Anda di halaman 1dari 18

DASAR DASAR PENGEMBANGAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Amrizal, MA.


Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau
Abstrak
Sistem pendidikan termasuk pendidikan Islam haruslah dibangun atas dasar konsep
yang kokoh. Ia dibangun atas tiga wawasan sekaligus secara integral, yaitu ketuhanan,
kemanusiaan, dan kealaman. Wawasan ketuhanan akan menumbuhkan idologi,
idealisme, cita-cita dan perjuangan. Sedangkan wawasan tentang manusia akan
menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan, kebersamaan, demokrasi, egalitarian,
menjunjung nilai kemanusiaan, dan sebaliknya menentang anarkisme dan kesewenang-
wenangan. Kemudian wawasan tentang alam akan melahirkan semangat dan sikap
ilmiah, sehingga dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesadaran
yang mendalam untuk menjaga dan melestarikannya. Dari tiga wawasan tersebut akan
lahir manusia yang paripurna yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, serta
memiliki pengetahuan yang luas.
Keyword : Tuhan, manusia, dan alam

A. Pendahuluan
Dasar-dasar pengembangan sistem pendidikan Islam merupakan konsep dan pemikiran
yang menjadi pijakan dalam mengembangkan sistem pendidikan yang islami, baik secara teoritis
maupun praktis. Hal ini perlu dikemukakan mengingat praksis pendidikan kita sekarang pada
umumnya banyak mengacu kepada konsep dan pemikiran barat yang sekuler, sebagaimana juga
dikemukakan oleh Ismail SM, yang dikutip oleh Abd. Rahman Abdullah, ketika mencermati
kondisi pendidikan Islam sebagai berikut:
1

"Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah
terkontaminasi dan terintervensi konsep pendidikan Barat. Di mana paradigma pendidikan
Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengajaran
pengetahuan ansich, menitikberatkan pada segi teknis empiris, sebaliknya tidak mengakui
jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas, serta jauh dari landasan spiritual. Dalam konteks
lebih khusus lagi merupakan sebuah realitas bahwa pendidikan Barat tidak mengarahkan
perhatian pada masalah moral atai etika (nilai ilahiyah). Kalaupun ada nilai, nilai yang
menjadi target adalah nilai humanistik semata, bersifat antroposentrik (berkisar manusia).
Paradigma Barat yang sekuler tersebut berakibat hilangnya nilai etik dan transendental
dalam pendidikan yang akhirnya justru menimbulkan dehumanisasi, bukan humanising of
human being".

Menurut Nurcholis Majid,
2
pengembangan sistem pendidikan (Islam) hendaklah berkisar
dua dimensi hidup manusia. Pertama, dimensi ketuhanan yang meliputi iman, Islam, ihsan,
taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, dan sabar. Dengan nilai-nilai ini diharapkan dapat membentuk
rasa taqwa dalam diri peserta didik. Kedua, dimensi kemanusiaan meliputi silaturrahmi,
persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya,
perwira, hemat, dan dermawan. Dengan nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk akhlak
mulia pada diri peserta didik.
Hal senada juga dikemukan oleh Mastuhu,
3
bahwa paradigma pendidikan Islam harus
dikembangkan berdasarkan pada filsafat teocentris dan antropocentris sekaligus. Dari konsep
ketuhanan saja yang bersifat teosentris dapat dikembangkan konsep antroposentris dan
kosmologis sekaligus. Dalam kontes ini, A. Malik Fajar
4
mengemukakan bahwa paradigma
pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang
utuh dan multi dimensional yang meliputi wawasan ketuhanan, manusia, dan alam secara
integratif. Wawasan ketuhanan (tauhid) akan menumbuhkan idologi, idealisme, cita-cita dan
perjuangan. Sedangkan wawasan tentang manusia akan menumbuhkan kearifan, kebijaksanaan,
kebersamaan, demokrasi, egalitarian, menjunjung nilai kemanusiaan, dan sebaliknya menentang
anarkisme dan kesewenang-wenangan. Kemudian wawasan tentang alam akan melahirkan
semangat dan sikap ilmiah, sehingga dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kesadaran yang mendalam untuk menjaga dan melestarikannya. Karena alam bukan semata-mata
sebagai objek yang harus dieksploitasi seenaknya, melainkan sebagai mitra dan sahabat yang ikut
menentukan corak kehidupannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep dan pemikiran yang menjadi dasar atau
pijakan pengembangan sistem pendidikan Islam baik secara teoritis maupun praktis adalah
konsep dasar ketuhanan, manusia, dan alam yang harus dilihat secara integratif dan utuh. Namun,
sebelum pembahasan lebih lanjut tentang ketiga hal tersebut pembahasan ini dimulai dengan
pengertian pendidikan Islam.

B. Pengertian Pendidikan Islam
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang defenisi yang baku mengenai pendidikan
Islam. Hanya saja, dalam Konferensi Internasional tentang pendidikan Islam tahun 1977
direkomendasikan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah keseluruhan pengertian yang
terkandung dalam istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Karena tiga istilah ini dianggap memiki arti
yang dekat dan tepat dengan makna pendidikan. Oleh karena itu pembahasan mengenai
pengertian pendidikan akan dikaitkan dengan terma-terma tersebut.
1. Tarbiyah
Istilah tarbiyah, sedikitnya memiliki tujuh macam arti, yaitu
5
(1)

education
(pendidikan); (2) upbringing {asuhan); (3) teaching (pengajaran); (4) instruction
(perintah); (5) pedagogy (pendidikan); (6) breeding (pemeliharaan); dan (7) raising
(peningkatan). la berasal dari tiga akar kata yaitu;"
6
(1) raba yarbu ( - ) yang
berarti bertambah dan tumbuh; (2) rabiya yarubbu ( - ) yang berarti
memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara; dan (3) rabiya yarba
yang berarti tumbuh dan berkembang.
Dalam leksikologi al-Quran tidak dijumpai istilah tarbiyah . Namun, kalau
ditinjau dari akar kata, maka ada beberapa ayat al-Quran yang kata dan artinya sejalan,
yaitu untuk menunjukkan proses pertumbuhan dan perkembangan. Di antara ayat tersebut
adalah:
4~ El)4O+^ 4L1g -4Og4
=eu1):4 4L1g ;}g` E@O+q 4-gLc ^g
18. Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami,
waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari
umurmu. (Q.S. al-Syuara : 18)
;*gu=-4 E_ EE4LE_ ]e~.- =}g`
gOE;OO- ~4 pO E_uEOO-
EE O)+4O+4O -LOO= ^gj
24. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. al-Isra : 24)

