Anda di halaman 1dari 18

JAKARTADewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya (Golkar) akhirnya sepakat untuk memecat Bupati Garut Aceng Fikri

sebagai kadernya. Pemecatan itu terkait kasus pernikahan Aceng dengan Fany Oktora seorang gadis berusia 18 tahun yang dianggap melanggar etika. Kami di DPP sudah melakukan rapat internal, hasilnya sepakat untuk memecat Aceng Fikri sebagai kader, tinggal tunggu waktunya, ujar Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Nurul Arifin, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/12/2012). Aceng sebenarnya menjadi Bupati Garut dengan jalur independen (non-partai) saat Pilkada 2009 lalu berpasangan dengan artis Dicky Chandra, akan tetapi sejak 2011 dirinya telah bergabung dengan Partai Golkar. Namun, dengan kejadian ini, Golkar menjadi antipati terhadap Aceng. Kita di partai tidak melihat siapa yang ingin bergabung dengan Golkar, ya kami terbuka. Tapi, kalau kenyataannya begini, kami lebih suka kehilangan kader daripada melihat kader beretika buruk, tegas Nurul. Aceng menjadi sorotan belakangan ini karena menikahi Fany Oktora pada malam 14 Juli 2012. Pernikahan digelar di rumah pribadi di wilayah Copong, Garut. Keduanya menikah secara siri atau secara agama tanpa catatan resmi negara. Empat hari kemudian, Aceng menceraikan wanita berumur 18 tahun tersebut, melalui pesan singkat. Salah satu alasan cerai karena Fany tidak perawan lagi. Masyarakat mengecam kelakuan Aceng tersebut karena tidak memberikan contoh yang baik. Hukum Islam Tentang Nikah Siri Soal : Saat ini masih ramai pembicaraan tentang nikah siri. Pro-kontra pun terjadi. Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang nikah siri? Jawab : Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami. Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam

perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009] Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia. Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan? Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbanganpertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut. Hukum Pernikahan Tanpa Wali Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda; Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648]. Berdasarkan dalalah al-iqtidla, kata laa pada hadits menunjukkan pengertian tidak sah, bukan sekedar tidak sempurna sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

, , Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649]. Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649) Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab tazir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Mengahwini Perempuan yang Hamil Luar Nikah


Sering dipersoalkan sah atau tidak berkahwin dengan perempuan hamil, khususnya hukum mengahwini seorang wanita yang hamil luar nikah, dan jawapan yang diberikan berbeza-beza. Tapi, sebagai rakyat Malaysia, kita harus ikut apa kata Majlis Fatwa Kebangsaan tentang persoalan mengandung anak zina ini. Secara ringkas, sesuai dengan pandangan mazhab Syafie, Majlis Fatwa Kebangsaan telah memutuskan bahawa perempuan yang hamil luar nikah harus dikahwinkan tetapi anaknya tidak boleh dinasabkan kepada lelaki itu, tidak dapat pesaka daripadanya, tidak menjadi mahram kepadanya dan lelaki itu tidak boleh menjadi walinya. Fatwa ini menggabungkan dua keadaan yang berbeza dari segi pasangan (lelaki) yang dikahwini:

Hukum perkahwinan wanita yang mengandung anak zina dengan lelaki yang berzina dengannya Hukum perkahwinan wanita yang mengandung anak zina dengan lelaki selain dari yang menyebabkan wanita itu hamil

Fatwa yang dikeluarkan itu menyentuh tentang hukum yang sama bagi kedua-dua keadaan, tapi tidak menyentuh tentang perbezaan yang wujud dalam dua keadaan ini. Oleh itu, elok kita lihat pandangan ulama tentang perbezaan dalam dua keadaan ini.

