Anda di halaman 1dari 2

PRINGADI DAN IKAN, SIAPA PRINGADI?

Mengapa kicauan? Dan ikan? Saya bukan orang yang bisa membedah sebuah buku (dengan baik), terlebih dengan menyampaikannya sesuai kaidah yang lazim digunakan. Anggaplah seperti ikan yang berkicau di dalam air, saya coba menampilkan ulang sekilas buku ini dengan mulut membuka-menutup dan gelembung-gelembungnya naik hingga meletup di permukaan. Tanpa suara. Bicara gelembung dan letupannya, saya sarankan untuk membaca Dongeng Afrizal, buku senarai kisah yang mula-mula membuat ketakjuban menganga di awal seiring rasa penasaran yang menguap-nguap, dan selalu meletup di ujungnya. Ah, bahkan meledak! Kesan pertama selalu menentukan, dan saya mendapatkan kesan tersebut sejak cerpen pertama tampil di mata saya. Membaca Dongeng Afrizal saya seperti sedang mengenakan baju yang kedodoran padahal sebelumnya yakin sudah pas di tubuh. Saat bercermin, diri sudah terperangkap dalam tubuh anak kecil. Diajaknya pikiran mengrenyitkan dahi, dengan enteng membuang kerumitan seraya berlari-lari, berlompatan, menggumam sendiri dalam imaji yang menjadi pintu keluar-masuk kedewasaan dan pikiran kanak-kanak. Hai, sebenarnya saya siapa? "Surat Kedelapan" sebagai cerita pembuka telah membuat saya mematok kesan bahwa buku ini patut dibacadan tentu dimilikidan inilah cerita favorit saya di buku ini. Gaya bahasa yang "sangat Pringadi" mungkin karena sebelumnya ia sangat kental dengan latar belakang kepenyairannya yang pada kesempatan ini juga saya rekomendasikan untuk disimak dan dikuntit. /2/ : zane Tidakkah kau ingat malam itu, saat kita berdua menuliskan berbait mimpi di atas kertas putih? Lalu melipatnya hati-hati menjadi sebuah pesawat mini yang kita terbangkan ke langit tinggi? Dan tidakkah kau ingat, di malam hari ke empat belas bulan berikutnya, aku membawakan sepotong bulan ke rumahmu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Lalu kuletakkan tepat di pangkuanmu. Agar kau tahu, betapa besar pengorbananku untukmu. Potongan surat yang mampu meresap ke pipi perempuan hingga merona ini seolah membuktikan keseriusan Pringadi dalam membuat cerita ini memiliki daya gugah yang kuat. Beberapa di antara potongan lain Pringadi menyuguhkan alur yang lembut dan mengalir sehingga tanpa disadari terdapat sesuatu di sana yang merupakan konflik pada cerita ini. Sangat halus dan hampir tidak berasa. /7/ ~ : zane Aku ingin membuatmu bangga. Aku akan melakukan apa saja asal membuatmu bahagia. Makanya aku rela berjalan menyusuri rel kereta api sembari mencuri pandang ke halaman

rumah-rumah yang berjajar rapi di sebelah kiri dan kanan. Tapi tetap ada tak mangga muda. Jangankan itu, pohon mangga pun tak ada! Maka aku pulang dengan wajah tertunduk. Kecewa. Tapi tiba-tiba, saat aku sampai di depan rumah, kau menyambutku dengan pelukan. Tak peduli dengan bau badan yang sudah menyengat. Sebab berhari-hari aku tak mandi. Kecuali dengan keringat. (dan kulihat di atas meja ada sepiring mangga muda, entah dari siapa) Saya tergelitik membaca bagian ini. Betapa hal ini sangat mudah menimbulkan prasangka bahkan kesalahpahaman dalam sebuah hubungan, dalam rumah tangga dan percik-percik seperti itulah yang diramu dengan rapinya oleh Pringadi. Saya sempat bertanya-tanya mengapa bukan saya saja yang diberi ilham untuk membuat cerita ini? *** Jika pada tubuh buku ini gaya bahasa Pringadi menjadi lidah, maka yang menjadi sepasang tangannya adalah imajinasi. Ya, membaca buku ini berarti membaca khayalan Pringadi. Adakalanya Pringadi melemparkan imajinasinya tersebut dan langsung meledak dan sesekali pula ledakan itu diredam dengan kelogisan tanpa mengurangi efek pecahan kesan dari dahsyat imajinasinya itu dengan tetap mempertahankan keahlian Pringadi dalam bernarasi terlebih menciptakan dialog-dialog pada buku ini. Sebut saja "Resistal Kupu-Kupu", "Macondo, Melankolia", "Setan di Kepala Ibu", "Satu Cerita tentang Cerita yang Tak Pernah Kuceritakan Sebelumnya", "Dongeng Ikarus", atau "Senja Terakhir di Dunia". Keseluruhan cerita itu seolah menampilkan sisi lamunan yang melompatlompat tinggi, berkelok dan sulit ditebak dari seorang Pringadi. Seolah menyembunyikan semuanya di dalam tirai, Pringadi selalu punya cara untuk mengajak pembaca mengunjungi alam piker apalagi yang telah Pringadi persiapkan. Jalan cerita yang seru dan nikmati avontur yang mungkin sedikit 'gila'. Di sisi lain yang kesekian, eksplorasi imajinasi dari Pringadi mengundang decak sekaligus gelengan kepala dari sebagian awam. Lihat saja liukan tuturnya pada cerita "Djibril dan Aku" atau "FIKSIMAKSI: Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas". Berikut pula beberapa cerita yang memainkan dan menayangkan psikologis manusia pada buku ini, tentu tidak bisa dilewatkan begitu saja. "Seseorang dengan Agenda di Tubuhnya", "Domba-domba dalam Suratmu", "Vaginalia", atau "Pareidolia.

Anda mungkin juga menyukai