Kalau terma tarbiyah dikaitkan dengan lafal )nurabbi( dalam bentuk
fiil mudhari seperti tertera dalam Q.S. Al-Syu'ara' :18, maka terma tarbiyah memiliki
arti mengasuh, menanggung, memberikan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
mempertumbuhkan, memproduksi, dan menjinakkan. Dalam konteks ini, kelihatan bahwa
cakupan makna tarbiyah hanya pada aspek jasmani saja. Adapun dengan kata
)rabbayani( dalam bentuk fiil madhi seperti dalam Q.S. al-Isra : 24, maka cakupan
maknanya lebih luas meliputi aspek jasmani dan rohani.
Senada dengan penjelasan di atas, dapat dilihat dari interpretasi yang diberikan
oleh Fahr al-Razy,
7
bahwa lafal rabbayani mengandung makna pendidikan (tarbiyah)
yang lebih lua s. Lafal tersebut bukan saja menunjukkan makna pendidikan pada taraf
pengetahuan (kognitif) untuk selalu berbuat baik kepada orang tua, tetapi juga harus
direalisasikan dalam bentuk tingkah laku (afektif) dengan cara menghormati mereka.
Lebih dari itu, seorang anak juga harus mampu berbakti dan mendo'akan keduanya
(psikomotorik).
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi,
8
terma tarbiyah mengandung dua makna,
yaitu proses transformasi dan proses aktualisasi. Makna pertama ingin menjelaskan
bahwa tugas pendidikan adalah upaya menyampaikan sesuatu nilai (ilmu pengetahuan)
kepada peserta didik, agar memahami dan melaksanakan nilai-nilai yang diberikan.
Sedangkan makna kedua ingin mengatakan bahwa manusia mempunyai potensi-potensi
(fitrah) yang dibawa sejak lahir; seperti potensi beragama, potensi berakal budi, potensi
kebersihan dan kesucian, potensi bermora/berakhlak, dan lain sebagainya. Tugas
pendidikan adalah mengembangkan dan menginternalisasikan potensi-potensi tersebut
pada diri peserta didik, sehingga ia bersifat aktif dan dinamis. Dalam konteks ini,
menurut Samsul Nizar,
9
pendidikan (tarbiyah) Islam bukan berupaya untuk mencetak
peserta didik pada suatu bentuk, akan tetapi berupaya menumbuhkembangkan potensi-
potensi yang ada pada dirinya seoptimal mungkin dan mengarahkan agar pengembangan
potensi tersebut sesuai dengan nilai ilahiyah.
Paparan di atas memberikan pengertian bahwa terma tarbiyah mencakup
berbagai aspek dan nilai pendidikan secara harmonis dan integral, baik aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik maupun aspek jasmaniyah dan rohaniyah.

2. Ta'lim
Dalam kamus Hans Wehr,
10
terma ta'lim memiliki dua bentuk jamak, yaitu
)ta'alim( dan (talimat). Perbedaan bentuk jamak tersebut mengakibatkan sedikit
perbedaan arti, meskipun tidak begitu signifikan untuk dibedakan. Ta'alim mempuyai
sembilan arti, yaitu (1) information (berita); (2) advice (nasehat); (3) instruction (perintah);
(4) direction (petunjuk); (5) teaching (pengajaran); (6) training (pelatihan); (7) schooling
(pendidikan di sekolah); (8) education (pendidikan); dan (9) apprenticeship (bekerja
sambil belajar). Adapun ta'limat hanya mempunyai dua arti, yaitu directive (petunjuk) dan
annoncement ( pengumuman).
Secara terminologi, para ahli memberikan penjelasan yang berbeda tentang terma
talim . Muhammad Rasyid Ridho,
11
misalnya, memberi defenisi dengan proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa ada batasan dan ketentuan tertentu.
Defenisi yang diberikan ini berpijak dari firman Allah :
=^U44 4E1-47 47.E;-- E_^U7
gE)=O47 O>4N gOj^UE^- 4
O)+O7*):^ g7.Ec) g7^E- p)
+L7 4-g~g= ^@
Artinya : dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku
nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! (Q.S. al-
Baqarah : 31)

Menurut Ibn Hajar al-`Asqalani,
12
ayat ini menunjukkan terjadinya proses
pengajaran (ta'lim) kepada Adam As. Sekaligus menunjukkan kelebihannya, karena ilmu
yang dimilikinya tidak diberikan kepada makhluk-makhluk lain. Oleh karena itu, Allah
swt. menyuruh Malaikat untuk bersujud kepada Adam. Berdasarkan interpretasi dari ayat
di atas, maka terma ta'lim (dari lafal `allama) condong kepada aspek pemberian
informasi. Karena pengetahuan yang dimiliki itu semata-mata akibat pemberitahuan,
sehingga dalam terma ta'lim tersebut menempatkan peserta didik sebagai yang pasif
adanya. Lihat ayat berikut:

W-O7~ ElE4E:c =Ug .4L )
4` .E44;^U4N W ElE^) =e^ N7)UE^-
O1O4^- ^@g
Artinya: Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S AlBaqarah : 32)

Berbeda dengan pendapat di atas, Abdul Fatah Jalal
13
mengemukakan bahwa
terma ta'lim secara implisit juga menanamkan aspek afektif. Karena pengertian ta'lim
juga ditekankan prilaku yang baik (akhlak al-karimah).' Pendapatnya tersebut berpijak
pada firman Allah swt.:
4O- Og~-.- EE_ w;O=- w7.4O
4OE^-4 -4OO+^ +4OO~4 4)eE44`
W-OUu4g E1E4N 4-gLpO-
==O^-4 _ 4` 4-UE +.- CgO )
--E^) _ N_ENC ge4CE- Og
4pOU;4C ^)

