Anda di halaman 1dari 26

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar 1. Pengertian Post partum disebut dengan masa nifas, ataupun puerporium adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil, lama nifas ini yaitu 6-8 minggu (Mochtar, 1998). Sectio caesarea adalah cara melahirkan janin dengan sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau Sectio caesarea adalah suatu histerectomia untuk mengeluarkan janin dari dalam rahim. (Rustam mohtar, 1992). Pre-eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda

hipertensi,edema, dan proteinuri yang timbul karena kehamilan, penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ketiga kehamilan. (Wiknjosastro, 2002) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa post partum dengan Sectio caesarea indikasi pre-eklamsia adalah masa nifas dimulai dimana persalinan dilakukan dengan tindakan pembedahan untuk

mengeluarkan janin karena pre-eklamsia yang ditandai dengan hipertensi, proteinnuria, dan edema. 2. Klasifikasi Sectio Caesarea

A. Sectio Caesarea Transperitonealis (SCTP) 1. Sectio Caesarea klasik Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Kelebihan : a. mengeluarkan janin lebih cepat b. tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik. c. sayatan biasa diperpanjang proksimal atau distal Kerugian: a. Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang baik. b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan. 2. Sectio Caesarea iskemia rafunda Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim (Low servikal Transversal) kira-kira 10 cm Segmen bawah insisi melintang

Keuntungan : a. Otot tidak dipotong tetapi dipisah kesamping, cara ini untuk melindungi peradangan. b. Insisi jarang terjadi sampai plasenta

c. Kepala janin biasanya berada dibawah insisi dan mudah di ekstrasi d. Lapisan otot yang tipis dan segmen bawah rahim lebih mudah dirapatkan kembali dibanding segmen atas yang tebal. Kerugian : a. Jika insisi terlampau jauh kelateral, seperti terjadi pada kasus yang bayinya terlalu Besar maka pembuluh darah uterus dapat terobek, sehingga menimbulkan peradangan hebat. b. Prosedur ini tidak dianjurkan kalau terdapat abnormalitas pada segmen bawah, seperti fibroid atau farises yang luas. c. Pembedahan selanjutnnya atau perekatan yang padat

menghalangi pencapaian segmen bawah akan mempersulit operasi. d. Kalau segman bawah belum terbentuk dengan baik pembedahan melintang sukar dikerjakan . ]

e. Kadang-kadang vesika urinaria melekat pada jaringan cikatrik yang terjadi sebelumnya sehingga vesika urinaria dapat terluka. Segmen bawah insisi membujur

Keuntungan : Kalau perlu luka insisi bisa diperlebar keatas, pelebaran ini diperlukan jika bayinya besar, pembentukan segmen jelek, ada mal

posisi janin seperti letak lintang atau kalau ada anomaly janin seperti kehamilan kembar. Kerugian : Perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak karena terpotongnya otot juga sering luka insisi tanpa dikehendaki meluas segman atas, sehingga nilai penutupan retroperitoneal yang lengkap akan hilang. B. Sectio Caesarea Extraperitoneal (SCEP) Insisi dilakukan untuk melepaskan peritoneum dari kandung kemih dan dipisahkan keatas, sedang pada segmen bawah uterus diadakan insisi melintang untuk melahirkan bayi. Jenis operasi dilakukan pada infeksi intra partum yang berat dan mencegah terjadinya peritonitis. (Wiknjosastro, 1999) 3. Indikasi Sectio Caesarea A. Indikasi ibu 1. Plasenta previa sentralis atau lateralis posterior 2. Panggul sempit 3. Disproposisi sefalo pelvic, yaitu ketidaklseimbangan antara ukuran kepala dan panggul. 4. Rupture uteri 5. Partus lama 6. Distosia cervik

7. Pre-eklamsia dan hipertensi a. Etiologi Etiologi tidak diketahui tetapi dapat disebabkan karena peningkatan vaso konstriksi kerja prostaglandin abnormal, atau faktor imunologis (Tucker, 1998) Banyak teori yang berusaha menjelaskan tentang

penyebab penyakit ini, meskipun belum ada jawaban yang memuaskan, tetapi ada beberapa teori yang dapat diterima menerangkan hal-hal berikut : 1. Bertambahnya frekuensi pada primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa. 2. Bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya umur

kehamilan >38 minggu 3. Terjadinya perbaikan keadan penderita dengan kematian janin dalam uterus. 4. Timbulnya hipertensi, edema, proteinnuria, sampai kejang dan koma. (Wiknjosastro, 2002)

b. Klasifikasi dan Tanda Gejala 1). Pre-eklamsia sedang Tanda dan gejala:

1. Peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg dan diastolic 15 mmHg. 2. Proteinnuria 2 3. Penambahan berat badan selama trimester kedua lebih dari 3 pound (1,3 kg) setiap minggu. 2). Pre-eklamsia berat Tanda dan gejala: 1. Tekanan darah 160/110 mmHg 2. Peningkatan kadar enzim hati atau icterus. 3. Trombosit < 100.000/mm3 4. Oliguria , 400 ml/ > dalam 24 jam 5. Proteinnuria >3 gram/liter 6. Nyeri epigasrtium 7. Skotoma dan gangguan visus lain atau nyeri frontal yang berat 8. Edema pulmonal 9. Peningkatan nitrogen, urea darah, asam urat dan serum creatinin. 10. Koma (Hamilton,1995;Wiknjosastro, 2002)

c.

Manifestasi klinis

Tekanan darah tinggi, edema meluas meliputi muka, tangan dan daerah lambo sacral, protein lebih dari 5 gram/liter, sakit kepala, penglihatan kabur, mual muntah, perasaan nyeri ulu hati, oliguria kurang dari 400 ml/jam, rahim kecil tidak sesuai dengan umur kehamilan. (Depkes RI,1996) Biasanya tanda-tanda pre-eklamsia timbul dalam urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi dan akhirnya proteinnuria. Pada pre-eklamsia berat ditemukan sakit kepala, skotoma diplopia, penglihatan kabur, nyeri daerah epigastrium, mual dan muntah. 1997) (Wiknjosastro,

d. Komplikasi Jika hipertensi sulit terkontrol, komplikasi pada jantung dan paru-paru bisa saja timbul. Kolaps pada sirkulasi dan shock yang tiba-tiba. Infuse cairan intravenous adalah penyebab kelebihan cairan, kecepatan respirasi yang meningkat rendahnya tekanan darah, paru-paru yang rusak menyebabkan terhambatnya sirkulasi resiko terbesar edema paru-paru muncul 15 jam setelah kelahiran (Boback.j ,2000). e. Pemeriksaan Penunjang Urinalisa yaitu protein, total protein serum dan albumin biasanya normal atau menurun, hematokrit meningkat, uric acid

meningkat, BUN dan kreatinin meningkat pada pre-eklamsia berat, bilirubin meningkat pada pre-eklamsia berat, differensial menurun pada pre-eklamsia berat (Melson,1994) f. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya pre-eklamsia dapat dilakukan nasehat yang berkaitan dengan 1). Diet makanan Makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup

vitamin, dan rendah lemak. Kurangi garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna. 2). Cukup istirahat Lebih banyak duduk atau berbaring kearah punggung janin sehingga aliran darah keplasenta tidak mengalami

gangguan. 3). Pengawasan antenatal Bila terjadi perubahan perasan gerak janin dalam rahim segera datang ketempat pemeriksaan. Keadan yang memerlukan pemeriksaan adalah: Uji kemungkinan pre-eklamsia dengan pemeriksaan tekanan darah atau kenaikkanya, pemeriksaan tingi fundus uteri, pemeriksaan kenaikan berat badan, protein dalam urine, kalau

mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum dan pemeriksaan retina mata. Penilaian kondisi janin dengan pemantauan tinggi fundus uteri, peneriksaan janin meliputi gerakan janin, denyut jantung janin, pemantauan air ketuban, dan usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi. g. Penatalaksanaan 1). Untuk pre-eklamsia ringan Istirahat baik fisik maupun psikis. Jika dianggap perlu dengan istirahat baring, karena dapat menurunkan gejala dan tekanan darah. Pengaturan diet, rendah garam tinggi protein, zat besi dan vitamin Pemberian obat diuretic.

2). Untuk pre-eklamsia berat Pada dasarnya penanganan pre-eklmpsia berat untuk

mencegah timbulnya eklampsia, dan menyelamatkan janin. Dalam waktu perawatan diusahakan untuk mencegah segala rangsangan pada penderita baik dari luar maupum dari dalam. Bila kehamilan lebih dari36 minggu kadang-kadang diadakan persalinan anjuran atau sectio caesarea untuk menyelamatkan janin dan mengakhiri pereklapsia. (Depkesh RI, 1996)

B. Indikasi janin 1. Letak sungsang 2. Letak lintang 3. Presentasi dahi muka Presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil. 4. Gamely

4. Kontra Indikasi Pada Sectio caesarea Dalam melakukan operasi sectio caesarea perlu diperhatikan hal-hal yang menyebabkan operasi ini tidak boleh dilakukan antara lain: a. Janin mati atau kemungkinan hidup kecil sehingga tidak ada alasan dilakukan operasi. b. Janin lahir dari ibu yang mengalami general infeksi dan fasilitas dilakukan sectio Ekstraperitoneal tak tersedia. c. Tindakan dilakuklan oleh dokter yang kurang pengalaman dan tenaga medis yang kurang memadai.

5. Komplikasi Sectio Caesarea Beberapa komplikasi yang kemungkinan muncul pada ibu post partum dengan sectio caesarea adalah : A. Infeksi puerpurial Infeksi terjadi apabila sebelum pembedahan telah di temukan gejala-gejala infeksi intra partum. Infeksi dikatakan ringan apabila

hanya terjadi peningkatan suhu beberapa hari saja, infeksi sedang apabila suhu tinggi disertai dehidrasi, perut kembung, sedangkan dikatakan infeksi berat bila terdapat tanda infeksi sedang disertai peritonitis, sepsis dan ileusparalitik ; biasanya infeksi ditemukan pada kasus seperti partus yang terlantar dan ketuban pecah dini. B. Perdarahan Padasectio caesarea banyak pembuluh darah yang belum terputus dan terbuka, atonia uteri serta pelepasan plassenta yang lebih banyak mengeluarkan darah dibandingkan dengan persalinan normal. C. Emboli pulmonal Emboli terjadi karena pada pasien sectio caesarea dilakukan insisi pada abdomen dan mobillisasi yang kurang jika dibandingkan dengan kelahiran melalui vagina. D. Luka pada kandung kemih E. Kemungkinan rupture uteri pada kehamilan berikutnya.

6. Fase-fase Penyembuhan luka post Operasi A. fase-1 Penyembuhan luka berlangsung selama 3 hari, setelah

pembedahan. Pada fase ini terjadi penumpukan benang fibrin dan membentuk gumpalan yang mengisi luka dan pembuluh darah yang terputus, leukosit mulai mencerna bakteri dan jaringan yang rusak. B. fase-2

Berlangsung 3-14 hari stelah pembedahan, leukosit semakin berkurang dan luka terisi kolagen yang kemudian menunjang luka dengan baik pada hari ke-6 dan ke-7 serta jahitan boleh diangkat. C. Fase-3 Berlangsung pada minggu kedua sampai ke-6, kolagen terus menumpuk dan menekan pembuluh darah, sehingga suplai darah kedaerah luka mulai berkurang. D. Fase-4 Berlangsung beberapa bulan setelah pembedahan, kolagen tetap ditimbun dan luka semakin kecil/mengecil, tegang serta timbul rasa gatal disekitar luka.

7. Adaptasi Fisiologi Ibu Post Partum Pada ibu post partum akan mengalami beberapa perubahan fisiologi yang umumnya kembali setelah 6 minggu, seperti : a. Perubahan pada korpus uteri Pada pemulihan uterus lebih dikenal dengan involusia uteri, dimana uterus kembali pada ukuran dan kondisi normal setelah kelahiran bayi, 12 jam setelah persalinan Tinggi Fundus Uteri (TFU) sekitar 1 cm di atas umbiliaus. Pada hari ke-6 TFU sekitar 2 jari di bawah umbilikus dan uterus tak teraba lagi pada abdomen setelah hari ke-9 setelah persalinan. Berat uterus pada minggu ke1 persalinan adalah 500 gram,

pada minggu kedua sekitar 350 gram, setelah minggu ke-6 berat uterus hanya seberat 50-60 gram.

