hati kedua orang tua. Oelh karena itu, pemikiran manusia menjalar kepada setiap perbuatan atau perkataan yang menyakiti hati kedua orang tua. Karena illatnya adalah sama. Dengan demikian ayat tersebut juga melarang memaki atau memukul kedua orang tua.21 Dalalatud dalalah atau Dalalah al-nash terbagi dua : a. Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaan dalam nash, Keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan
20 21

Muchsin Nyak Umar, Ushul Fiqh, Ar-Raniry Pers, Banda Aceh, 2008, hlm. 218. Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman., op. cit. hlm. 299.

kejadian yang ada dalam nash. Dilalah al-nash dalam bentuk ini disebut Mafhum Aulawi. Diantara ulama ada yang menyebut qiyas jail. b. Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaanya sama dengan kejadian yang ada dalam nash-nya. Dilalah alnash dalam bentuk ini disebut Mafhum Musawi.22 Kedua bentuk dilalah diatas disebut dilalah al-nash karena makna yang dimaksud dalam dipahami dari nash yang disebutkan. Dinamakan juga mafhum muwafaqah karena adanya kesamaan hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang disebutkan.

4. Dalalah Al-Iqtidha Iqtidha nash adalah makna yang suatu kalimat tidak dapat lurus kecuali dengan memperkirakan makna itu. Dalam sighat nash tidak terdapat lafaz yang menunjukan makna itu, akan tetapi kesahehan sighatnya dan kelurusan pengertiannya menurut keadaannya, atau kebenaran dan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntutnya.23 Dalalah al-iqtidha atau yang disebut dengan iqtidha un-nash ialah penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash. Akan tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain nash tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan suatu lafaz atau pengertian yang sesuai.24 Keharusan untuk menyatakan lafaz atau pengertian yang sesuai itu mengandung tiga macam kegunaan : 1. Wajib, agar pengertian nash itu benar adanya. Misalnya sabda Rasulullah saw:

) (
22 23

Amir Syarifuddin., op. cit. hlm. 142. Abdul Wahbah Khallaf., op. cit. 221. 24 Mukhtar Yahya, Fatchur Rahman., op. cit. hlm. 302.

Diangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan sesuatu yang dipaksakan orang kepadanya. (H.R. Ibnu Hibban) Mengangkat kesalahan, kelupaan, dan paksaan sekali-kali tidak akan terjadi. Karena ketiga-tiganya adalah perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan, tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena itu yang di hapus (di angkat) niscaya bukan perbuatannya, tetapi yang lain. Agar nash tersebut memberi pengertian yang benar hendaknya dibubuhkan satu lafaz adalam rangkaian kalimatnya. Adapun lafaz yang pantas untuk dibubuhkan dalam rangkaian kalimat tersebut adalah lafaz itsm (dosa) atau hukm (hukum) sebelum lafaz al-khatha, sehingga tersusunlah rangkaian kalimat :


Diangkat dari umatku dosa karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya. 2. Wajib, agar pengertian nash itu benar menurut logika. Misalnya firman Allah swt dalam surat yusuf ayat 82 :


Dan tanyakanlah negeri yang kami tadinya berada di situ (Yusuf : 82) Adalah tidak dibenarkan maknanya menurut logika, sekiranya tidak dibubuhkan perkataan ahli (penduduk) sebelum lafazh al-qoryah (negeri). Dengan demikian tersusunlah rangkaian kalimat :


Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri yang kami tadinya berada di situ. 3. Wajib, agar pengertian nash itu benar (sah) menurut syara. Misalnya seseorang berkata kepda kawannya : hadiahkanlah bukumu itu kepada si ahmad dari saya ! di sini pembicara memberi kuasa kepada kawannya untuk menghadiahkan buku kepada si ahmad. Pemberian hadiah dari orang yang memberi kuasa itu menurut syara tidak sah. Kecuali buku itu sudah menjadi miliknya. Apabila seseorang yang diberi kuasa itu menerima kuasa tersebut, maka hal itu berarti dia telah menyetujui menjual buku dan memindahkan
10

haknya terhadap buku itu kepada orang yang memberikan kuasa. Dengan demikian ketetapan jual beli itu diperoleh dari pengertian bahwa dia telah menjual bukunya dan memindahkan haknya atas buku itu kepada orang yang memberi kuasa. Karena dia menerima kuasa dari padanya. Oenegrtian yang demikian ini dipetik melalui dalalah iqtidha.25