Artinya: "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan
ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat) bagi perjalanan bulan itu supaya
kalian mengatahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak dan menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S
Yunus : 5)

Dari ayat di atas, menurutnya lagi, akan berpencaran ilmu-ilmu lain bagi
kemaslahatan manusia sendiri, tanpa terlepas dari nilai ilahiyah. Kesemua itu dalam rangka
beribadah kepada Allah swt. Untuk sampai pada tujuan ini, ta'lim merupakan suatu proses
yang terus menerus, yang diusahakan semenjak manusia lahir (Q. S. 16 : 78) sampai
manusia tua renta atau bahkan meninggal dunia (Q. S. 22 : 5). Dari argumennya tersebut,
Jalal menempatkan terma talim kepada penunjukan pendidikan, karena cakupannya yang
luas dibandingkan dengan istilah lain yang sering dipergunakan.
14

Berdasarkan argumen di atas, Abdul Fatah Jalal memberikan defenisi ta'lim
sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan
penanaman amanah, sehingga terjadi tazkiyah (penyucian) atau pembersihan diri manusia
dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat
baginya dan yang tidak diketahuinya.
Argumentasi yang dikemukan oleh Abdul Fatah Jalal tentang makna yang
dikandung oleh terma ta'lim sangat tidak bisa dipahami. Ayat al-Quran yang dikemukakan
sebagai pijakan pendapatnya tidak memiliki konteks yang relevan. Ayat di atas
menjelaskan tentang kebesaran Allah yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya, dan tidak ada sama sekali penjelasan tentang pengajaran (ta'lim).
Dari penjelasan di atas, maka terma ta'lim tetap hanya merupakan upaya
menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek tertentu saja (domain kognitif).
Buktinya, terma 'allama dalam surat 2 : 31 dikaitkan dengan terma aradha yang
berimplikasikan bahwa proses pengajaran Adam As. tersebut pada akhirnya diakhiri
dengan tahapan evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi dominan
kognitif, yakni penyebutan nama-nama benda yang diajarkan. Jadi, belum pada tingkat
domain lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terma ta'lim maknanya lebih sempit
di banding tarbiyah . Karena ta'lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan
mengacu pada aspek tertentu saja (domain kognitif), sedangkan tarbiyah mencakup seluruh
aspek pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik).

3. Ta' dib
Secara etiomologi, lafal ta'dib memiliki lima macam arti, yaitu:
15
(1)education
(pendidikan); (2) discipline (ketertiban); (3) punishment dan (4)chastisement (hukuman);
dan (5) disciplinary punishment (hukuman demi ketertiban). Nampaknya, terma "ta'dib "
ini berorientasi pada upaya pembentukan pribadi Muslim yang berakhlak mulia.'
3o

Pengertian ini sesuai dengan hadis Nabi :

Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka la sempurnakan pendidikanku.

Meskipun lafal ta'dib ini begitu tinggi nilainya, namun lafal ini tidak sekalipun
disebutkan dalam Al-Quran. Menurut Mustofa Rahman,
16
ada beberapa asumsi yang bisa
dikemukakan kenapa Al-Quran tidak menyebutnya. Di antaranya, pertama, nilai-nilai
yang terkandung pada lafal ta'dib sudah terkandung pada lafal yang menunjukkan arti
pendidikan yang lain (tarbiyah dan ta'lim). Kedua, sifat kitab suci yang global sehingga
aturannya hanya berkenaan dengan masalah pokok. Sedangkan penjelasan yang lebih
rinci dilaksanakan oleh Rasulullah saw.
Walaupun terma ta'dib tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran, tetapi menurut
An-Nuquib al-Attas,
17
terma ini merupakan yang paling sesuai digunakan dalam
diskursus pendidikan Islam dibandingkan terma tarbiyah dan ta'lim. Karena pengertian
yang dikandung oleh terma ta'dib mencakup semua wawasan ilmu pengetahuan, baik
teoritis maupun praktis yang terformulasi dengan nilai-nilai tanggung jawab dan
semangat ilahiyah.
Adapun terma tarbiyah menurut Al-Attas, makna pendidikannya masih bersifat
umum. la tidak hanya berlaku bagi proses pendidikan pada manusia, tetapi juga ditujukan
pada proses pendidikan selain manusia. Padahal diskursus pendidikan Islam hanya
ditujukan kepada proses-proses pendidikan yang dilakukan oleh manusia dalam upaya
memiliki kepribadian Muslim yang utuh, sekaligus membedakannnya dengan makhluk
Allah lainnya. Sedangkan terma ta'lim hanya ditujukan pada proses pentransferan ilmu
(proses pengajaran) tanpa ada pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku.
Terlepas dan terma mana yang lebih tepat dan mencerminkan pendidikan Islam
sebenarnya, setidaknya, ketiga terma di atas secara umum memiliki tujuan akhir yaitu
mengantar peserta didik pada satu tahap tertentu. Masing-masing memiliki titik tekan
sendiri-sendiri. Meskipun terma untuk pendidikan Islam itu yang digunakan dalam Al-
Quran hanya tarbiyah dan ta'lim , tidak berarti konsep pendidikan Islam tidak menyentuh
aspek yang dimiliki oleh istilah ta'dib . Sebab esensi dari sistem pendidikan Islam adalah
perbaikan moral sebagaimana dikandung langsung oleh terma ta'dib tersebut.
Sesuai dengan pembuka tulisan bab ini, untuk menghindari silang pendapat tentang
istilah pendidikan dalam Islam, maka Konferensi Internasional tentang Pendidikan Islam
telah merekomendasikan istilah dalam kerangka defenisi pendidikan Islam sebagai berkut :
"The meaning of education in its totality in the context of Islam is inherent in the
connatations of the terms Tarbiyah, Ta'lim, and Ta'dib taken together. What each of these
terms conveys concerning man and his society and environment in the relation to God is
related to the other, and together they represent the scope of education in Islam, both
`formal' and `non formal'.(pengertian pendidikan Islam tercakup dalam istilah Tarbiyah,
Ta'lim, dan Ta'dib secara bersamaan. Masing-masing istilah tersebut berkaitan dengan
kepentingan manusia, masyrakat dan lingkungannya dalam hubungan dengan Tuhan, dan
keterkaitan istilah satu dengan yang lainnya secara bersama-sama merupakan ruang
lingkup pendidikan Islam)."