b. Perubahan pada servik Bagian atas servik sampai segmen bawah uterus sedikit edema dan mengalami penipisan. Pada ekstero servik terasa lembut dan sedikit memar bahkan kadang tampak terkoyak yang menungkinkan terjadinya infeksi. c. Tempat pelepasan plasenta Setelah persalinan terjadi vasokontriksi vaskuler dan diikuti pertumbuhan endometrium untuk merncegah scar dan kembali sempurna pada akhir minggu ke-3 persalinan. Dari bekas pelepasan plasenta akan keluar lochea. Macam-macam Lochea : 1. Lochea rubra Lochea awal setelah persalinan berwarna merah terang, atau coklat kemerah-merahan Lochea ini berisi darah, desidua, robekan trolostik, bakteri. 2. Lochea serosa Berwarna coklat atau pink yang timbul setelah hari ke-3 atau hari ke-4 setelah pcrsalinan. Lochea ini berisi sel darah yang sudah tua, serum, leukosit dan jaringan yang mengalami regenerasi. 3. Lochea alba

Lochea ini muncul pada hari ke-10 setelah persailinan dan keluar selama dua sampai enam minggu setelah persalimm, berwama kuning atau putih. d. Vagina dan Perineum Terjadi perpisahan mukosa dan tidak ditemukan adanya

penonjolan rugae. Rugae atau tonjolan pada vagina akan kembali setelah 4 minggu persalinan, sedangkan vagina dan setelah 6-8 minggu. e. Payudara Sekresi dan ekskresi kolostrum berlangsung pada hari ke-2 dan ke-3 setelah persalinan. Payudara menjadi penuh tegang, dan kadang nyeri, tetapi setelah proses laktasi maka payudara akan terasa lebih nyaman. f. Sistem Kardiovaskuler Pada post operasi volume darah cenderung mengalami penurunan dan kadang diikuti peningkatan suhu selama 24 jam pertama. Pada 6 sampai 8 jam pertama biasanya terjadi bradikardi dan perubahan pola nafas akibat efek anestesi. g. Sistem Urinaria Kadang kemih merupakan hasil filtrasi ginjal terjadi penekanan oleh uterus yang membesar selama kehamilan dan akan kembali normal setelah beberapa bulan, jika pasien terpasang kateter kemungkinan bisa berisiko terjadinya infeksi saluran kemih. h. Sistem Gastrointestinal persalinan, akan pulih

Anestesi general dalam pambedahan berakibat pada penurunan kerja tonus otot saluran pencernaan, sehingga motilitas makanan lebih lama berada disaluran pencernaan akibat pembesaran rahim, pada umumnya terjadi gangguan nutrisi pada 24 jam pertama setelah persalinan.

8. Adaptasi Psikologi Ibu Post Partum Menurut Rubin ada tiga fase adaptasi psikologi yang dialami oleh ibu post partum yang memerlukan adaptasi secara bertahap. Adapun fase adaptasi psikologi tersebut adalah : a. Fase Taking In (dependent) Terjadi pada jam pertama persalinan dan berlangsung sampai hari ke-2 persalinan. Pada tahap ini ibu mengalami ketergantungan pada orang lain termasuk dalam merawat bayinya, lebih berfokus pada dirinya, pasif dan memerlukan istirahat serta makanan yang adekuat. b. Fase Taking Hold (dependent-Independent) Terjadi pada hari ke-3 setelah perrsalinan, ibu mulai berfokus pada bayi dan perawatan dirinya. Pada fase ini merupakan tahap yang tepat untuk melakukan penyuluhan. c. Fase Letting Go (Independent) Tahap ini dimulai pada hari terakhir minggu pertama persalinan. Pada fase ini ibu dan keluarga memulai penyasuaian terhadup kehadiran anggota keluarga yang baru serta peran yang baru.