Secara amnya, ulama berpendapat bahawa pasangan zina boleh berkahwin dengan wanita itu dan seterusnya melakukan hubungan senggama dengannya setelah berkahwin Perkahwinanan antara pasangan yang terlibat adalah baik, sebab anak yang bakal lahir akan menjadi anak tiri kepada lelaki berkenaan (ayah sebenarnya), dan mereka masih boleh hidup bersama dalam satu keluarga, walau pun tak berhak antara satu sama lain, seperti yang dinyatakan dalam fatwa di atas. Bagi lelaki yang bukan pasangan zina perempuan itu, masih boleh berkahwin dengannya, tapi tak boleh senggama dengannya sehingga bayi telah lahir. Ini berdasarkan beberapa hadith, contohnya yang bermaksud seperti berikut: "Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka janganlah sekali-kali dia menyiram airnya pada tanaman orang lain". (Iaitu menyetubuhi wanita yang mengandung bukan dari benihnya). (riwayat Abu Daud dan juga oleh al-Tirmizi yang menghukumkannya berdarjat hasan). Syarat ini (tak boleh senggama) boleh menjadi agak berat bagi pasangan yang mempunyai nafsu yang normal. Mampukah mereka mengatasi cababaran yang bakal dihadapi: sering bersama, tidur pun bersama, tapi tak boleh senggama. Oleh itu, pasangan yang bukan pasangan zina kepada wanita yang hamil luar nikah harus berfikir baik-baik sebelum mengambil keputusan untuk berkahwin sebelum bayi lahir. Mungkin lebih baik menunggu sampai bayi dah lahir, baru kahwin. Dan pastikan pezina itu telah betul-betul bertaubat sebelum menjadikan dia isteri yang sah, sebab hukum perkahwinan orang beriman dengan pezina ialah haram. Kalau dia dah bertaubat, dia bukan lagi pezina dan boleh dikahwini. Pernikahan Wanita Hamil Di Luar Nikah dan Status Anak Hukum Pernikahan Wanita Hamil zina (di luar nikah/kecelakaan) oleh pria/laki-laki yang menghamilinya dam status anak. Dan hukum perempuan hamil zina tersebut apabila menikah dengan laki-laki lain bukan yang menghamili dan status anak. PERTANYAAN Jika ada kasus seperti ini: A (pria) dan B (perempuan) menikah dalam keadaan B hamil duluan (A adalah ayah biologis dari anak yg dikandung). Kemudian lahirlah C (laki-laki). Setelah B melahirkan, A dan B tdk mengulang pernikahan lagi. Beberapa tahun kemudian, lahirlah D (perempuan),A juga merupakan ayah kandung D. Sdtelah belasan tahun kemudian A dan B bercerai. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah A boleh menjadi wali nikah bagi D? Jika tidak, siapakah yg boleh menjadi wali nikah bagi D agar pernikahan D menjadi sah sesuai syariat Agama Islam? PERNIKAHAN WANITA HAMIL KARENA ZINA Ada dua macam wanita hamil. Hamil oleh suami dan hamil karena berzina. Wanita yang hamil

oleh suaminya, kemudian dia bercerai, maka tidak boleh menikah dengan lelaki lain kecuali setelah melahirkan. Adapun wanita yang hamil karena zina maka menurut sebagian ulama boleh menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maupun dengan lelaki lain. Ikuti detailnya di bawah. PERNIKAHAN WANITA HAMIL LUAR NIKAH DENGAN LELAKI YANG MENGHAMILI Pendapat ulama ahli fiqh mengenai status Pernikahan Pasangan suami istri yang hamil duluan sebelum menikah A. Pendapat yang membolehkan/mengesahkan pernikahan semacam itu Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini tanpa harus menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada anak zina karena tidak ada nasab (keturunan). Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu : 1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh pendapat mayoritas ahli fiqh (jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang dihamilinya. Juga diperkuat oleh beberapa hadits sbb: i. Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny). ii: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i) iii: Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya,

namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim) iv: Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri." Kalangan Sahabat Nabi yang membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas STATUS ANAK ZINA YANG IBUNYA MENIKAH DENGAN AYAH BIOLOGISNYA Status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah--berarti usia kandugan sekitar 3 bulan saat menikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri. Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan--berarti usia kandungan lebih dari 3 bulan saat menikah, maka ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Kesimpulan: hukum pernikahan A dan B sah dan tidak perlu diulang. Dan status C (anak yang dikandung sebelum menikah) juga sah menjadi anak kandung A baik secara biologis dan syariah. Namun jika si jabang bayi C lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. A juga boleh menjadi wali dari D (anak kedua) karena berasal dari pernikahan yang sah dengan B. B. Pendapat yang mengharamkan pernikahan semacam itu Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud termasuk di antara Sahabat yang mengharamkan pria menikahi wanita yang dizinainya. Dan karena itu, mereka tidak menganggap sah pernikahan semacam ini. Ulama madzhab Maliki dan Hanbali juga mengharamkan. PERNIKAHAN PEREMPUAN HAMIL ZINA DENGAN PRIA LAIN BUKAN YANG MENGHAMILINYA DAN STATUS ANAK A. Boleh Menikah tapi Tidak Boleh Berhubungan Badan Menurut madzhab Hanafi, boleh menikah tapi tidak boleh ada hubungan badan sampai anak zina