25

Ibid., hlm. 304

11

BAB III PENUTUP Kesimpulan :


Dari uraian di atas jelaslah apa yang telah kami kemukakan secraa garis besar. Yaitu bahwasanya setiap makna yang dipahami dari nash dengan salah satu cara yang empat tersebut, maka ia termasuk dari yang ditunjuki oleh nash, dan nash menjadi hujjag atas makna itu. Karena sesungguhnya makna yang di ambil dari ibaratnya merupakan makna yang segera dapat dipahami dari lafaznya yang di maksud dari susunan kalimatnya. Sedangkan makna yang di ambil dari isyaratnya merupakan makna yang lazim bagi makna ibaratnya dengan suatu kelaziman yang tidak dapat dihindarkan. Jadi, ia merupakan yang ditunjuki oleh nash melalui iltizam. Selanjutnya makna yang di ambil dari dalalahnya merupakan makna yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash itu. Kemudian makna yang di fahami secara iqtidha adalah makna dahruri yang dituntut perkiraannya oleh ibarat nash atau kelurusan maknanya.26 Cara ibarat lebih kuat dalalahnya dari pada cara isyarat. Karena yang pertama menunjukan kepada suatu makna yang segera di fahami dari susunan kalimatnya, sedangkan yang kedua menunjukan kepada makna yang lazim, yang tidak di maksudkan melalui susunan kalimatnya. Masing-masing dari keduanya lebih kuat dari pada cara dalalah, karena dua yang pertama merupakan mantuq nash dan madlulnya dari sighatnya dan lafaznya. Akan tetapi cara dalalah merupakan mafhum nash dan madlulnya dari segi jiwanya dan penalarannya. Karena perbedaan ini, maka ketika terjadi kontradiksi, maka yang difahami melalui ibarat di dahulukan atas yang difahami isyarat. Dan yang difahami dari salah satu dari keduanya di menangkan atas yang difahami melalui dalalah.27

26 27

Abdul Wahbah Khallaf., op. cit. 223. Ibid., hlm. 224.

12

Daftar Pustaka

Khallaf, Abdul Wahbah. 1994. Terjemahan Dari Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang. Yahya, Muchtar. & Rachman, Fatchur. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Maarif Khallaf, Abdul Wahbah. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh, Jakarta: Sinar Grafika. Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana. Umar, Muchsin Nyak.2008. Ushul Fiqh, Banda Aceh: Ar-Raniry Pers.

13

Keterangan : 1. Dalalah Ibarah, dibahas oleh Irma Yani dan Sidarliani, dan di ketik oleh Irma Yani. Judul buku : Yahya, Muchtar. & Rachman, Fatchur. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Maarif. Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta: Kencana. 2. Dalalah Isyarah, dibahas oleh Anisa Zahara dan Badratul Rahmi, dan di ketik oleh Anisa Zahara. Judul buku :
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.

Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh, Jakarta: Sinar Grafika.

3. Dalalah al nash dan dalalah al iqtidha, di bahas oleh Teuku Aliyul Imam, Rifky Agusni, dan Hidayatullah, dan diketik oleh Teuku Aliyul Imam. Judul buku : Khallaf, Abdul Wahbah. 1994. Terjemahan Dari Kitab Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang. Umar, Muchsin Nyak.2008. Ushul Fiqh, Banda Aceh: Ar-Raniry Pers. Khallaf, Abdul Wahbah. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 4. Pengeditan dan pengumpulan makalah dilakukan oleh Anisa Zahara.

14

Anda mungkin juga menyukai