B. Konsep Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian data dasar klien a. Aktivitas/istirahat Kelemahan, keletihan, tidak berenergi, mengantuk akibat pengaruh anestesi. b. Sirkulasi

Tekanan darah (TD) bervariasi, mungkin lebih rendah pada respon terhadap anestesi, atau meningkatkan pada respons terhadap pemberian oksitosin atau hipertensi karena kehamilan (HKK). Edema, bila ada, mungkin dependen (misal, ditemukan pada ektrimitras bawah, atau dapat meliputi ekstremitas atas dan wajah, atau mungkin umum. Kehilangan darah pada tindakan secsio caesaria mencapai 600-800 ml. Juga pada darah pervaginam (darah nifas) yaitu lochea. c. Integritas Ego Realisasi emosional bervariasi dan dapat berubah-ubah. Misal : eksitasi atau perilaku menunjukkan kurang kedekatan, tidakberminat (kelelahan) atau kecewa. Dapat mengekspresikan masalah atau meminta maaf untuk perilaku intrapartum atau kehilangan control, dapat mengekspresikan rasa takut mengenai kondisi bayi baru lahir dan perhatian segera pada neonatal. Dapat menunjukan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. d. Nyeri/ketidaknyamanan Distosia, nyeri tekan uterus, trauma jaringan, luka bekas operasi, kandung kemih penuh. e. Makanan /cairan Dapat mengeluh lapar, haus, mual, nyeri pada epigastrik (pengaruh anesiesi), cairan meningkat (penyebab edema). f. Eliminasi

Hemoroid sering ada dan menonjol. Kandung kemih mungkin teraba di atas simpisis pubis, atau kateter urinarius mungkin dipasang. Diuresis dapat terjadi bila tekanan bagian presentasi menghambat aliran urinarius, dan atau cairan IV diberikan selama persalinan dan kelahiran. g. Neurosensori Sensori dan gerakan ekstremitas bawah menurun pada adanya anestesia spinal atau analgesia kaudal/epidural. Hiperrefleksia mungkin ada (menunjukkan terjadinya atau menetapnya hipertensi, khuusnya pada diabetik, remaja, atau klien primipara).

h. Keamanan Penyakit hubungan seksual aktif (misal : herpes). Inkomptabilitas Rh yang berat. adanya komplikasi ibu seperti hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit ginjal atau jantung, atau infeksi asenden : trauma abdomen prenatal, distressi janin, presentasi bokong dengan versi sefalik eksternal yang tidak berhasil. i. Seksualitas Kehamilan multipel atau gestasi. Melahirkan sesaria sebelumnya, bedah uterus atau serviks sebelumnya. (gerakan bayi mungkin berkurang). Tumor/neoplasma yang menghambat pelvis/jalan lahir. j. Penyuluhan / pembelajaran

Kelahiran secsio caesaria dapat di rencanakan atau tidak direncanakan, mempengaruhi kesiapan dan pemahaman klien terhadap prosedur. Pada kasus Pre-eklamsi, remaja (di bawah usia 15 tahun) dan primigravida, lansia (usia 35 tahun atau lebih) beresiko tinggi. Riwayat keluarga hipertensi karena keharnilan (HKK). (Patricia A. Pottern, 1996)

2. Masalah keperawatan yang muncul a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan sekunder akibat pembedahan (Doenges, 1999). b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi pembedahan dan nyeri (Doenges, 1999). c. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan tubuh terhadap bakteri sekunder akibat pembedahan (Carpenito, 2000). d. Risiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dalam pembedahan (Doenges, 1999). e. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin (Doenges, 1999).

f. Tidak efektifnya laktasi berhubungan dengan ketidak mampuan bayi untuk menghisap secara adekuat terhadap flat niple (Carpenito, 2000). g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan pasca persalinan (Doenges, 2000).

3. Diagnosa keperawatan, Intervensi (Rasional) Dx. I Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan sekunder akibat pembedahan (Doenges, 1999). a. Tujuan : nyeri berkurang. b. Kriteria hasil : 1. Klien merasa nyeri berkurang/hilang, 2. Klien dapat beristirahat dengan tenang c. Intervensi 1. Kaji skala nyeri dan karakteristik (lokasi, karakteristik termasuk kualitasnya, frekuensi, intensitasnya). 2. Monitor tanda-tanda vital 3. Lakukan reposisi sesuai petunjuk, misalnya semi-fowler/ miring. 4. Dorong penggunaan tehnik relaksasi, misal latihan nafas dalam 5. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang. 6. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