Dalam konteks ketiga istilah pendidikan dalam Islam tersebut, Yusuf Amir Faisal
18
mengemukakan pendapatnya bahwa istilah tarbiyah lebih menitikberatkan kepada
masalah pendidikan, penbentukan, dan pengembangan pribadi serta pembentukan dan
pengembangan kode etik (norma etika dan akhlak). Adapun ta'lim menitik beratkan pada
masalah pengajaran, penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu. Sedangkan ta'dib
lebih memandang bahwa proses pendidikan merupakan usaha yang mencoba membentuk
keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi dirinya sebagai muslim yang harus
melaksanakan kewajiban serta fungsionalsasi atas niat atau sistem sikap yang
direalisasikan dalam kemampuan berbuat yang teratur (sistematik), terarah, dan efektif.
Dengan demikian, ketiga istilah tersebut merupakan akar dari makna pendidikan
Islam. Satu sama lain saling berhubungan dan saling melengkapi. Kata tarbiyah lebih
diartikan sebagai pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan, pengulangan,
penciptaan, keagungan yang kesemuanya dalam rangka menuju kesempurnaan sesuai
dengan kedudukannya. Kata ta'lim diartikan sebagai usaha mengarahkan kegiatan belajar
mengajar dalam memahami, menguasai, dan menambah ilmu pengatahuan secara baik dan
seluas-luasnya. Adapun ta'dib merupakan usaha membina dan menanamkan adab berupa
akhlak yang didasarkan nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujud kepribadian utama
dalam kehidupannya. Walaupun praksis pendidikan Islam saat ini menggunakan terma
tarbiyah, diharapkan dalam operasionalnya tetap mengacu kepada makna yang dikandung
oleh ketiga terma tersebut, sehingga sistem pendidikan Islam yang dihasilkan sangat ideal.



C. Tuhan Dalam Sistem Pendidikan Islam
Membicarakan konsep ketuhanan sebagai pijakan pengembangan sistem pendidikan
Islam tidaklah bermaksud mencari pemahaman tentang Tuhan dalam kerangka ontologis dan
epistemologis. Yang ingin dikaji adalah menyangkut berbagai nilai, isyarat, dan petunjuk yang
memiliki relevansi luas dan strategis dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam.
Membicarakan konsep ketuhanan tidak terlepas dari pemahaman tentang adanya (wujud)
Allah, sifat-sifat-Nya, Asma-asma-Nya, dan tauhid sebagai sistem teologi Islam. Al-Quran
memerintahkan kita untuk merenungkan dan memahami segala ciptaan-Nya sehingga akhirnya
bisa memahami eksistensi Tuhan. Tuhan tidak lagi diyakini sebagai sesuatu yang irrasional, tetapi
berubah menjadi keyakinan yang hakiki.
Menurut al-Quran, eksistensi Tuhan benar-benar fingsional; Dia adalah Pencipta serta
Pemelihara alam dan manusia, terutama sekali Dia memberi petunjuk kepada manusia dan kelak
akan mengadili manusia secara individual maupun kolektif. Sifat-sifat Tuhan seperti Pencipta,
Pemelihara, Pemberi Petunjuk, Keadilan dan Belas-Kasih saling berkaitan dan merupakan satu
kesatuan organis dalam konsep manusia tentang Tuhan.
19

Tentang Asma al-Husna sebagai cerminan nama-nama Tuhan terdapat nila-nilai yang luar
biasa luas dan dalam. Nama-nama seperti al-Rahman dan al-Rahim (Pengasih dan Penyayang),
al-Ilm (Ilmu), al-Hikm wa al-`Adl (Maha Bijaksana dan Adil), al-Haq (Maha Benar), al-`Aziz
(Maha Mulia), dan lain-lain yang semuanya berjumlah 99 nama, dapat dijadikan sebagai sumber
nilai yang berharga bagi kehidupan manusia, khususnya bagi pendidikan Islam. Menurut Hasan
Langgulung,
20
Kalau nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang 99 tersebut diaktualisasikan pada
diri manusia niscaya merupakan potensi yang tak terkira banyaknya, dan kalau sifat-sifat itu
diambil satu persatu dan dikombinasikan, maka akan menjadi potensi yang jutaan jumlahnya.
Misalnya, Allah bersifat al-Quddus (Maha Suci) maka untuk mengembangkan kesucian
diperlukan ibadah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Al- Rahman (Maha Pengasih), Allah
memerintahkan manusia bersifat kasih sayang dalam kehidupannya. Al-`Alim (Maha Mengetahui)
bermakna juga agar manusia memiliki dan mengembangkan ilmu bagi kehidupannya, dan
bergitulah seterusnya. Dari sini tergambar bagaimana kompleksnya potensi yang dimiliki
manusia yang dapat mengembangkan sumber daya manusia, sekaligus dapat bernilai dalam
rangka mengembangkan sumber daya alam suatu masyarakat, bangsa dan negara. Potensi-potensi
yang begitu banyak hanya bisa diaktualisasikan melalui pendidikan.
Kemudian, tauhid sebagai sistem teologi dalam Islam merupakan suatu pandangan hidup
yang menegaskan adanya proses kesatuan dan kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan
kehidupan. Semua yang ada bersumber hanya pada Yang Satu Tuhan saja, yang menjadi asas
kesatuan ciptaan-Nya dalam berbagai bentuk, jenis, dan bidang kehidupan. Dalam konteks
teologi, tauhid adalah pernyataan iman kepada Tuhan Yang Tunggal dalam satu sistem. Karena,
pernyataan iman seseorang kepada Tuhan bukan hanya pengakuan lisan, pikiran dan hati (kalbu),
melainkan juga tindakan dan aktualisasinya yang mesti diwujudkan dan tercermin dalam berbagai
bidang kehidupan baik itu sosial, ekonomi, pendidikan, politik, maupun kebudayaan. Dengan
demikian, teologi Islam adalah teologi yang integratif, teologi aktual, dan teologi transformatif.
Teologi integratif memandang hakikat Tuhan Yang Tunggal akan berpengaruh dengan kesatuan
sikap dalam hidup. Teologi aktual yaitu iman tidak berhenti pada dataran lisan, pikiran, dan hati
melainkan teraktualisasi dalam hidup, tindakan dan perbuatan. Teologi transformatif karena akan
membina dan mengubah manusia ke arah akhlak al-karimah dan kehidupan yang ideal sesuai
dengan nilai dan fitrah kemanusiaan.
21

