Witjaksono, SpOG dari RS Mitra Kemayoran. Ternyata kasus kesehatan Augustine bisa diselesaikan tanpa harus melalui pengangkatan rahim. Menurut pihak RS Mount Elizabeth Singapura, masalah itu bisa diselesaikan melalui penyinaran laser selama 10 menit. Akibatnya Hutapea menggugat RS Mitra Kemayoran membayar ganti rugi Rp.55,4 milyar.
Dalam kasus yang saya bahas kali ini adalah tentang kasus yang menimpa salah seorang anggota keluarga pengacara Hotman Paris, yaitu istrinya yang bernama Augustianne Sinta Dame Marbun. Kasus ini dimulai dengan adanya pemeriksaaan kesehatan rutin ditemukan bibit pra kanker pada mulut rahim Anne. Menurut dokter yang memeriksa, jalan terbaik adalah dengan mengangkat rahim. Sebelum proses itu dilakukan, dokter memberi antibiotik dengan dosis yang tinggi. Akibat dari pengonsumsian antibiotik dengan dosis tinggi tersebut buruk bagi kesehatan Anne. Ia terus muntah-muntah, merasa lemas dan sakit di sekitar pinggang. Setelah pemeriksaan intensif di rumah sakit berbeda ternyata diketahui bahwa fungsi ginjal Anne tinggal 18% dan bahkan unsur kreatine dalam darah Anne mencapai 6.60 mg/dl, suatu angka yang sangat mengkhawatirkan karena apabila angka tersebut mencapai 7 mg/dl maka si pasien harus menjalani cuci darah. Anne lalu menjalani pengobatan di Singapura. Menurut dokter di sana, Anne mengalami ginjal akut yang disebabkan antibiotik dengan dosis tinggi. Dan setelah pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa Anne tidak perlu menjalani pengangkatan rahim karena bibit pra kanker tersebut dapat dihilangkan dengan prosedur laser. Dokter pada kasus Anne menyalahi protokol diagnosis yang sudah ditetapkan pada setiap rumah sakit dan hal ini merupakan kelalaian besar atau culpa lata karena unsur dari culpa lata adalah kelalaian yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya tidak melakukan kelalaian tersebut. Dalam hal ini, dokter yang merawat Anne memberikan diagnosis yang salah serta memberikan resep yang melebihi dosis dan melakukan tindakan medis yang tidak seharusnya yang menyebabkan tidak dapatnya Anne untuk mempunyai anak dengan mengangkat rahim. Sang dokter dapat diancam dengan pasal 360 ayat (1) KUHP tentang Kelalaian yang menyebabkan seseorang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Dokter melakukan kelalaian sehingga menghalangi seseorang untuk mempunyai keturunan,
Pemakaian Antibiotik Dosis Tinggi Merusak Ginjal Anne PENGACARA Hotman Paris Hutapea meminta penjelasan dan pertanggungjawaban hukum atas malapraktik di RS Mitra Kemayoran Jakarta terhadap istrinya, Augustianne Sinta Dame Marbun (Anne). Akibat malapraktik itu, ginjal Anne rusak dan terpaksa berobat ke Mount Elizabeth Hospital di Singapura. Dalam pernyataan tertulisnya, Hutapea menjelaskan, dari hasil pemeriksaan dokter ahli ginjal Dr Lye Wai Choong di Mount Elizabeth Hospital, kerusakan ginjal (gagal ginjal) yang dialami Anne disebabkan pemakaian antibiotik dosis tinggi Ciprofloxacin yang diberikan RS Mitra Kemayoran.
Ihwal kerusakan ginjal tersebut bermula dari konsultasi yang dilakukan Anne di rumah sakit tersebut pada Agustus lalu. Ketika itu, ia berkonsultasi dengan dokter kebidanan dan kandungan dr Julianto W SpOG. Anne menjalani beberapa kali pemeriksaan laboratorium atas petunjuk dokter tersebut. Pemeriksaan terakhir 29 September 2003. Dari hasil observasi dan pemeriksaan laboratorium, dokter tersebut menyimpulkan, terdapat infeksi atau gejala CIN II-IIIpada mulut rahim Anne. Untuk mengatasi penyakit itu, kata Hutapea menyitir pendapat dokter Julianto, pengobatan terbaik adalah mengangkat rahim Anne. Tetapi sebelum dilakukan pengangkatan rahim, pasien diberi antibiotik dosis tinggi Ciprofloxacin tiga kali sehari selama tujuh hari . Antibiotik yang diminum dalam kurun waktu itu, 20 butir dengan kadar 1.500 miligram/hari, tanpa dokter mengecek terlebih dulu apakah pasien mampu atau tidak mengkonsumsi antibiotika dosis tinggi. Antibiotik mulai diminum Anne sejak 4 November. Selama itu pula, kata Hutapea, dokter tidak mengawasi efek samping obat yang diminum. Obat tersebut ternyata berdampak. Pada 8 November, pasien muntah- muntah hampir setiap 10 menit. Hal itu berlangsung sampai 10 November. Selain itu, pasien juga mengalami sakit di bagian pinggang dan kondisinya melemah. Karena khawatir, Hutapea membawa istrinya berobat ke RS MMC. Di tempat itu pasien menjalani opname sejak 12 November. Dari hasil tes urin dan tes darah di RS MMC disimpulkan fungsi ginjal Anne menurun sampai 18 persen . Unsur kreatine dalam darah meningkat dari normal berkisar 0,07-1,20 mg/dl menjadi 5,07 mg/dl. Bahkan sampai ke tahap mengkhawatirkan 6,60 mg/dl. Bila angka itu mendekati 7, pasien perlu cuci darah. "Analisis dokter di RS MMC menyebutkan kegagalan ginjal tersebut akibat pemakaian antibiotik dosis tinggi. Akhirnya keluarga membawa Anne ke Singapura dan mulai opname 19 November sampai 29 November," Hutapea memaparkan. Ia menambahkan, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan Dr Kek Lee Phin MBBS MMED PhD dan ahli kanker Dr A Ilancheren MBBS Mmed menyimpulkan, bahwa dengan gejala CIN II pada mulut rahim, Anne tidak perlu menjalani pengobatan dengan mengangkat rahim. Ia cukup menjalani pengobatan dengan laser sekali, yang hanya membutuhkan waktu 10 menit.