tadi lahir seperti keterangan dalam kitab Durr al-Mukhtar karya Haskafi. Dasar hadits: 1. Tidak boleh berhubungan badan dengan wanita hamil kecuali setelah melahirkan. 2. Seorang lelaki mukmin tidak halal berhubungan badan dengan perempuan hamil. (HR. Abu Daud) B. Boleh Menikah dan Boleh Berhubungan Suami-istri Menurut madzhab Syafi'i boleh menikah dan boleh berhubungan suami-istri sebagaimana keterangan dalam kitab Futuhat al-Wahhab karya Sulaiman al Jamal. STATUS ANAK ZINA YANG IBUNYA MENIKAH DENGAN PRIA LAIN (BUKAN AYAH BIOLOGISNYA) Ada dua pendapat: Pertama, status anak yang dilahirkan tetap sebagai anak zina. Dan karena itu dinasabkan pada ibunya. Bukan pada pria yang menikahi ibunya karena faktanya ia bukan ayah biologisnya. Apabila anak tadi terlahir perempuan, maka yang menjadi walinya adalah wali hakim atau pejabat KUA (Kantor Urusan Agama). Kedua, menurut madzhab Hanafi, anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. PERTANYAAN 2: MENGHAMILI PACAR STATUS PERNIKAHAN DAN STATUS ANAK Setelah berzina dengan pacar, saya menikahinya setelah tahu dia hamil. Apakah saya harus mengulangi pernikahan? Dan apakah anak saya disebut anak haram? PERTANYAAN assalamu'alaikum warohmatullah hiwaba rokatuh sebelum saya ingin meminta tolong kepada sdr yang lebih tahu tentang hukum-hukum islam saya ingin bertanya 1. saya telah menikahi kekasih saya, karena kekasih saya telah mengandung janin saya diluar nikah apakah saya harus menikahinya kembali dikemudian hari?

2. apakah anak yang lahir dinamakan anak haram? 3.mohon maaf sebelumnya, dan tolong saya minta penjelasan karena pada saat saya menikahinya kadungannya berumur 6 bulan. 4. ada saudara ipar saya yang mengatakan kalau anak tersebut adalah anak haram dan saya diminta untuk menikahi istri saya kembali, dengan alasan kalau saya tidak menikahinya kembali maka anak kami yang seterusnya / anak kedua dan seterusnya akan menjadi anak haram apakah kata2 tersebut dibenarkan didalam islam? karena saudara ipar saya tersebut mengaku telah mengetahui tentang islam mohon balasan saudara supaya diantara kami tidak ada perselisihan maaf 1 lagi pertanyaan yang mungkin membuat saya selalu bertanya2 apakah diislam dibenarkan mengatakan anak haram didepan si jabang bayi ( ini anak haram, kamu harus nikahi istri kamu lagi biar anak yang haram 1 aja ) apakah itu ada diajaran islam? :'( saya selalu ingin menangis disaat saya teringat kata2 itu saudara terima kasih JAWABAN 1. Pernikahan anda sah dan tidak perlu mengulangi. Namun demikian, tidak apa-apa kalau Anda hendak memperbarui nikah (tajDidun nikah) dengan tujuan untuk menenangkan Anda dan orang-orang di sekitar Anda. 2. Karena pernikahan sah, maka status anak juga anak juga sah baik yang pertama maupun yang seterusnya. 3. Kalau saat menikah usia kandungan sudah 6 bulan, maka suami perlu kiranya berikrar bahwa anak dalam kandungan adalah anaknya. 4. Tidak ada istilah anak haram dalam Islam. Yang ada: anak zina. Yaitu anak yang terlahir di luar tali pernikahan. PERTANYAAN 3: MENIKAHI PACAR HAMIL 6 BULAN HARUSKAH MENGULANG DAN SATUS ANAK PERTANYAAN assalamualaikum. saya adue (bukan nama sebenarnya) 23 th, jakarta. saya telah melakukan zina dengan pacar saya sampai dia hamil. lalu saat usia kehamilanya sekitar 6 bulan, saya menikahinya secara sah di kantor urusan agama jakarta barat.

saya ingin mengajukan pertanyaan . apakah saya harus menikahi ulang isteri saya setelah anak saya lahir?? bagaimana status anak saya?? banyak pendapat orang disekitar saya yang menyarankan bahwa saya harus menikah ulang. apa itu memang perlu?? JAWABAN 1. Tidak perlu diulang kalau memang wanita menikah dengan lelaki yang menghamilinya. 2. Status anak juga sah sebagai anak Anda. Anda berhak menjadi wali nikahnya kalau dia perempuan. PERTANYAAN 4: DIHAMILI PACARA DAN DITINGGAL PERGI Dihamili pacar, tapi dia tidak mau bertanggung jawab. Tidak mau menikahi saya. Bagaimana status saya dan anak dalam kandungan saya? PERTANYAAN 1. ustadz,,,apa yang mesti saya lakukan??? apakah saya berhenti saja memperjuangkan status saya dan mengikhlaskan semuanya menerima diri saya seperti ini..krena mengharapkan dia akan bertanggung jawab sudah mustahil rasanya.. 2. bagaimana posisi saya dlm agama tadz,,,sebab yang saya ketahui orang lain telah haram menikahi wanita yang pernah bersinah seperti saya.. 3. apakah telah benar keputusan saya meminta dinikahi kemudia diceraikan karena hidup bersama dengannya seterusnya sudah tak ada harapan karena keluarga besarnya sudah benci dengan saya.... JAWABAN Ya, kalau pacar dan orang tuanya tidak mau diajak menikah, memang tidak perlu dipaksa. Saat Anda melakukan perbuatan zina, tentu Anda sadar dengan resiko terburuk ini. Anda seorang yang berdosa besar karena telah berzina. Yang harus dilakukan adalah (a) bertaubat, memohon ampun pada Allah dan berjanji padaNya tidak akan mengulangi lagi apapun yg terjadi. InsyaAllah Dia akan mengampuni. Allah maha pengampun. (b) Mencari lelaki lain yang barangkali mau menikahi Anda minimal untuk sementara untuk menutupi aib tersebut sampai si anak lahir. Tentang status hukumnya, lihat uraian kami di link berikut:. NIKAH MUTAH

Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman). (Surah Ali `Imran: 110) Apa itu Nikah Mut'ah dan hukumnya. Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i): 1. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu. 2. Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia. 3. Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya. 4. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang. 5. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi. 6. Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri. Dalil-Dali Haramnya Nikah Mut'ah Haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab. Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku

melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat (Shahih Muslim II/1024). Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad saw melarang nikah mut'ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul Bari IX/71). Pendapat Para Ulama Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut: - Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya AlMabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah". - Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil." - Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu." - Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram. Kita jarang sekali mendengar penjelasan mengenai fikih nikah mutah, sebagaimana nikah biasa memiliki ketentuan dalam hukum fikih, begitu juga nikah mutah juga memiliki ketentuanketentuan yang dijelaskan oleh imam yang diyakini maksum oleh syiah. Di sinilah letak "keindahan" nikah mut'ah. Nikah Mutah, Halal atau Haram? Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mutah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.

Pertama: Defenisi Nikah Mutah. Kedua: Tentang ditetapkannya mutah dalam syariat Islam. Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya. Definisi Nikah Mutah: Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mutah sebagai berikut, Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mutah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibr (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw. [1] Dan nikah Mutah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas. Nikah Mutah Telah Disyariatkan Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mutah telah disyariatkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daaim (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mutah telah ditetapkan dan disyariatkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alquran dan sunah telah menegaskan disyariatkannya nikah Mutah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak? Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mutah adalah boleh hukumnya di awal Islam . [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. an Nikah al-Mutah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mutah pada akhirnya). Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mutah, Nikah mutah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan. [3] Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mutah adalah pernah diperbolehkan dan disyariatkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mutah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qiraat Ubai ibn Kaab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan ( sampai jangka waktu tertentu) [4] Ibnu Katsir menegaskan, Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mutah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mutah itu ditetapkan dalam syariat pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan . [5] Ayat Tentang Disyariatkannya Nikah Mutah

Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT. 42: ( Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban (QS:4;24) Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mutah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata berartikan nikah mutah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mutah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat. Dalam bahasa Arab kata mutah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamtaa artinya mengambil manfaat [6] Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyariatkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabiin seperti Abdullah ibn Masud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya: - dengan memberi tambahan kata ( sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir alThabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mutah bahwa Ibnu Masud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyariatkannya nikah mutah.

Catatan: Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: , dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mutah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermutah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mutah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti

akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mutah

Nikah Mut'ah bukan pernikahan yang membatasi istri hanya empat. Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata :aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut'ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi 4 istri? Dia menjawab tidak. Al Kafi. Jilid 5 hal. 451 . Wanita yang dinikahi secara mut'ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut'ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan 4 istri. Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, aku bertanya tentang mut'ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri? Jawabnya : menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 452. Begitulah wanita bagi imam maksum syiah adalah barang sewaan yang dapat disewa lalu dikembalikan lagi tanpa ada tanggungan apa pun. Tidak ada bedanya dengan mobil yang setelah disewa dapat dikembalikan. Duhai malangnya kaum wanita. Sudah saatnya pada jaman emansipasi ini wanita menolak untuk dijadikan sewaan, namun kita masih heran, mengapa masih ada mazhab yang menganggap wanita sebagai barang sewaan. Syarat Utama Nikah Mut'ah Dalam nikah mut'ah yang terpenting adalah waktu dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan dalam akad, maka sahlah akad mut'ah mereka berdua. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut'ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika waktu tidak disepakati maka tidak akan memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.

Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455. Sama seperti barang sewaan, misalnya mobil. Jika kita menyewa mobil harus ada dua kesepakatan dengan si pemilik mobil, berapa harga sewa dan berapa lama kita ingin menyewa. Batas minimal mahar mut'ah Di atas disebutkan bahwa rukun akad mut'ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut'ah? Dari Abu Bashir dia berkata : aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut'ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut'ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457.

Semua tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan siang di McDonald, KFC atau nasi uduk. Tidak ada talak dalam mut'ah dalam nikah mut'ah tidak dikenal istilah talak, karena seperti di atas telah diterangkan bahwa nikah mut'ah bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan nikah mut'ah selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut'ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut'ah selain kesepakatan atas mahar. Dari Zurarah dia berkata masa iddah bagi wanita yang mut'ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45, jika selesai waktu yang disepakati maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 458. Jangka waktu minimal mut'ah. Dalam nikah mut'ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut'ah. Jadi boleh saja nikah mut'ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.

Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri? Jawabnya : ya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460 Orang yang melakukan nikah mut'ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, alias bukan mahram yang haram dipandang, disentuh dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut'ah atas sekali hubungan suami istri? Padahal setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah dan mengenakan pakaian sebelum keduanya pergi. Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut'ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya : " tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya". Al Kafi jilid 5 hal 460

Nikah mut'ah berkali-kali tanpa batas.

Diperbolehkan nikah mut'ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja'far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut'ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas. Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far, seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya. Al Kafi jilid 5 hal 460 Wanita mut'ah diberi mahar sesuai jumlah hari yang disepakati. Wanita yang dinikah mut'ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya. Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah : aku nikah mut'ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar, jawabnya : ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 452. Bayaran harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada kerugian yang menimpa pihak penyewa. Jika ternyata wanita yang dimut'ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut'ah tidak terputus dengan sendirinya. Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut'ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi. Dari Aban bin Taghlab berkata: aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 462 Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan : Masalah 260 : dianjurkan nikah mut'ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut'ah bukanlah syarat sahnya nikah mut'ah.

Al Sistani. Ali. Minhajushalihin. www.al-shia.com. Jilid 3 hal 82 Tidak usah membuang waktu dengan bertanya, langsung tawar dan bayar. Nikah mut'ah dengan gadis Dari Ziyad bin Abil Halal berkata : aku mendengar Abu Abdullah berkata tidak mengapa bermut'ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya. Al Kafi jilid 5 hal 462. Yah, ini bukan nikah namanya. Nikah mut'ah dengan pelacur Diperbolehkan nikah mut'ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut'ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya. Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan : Masalah 261 : diperbolehkan menikah mut'ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut'ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.Minhajushalihin. Jilid 3 hal. 8 Sebaiknya tidak, tapi jika terpaksa khan namanya tetap nikah walaupun dengan pelacur. Si pelacur akan berbahagia karena disamping mendapat uang dan kenikmatan dalam pekerjaannya, dia juga mendapat pahala. Pahala yang dijanjikan bagi nikah mut'ah Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, apakah orang yang bermut'ah mendapat pahala? Jawabnya : jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki itu berbicara padanya pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya, setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya, jika dia mandi maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi. Aku bertanya : sebanyak jumlah rambut? Jawabnya : Ya, sebanyak jumlah rambut. Man La yahdhuruhul faqih. Jilid 3. Hal 464 Abu Ja'far berkata "ketika Nabi sedang isra' ke langit berkata : Jibril menyusulku dan berkata : wahai Muhammad, Allah berfirman : Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut'ah. Man La Yahdhuruhul Faqih jilid 3 hal 464 Hubungan warisan Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak

mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hatihati dalam hal ini. Minhajushalihin. Jilid 3 Hal. 80 Nafkah Wanita yang dinikah mut'ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami. Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. Minhajus shalihin. Jilid 3 hal 80. Begitulah gambaran mengenai fikih nikah mutah. Pada seri berikutnya akan kita dapatkan gambaran jelas mengenai perbedaan antara nikah mutah dan pelacuran.

Anda mungkin juga menyukai