Dx. 2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi pembedahan dan nyeri (Doenges, 1999). a. Tujuan : klien dapat meningkatkan dan melakukan aktivitas sesuai kemampuan tanpa disertai nyeri. b. Kriteria hasil : klien dapat mengidentifikan faktor-faktor yang menurunkan toleransi aktivitas. c. Intervensi 1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas 2. Catat tipe anestesi yang diberikan pada saat intra.partus pada waktu klien sadar 3. Anjurkan klien untuk istirahat 4. Bantu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari sesuai kebutuhan 5. Tingkatkan aktivitas secara bertahap

Dx..3 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan tubuh terhadap bakteri sekunder pembedahan (Carpenito, 2000). a. Tujuan : tidak terjadi infeksi. b. Kriteria hasil : 1) Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, color, dolor, tumor dan fungsiolaesa). 2) Tanda-tanda vital normal terutama suhu 37C

c. lntervensi: 1) Monitor tanda-tanda vital 2) Kaji luka pada abdomen dan balutan 3) Menjaga kebersihan sekitar luka dan lingkungan Pasien, tehnik rawat luka dengan antiseptik 4) Catat/pantau kadar Hb dan Ht 5) Kolaborasi pemberian antibiotik

Dx. 4 Risiko detisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah dalam pembedahan Doenges, 1999). a. Tujuan : tidak terjadi defisit volume cairan meminimalkan defisit volume cairan. b. Kriteria hasil : membran mukosa lembab, kulit tidak kering Hb : 12 gr/%. c. Intervensi : 1) Ukur dan catat pcmasukan dan pengeluaran 2) Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai kebutuhan, misal :

privasi, posisi duduk, air yang mengalir dalam bak, mengalirkan air hangat diatas perineum 3) Catat munculnya mual/muntah 4) Periksa pembalut, banyaknya pendarahan 5) Beri cairan infus sesuai program

Dx. 5 Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebuthan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitarnin (Doenges, 1999) a. Tujuan : nutrisi terpenuhi, tidak terjadi gangguan nutrisi. b. Kriteria hasil : tidak terjadi penurunan berat badan secara drastis.

c. Intervensi. 1. Kaji status nutrisi secara kontinu, selama perawatan 2. Catat masukan oral 24 jam, riwayat makanan, jumlah kalori dengan tepat. 3. Kaji kativitas dengan istirahat, tingkatan tehnik relaksas 4. Berikan diit secara bertahap setelah peristaltik usus bekerja lagi 5. Kolaborasi : rujuk pada tim nutrisi/ ahli diit

Dx. 6 Tidak efektifnya laktasi berhubungan dengan ketidak mampuan bayi untuk menghisap secara adekuat terhadap flat nipple (Carpenito, 2000). a. Tujuan : Laktasi adekuat, bayi dapat menghisap secara adekuat b. Kraeria hasil : ASI keluar tidak ada flat nipple, Pasien dapat mendemonstrasikan menyusui dengan tepat, ASI keluar,

mamae tidak keras dan tidak ada rasa nyeri, serta pasien mengekspresikan kepuasan dan pengalaman menyusui. c. Intervensi: 1. Kaji tingkat pengetahuan ibu tentang laktasi 2. Ajarkan tehnik breast care dan cara menyusui dengan baik dan benar. 3. Motivasi ibu untuk menyusui anaknya 4. Berikan kesempatan pada pasien untuk menyusui anaknya sampai puas. 5. kaji isapan bayi, jika terjadi lecet/ flat nipel pada puting. 6. Jelaskan petingnya ASI bagi bayi.

Dx. 7 Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan pasca persalinan (Doenges, 2000). a. 'I'ujuan : klien dapat mcngerti dan mcmahami cara perawatan pasca persalinan. b. Kriteria hasil : klien dapat belajar dan menyerap informasi yang diberikan, dapat melakukan perawatan post partum. c. Intervensi : 1) Kaji pengetahuan dan kemampuan klien 2) Berikan penjelasan setiap akan melakukan tindakan dan prosedur keperawatan.

3) Ajarkan cara perawatan luka post operasi dengan tehnik antiseptik 4) Diskusi perlunya tidur dan istirahat 5) Berikan informasi pada pasien tentang laktasi, proses menyusui

Anda mungkin juga menyukai