Anda di halaman 1dari 7

CULTURAL STUDIES: BUDAYA POP DAN IDEOLOGI KEJAWEN DALAM WAYANG Suwardi

FBS Universitas Negeri Yogyakarta

Makalah Seminar Internasional Cultural Studies di Cine Clup, FBS UNY, 14-15 September 2005 A. Seni Taek Kucing dan Placebo Menapaki cultural studies Icwat budaya (Jawa) pop, cukup unik, scbab terkait dengan istilah renik yang cukup membingungkan. Dalam soal ini ada istilah yang perlu dijelaskan adalah budaya pop, budaya Jawa pop, dan pop Jawa. Istilah-istilah ini rnerniliki implikasi yang berbeda namun dapat saling terkalt satu sama lain. Budaya pop dipandang lebih luas dibanding budaya pop 1awa, dan pop Jawa adalah fenomena seni pop yang lebih sempi, lagi. Budaya pop, sering diartikan sebagai fenomena kultural yang dianggap rendah nilainya. Budaya pop biasanya dihubungkan dengan budaya sesaat yang ada muatan kepentingan tertentu. Jadi, sifat politis dalam budaya pop amat kental. Hal serada juga berimbas pada budaya Jawa pop. Budaya jawa pop pun digunakan untuk mengkotak wacana budaya Jawa yang kurang bernilai. Budaya Jaw pop ada yang berupa seni pop dan etika Jawa. Meskipun dalam aspek tertentu, buday: pop tersebut amat disukai, namun dari aspek estetis dan moral sering dianggap kurang berbobot. Sedangkan pop Jawa, sebenarnya wnjud dari salah satu seni pertunjukan vokal. Pop Jawa adalah jenis lagu seperti keroncong, yang disukai oleh peoggernar tertentu. Pop Jawa sering menjadi budaya pop Jawa. Budaya pop, budaya Jawa pop, seni pop, dan pop Jawa dapat terkait dengan berbagai grene sastra Jawa, terutama drama Java baik klasik maupun kontemporer. Genre drama Jawa yang sering menyuarakan hudaya pop amat banyak. Hampir seluruh karya drama yang bermaksud merangkui pendengar (penonton) untuk kepentingan sesaat, merupakan refleksi budaya Jawa pop. Apalagi dalam karya tersebut berupa drama klasik yang dikemas dalam bentuk kontemporer, akan memunculkan budaya pop yang unik. Drama Jawa memang cukup populer, tetapi tidak banyak yang tahu maksud lebih jauh dari penampilan budaya pop. Bahkan, ada beberapa pengan:at tidak tahu kalau yang sedang dihadapi adalah sebuah pembauran drama klasik dan pop. Di dalamnya juga penuh dergan pergulatan nilai dan ideologi kejawen, yang patut dikritisi. Bayangkan, ketika drama Jawa k!asik berupa pertunjukan wayang kulit harus diolah dengan Limbuk-Cangik, di situlah budaya pop masuk. Seakan-akan penggabungan budaya Jawa }aasik dan pop sulit terhindarkan untuk pemenuhan kcpentingan pasar. Memang harus diakui, bahwa dalam budaya pop demikian pun sebenarnya tetap menyiratkan ideologi kejawen. Di dalamnya tetap menyiratkan ide-ide baik ide luhur maupun murahan. Ideologi dalam budaya Jawa adalah paham spiritual yang amat wingit. Hanya orang yang benarbenar respek saja biasanya yang mamptr menyelami ideologi ash orang Jawa lewat budaya pop. Ideologi dalam layar.Q kuiit yang berbau budaya pop jelas membutuhkan pemahaman yang komprehensif. Oleh karena di dalamnya memuat aneka ragam muatan budaya. Aneka kehidupan yang bersifat ideologis kejawen, biasanya masuk ke dalam drama tersebut. Karena, para pengaranglpujangga sengaja atau tidak memang mernbungkus pesan yang terselubung melalui estetika khusus. Jika hal ini kurang terseleksi dan

