Anda di halaman 1dari 5

I.

LATAR BELAKANG

Kali Code merupakan satu dari tiga sungai besar, bersama dengan Sungai Gadjah Wong di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah barat, yang mengalir melintasi wilayah Kota Yogyakarta tepat di tengah-tengah sehingga membagi kota dalam dua wilayah, barat dan timur. Sebagai informasi, pada bagian barat kota terdapat Keraton Jogjakarta sementara di sebelah timur terdapat Keraton Pura Pakualam.

Berdasarkan kunjungan studi lapangan (Senin, 23 September 2013) di lokasi bantaran Kali Code, tepatnya di bawah Jembatan Sardjito, Kelurahan Jetis Blora, Kecamatan Jetis, diketahui telah berdiri sebuah perkampungan yang cukup padat, dimana dulunya merupakan salah satu perkampungan kumuh dan merupakan salah satu titik miskin di samping wilayah lainnya yang terdapat di bantaran Kali Code, yang mencerminkan pengaruh negatif dari urbanisasi yang sangat luar biasa yang melanda Kota Jogjakarta.

Walaupun demikian, sebenarnya lokasi perkampungan ini sangat strategis. Terletak di tengah kota dan diapit dengan berbagai macam fasilits umum dan sosial serta dekat dengan kawasan CBD, baik di wilayah Kabupaten Sleman (UGM) maupun di Kotamadya Jogjakarta (Tugu-Malioboro). Dan oleh sebab itu, semakin banyak warga pendatang dari luar daerah kota yang menetap di perkampungan tersebut, baik itu untuk tujuan mengadu nasib atapun tujuan lainnya. Hal ini tentunya menjadi perhatian pemerintah kota untuk menata kembali daerah bantaran Kali Code sebagai bagian penting dari Kota Jogjakarta agar tidak rusak dan hilang dimakan arus urbanisasi yang tidak terkendali.

Dengan mengacu pada latar belakang ini maka tim penulis berusaha untuk merangkum masalah serta potensi yang terdapat di wilayah pemukiman warga bantaran Kali Code tersebut berdasarkan hasil dari kunjungan studi lapangan dengan mengacu hasil observasi dan paparan/penjelasan dari bapak dosen pengampu, Prof. Dr. Bakti Setiawan.

II.

PEMBAHASAN

Salah satu faktor utama yang mendorong menjamurnya pemukiman di bantaran Kali Code ialah urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa (atau kota-kota) di sekitar Jogjakarta sebagai akibat dari daya tarik kota tujuan yang menyimpan

potensi ekonomi yang luar biasa besar. Sebagai contoh, Jogjakarta sebagai kota pelajar, kota wisata, dan kota budaya tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian besar orang untuk mengadu nasibnya di kota ini. Namun demikian, kebanyakan dari para pendatang ini tidak didukung dengan keahlian yang memadai yang diperlukan oleh kota. Akibatnya kaum urban yang tidak memiliki skill ini menjadi pengangguran.

Di samping itu, faktor kapitalisasi juga turut andil dalam menciptakan situasi ini. Dikarenakan tingginya nilai tanah, termasuk nilai sewa, menjadikan kaum urban ini tidak mampu untuk mempunyai atau menempati tempat tinggal yang layak pada lingkungan yang layak pula. Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian menempati area pinggiran seperti kolong jembatan dan bantaran sungai secara illegal. Bagi mereka yang sedikit lebih beruntung, dapat meng-hak-i sebidang kecil tanah di sepanjang bibir sungai. Akibatnya, terciptalah pemukiman kumuh yang minim dengan sarana umum dan krisis lingkungan serta kesehatan.