Tindakan Berlebihan Menghadapi kasus tersebut, Manajer Humas RS Mitra Kemayoran A Ekaroos P Kardia, Senin (8/12) menuturkan pihak rumah sakit sudah dua kali menyurati Hotman Paris Hutapea untuk bertemu.
Jalan itu ditempuh sebagai keputusan Komite Medik RS Mitra Kemayoran dan dr Julianto SpOG. Ia tidak bersedia member keterangan lebih hasil evaluasi oleh Komite Medik atas tindakan medis yang telah dilakukan Julianto. Dokter Julianto, hingga tulisan ini diturunkan belum berhasil ditemui, walaupun sudah dihubungi melalui telepon mobil maupun telepon rumah. Hutapea, dalam percakapan Senin (8/12) membenarkan pihak rumah sakit itu sudah dua kali berkirim surat meminta bertemu dengannya, untuk menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan. Namun, ia tidak berkenan bila kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan. Hutapea menginginkan jawaban secara medis dan tertulis dari pihak rumah sakit, berpijak dari keterangan para dokter Mount Elizabeth Hospital perihal penyakit yang diidap istrinya. Ia malah berjanji bersedia membantu secara gratis para perempuan yang dirugikan secara medis oleh para dokter, seperti dialami istrinya. Pemberian antibiotik kepada Anne menurut ahli farmakologi Prof dr Iwan Darmansjah SpFK adalah tindakan berlebihan. Ia berpendapat, dalam meresepkan obat, seorang dokter hendaknya meresepkan berdasarkan kebutuhan pasien. Bukan semata-mata demi uang. Antibiotik dipakai hanya untuk infeksi yang disebabkan kuman. Tidak perlu memakai antibiotik jika infeksi tidak disebabkan kuman. "Sayangnya, moral dan etika sudah tidak dipedulikan sejumlah dokter," kata Prof Iwan. Iwan menggaris bawahi pernyataan dokter di Singapura, tidak perlu memberi antibiotika kepada pasien yang menjalani pengobatan dengan metode melaser infeksi pada janin. Kalaupun memberi antibiotik, cukup sekali saja menjelang pasien dioperasi (pengangkatan rahim), yakni sehari atau setengah hari sebelum operasi.Iwan menilai pemberian antibiotik kepada Anne tidak lazim. Dosis normal Ciprofloxacin, kata Iwan, adalah 1.000 miligram, atau dua kali sehari, dan itu pun untuk kasus yang memerlukan . Anne telah mengkonsumsi antibiotik melebihi dosis normal per hari sebelum dioperasi, dalam seminggu. Mengenai efeknya ke ginjal, Iwan menjelaskan ada dua jenis gagal ginjal, yaitu gagal ginjal akut dan kronis. Untuk gagal ginjal akut, kondisi ginjal masih bisa pulih, tetapi gagal ginjal kronis tidak bisa pulih. Kasus pemberian obat yang tidak benar maupun tindakan medis yang berlebihan (tidak perlu tetapi dilakukan), sepanjang pengetahuan Iwan, sering terjadi di Indonesia. Hanya saja tidak terekspos media massa. Hal itu terjadi karena kesalahan sistem. Seorang dokter, boleh jadi oleh pihak rumah sakit, diharuskan menghasilkan sejumlah uang dalam jangka waktu tertentu. Akibatnya, tindakan medis yang tidak perlu bagi pasien pun dilakukan. Yang menjadi korban adalah pasien. "Departemen Kesehatan tidak punya gigi sama sekali. Hal semacam itu terus terjadi. Kasus lain mesti dibongkar. Menteri Kesehatan harus mengatur hal ini. Rumah sakit tidak dikontrol," Iwan menandaskan.