terpahami, akibatnya banyak pihak selalu menghakimi bahwa budaya pop dalam wayang itu sebuah seni kacangan, kitch, dan taek kucing. Budaya pop dalam wayang tersebut anehnya sering diteror sekedar bingkisan berbau latah. Bahkan kalau meminjam istilah Strinati (2003:9) karya itu hanya placebo (pemanis bibir) moralitas masyarakat. Silakan saja berkomentar terhadap buah karya bangsa ini. Namun, disadari atau tidak sebenarnya tampilan wayang kulit berbudaya pop jelas tidak bisa dipandang seremeh itu. Siapa tahu cipta budaya pop itu merupakan karya estetis luar biasa. Sebab, biasanya hal-hal yang amat riskan, yang tidak harus diketahui secara umum, yang amat rahasia. lalu diuntai melal.ui estetika pop yang gelap. Atas dasar ini berarti memarami w ,ayang kulit yane terimbasi oudaya pop melalui sudut pandang cultural sttrdies hampir sulit diabaikan. Karena, interdisiplin dalam cipta uayang membutuhkan penafsiran yang kompleks. Lebih dari itu, hampir setiap performance wayang merupakan pemadatan makna yang terdiri dari sekian banyak aspek. Itulah sebabnya, meskipun dalam banyak hal Baker (2005:5) tetap merasa sulit menetapkan batas-batas cultural studies sebagai satu disiplin akademis yang koheren dan terpadu, tetapi ilmu ini tetap diperlukan untuk memahami sebuah fenomena budaya. Paling tidak melalui culture studies akan terungkap hal-hal yang tidak tampak dari gejala kultur `subyek' itu. Biarpun mungkin banyak pihak masih merasa belum mau rnenerima kehadiran cultural studies sebagai pisau analitik, pemahaman wayang kulit dari post disipliner tetap penting. Melalui kajian multidisiplin, budaya pop dan ideologi kejawen dalam wayang kulit akan mudah terurai, sehingga makna yang munokin meloncat-loncat mudah dicerna. B. Cultural Studies: Antara Studi Buciava dan Sastra Pemahaman tcntang cultural studies, diakui atau tidak adalah sebatas pernahaman budaya atas teks sastra. Kajian-kajian refleksi budaya dalam teks itu sering disejajarkan dengan cultural studies. Anggapan ini memang ada sedikit kekurangannya, karena realita cultural studies memang sulit lepas dari aspek budaya. Namun, cultural studies sebenarnya lebih luas dari sekedar studi budaya lewat teks. Memang sulit dipungkiri bahwa sastra adalah dokumen budaya. Di dalamnya juga menampilkan muttikultur bangsa. Karya sastra sebagai potret multi budaya, jelas membutlihkan aneka disiplin pula pemahamannya. ivtaka, lewat cultural studies, keraguan atas makna multi kultural dalam teks akan terjawab. Paling tidak, pengkaji akan menemukan berbagai hai yang sampai saat ini belum terpikirkan. Cultural studies selalu memandang kajiar. dari aspek multi dan post-disipliner. Di dalamnya terdapat aneka peran dan perangkat yang boleh berbeda satu sama lain. Bermain di bidang cultural studies berarti amat kompleks dalam mengamati `subjek'. Menurut Hall (Barker, 2005:6), yang diperbincangkan dalam cultural studies dapat berkaitan antara persoalan kekuasaan dan politik dengan kebutuhan akan perubahan politik. Dengan demikian, cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoritik senarai praktik politik budaya/sastra. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral, atau objektif, meiainkan posisionalitas, soal darimana berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa. Jadi pemahaman cultural studies terhadap sastra. amat lentur tergantung oleh, untuk, dan kapan harus dilakukan. Pengertian tersebut memberikan pemikiran kepada siapa saja bahwa cultural studies memang amat rumit. Mungkin sekali mudah diucapkan, namun dalam implementasi masih membutuhkar, perangkat yang tegas. Oleh karena, dalam tataran tertentu cultural studies selalu disejajarkan dengan studi-studi budaya atau sastra. Hal ini sekaligus member ikan perenungan bahwa cultural studies paradigma yang terinci.