Dalam konteks pendidikan, menurut Azyumardi Azra, sebagaimana disitir oleh Abd.
Rahman Abdullah, bahwa konsep pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang menjadikan
tauhid sebagai paradigmanya, tauhid pradigm . Dalam artian tidak hanya mengesakan Tuhan,
tetapi mengintegrasikan seluruh aspek, seluruh pandangan dan aspek kehidupan manusia.
22
01eh
karena itu, jika seseorang melakukan pengamatan dan penelitian terhadap gejala alam dan sosial
kemanusiaan, misalnya, maka yang dihasilkan tidak hanya pengetahuan yang bersifat kognitif
belaka, juga tidak hanya bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (berwujud kemampuan
teknologis atau teknokratis untuk mempermudah hidup lahiriah dan material manusia), tetapi juga
membawanya kepada keinsafan ketuhanan yang lebih mendalam, melalui penghayatan
keagungan dan kebesaran Tuhan sebagaimana. tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya.
23

Dengan demikian, konsep dasar ketuhanan dalam Islam mempunyai kedudukan yang
amat strategis bagi pengembangan konsep dan pemikiran kependidikan Islam. Maka dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam tidak boleh lepas dari konsep ketuhanan, teosentris, sekaligus
mencakup kemanusiaan dan kealaman.


D. Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam
Kajian tentang manusia telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah
bisa dijawab secara final terutama dalam menyingkap hal -hal rohaniah yang bersifat
abstrak. Ketidakmampuan manusia dalam menelusuri substansi dirinya disebabkan karena
keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya. Keterbatasan ini menurut Quraish
Shihab, disebabkan tiga faktor: pertama, dalam sejarah kehidupannya, manusia lebih
tertarik melakukan. penyelidikan tentang alam materi (konkrit) dibandingkan kepada
hal-hal yang bersifat immaterial (abstrak). Kedua, keterbatasan akal manusia yang
hanya memikirkan hal-hal yang bersifat instrumental dibandingkan dengan hal-hal yang
substansial dan kompleks. Ketiga, Kompleksitas dan uniknya masalah manusia.
24

Untuk itu Allah SWT. melalui firmannya, Al-Quran, telah memberikan kemudahan
kepada manusia untuk menggali hakekat dirinya. Sehingga dengan demikian, manusia
tidak akan keliru dan salah dalam menempatkan posisinya sebagai salah satu makhluk-
Nya di bumi ini. Karena kekeliruan dalam memahami diri akan berakibat salah dalam
berbuat. Misalnya, ketika manusia menganggap dirinya sebagai bentuk yang melebihi
makhluk lain dan bahkan Zat Transenden sekalipun (superior) akan berbuat tanpa batas-batas
norma transenden yang perlu dipertanggungjawabkan. Atau sebaliknya, ketidakmengerti an
manusia tentang dirinya akan memiliki sifat pesimis dan rendah diri (imperior), sehingga
merasa sebagai makhluk yang hina dan harus tunduk pada makhluk lainnya yang
dianggap memiliki kekuatan.
Tentang proses kejadian manusia, banyak ayat yang bisa kita rujuk.
Misalnya, Q.S. al-Mukminun: 12-14, Q.S. al-Hajj: 5, Q.S. al-Insan: 2, Q.S. al-
Mukrmn: 67, Q.S. al-Thariq: 5-7, Q.S. al-Sajadah: 8-9, Q.S. al-Najm: 32, dan banyak
lagi ayat vang menjelaskan kejadian manusia.
25
Dari ayat-avat tersebut tergambar bahwa
penciptaan manusia terdiri-dari dua aspek pokok, yaitu aspek material (jasad) dan aspek
immaterial (ruh).
Dari dua aspek t ersebut, maka yang pal i ng esensial adal ah aspek
immaterialnya atau ruhnya. Karena hakekat dari kedua aspek tersebut adalah ruh. Jasad
hanyalah merupakan sandaran ruh dalam rangka melaksanakan aktivitas kehidupannya di
dunia. Suatu saat, ketika sandaran tersebut berpisah dari ruh, maka perpisahan itulah
yang disebut sebagai peristiwa kematian. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan
melanjutkan eksistensinya di alam barzah.
Aspek material (jasad) adalah aspek yang konkrit, dapat diraba, dan
menempati ruang dan waktu. la adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia.
Ia terdiri dari unsur materi yang suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak
mempunyal sifat kekal. Di samping itu, jasad tidak memiliki daya tanpa adanya ruh.
Apabila ruh terlepas dari jasad maka pengertian manusia berubah menjadi bangkai. Oleh
karna itu, jasad manusia bukanlah sesuatu yang menentukan baik atau buruknya seseorang,
meskipun jasadnya terlihat cantik dan bagus. Suatu saat akan kehilangan nilainya bila
melakukan perbuatan buruk. Bahkan, apabila perbuatan buruk tersebut terus menerus
dilakukan maka manusia akan kehilangan kemanusiaanya.
26