Seiring dengan semakin kerasnya tekanan urbanisasi ini, masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Code juga semakin majemuk. Artinya kawasan ini tidak lagi dihuni oleh kaum urban marginal saja, seperti pengangguran, pemulung, pedagang kaki lima, dan lain-lain, tetapi juga ada warga yang telah bekerja dan berpendidikan tinggi. Hasilnya dapat dirasakan pada perubahan yang terjadi di kawasan tersebut, seperti penataan ruang, pemanfaatan lahan, dan manajemen air bersih. Perubahan tersebut tidak lain disebabkan karena adanya dorongan kemauan untuk berubah, perduli terhadap lingkungan dan ekosistem sungai, untuk menjadikan kawasan lingkungan yang mereka tempati bersama-sama menjadi lebih baik, dan tentunya didukung juga oleh Pemerintah Kota setempat sebagai fasilitator. Keberhasilan ini tidak lepas dari peranan suatu forum peduli Kali Code yang berhasil menggerakkan masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat.

Perubahan yang terjadi, seperti manajemen sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga secara swadaya dengan bantuan pihak ketiga. Air yang digunakan warga disebut berasal dari suatu mata air yang dialirkan ke bak-bak penampungan dengan menggunakan hukum gravitasi, alias manual tanpa bantuan mesin pompa. Tahap selanjutnya ialah pengolahan air yang ditampung tersebut menjadi air bersih siap pakai (proses filterisasi/penyaringan) untuk kemudian dipompa ke tandon milik masyarakat dan didistribusikan kepada lebih kurang 30-an kepala keluarga. Adapun setiap

kepala keluarga yang menikmati fasilitas tersebut dikenai retribusi sebesar Rp. 25.000,setiap bulan yang dialokasikan sebagai biaya pemeliharaan.

Terkait dengan pengelolaan air bersih tersebut, warga sekitar juga telah membangun kamar mandi umum serta ruang cuci untuk warga. Salah satu alasan dari pengadaan fasilitas tersebut mungkin terkait dengan manajemen limbah rumah tangga agar tidak tersebar dan tidak mencemari aliran Kali Code. Berbicara mengenai pengolahan limbah/sampah rumah tangga, masyarakat sekitar mendaur ulang sampah organik menjadi pupuk dan sampah anorganik sebagai bahan dasar untuk berbagai kerajinan.

Sementara dalam hal pelestarian lingkungan, pada awalnya perkampungan ini merupakan perkampungan yang merusak ekosistem sungai karena penduduk mendirikan pemukiman di daerah yang sebenarnya berfungsi sebagai penahan longsor. Kemudian dengan tidak mengubah tapak perkampungan yang miring, dilakukan banyak penghijauan untuk menjaga agar tidak terjadi longsor. Pemerintah setempat juga membangun talud di sepanjang aliran sungai yang miring lengkap dengan pipa-pipa pembuangan air yang ditanam di dalam talud. Penghijauan juga banyak dilakukan oleh masyarakat dengan cara menjadikan pipa paralon sebagai wadah untuk menanam tanaman kecil secara ringkas, mudah, dan murah tetapi tetap memiliki nilai tambah.

Fasilitas umum lainnya juga dikembangkan di daerah ini, seperti jalan setapak yang menghubungkan akses bagian dalam kampung dengan jalan raya berikut penerangan (lampu jalan) yang memadai sebagai fasilitas dari Pemerintah Kota. Sedangkan untuk fasilitas sosial telah terdapat bangunan sekolah sebagai sarana pendidikan dan juga bangunan masjid sebagai sarana ibadah masyarakat setempat.

Untuk aspek legalitas, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tanah bangunan yang dikuasai warga tidak dilengkappi dengan alas hak yang sah, seperti Sertifikat dan juga IMB. Masalah legalitas ini terletak pada aksesibiltas warga dengan otoritas yang berwenang yaitu BPN, dimana bagi mereka yang mungkin memiliki relasi dan materi berlebih dapat mebukukan hak atas tanahnya melalui pintu belakang, sementara warga lainnya tidak. Aksesibilitas ini menjadi masalah mengingat pada dasarnya seluruh wilayah bantaran sungai memang merupakan tanah negara yang peruntukannya bukan untuk daerah pemukiman.

Berbicara mengenai aspek legalitas, yaitu status kepemilikan tanah yang sah dengan alat bukti berupa sertifikat bagi masyarakat setempat ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi dapat memberikan dampak positif, sementara sisi lainnya mendatangkan dampak negatif bila tidak mampu dioptimalkan dengan baik. Salah satu sisi positif dari kepemilikan yang sah ialah pemegang hak tidak dapat digusur tanpa alasan yang jelas dan tanpa pemberian ganti rugi yang layak. Sedangkan untuk sisi negatifnya ialah terdapat peluang bagi si pemegang hak untuk kehilangan asetnya, sebagai akibat aset tersebut berharga sebagai objek jual beli ataupun berharga sebagai agunan/jaminan bank. Logikanya cukup sederhana, bahwa masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Code jelas sebagian besar adalah masyarakat kelas menengah ke bawah dan tidak didukung dengan pendidikan/pengetahuan yang memadai. Akibatnya, bila tanahnya bersertifikat maka ada kecenderungan ia menginginkan kehidupan yang lebih baik. Untuk tujuan itu ada dua kemungkinan yang akan dilakukan, yaitu : 1. menjualnya dengan ekspektasi dapat memiliki aset yang lebih baik tanpa didukung pemahaman akan nilai pasar yang terjadi atas suatu properti. Akibatnya, bisa jadi ia tidak mampu memiliki aset baru yang lebih baik karena menjual aset lama terlalu rendah atau tidak mengetahui bahwa nilai pasar aset baru sudah sangat tinggi ; 2. menjadikannya sebagai jaminan/agunan di bank untuk mendapatkan kredit. Tujuannya sederhana, untuk memperbaiki taraf hidupnya. Namun, kebanyakan dari mereka tidak begitu cermat dalam mengelola dana yang dimiliki sehingga banyak terjadi gagal bayar atau wanprestasi. Dalam kondisi gagal bayar, maka sudah jelas aset yang dijadikan jaminan akan disita oleh bank untuk kemudian dijual lelang guna membayar hutangnya.

Terlepas dari semua keberhasilan perubahan yang telah dipaparkan di atas, tetap masih ada segelintir kelompok masyarakat yang mempertahankan pola hidup lama dengan berbagai macam alasan. Untuk itu, masih menjadi tugas rumah bagi mereka, warga Kali Code pada khususnya dan juga Pemerintah Kota pada umumnya, untuk dapat bergotong royong menjaga kelestarian Kail Code sebagai warisan sejarah dan budaya, dan tentunya sebagai salah satu ikon Kota Jogjakarta.

III.

KESIMPULAN

Setelah membahas rangkuman kunjungan studi lapangan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain : 1. Bahwa sabagai akibat dari tekanan urbanisasi dan kapitalisasi, maka semakin besar potensi munculnya kawasan slum di Kota Jogjakarta, khususnya di wilayah-wilayah bantaran sungai ; 2. Sebagai kawasan marginal, sudah barang tentu banyak terdapat masalah-masalah, seperti masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam dan ketertiban umum ; 3. Namun demikian, fakta mengatakan bahwa kawasan kumuh juga mampu untuk berubah dan berkembang selaras dengan konsep pelestarian lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya perkampungan Kali Code menjadi wilayah pemukiman yang sehat dan ramah lingkungan ; 4. Bahwa banyak sekali pelajaran yang dapat diambil untuk dijadikan sebagai contoh dalam penanganan kawasan slum yang masih bertebaran tidak hanya di wilayah Kota Jogjakarta tetapi juga di seluruh Wilayah Provinsi D. I. Yogyakarta pada khususnya, serta di seluruh wilayah Indonesia pada umumnya ; 5. Dengan melakukan penataan dan perbaikan secara berkesinambungan untuk pelestarian alam yang mencerminkan budaya/kearifan lokal setempat, tidak hanya menjadikan kawasan pemukiman Kali Code sebagai desa percontohan, tetapi juga menadikannya kawasan wisata budaya yang mempunyai keunikan tersendiri ; 6. Perbaikan dan penataan kota sebaiknya dilakukan secara terus menerus, karena masih banyak tugas rumah yang harus diselesaikan terkait dengan pembangunan kota yang memang tidak akan pernah berhenti.

Anda mungkin juga menyukai