Dalam mendefinisikan cultural studies sebagai permainan bahasa, terkandung implikasi bahwa terdapat perbedaan antara studi kebudayaan (the study of culture) dan cultural studies yang ditempatkan secara institusional. Meskipun studi kebudayaan telah dilakukan di berbagai disiplin akademis, namun studi tersebut belum ternyata cultural studies. Hal ini sekaligus memberikan peringatan bahwa cultural studies adalah wilayah yang khas. Cultural studies tidak sembarang kajian budaya dalam arti sempit. Dia adalah posisi kajian budaya dan sastra melalui interdisipiin. Budaya dan sastra bukanlah fenomena vang bcrntakna tunggal. Makna sering ditentukan pula oleh si pemberi makna. Aspek-aspek pragmatis juga sering bermain dalam kajian ini. Cultural studies merupakan suatu bangunan diskursif, yaitu jejak jejak pemikiran, citra, dan praktis, yang menyediakan cara-cara untuk berbicara. Cultural studies dibangun oleh suatu cara yang tertata disekeliling konsep-konsep kunci, ide, dan pokok perhatian. Dalam kaitan ini lebih tepat mengikuti definisi Bernett (Barker, 2005:7): (a) cultural studies adalah suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan selektif dapat diambil dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, (2) cultural studies terkait dengan semua praktik, institusi, dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai, kompetensi, rutinitas kehidupan, dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat. Pendapat ini memberikan garis tegas bahwa cultural studies merupakan kolaborasi pemahaman fenomena. Hal apa saja dapat dibangun lewat jalur kajian MI. Sebagai sebuah pisau tajam, cultural studies memiliki beberapa strategi pemaparan. Paparan hasil berkaitan dengan gaya penyuguhan penelitian sebuah teks (fenomena ). Dalam kaitan ini, sajian masiUh membutuhkan dapat dilakukan melalui model: (a) etnografi, yang dikaitkan dengan pendekatan kultural dan menekankan rada pengalaman nyata, (b) tekstual, yang cenderung secara semiotik, paskastrukturalisme, dan dekonstruksi Derriean, (c) resepsi, yang akar teorinya bersifat eklektik (Baker, 2005:29). Dari tiga gaya analisis ini, sebenarnya cocok untuk kajian drama jawa gelap dan budaya Jawa pop. Namun, manurut hemat saya jika waktu cukup mendesak, kajian teks dipandang lebih tepat untuk drama gelap, dibanding dua sajian yang lain. Sajian dari aspek etnografi lebih cocok untuk budaya pop. Sedangkan sajian resepsi cocok untuk keduanya, jika memiliki waktu yang relatif lama. C. Wayang Kulit sebagai Budaya Pop Kehadiran budaya iclasik yang dipersandingkan dengan budaya pop memang sering memunculkan tawar-menawar nilai. Keduanya saling isi-mengisi dan memoles suasana. Hat ini akan nampak ketika kita menikmati pertunjukan wayang kulit, di sana ada tawaran nilai budaya klasik yang seakan-akan sulit berubah, sementara budaya pop harus masuk di dalamnya. Tarik-menarik antara budaya Jawa klasik dan pop akan selalu ada manakala penikmat wayang kulit juga berbeda. Merebaknya media massa, merupakan arena bermain budaya pop. Hidup subur budaya pop ditopang oleh media massa yang canggih dan oencarnva arus komunikaksi. Situasi ini telah memoles komersialisasi seni dan budaya. Akibatnya bukan tidak mungkin wayang Wit sebagai cipta sastra dan sent harus terbawa arus tersebut menuju paoa suatu titik nol yang belum jelas. Yang lebih rumit, gerakan budaya pop dalam wayang tersebut mau tidak mau harus perang melawan ideologi kejawen yang luhur. Akibat dari benturan budaya lama (klasik) dan baru itu, budaya pop muncul adany3 subordinasi budaya yang tak jelas parameternya. Subordinasi bukan sekedar persoalan pemaksaan (coercion) melainkanjuga soal konsensus. Budaya pop, yang telah banyak menyita perhatian cultural studies, dikatakan sebagai landasan tereapai atau tidaknya konsensus. Sebagai sebuah jalan untuk menjelaskan kesalingterkaitan antara kekuasaan dan tujuan, kedua konsep yang saling terkait tersebut terus-menerus