Berbeda dengan aspek material (jasad), aspek immaterial (ruh) adalah aspek
yang bersifat abstrak dan tidak dapat direalitaskan. la hanya dapat terlihat dari adanya
aktivitas jasmaniah. Ia memberi nilai kepada jasmaniah dalam setiap akt i vit asnya. Dengan
demi ki an, bai k buruknya akt i vi t as manusia bukan ditentukan oleh aspek
jasmaniahnya akan tetapi lebih banyak ditentukan oleh aspek rohaniahnya.
27

Menuru Ali Sariati,
28
dua unsur yang menjadi dasar penciptaan manusia, materi dan
immateri, merupakan dua unsur yang kontradiktif. Unsur materi akan membawanya kepada
hakekatnya yang rendah, dan unsur i mmat eri akan membawanya naik ke puncak
spiritual tertinggi, yaitu ke Zat Yang Maha Suci. Dengan dua kutub yang berlawanan
tersebut memungkinkan manusia memiliki kebebasan antara dua pilihan, yaitu antara kutub
yang suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya. Pilihan terhadap
salah satu kutub itulah yang akan menentukan nasibnya. Untuk itu, pada setiap manusia
terdapat faktor-faktor penggerak untuk menuju ke dua pilihan tersebut, yaltu qalb, 'aql, dan nafs.
29

1. Al-Qalb,
Menurut al-Ghazali seperti dikutip oleh Baharuddin bahwa al-qalb memiliki dua makna.
Pertama, dalam pengertian kasar, yaitu segumpulan daging yang berbentuk bulat
memanjang yang terletak di pinggir dada sebelah kiri yang di dalamnya
terdapat rongga-rongga dan disebut jantung. Kedua, pengertian yang halus yang
bersifat ketuhanan dan rohaniyah, yaitu hakikat manusia yang dapat menangkap
pengertian, pengetahuan, dan arif.
30

Pada pengertian pertama, al-qalb adalah jantung yang merupakan pusat
peredaran darah ke seluruh tubuh. Qalb dalam arti ini tidak hanya dimiliki oleh
manusia akan tetapi juga dimiliki oleh semua hewan. Bahkan dimiliki oleh orang
yang sudah mati. Hal itu, karena al-qalb mempunyal sifat jasmaniah yang dapat
ditangkap oleh indra manusia.
Sedangkan pada pengertian kedua bersifat metafisik. Dalam konteks ini, qalb
adalah dimensi jiwa yang mempunyai kemampuan memahami, menghayati, dan memiliki
perasaan, seperti rasa takut, benci, rindu, cinta, dan lain sebagainya..
Di dalam al -Quran juga dijelaskan bahwa al-qalb merupakan pusat
penalaran, pemikiran, dan kehendak, yang berfungsi untuk berpikir (Q.S. al -Hajj : 46)
dan dapat memperingatkan serta memberi pemahaman dan petunjuk untuk semua
manusia (Q.S. Qaf : 37, Q.S. al-Taghabun: 11, Q.S. al-Maidah: 41, Q.S. Al- Hujurat: 7).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa qalb memiliki kecerdasan ganda,
yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional.
Di samping itu, al-qalb sendiri cenderung kepada kebenaran dan dapat
mengetahui serta membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan
yang buruk. Hanya karena faktor eksogen, manusia mengingkari kebenaran qalbnya
(Q.S. al-Najm: 11, Q.S. al-Hajj: 46). Kemudian, qalb juga sebagai alat
penghubung antara manusia dengan Tuhannya. Bila qa1b dekat niscaya hubungan
manusia dengan Tuhan pun dekat, sebaliknya bila jauh niscaya Dia jauh (Q.S. al-
Ra'd: 28, Q.S. Thaha: 124). la adalah tempat pahala dan dosa manusia (Q.S. al -
Muza mmi l : 14, Q. S. al - Ba gar ah: 283, 225) , s e hi ngga qal b- l ah yang
mempertanggungjawabkan semua aktivitas manusia. Selanjutnya qa1b sifatnya
berubah (Q.S. al-An'am: 10), bisa sebagai pusat kebaikan dan bisa juga sebagai pusat
kejahatan manusia. Oleh karena itu, perlu adanya berbagai suplai dari berbagai
petunjuk, termasuk petunjuk Allah.
31


2. Al-'Aql
Aql adalah daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan
salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami, dan
mengerti.
32
Dengan demikian ia sanggup menerima pengertian, baik secara
teoritis (akal teoritis) maupun praktis (akal praktis) .
33
Hal itu, karena ia
memiliki daya kreativitas berpikir.
Dengan aql manusia dapat menganalisa dan menerima respon dari luar
dirinya secara aktif. Dengan demikian manusia dengan akalnya akan dapat
menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat
manusia dan memberi kepuasan ketika mereka mampu memecahkan berbagai
persoalan. Namun, akal juga bisa berbuat kerusakan di muka bumi, apabila tidak
dikontrol oleh qaIb yang bernilai ilahiyah. Oleh karena itu, al-'aql perlu bersandar
kepada aI-qalb sehingga dapat dikendalikan. Sebab dewasa ini, al-' aql
cenderung berkembang sendiri, sehingga muncul berbagai kebatilan bersamaan
dengan peningkatan kemampuan yang dimilikinya.
34

Di samping itu, walaupun dengan akal manusia mampu mengenal dan
menganalisa sesuatu, namun hanya terbatas pada realitas arti material. Sedangkan
untuk memahami arti immaterial, akal memerlukan bantuan al-qalb. Sebab
melalui potensi al-qalb, manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial dan
menganalisanya lebih lanjut. Dengan perpaduan kedua kekuatan ini, sedikitnya
manusia mampu mengenal Tuhannya dan meyakini ajaran-ajaran-Nya. Dengan
berpegang pada ketentuan etika religius yang diyakininya, membuat ma nusia
dapat menjalam kehidupannya secara baik dan serasi.

3. Al-Nafs,
Al-Nafs berarti sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang mempengaruhi
perbuatannya (Q.S. al-Syams: 8) . Baik buruknya perbuatan seseorang tergantung
dari kualitas nafs-nya. jika kualitas nafs itu baik, maka kecenderungannya pada
menggerakkan perbuatan baik, sebaliknya jika kualitasnya rendah maka nafs
cenderung mudah menggerakkan perbuatan buruk.

Kualitas nafs akan baik bila
dijaga dari dorongan syahwat atau hawa nafsu (Q.S. al-Ma'arij: 40) dan disucikan
(Q.S. al-Syams: 9), dan akan menjadi buruk kualitasnya bila nafs dikotori dengan
perbuatan maksiat dan menjauhi kebajikan (Q. S. al-Syams: 10).
Akan tetapi, dalam menggerakkan tingkah laku dengan segala prosesnya, nafs
tidak bekerja sendiri secara langsung. Nafs bekerja malalui jaringan sistem yang
bersifat rohani. Dalam sistem nafs terdapat subsisten yang bekerja sebagai alat yang
memungkinkan manusia dapat memahami, berpikir, dan merasa, yaitu qalb, bashirah,
ruh, dan aql.
35

Dengan demikian, al-nafs memberikan pancaran kehidupan, sehingga
manusia dapat melakukan sejumlah aktivitas. Agar aktivitas tersebut bisa
berkembang sesuai dengan nilai-nilai moralitas, maka Allah SWT. memberikan
kepadanya potensi qalb dan 'aql yang mampu memilah dan memilih mana yang baik
dan mana yang buruk. Dengan perpaduan kesemua dimensi dan potensi ini qalb, 'aqI,
dan nafs maka manusia akan mampu melahirkan amaliah religius, dan mampu
j uga mengenal dan berdi al og dengan al am dan sekal i gus memanfaatkannya
secara optimal bagi kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi jika kesemua dimensi
dan potensi tersebut terpecah antara satu dengan yang lainnya pada kutub
masing-masing, maka akan lahir berbagai bentuk perbuatan maksiat yang
bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah Tuhannya yang hanif, baik disadari
maupun tidak disadari.
36

Untuk membantu mengaktualisasikan seluruh dimensi dan potensi yang
dimiliki manusia tersebut secara optimal, maka sistem pendidikan Islam harus
senant i asa ber or i ent asi pada di mensi pr ogr esi f - di nami s dan mampu
mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia secara hormonis dan
integral. Dengan integralitas seluruh potensi yang dimiliki manusia tersebut, maka
manuisa akan mampu mengembangkan dirinya dan melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya secara sempurna.

F. Alam dalam Sistem Pendidikan Islam
Alam berarti dunia fisik, artinya manusia berhubungan dengan alam melalui
indra. Dalam al-Quran alam di sebut sebagai langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya
sebagai lingkungan hidup manusia.
37
Dalam pandangan Islam, alam adalah ciptaan Allah,
sekaligus merupakan karya agung-Nya. Sebagai konsekuensinya, alam adalah pesan dan tanda-
tanda Allah akan keberadaannya. Alam, dengan demikian, merupakan wahvu Allah vang tidak
tertulis.
38

Allah menciptakan alam bukan didorong oleh perbuatan main-main (Q.S. al-Dukhan:
38-39), tapi dengan tujuan yang benar (Q.S. al -Ahqaf-. 3). Alam diciptakan untuk
dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Maka tugas manusia adalah mengurus, mengelola, dan
memanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya. Pengelolaan dan pemanfaatan alam oleh
manusia erat kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah di
bumi. Dalam konteks ini Ahmad Hasan Firhat, sebagai disitir oleh Samsul Nizar,
39
membedakan kekhalifahan manusia kepada dua bentuk; khalifah kauniyat dan khalifah
syari'at. Sebagai khalifah kauniyat manusia bertanggungjawab untuk mengatur dan
memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan manusia di muka
bumi. Pemberian wewenang oleh Allah SWT. kepada manusia dalam konteks ini
meliputi pemaknaan yang bersifat umum, tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka
yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia
sebagai penguasa alam semesta. Bila dimensi ini dijadikan standar dalam melihat prediket
manusia sebagai khalifah fi al-ardhi, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup
manusia.
Adapun khalifah syari'at meliputi wewenang Allah yang diberikan kepada manusia
untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawab ini, prediket khalifah, secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmi n.
Hal ini di maksudkan, agar dengan kei manan yang dimilikinya, mampu menjadi pilar
dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai -nilai ilahiyah
yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya.
Dengan demikian, manusia tidak sekedar tinggal di bumi. Lebih dari itu, ia adalah
khalifah Allah di bumi. Misinya adalah memenuhi perintah-peintah-Nya. Segala upaya
manusia ditujukan untuk ibadah. Kerjanya di atas bumi ini, dari perencanaan,
invesment, dan pemanfaatan alam sudah seharusnya merupakan manifestasi pemujaan
Tuhan. Penciptaan alam semesta, dengan demikian, bukan hanya berhubungan dengan
keimanan, melainkan juga merupakan motivasi bagi manusia untuk peduli terhadap alam.
Kaitannya dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai khalifah, manusia juga
diperintahkan untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap alam dan
lingkungannya. Tentang hal ini banyak ayat al -Quran yang menjelaskan, diantaranya :
~ W-+OOc ) ^O- W-NOO^
E-^O E4 4-UEC^- _ O +.- 4NC
E;=E4- E4O=E- _ Ep) -.- _O>4N
] 7/E* EOCg~ ^g
20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. al-Ankabaut : 20)

Dan juga pada Q.S. Rum: 50,
OO^ -O) @O-47 ge4uO4O *.-
E-^O ^O^47 4O- Eu4 .Og@O4` _
Ep) CgO ^O _O4OE^- W 4O-4
_O>4N ]7 7/E* EOCg~ ^)
50. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan
bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-
benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.

Untuk itu, Allah menganugrahkan kepada manusia qa1b dan 'aql yang mampu
berpikir dan memahami. Dalam konteks ini, Imam Syafi'i
40
menyimpulkan, bahwa kegiatan
filsafat dalam al-Quran adalah kesatuan kegiatan berpikir mengenai alam semesta dan berpikir
mengenai kekuasaan Allah. Fungsi berpikir untuk menyusun konsep-konsep, sedangkan
fungsi berzikir untuk menenangkan hati (al-qalb). Dengan hati yang tenang, maka
hawa nafsu dapat dikuasai, sehingga konsep-konsep dapat diabadikan untuk
mengagungkan asma Allah. Dengan demikian, berfilsafat dalam al-Quran bukan hanya
menggunakan pikiran (rasio) semata-mata, melainkan juga hati selalu ingat kepada Allah,
menyatukan antara fikir dan zikir (Q.S. Ali Imran: 191). Jadi, hakikat filsafat dalam al -
Quran adalah Perpaduan kegiatan fakir dan zikir. Fikir adalah aktivitas rasio sedangkan zikir
adalah aktivitas hati, yang kedua-duanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Rujukan di atas memberikan pengertian bahwa tidak semestinya terjadi pertentangan,
dikotomi dalam pendidikan kita antara wahyu dan akal,-dan atau antara agama dan sains, dan
atau pendidikan qalb dan pendidikan 'aql, dan atau pendidikan agama dan pendidikan umum.
Semuanya harus terintegral, harmonis dan proporsional dalam sebuah sistem pendidikan
(Islam). Keterkotak-kotakan dan ketidakseimbangan itu semua hanya akan menghasilkan
sistem kehidupan yang timpang.



1
Abd. Abdurrahman Abdullah, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam: Rekonstruksi
Pemikiran dalam Filsafat Pendidikan Islam, Yokyakarta, UII Press, 2001, h. 193-194.
2
Nurkholis Majid, Pendidikan : Langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas , dalam
Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta, Radar
Jaya Offset, 2001, h. xxii.
3
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999, h. 15.
4
A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Fajar Dunia, 1999, h. 34-35.
5
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Writen Arabic : Arabic-English, London, MacDonald &
Evans Ltd, 1979, h. 324, kol. 1.
6
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Jil. V, Mesir, Dar al-Mishriyyah, 1992, h. 94-96.
7
Fahr al-Din al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. 20. Beirut, Dar al-Fikr, h. 194.
8
Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha, Damaskus, Dar al-
Fikr, 1998, h. 12-13.

9
Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h.
89.
10
Hans Wehr, op. cit., h. 636, kol. II.
11
Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Juz. I, Mesir, Dar al-Manar, 1373 H., h. 262.
12
Ibn Hazar al-Asqalani, Fath alBarr bi Syarh al-Bukhori, Juz. V, Beirut, Dar al-Fikr, 1981, h.
147.
13
Abdul Fatah Jalal, Azaz-Azaz Pendidikan Islam, Terj. Herry Noer Aly, Bandung, CV.
Diponegoro, 1988, h. 30.
14
Tentang terma tarbiyah ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah di dalam Q.S. al-
Syuara : 18 dan Q.S. al-Isra : 24 adalah pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan
manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak. Maka kanak-kanak sangat tergantung pada kasih sayang
keluarga. Dengan demikian, pengertian pendidikan yang digali dari kata tarbiyah tersebut terbatas pada
pemeliharaan, pengasuhan, dan pengasihan anak manusia pada masa kecil. Bimbingan dan tuntunan yang
diberikan sesudah itu tidak lagi termasuk pengertian pendidikan. Lihat Ibid., h. 29.
15
Hans Wehr, op. cit.
16
Mustofa Rahman, Pendidikan Islam dalam Pespektif al-Quran, dalam Ismail dkk.,
Paradigma Pendidikan Islam, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, h. 61.
17
Syed Nuhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidikan Islam, (terj.), cet. VI, Bandung, Mizan,
1994, h. 74-75.
18
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, h. 108.
19
Fazlur Rahman, Tema pokok al-Quran, Bandung, Pustaka, 1996, h. 2.
20
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1998,
h. 59-60. Lihat juga Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat, dan
Pendidikan, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1989, h. 262-263.
21
Abd. Rahman Abdullah, op. cit., h. 107.
22
Ibid., h. 198.
23
Nurcholis Majid, op. cit., h. xiv.
24
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, bandung, Mizan, 1997, h. 227-228.
25
Penjelasan lebih rinci tentang ayat-ayat tersebut, baca Muhaimin, et. Al., Paradigma Pendidikan
Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya,
2001, h. 3-11. Baca juga Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media
Pratama, 2001, h. 44-56.
26
Samsul Nizar, op. cit., h. 56.
27
Ibid., h. 57.
28
Ali Sariati, Man and Islam, (terj.) oleh M. Amin Rais dengan Tugas-Tugas Cendekiawan
Muslim, Jakarta, Rajawali, 1991, h. 8.
29
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Quran, Jakarta, Paramadina, 2000, h. 177.
30
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami : Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran,
Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, h. 124.
31
Muhaimin & Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : kajian Filosofik dan Kerangka Dasar
Operasionalnya, Bandung, Trigendi Karya, 1993, h. 38-39.
32
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Psikologi Kenabian : menghidupkan Potensi dan Kepribadian
Kenabian dalam Diri, Yokyakarta, Beranda Publishibg, 2007, h. 273.
33
Akal teoritis adalah yang menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam
materi, seperti Tuhan, ruh, dan malaikat. Sedangkan akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti yang
berasal dari materi melalui indra pengingat. Lihat ibid., h. 274.
34
Samsul Nizar, op. cit., h. 62.
35
Achmad Mubarok, op. cit., h. 53.
36
Samsul Nizar, loc. Cit.
37
Imam SyafiI, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran, Yokyakarta, UII Press, 2000, h. 85-
86.
38
Abdurrahman Masud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yokyakarta, Gema
media, 2000, h. 45.
39
Samsul Nizar, op. cit., h. 70.
40
Imam SyafiI, op. cit., h. 75.

Anda mungkin juga menyukai