digunakan dalam teks-teks awal cultural studies, meskipun keduanya tidak begitu berakhir-akhir ini, yakni ideologi dan hegemoni. Pada masyarakat barat, menurut Williams (Strinati, 2003:7) memang masih sering mengambil jarak antara budaya populer dan budaya "tinggi" atau "pengetahuan tinggi". Pendapat ini juga sering terjadi dalam masyarakat Jawa, ketika memahami fenomena wayang kulit. Kaum tua biasanya menghendaki wayang kulit tampil "bersih" sebagai perisai budaya luhur, sementara kaum muda telah berpikir konsumtif budaya. Sedangkan anak muda sebaliknya, menginginkan tampilan seni pop yang modernis. Kaum tua seperti menghendaki wayang kulit tetap sebagai agent of art, anak muda ke arah agent of change. Bagi anak muda yang penting wayang itu enak ditonton, meiegakan, dan nikmat. Oleh karena itu konsep komersial sering berbaur dalam budaya pop. Populer umumnya dipandang dari sudut pandang orang dan bukannya dari mereka yang mencari persetujuan atau kekuasaan atas mereka. Budaya populer bukan diidentifika;i oleh seniman , sasirawan/budayawan tapi oleh publik yang memifiki selera berbeda. Akibatnya wayang kulit popuier lebih mengejar pada hiburan, asal disukai banyak orang. Dengan kata lain, pengertian budaya populer dalam wavang sebagai kebudayaan yang sebenarnya dibuat oleh orangorang untuk kepentingan mereka sendiri yang sama sekali berbeda dengan sernua pengertian di atas. Perkemban.gan t;agasan budaya nopuler dalam wayang menurut hemat saya selalu terkait dengan perselisihan atas makna dan interpretasi yang mendahului menjadi tampak menonjol dalam perdebatan soal budaya massa. Bahkan di dalamnya aspek-aspek psikologi massa, an -tat meneniukan wujud budaya pop itu sendiri. Kontak demikian sejalan dengan Story (2003:10) bahwa difinisi budaya pop harus pula mencakup dimensi kuantitatif. Pop-nya budaya popular menjadi sebuah prasyarat. Natnun, ada hal lain yang di dalam dirinya muatan jumlah tidak lagi cukup memadai untuk mendefinisikan budaya pop. Pengakuan MI mencakup juga pengakuan resmi akan istilah "budaya tinggi" terutama pada penjualan buku, rekaman dan juga rating audiens TV yang dir.yatakan sebagai bvrdaya "pop." Perbedaan material semacam ini mungkin saja terjadi dalam wayang kulit. Ketika ki dalang menampilkan pertunjukan dengan segala alat mewah, mungkin akan dinyatakan sebagai "budaya tinggi" oleh kalangan tertentu. Sementara, dalang yang bertahan pada pakem dan enggan berkolaborasi, jarang membawa penyanyi yang hebat, dipandang "rendah". Pendek kata, budaya pop dalam wayang kulit menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak meinenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya pop didefinisikan sebagai budaya "substandar". Yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teics atau praktik budavanya. Dalam pengertian itu, budaya pop dalam wayang kulit memang merniliki berbagai arah dan sasaran. Arah dan sasaran itu akan berkombinasi dengan kepentingan, antara lain: (a) banyak disukai orang, (b) jenis kerja rendahan, (c) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, (d) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Jadi setujua atau tidak budaya pop wayang kulit memang bergerak dari aspek pragmatik. Asalkan pertunjukan itu dapat dinikmati, meskipun jauh dari rasa sastra, estetika, dan nilai luiiur dipandang tetap berharga. D. Idiologi Kejawen: Hegemoni dan Penyaring Budaya Pop ldeologi berada pada tataran falsafah hidup. Begitu pula ideologi kejawen, merupakan pilar hidup spiritual orang Jawa. Ideologi itu menjadi paham kebatinan. Maka orang Jawa yang memiliki ideologi jelas akan menganut paham dunia batin yang tegas pula. Paham batin itu akan dianut dan

mewarnai dalam segala aspek kehidupan. Ideologi ini seringkali (pernah) menjadi hegemoni dalam wayang kulit. Namun, ketika cabang komunikasi telah meretas sekat budaya ideologi itu juga mencair. Definisi ideologi kejawen memang amat luas. Seluruh hal dapat menjadi ideologi, manakala berkaitan dengan gagasan sentral masyarakat Juwa. Untuk mempevjelas pandangan ideologi, ada baiknya menyimak pernyataan Cavallaro (2005:136-137) bahwa ide adalah: sekumpulan ide, cita-cita, nilai atau kepercayaan; Filsafat, Agama, Nilai-nilai palsu yang digunakan untuk mengendalikan seseorang, seperangkat kebiasaan atau ritual, suatu media tempat sebuah budaya memhentuk dunianya, ide-ide yang diunggulkan oleh kelas sosial, gender atau kelompok ras tertentu, nilai-nilai yang melanggengkan struktur kekuasaan dominan, suatu proses di mana sebuah budaya memproduksi makna dan peran-peran bagi subjek-subjeknya, gabungan antara budaya dan bahasa, perwujudan konstruksi budaya sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Belajar dari pendapat demikian, apabila mencermati ideologi kejawen dalam pertunjukan wayang kulit menjadi semakin terang. Ideologi dalam wayang kulit yang telah dipoles dengan budaya pop pun dapat dipahami dalam kaitannya dengan nilai dan konstruksi budaya Jawa yang melingkupinya. Di samping itu, pemahaman atas ideologi kejawen juga perlu memanfaatkan disiplin lain, termasuk budaya politik. Ideologi sering terciprati masalah-masalah politik. Politik dalam ideologi kejawen wayang kulit erat kaitannya dengan hegemoni seni itu sendiri. Jadi, pemahaman atas ideologi akan lengkap apabila memanfaatkan cultural studies secara komprehensif. Wayang kulit adalah bangunan estetis klasik. Oleh karena itu, pada waktu dikemas dengan budaya pop, estetika sering berbaur. Pembauran estetika klasik dan pop itu banyak berkaitan dengan tuntutan pengguna. Yang lebih rumit lagi, menurut Eagleton (Callavaro, 2004:138) estetika berulangulang dibelenggu oleh keharusan-keharu sail yang bersifat ideologis. Estetika telah diganakan untuk menunjukkan bahwa seseorang dapat diajak bersama-sama menuju sebuah keluarga bahagia sebuah dunia berbagi perasaan yang harmonis untuk menghapuskan kenyataan sebenarnya dari pasar (marketplace) dan ketiadaan 'konsensus ideologi' dalam 'hubungan-hubungan sosial yang sungguhsungguh'. Berdasarkan pendapat tersebut, berarti ideologi kejawen dalam wayang kulit akan berdampingan dcngan estetika. Sebaliknya, estetika wayang kulit juga mempengaruhi hadirnya ideologi. Dengan kata lain, dorongan-dorongan ide seniman kreatif wayang kulit dapat saja dipengaruhi oleh penonton. Penonton akan memiliki hegemoni penuh yang dapat mengubah ideologi. Ideologi kejawen yang luhur, suatu saat dapat bergeser atas desakan pasar. Maka, tidak mengherankan akalau ada wayang kulit vang semata-mata menuruti pasar, tetapi tetap memiideotogi tertentu. Sebaliknya ada pula wayang kulit yang terdesak oleh hegemoni penonton sehingga kehilangan ideologi murni. Pergelaran wavang kulit adalah seni yang kompleks. Seni apa saja dapat masuk di dalamnya, seperti seni pop, drama, krawitan, lawak, dan lain-lain. Munculnya aneka ragam seni itu pada awalnya memang masih sederhana, belum melibatkan kolaborasi yang luas. Namun, akibat tuntutan jaman, berbagai hai sering masuk dalam pertunjukan wayang kulit. Anehnya, semakin banyak seni yang diadopsi dalam wayang, oleh penonton dianggap sebagai pertunjukan yang unik. Hal demikian selalu membuktikan bahwa wayang kulit selalu berbubah-ubah. Pertunjukan wayang kulit seakan-akan menerima hegemoni (meminjam istilah Gramci) penonton. Meskipun penonton tidak secara terang-terangan meminta kepada ki dalang hnrus membuat sanggit dan gaya perttrnjukan yang berbeda, hegemoni itu tetap ada. Hegemoni wayant - -, seperti dikuasai oleh publik. Publik selalu dibayangkan sebagai massa yang menginginkan perubahan, akibatnya percampuran antara ideologi klasik dan ideologi kontemporer masuk dl dalamnya.

Konsep pertunjukan wayang Wit yang dibayangi oleh hegemoni publik (budaya massa) adalah aset politik budaya. Politik budaya menghendaki agar muncul berbagai versi, yang mencuat dari versi wayang pakem (baku). Pergeseran pertunjukan wayang kulit, dari semalam suntuk ke pakeliran padat, dari pakem ke carangan, dari klasik ke kontemporer, dari cerita murni ke ragam baru, dari aspek krawitan ke musik pup, dan seterusnya adalah sebuah prestasi jarnan. Kekuasaan publik untuk memobilisir, seakan-akan ada legititnasi dan akal sehat dalam wayang kulit. Menurut Waluyo (2000:18-19) profil penonton, yang terdiri dari golongan anak-anak, mudamudi, dan dewasa akan menentukan gelombang kolaborasi. Ragam seni yang dituntut oleh masingmasing golongan sering berbeda. Padahal tidak jarang dalam sebuah pertunjukan wayang kulit ketiga golongan publik itu berada dalam satu tempat. Heteroginitas sering menyulitkan pula bagi seorang dalang untuk mempertontonkan gayanya. Profil penonton anak-anak, biasanya gemar pada adegan garagara yang penuh lawakan. Usia muda, berkembang ke arah anta -wecana (percakapan) romantik, sabetan (bermain wayang), dan banyol (lawakan). Adapun golongan tua, banyak menantikan aspek ajaran (wejangan) hidup dan sedikit banyol. Berbagai keinginan publik itu sering menciptakan hegemoni tersendiri bagi pertunjukan wayang kulit.
Belum lag i ( co mmo n s e nse )

memang sulit terhindarkan

ditambah dengan keinginan penanggap (duwe gawe) yang mencocokan

dengan keadaan ekonomi dari ritus kegiatan. Setiap aktivitas pertunjukan biasanya diselaraskan dengan agenda ritus tertentu. Seluruh agenda bersifat ritual pun sering membingkai pertunjukan, sehingga memungkinkan hadirnya budaya wayang Mask pop, kontemporer, dan sebagainya. Buktinya, bila kita menyaksikan kiprah Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Hadi Sugito, Ki Enthus, Ki Warseno Sleng, Ki Mantep Sudarsono, Ki Anom Suroto, Ki Seno Nugroho, balk melalui TV (VCD) maupun langsung sering memiliki dinamika yang berbeda-beda. Masing-masing dalang terhegemoni oleh ideologi kejawen dan gerakan budaya pop yang diprakarsai publik. Akibatnya, wayang yangbenar-benar pakem pun amat jarang didapatkan. Wayang memang milik publik, sehingga konteks menuruti penonton pun sulit terhindarkan. Bahkan menurut pengamatan Groenendael (1987:221) dalang pun sulit melepaskan dirt dari aspek politik. Implikasi dari gagasan ini, tuntutan politik sering mempergaruhi budaya pop pewayangan. Bayangkan, ketika orde baru bercokol, jeias sekali atas permintaan mantan presiden Soeharto, harus menggelar lakon Semar Mbabar Jati Diri merupakan wujud hegemoni publik. Akhirnya, terserah saja untuk menerjemahkan hegemoni dan ideologi kejawen dalam wayang kulit. Apakah hal menjadi sumber keberuntungan atau sumber petaka, tergantung cara pandangnya. Tegasnya, Faruk HT (2001:131) sebagai pemerhati hudaya telah mengisyaratkan bahwa jika ideologi dipahami sebagai mobilisasi makna oleh kekuatan dominan, seni sastra telah sejak awal bersifat antiideologis. Itulah sebabnya seluruh hegemoni budaya pop dalam wayang akan iserpulang pada daya penyaring makna. Manakala makna ideologi kejawen itu dipahami sebagai konstruksi yang kental, tidak pernah diubah, tentu wayang kulit menjadi kurang laku jual. Sementara itu, yang mempertahankan budaya pop akan bertahan pada konsumen. Penembang wayang dan konsumen akan selalu bertaruh dan rnempertahankan ideologi masing-masing. Rentangan semacam ini dalam wawasan cultural studies dapat dikaji dari sisi etnografi maupun resepsi. Daftar Pustaka Barker; Chris. 2005. Culiural Studies. Yogyakarta: Kreasi VVacana. Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory. Yogyakarta: Niagara.

Faruk HT. 2001. "Sastra Mutakhir dan Ideologi" dalam Beyond Imagination. Yogyakarta: Gama Media. Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Dalang Di Balik Wayarrg. Jakarta: Grafiti. Story, John.2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam. Strinati, Domisic.1995. An Introduction to theories of Popular Culture. London dan New York: Koutledge. Waluyo, Kanti. 2000. Dunia Wayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai