Anda di halaman 1dari 85

PROFIL KESEHATAN PROVINSI D.I.

YOGYAKARTA TAHUN 2011

Peta Kemiskinan di Provinsi DIY

DINAS KESEHATAN PROVINI D I YOGYAKARTA TAHUN 2012

PROFIL KESEHATAN PROVINSI DIY 2012

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DINAS KESEHATAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2012

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012 ini dapat tersusun. Sebagai salah satu produk Sistem Informasi Kesehatan Propinsi DIY, maka Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012 ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada para pembaca mengenai kondisi dan situasi kesehatan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011. Kondisi kesehatan yang digambarkan dalam Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta Tahun 2012 ini disusun berdasarkan data-data yang dihimpun dari Profil Kesehatan Kabupaten/Kota, data dari Laporan Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta (RL) serta dari beberapa buku terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) Berbeda dengan Buku profil kesehatan tahun-tahun sebelumnya, penyusunan Buku profil Kesehatan kali ini mengacu pada Pedoman profil terbaru yang diterbitkan oleh Pusat Data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008. Kami menyadari bahwa penyusunan profil kesehatan ini masih banyak kekurangan baik kelengkapan maupun akurasi serta ketepatan waktu maupun penyajianya. Untuk itu guna kesempurnaan penyusunan profil ini dimasa datang kami harapkan kritik dan saran dari pembaca. Demikian atas bantuan berbagai pihak yang terkait dalam penyusunan profil ini kami ucapkan terimakasih.

DAFTAR ISI HALAMAN 3 4 5 6 8 8 9 11 13 15 20 21 23 26 26 26 27 28 29 31 32 32 34 43 46 47 50 50 51 52 55 59 60 63 83

BAB I BAB II 2.1. 2.2. 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 BAB III 3.1. 3.1.1. 3.1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5 3.2. 3.2.1 3.2.1.1 3.2.1.2 3.2.2 3.3. BAB IV 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. BAB V BAB VI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL PENDAHULUAN GAMBARAN UMUM WILAYAH GEOMORPOLOGI LINGKUNGAN HIDUP KEPENDUDUKAN EKONOMI & SUMBER DAYA ALAM SOSIAL & BUDAYA PEMERINTAHAN & POLITIK PRASARANA WILAYAH STRUKTUR & POLA TATA RUANG SITUASI DERAJAT KESEHATAN MORTALITAS UMUR HARAPAN HIDUP ANGKA KELAHIRAN ANGKA KEMATIAN IBU ANGKA KEMATIAN BAYI ANGKA KEMATIAN BALITA MORBIDITAS POLA PENYAKIT POLA PENYAKIT MENULAR POLA PENYAKIT TIDAK MENULAR POLA PENYEBAB KEMATIAN STATUS GIZI SITUASI UPAYA KESEHATAN VISI & MISI PELAYANAN KESEHATAN DASAR & RUJUKAN PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN PERILAKU HIDUP BERSIH & SEHAT SUMBERDAYA KESEHATAN KESIMPULAN

DAFTAR TABEL

Tabel 1.

Kepadatan Penduduk per Kabupaten/Kota Hasil Sensus Penduduk Indeks Pembangunan manusia di DIY Jumlah Kematian Ibu & Anak di DIY Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi DIY Angka Kematian Neonatal & Faktor Penyebabnya di DIY Tahun 2011 Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Jamkesos

Tabel 2. Tabel 3 Tabel.4 Tabel 5

Tabel 6

Tabel 7 Tabel 8

Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Jamkesmas Anggaran Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN

Profil Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah gambaran situasi kesehatan di Provinsi DIY yang diterbitkan setiap tahun sekali. Maksud diterbitkannya buku ini adalah untuk menampilkan berbagai data tentang kesehatan dan data pendukung lain yang dideskripsikan dengan analisis dan ditampilkan

dalam bentuk tabel dan grafik. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah tersampaikannya informasi kesehatan yang merupakan pencapaian Pembangunan Kesehatan Tahun 2011. Profil Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2011 disusun secara sistematis mengikuti pedoman penyusunan profil kesehatan yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Sistimatika penyajian Profil Kesehatan Provinsi DIY tahun 2011 ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan Bab ini Berisi tentang maksud dan tujuan profil kesehatan dan sistematika dari penyajiannya.

Bab II Gambaran Umum Bab ini menyajikan tentang gambaran umum Provinsi DIY. Selain uraian tentang letak geografis, administratif, dan informasi umum lainnya, bab ini juga mengulas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan dan faktor-faktor lainnya misal kependudukan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lingkungan.

Bab III Situasi Derajat Kesehatan Bab ini berisi uraian tentang indikator mengenai mortalitas, morbiditas, dan status gizi masyarakat.

Bab IV Situasi Upaya Kesehatan

Bab ini menguraikan tentang visi dan misi dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, pelayanan kesehatan dasar & rujukan, perbaikan gizi masyarakat, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pembinaan kesehatan lingkungan, serta perilaku hidup bersih dan sehat.

Bab V Situasi Sumber Daya Manusia Bab ini menguraikan tentang tenaga kesehatan, sarana kesehatan, serta pembiayaan kesehatan.

Bab VI Kesimpulan Bab ini diisi dengan sajian tentang hal-hal penting yang perlu disimak dan ditelaah lebih lanjut dari Profil Kesehatan Provinsi DIY di tahun 2010.

Lampiran Pada lampiran ini berisi resume/angka pencapaian Provinsi DIY dan 63 tabel data yang merupakan gabungan table indikator Provinsi sehat dan Indikator pencapaian kinerja standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan.

BAB II GAMBARAN UMUM

2.1. WILAYAH Provinsi DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara astronomis terletak pada 7 33-8 12 Lintang Selata n dan 110 00-110 50 Bujur Timur, dengan luas 3.185,80 km2 atau 0,17 % dari luas Indonesia (1.890.754 km2) (Sumber : RPJMD). Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan dibatasi Lautan Indonesia, sedangkan di bagian Timur Laut, Tenggara, Barat dan Barat Laut dibatasi Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas wilayah Provinsi DIY meliputi : a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa, yaitu: a. Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, 14 kecamatan, 45 kelurahan); b. Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, 17 kecamatan dan 75 desa); c. Kabupaten Kulon Progo(luas 586,27 km2, 12 kecamatan dan 88 desa); d. Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, 18 kecamatan, 144 desa); e. Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, 17 kecamatan dan 86 desa).

2.2.. Geomorfologi dan Lingkungan Hidup Menurut altitude, Provinsi DIY terbagi menjadi daerah dengan ketinggian < 100 m, 100-500 m dan 500 1.000 m (sebagian besar di Kabupaten Bantul), 1.0002000 m diatas permukaan laut terletak di Kabupaten Sleman. Secara fisiografi, DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah : (a) Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, mulai dari kerucut gunung hingga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Wilayah ini

memiliki luas kurang lebih 582,81 km2 dengan ketinggian 80 2.911 m. (b) Satuan Pegunungan Seribu Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping dan bentang karst tandus dan kurang air permukaan, di bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang terbentuk menjadi Plato Wonosari. Wilayah pegunungngan ini memiliki luas kurang lebih 1.656,25 km2 dengan ketinggian 150-700 m. (c) Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil. Luas wilayah ini mencapai kurang lebih 706,25 km2 dengan ketinggian : 0 572 m (d) Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Wilayah ini memiliki luas 215,62 km2 dengan ketinggian 0 80 m. Kondisi fisiografi tersebut membawa sarana pengaruh terhadap persebaran serta

penduduk,

ketersediaan

prasarana,

sosial,

ekonomi,

ketimpangan kemajuan pembangunan. Daerah-daerah yang relatif datar, (dataran faluvial meliputi Sleman, Kota, dan Bantul) adalah wilayah padat penduduk, memiliki intensitas sosial ekonomi tinggi, maju dan berkembang namun juga banyak terjadi pencemaran lingkungan. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki iklim tropis dengan curah hujan berkisar 0,00 mm 13,00 mm per hari. Suhu udara rata-rata berkisar antara 21-350 C. Kelembaban udara berkisar antara 30 - 97 persen dan tekanan udara 1.005,3 mb 1.017,2 mb dengan arah angin antara 180 derajat 240 derajat dan kecepatan angin antara 0 knot sampai 29 knot Wilayah DIY mempunyai potensi bencana alam, terutama berkaitan dengan bahaya geologi yang meliputi: (a) Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara dan wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi; (b) Gerakan tanah/batuan dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng

Pegunungan Kulon Progo (bagian utara dan barat), lereng Pengunungan Selatan (Gunungkidul) dan bagian timur (Bantul); (c) Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul; (d) Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian selatan, khususnya kawasan karst; (e) Bahaya tsunami, berpotensi di pantai selatan Kulon Progo, Bantul, dan Gunungkidul, khususnya pada elevasi kurang dari 30 m dpl; (f) Bahaya gempa bumi (tektonik, vulkanik) berpotensi terjadi di seluruh wilayah DIY. Gempa tektonik berpotensi di tumbukan lempeng dasar Samudra Indonesia di sebelah selatan DIY. (g) Bahaya angin puting beliung, berpotensi terjadi di seluruh wilayah Provinsi DIY. Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup menyebabkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumberdaya alam menipis. Kawasan hutan dengan luas 23,54% dari luas wilayah DIY kurang mencukupi sebagai standar lingkungan hidup. Menurunnya daya dukung dan ketersediaan sumberdaya alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang

memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Untuk itu, kebijakan pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan agar tidak terjadi krisis sumberdaya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. Laju kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang terjadi baik di perkotaan maupun pedesaan terus terjadi. Kerusakan sumberdaya alam dan penurunan mutu lingkungan secara drastis tersebut menyebabkan perubahan tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan munculnya

10

ancaman global seperti perubahan iklim global, rusaknya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya produksi gas rumah kaca.

2.3. Kependudukan Jumlah penduduk DIY tahun 2011 estimasi dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sesuai dengan Badan Pusat Satistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 3.513.071 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.735.514 jiwa sedangkan perempuan 1.777.557 jiwa.

Sumber : BPS Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 1. Priramida Penduduk Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber: BPS)

Gambar piramida penduduk menunjukkan bahwa penduduk usia produktif adalah yang paling mendominasi disamping mulai meningkatnya penduduk usia lanjut. Laju pertumbuhan di DIY merupakan salah satu yang terkecil di Indonesia (1,02%). Hal ini dapat diartikan sebagai keberhasilan program kependudukan dan pergeseran prinsip dari masalah kuantitas menuju kualitas. Ditinjau dari sisi distribusi penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin meningkat pada penduduk usia >65 tahun dan menurunnya jumlah penduduk usia 0 14 tahun dari tahun 2003-2008. Hal tersebut

11

mengindikasikan telah terjadinya pergeseran struktur penduduk yang ditandai dengan tumbuhnya struktur penduduk tua. Sementara dependency ratio penduduk usia produktif terhadap penduduk usia non produktif mencapai 46 (paling rendah di Kota Yogyakarta kabupaten Gunung Kidul sebesar 55%) Pergeseran struktur penduduk menunjukkan adanya transisi demografi yang diantaranya dipengaruhi oleh perbaikan kesehatan masyarakat. Pergeseran juga merupakan indikasi tingginya umur harapan hidup penduduk. Usia harapan hidup (UHH) Provinsi DIY merupakan yang tertinggi di Indonesia. UHH panjang merupakan representasi perbaikan dari banyak faktor, antara lain : kondisi ekonomi, pelayanan kesehatan, kualitas lingkungan, sosiokultural masyarakat. UHH menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Tabel 1 sebanyak 36% dan paling tinggi di

Sumber: Badan Pusat Statistik DIYTahun 2011

Jumlah penduduk perkotaan lebih besar dibandingkan perdesaan. Namun hal ini tidak mencerminkan distribusi nyata antara kabupaten dan kota di DIY. Dua wilayah kabupaten di DIY masih dicirikan oleh dominasi penduduk perdesaan (Kulonprogo, Gunungkidul) dengan kesenjangan ciri urbanisasi dengan 3 wilayah lain cukup besar.

12

Pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 sebesar 1,02 persen relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman memiliki angka pertumbuhan diatas angka provinsi, masing-masing sebesar 1,55% dan 1,92%. Rerata kepadatan penduduk DIY pada tahun 2009 sekitar 1.078,08 jiwa per km2. Sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 1.085 jiwa per km2 dengan kepadatan tertinggi di Kota Yogyakarta (11.958 jiwa/km2) terendah di Kabupaten Gunungkidul (455 jiwa/km2). Permasalahan ketimpangan kepadatan tersebut diperkuat dengan ketimpangan potensi sumber daya dimana Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di DIY yang memiliki kesuburan lahan kurang dan keterbatasan suplai air.

2.4. Ekonomi (a) Investasi, Industri, dan Perdagangan Investasi domestik terus mengalami peningkatan baik investasi domestik maupun asing demikian pula untuk bidang perdagangan. Investasi pemerintah banyak yang diarahkan pada pelayanan publik sebaliknya untuk sektor swasta. Investasi sektor industri mengalami pertumbuhan baik untuk industri kecil, menengah dan besar (0,65%) dengan dominasi industri kerajinan serta industri tekstil dan kulit. Industri kreatif di bidang pariwisata, mempunyai potensi berupa desa wisata (60) yang tersebar di 4 Kabupaten yang diminati oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Selain itu terdapat industri kreatif di bidang kebudayaan yang meliputi 25 Production House, seni tari 341 kelompok, dan drama sebanyak 411 kelompok. Industri Pariwisata memiliki sumbangan paling besar terhadap PDRB melalui subsektor perdagangan, perhotelan, restoran, dan jasa-jasa lainnya. Jasa perhotelan adalah yang paling dominan. Ketersediaan aset pariwisata yang memadai berupa wisata alam, wisata budaya, wisata pendidikan dan wisata minat khusus mudah dijangkau dan dilengkapi fasilitas hotel, penginapan, MCK umum, warung makan, restoran. (b) Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 13

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB meskipun pertumbuhannya relatif namun selama sepuluh tahun terakhir mencapai rerata 16,33% (terbesar ketiga setelah jasa dan perdagangan). Jumlah rumah tangga pertanian selama sepuluh tahun terakhir menurun 9,32% menjadi 47,17% dimana 80,29% diantaranya merupakan petani gurem. Komoditas tanaman pangan yang meningkat adalah padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Komoditas sayuran yang meningkat adalah kentang dan kacang merah, tomat dan buncis. Lahan sawah mengalami laju penurunan sebesar 0,27% per tahun, sedangkan lahan bukan sawah menyusut sebesar 1,62% per tahun. Luas perkebunan mengalami peningkatan sebesar 14,25%, terutama

pada kelapa, jambu mete dan tembakau. Produksi perkebunan juga mengalami peningkatan sebesar 3,78%, terutama komoditas kelapa, jambu mete, kakao dan tembakau. Produksi ikan konsumsi di DIY selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir meningkat rerata 9,9% pertahun. Produksi benih ikan dan udang selama sepuluh tahun terakhir meningkat 27,81%. Konsumsi ikan perkapita selama sepuluh tahun terakhir meningkat sebesar 5,71% pertahun. (c) Ketahanan Pangan Ketersediaan energi Provinsi DIY saat ini sebesar 3.085 kkal/kapita/hari (Nasional 2.500 kkal/kapita/hari). Keanekaragaman pangan menunjukkan skor 86,5% (standar 100%). Ketersediaan energi sebesar 2.200

kkal/kap/hari; ketersediaan protein 57 g/kap/hari; norma kecukupan gizi berdasarkan standar PPH >1.907,6/kkal/kap/hari, konsumsi energi

minimum 1500 kkal/kap/hari, dan konsumsi protein sebesar 62,4 g/kap/hari, dan kualitas konsumsi pangan mendekati skor PPH 85,7%. Angka konsumsi energi di DIY sudah melampaui standar, yaitu sebesar 1.835,93 kkal/kap/hari sedangkan angka konsumsi protein, masih belum memenuhi angka standar karena baru mencapai angka 51,04 g/kap/hari. Luas hutan mencapai 23,54% dari luas DIY (74.992,96 Ha) yang terdiri dari hutan negara dan hutan rakyat, hutan di DIY belum memenuhi fungsi

14

ekologis ideal (minimal 30%). 2.5. Sosial dan Budaya (a) Sosial Penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah pengangguran dan kelompok marginal seperti anak terlantar/ jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan, korban bencana alam, korban tindak kekerasan dan lain sebagainya. Khusus untuk korban bencana mengalami penurunan signifikan

sehubungan dengan telah selesainya permasalahan paska gempa bumi. Lembaga / organisasi serta infrastruktur untuk penanganan dan

pengelolaan masalah kesejahteran sosial masih kurang memadai. Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam penanganan masalah kesejahteran sosial masih perlu ditingkatkan. Berbagai kelompok dan organisasi sosial seperti Satgasos Penanggulangan Bencana Alam masih memerlukan pembinaan dan fasilitasi.

Peta Kemiskinan di Provinsi DIY


Sumber: : Bappeda Provinsi DIY Tahun 2011

Gambar 2. Peta kemiskinan Provinsi DIY

Peta kemiskinan di Provinsi DIY seperti dalam gambar diatas masih ditemui kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo. Hal ini juga dapat dilihat dalam pencapaian Indeks

15

Pembangunan Manusia (IPM) pada tabel dibawah ini yang menunjukkan bahwa meskipun DIY rangking 4 dalam capaian IPM namun ada Kabupaten yang masih pada peringkat 283 yaitu Kabupaten Gunung Kidul, data selengkapnya tentang IPM tahun 2009 dan 2010 sebagaiberikut : Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY

(b) Pendidikan Pada tahun 2010/2011 menurut BPS di Provinsi DIY untuk jenjang TK hingga Sekolah Menengah Atas tercatat 5.178 unit dengan perincian di Kota Yogyakarta 533 unit, Sleman 1.297 unit, Gunung Kidul 1.409 dan Bantul 1.094 unit serta 845 unit di Kulon Progo. Jenjang perguruan tinggi pada tahun 2011 tercatat 10 perguruan tinggi. Angka buta huruf di DIY umur 15-44 tahun di DIY menurun dari 26.183 pada tahun 2006 menjadi 14.159 pada tahun 2007 serta tahun 2008 angka berkurang menjadi 10.156 orang serta sebanyak 4.003 diselesaikan pada tahun 2009-2010. Indikator mutu pendidikan di DIY dapat dilihat dari tingginya angka partisipasi, yang terdiri dari Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka

16

Partisipasi Murni (APM). Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang SD/MI Provinsi DIY pada tahun 2007/2008 menunjukkan angka sebesar 109,86%, SMP/MTs sebesar 117,15%, SMA/MA sebesar 79,02%. Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI adalah sebesar 95,17%, SMP/MTs sebesar 77,41% dan SMA/MA sebesar 57,22%. Dibanding dengan tahun sebelumnya angka-angka tersebut mengalami kenaikan walaupun relatif kecil. Anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan telah mencapai 63,24%. Angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 85,8 % sebagian besar berusia >45 tahun. Angka melek huruf pada penduduk pria dan wanita relatif sama yaitu sekitar 70,8%. Tingkat partisipasi pendidikan anak usia dini (0-6 tahun) dalam mengikuti pendidikan pra-sekolah sudah mencapai 70%. Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sebesar 100%, APS penduduk usia 1315 tahun sebesar 100% dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar 79,89 %. APS tersebut telah melampaui SPM sebesar 95%, 95% dan 60,00%. Produksi tenaga kesehatan oleh sarana pendidikan cukup tinggi namun daya serapnya masih rendah. Institusi pendidikan kesehatan di provinsi DIY berkembang. Sejak tahun 2009 tercatat jumlah institusi penyelenggara pendidikan mencapai 51 dengan perincian sebagai berikut : D3 keperawatan sebanyak 11, D3 Gizi 3, D3 Analis 2, D3 Lingkungan 2, D3 Kebidanan 7 dan D3 Farmasi 1. Sedangkan jenjang S1 adalah Fakultas Kedokteran 3, Fakultas Kedokteran Gigi 1, Farmasi 4, Kesehatan Masyarakat 4 Keperawatan 8 dan Gizi 1. Pola manajemen pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan

menyesuaikan dengan Pemerintah Daerah, namun koordinasi peningkatan kualitas tenaga dengan lembaga pendidikan masih kurang. Peran swasta cenderung kurang terkendali dalam arti kegunaan dan mutu belum sesuai kebutuhan dan kemampuan penyerapan yang diakibatkan terbatasnya dana dalam rekruitmen dan pemeliharaan tenaga, profesionalisme,

17

kompetensi dan etika SDM kesehatan, serta berkaitan dengan proses produksi (pendidikan, training). (c) Kebudayaan Nilai-nilai budaya tumbuh dan hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat DIY. Pada sisi lain muncul gelombang modernisme yang memunculkan gejala lunturnya budaya lokal dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai kesenian hidup dan berkembang. Seni pertunjukan, seperti seni tari dan teater dikelola oleh 2.924 kelompok yang tersebar di 78 kecamatan. Kesenian non pertunjukan, seperti seni rupa, seni kerajinan, cukup banyak dan tersebar, dikelola perorangan maupun kelompok dalam bentuk sanggar Budaya lokal Yogyakarta memberi tempat tinggi pada tradisi yang menekankan hirarkhi sosial kuat sehingga sulit menjalankan perubahan. (d) Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Remaja Pemberdayaan perempuan, anak, remaja telah menunjukkan peningkatan. Partisipasi remaja/pemuda dalam pembangunan semakin membaik. Taraf kesejahteraan sosial masyarakat cukup memadai sejalan berbagai upaya pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), pecandu narkotik dan obat-obat terlarang. Permasalahan kesetaraan gender di berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi masih belum optimal.Sejalan dengan itu upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan dengan peran serta penuh dari masyarakat juga menjadi tantangan dalam menjamin terlaksananya pemberian hak secara layak. (e) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi (IPTEK) Hasil pengembangan Iptek tercermin melalui berbagai publikasi ilmiah yang mengindikasikan banyaknya kegiatan penelitian. Pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan iptek relatif masih rendah disebabkan antara lain belum efektifnya intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan

18

antara pengembang dan pemakai iptek, belum berkembangnya budaya iptek dan masih terbatasnya sumber daya iptek. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi (TI) sangat pesat dengan indikator melek TI sebesar 20% dari jumlah penduduk dan terus akan meningkat di masa yang akan datang. Pemanfaatan TI akan semakin berkembang baik untuk pihak swasta maupun pemerintah.

Pengembangan TI akan banyak dilakukan oleh pendidikan baik oleh institusi pemerintah maupun swasta. (f) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tercatat jumlah pencarikerja pada tahun 2010 sebanyak 129.793 orang, turun sekitar 4% dibanding tahun sebelumnya (135.207 orang). Mereka terdiri dari 53,8% laki-laki dan 46,13% perempuan. Dari jumlah tersebut 40,09% berpendidikan SLTA, 13,89% DI-IV, sebanyak 42,44% DIV-S1 serta 0,19% S1-S2. Sedangkan SLTP sebanyak 2,32% dan SD sebesar 0,34%. Persentase lowongan pekerjaan yang tersedia sebesar 18,06% sedangkan persentase penempatan sebesar 13,82% dari total pencari kerja yang ada di Provinsi DIY. Berdasarkan data tahun 2003 2008 tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Provinsi DIY yang merupakan persentase antara jumlah penduduk angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja menunjukkan angka yang fluktuatif atau rata-rata setiap tahun sebesar 78,75%, sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (open unemployement) atau TPT yang merupakan persentase perbandingan antara jumlah penduduk yang ingin/sedang mencari pekerjaan dengan angkatan kerja juga menunjukkan angka yang fluktuatif atau rata-rata setiap tahun sebesar 5,90%. Struktur pencari kerja didominasi oleh kaum perempuan dan dasar pendidikan sebagian besar SLTA. Jumlah pengangguran terbuka pada penduduk dengan umur diatas 15 tahun sesuai tingkat pendidikannya adalah sebagai berikut : pendidikan tertinggi dibawah SD 1.026 orang, SD 4.940, SLTP 10.708, SMTA sebesar

19

42.038 orang dan tingkat Diploma sebesar 14.705 orang serta perguruan tinggi yang paling banyak yaitu sebesar 74.317 orang. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Realitas ini menunjukkan bahwa untuk sektor pertanian dan sektor jasa relatif memberikan kontribusi paling banyak dalam menyerap tenaga kerja. Demikian juga peranan sektor pertanian cukup dominan dalam menciptakan lapangan kerja. Sektor yang potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan dan industri terutama industri kecil menengah serta kerajinan dapat dikembangkan sebagai penunjang keterserapan tenaga kerja. Sebagai upaya melakukan pemerataan penyebaran penduduk antar wilayah di Indonesia, pemerintah melakukan transmigrasi penduduk. Jumlah transmigrans di DIY tahun 2010 tercatat sebanyak 250 KK atau 824 jiwa. Jumlah KK transmigrans terbanyak berasal dari Kabupaten Kulon Progo serta daerah penempatan terbanyak adalah Provinsi Sulawesi Selatan. (g) Agama
(1) Komposisi pemeluk agama di DIY tahun 2010 terdiri dari 92,03%

agama Islam, 4,94% agama Katholik, 2,7% agama Kristen, 0,17% agama Hindu dan 0,15% agama Budha.
(2) Kerukunan

antar

umat

beragama

berkembang

dengan

baik,

ditunjukkan oleh tidak berkembangnya konflik agama antar pemeluk agama.


(3) Jumlah jamaah haji DIY yang berangkat pada tahun 2010/1430 H

sebanyak 3.165 orang atau meningkat 2,86% dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar berasal dari Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 38,8%, 27,90% dan 15,89%. 2.6. Pemerintahan dan Politik (a) Pemerintahan dan Politik

20

(1) Pemerintahan dan politik cukup stabil karena sebagian besar masih

memandang Kraton sebagai penguasa wilayah. Peran serta dan dialog birokrasi, organisasi sosial-politik, dan kemasyarakatan berjalan baik.
(2) Tuntutan Good governance dilaksanakan dengan pembenahan dan

pengembangan

aspek

kapasitas

pemerintahan

dan

perubahan

paradigma penyelenggaraan pemerintahan.


(3) Kondisi sosial politik cukup dinamis yang dipengaruhi hubungan

sinergis pihak-pihak terkait dan didorong oleh perubahan peran pemerintah dari pembina menjadi regulator, fasilitator dan pelayanan.
(4) Perubahan mendasar terjadi dengan pengembalian asas kesatuan

daerah, pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota atau antar pemerintahan daerah.
(5) Dalam konteks desentralisasi, pemerintah daerah telah menjalankan

otonomi seluas-luasnya. Tuntutan masyarakat terhadap kuantititas dan kualitas pelayanan publik akan terus semakin meningkat. (b) Hukum
(1) Ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, maka proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah, dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang.
(2) Penegakan hukum dan perundang-undangan masih perlu ditingkatkan.

Tindak kejahatan dan kriminalitas semakin tinggi dan bervariasi


(3) Pada era pasar bebas dan globalisasi, telah dilakukan kerjasama dan

fasilitasi dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. 2.7. Prasarana Wilayah (a) Transportasi
(1) Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 13% per tahun dan

kendaraan pribadi 28% per tahun yang didominasi oleh sepeda motor. Angkutan umum sebesar 20% dan kendaraan barang sebesar 15%.

21

(2) Volume lalu-lintas melebihi kapasitas jalan, penyalahgunaan ruas jalan

dan

tingginya

penggunaan

kendaraan

pribadi

menyebabkan

kemacetan lalu-lintas, terutama di jaringan jalan pusat kota. Dampak peningkatan volume kendaraan dan perilaku pengendara juga terjadai pada tingkat risiko kecelakaan yang semakin tinggi. Intra cranial injury (kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian. Kecelakaan lalu lintas peningkatan cukup besar.
(3) Telah dilakukan perubahan manajemen angkutan umum dengan

di DIY mengalami

konsep buy the service sebagai upaya memperbaiki pelayanan serta jalur kereta api ganda yang menghubungkan Stasiun Solo BalapanStasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun Kutoarjo.
(4) Bandara internasional baru direncanakan telah beroperasi di wilayah

Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2019. Kegiatan operasional penerbangan akan meningkat sangat tinggi demikian pula dengan animo maskapai penerbangan untuk membuka jalur penerbangan. Keberadaan bandara akan lebih maju lagi dengan adanya

pengembangan jalur angkutan terintegrasi antara darat, laut, dan udara. (b) Sumber Daya Air
(1) Sumber daya air utama di DIY adalah Wilayah Sungai Progo-Opak-Oyo

yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Progo, Opak dan Serang. Sumberdaya air dimanfaatkan untuk irigasi, kebutuhan rumah tangga, industri, tenaga listrik dan penggelontoran kota.
(2) Kebutuhan air untuk rumah tangga dipenuhi melalui sistem air pipa

PDAM,

sumur

dan

hidran

umum.

Pemanfaatan

air

untuk

penggelontoran

dilakukan

dalam sistem penggelontoran sanitasi

perkotaan dengan air permukaan.


(3) Terjadi

penurunan

kuantitas

dan

kualitas

air

sebagai

akibat

terganggunya fungsi hidrologi

sebagai

dampak penggunaan

tanah/alih fungsi lahan dan pengelolaan tanah yang tidak dikendalikan di daerah tangkapan air. Selain itu juga terjadi pemakaian air yang tidak

22

efisien, terutama untuk keperluan irigasi dan kolam ikan. (c) Keciptakaryaan
(1) Pembangunan

perumahan

permukiman

mengarah

ke

wilayah

Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY). Perkembangan perumahan dan permukiman meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan bangunan.
(2) Kebutuhan

air minum

mengalami peningkatan

sejalan

dengan

peningkatan penduduk dan kegiatan masyarakat.


(3) Saat ini masih banyak limbah cair industri yang dibuang langsung ke

sistem air limbah terpusat atau ke lingkungan sekitar tanpa ada pengolahan. Cakupan pelayanan air limbah terpusat baru mencapai 4% (di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta). Total cakupan pelayanan limbah dan sanitasi berkisar 51.8%.
(4) Pelayanan

pengangkutan

sampah

masih

rendah.

Pelayanan

pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA) baru mencapai sekitar 35% dari total produksi sampah.
(5) Cakupan sistem drainase mencapai sekitar 53.42%. Sistem ini

mengandalkan keberadaan sungai-sungai yang melintas sebagai drainase induk yang cenderung meningkatkan terjadinya pencemaran air sungai.
(6) Permasalahan pembangunan sampah dan drainase, antara lain

pencemaran

lingkungan dan jumlah sampah, terbatasnya lahan

tempat pembuangan akhir, tidak berfungsinya saluran drainase.

2.8. Struktur dan Pola Ruang (a) Wilayah di luar DIY yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi pola pemanfaatan ruang dan perkembangan pembangunan, antara lain: (a) Semarang Solo Cilacap; (b) Magelang-Klaten-Purworejo-SalatigaWonogiri-Sukoharjo; (c) Wilayah terpadu Joglosemar, Pawonsari

Bakulrejo, Gelangmanten. (b) Implikasi wilayah eksternal dalam penataan ruang wilayah adalah:

23

(1) Semakin meningkatnya kegiatan bersifat perkotaan dalam hal ini

aksesibilitas, kompatibilitas dan fleksibilitas;


(2) Stuktur tata ruang wilayah DIY secara internal dipengaruhi oleh kondisi

topografi dan geografis wilayah, yang meliputi kawasan tertentu nasional (lindung dan cagar budaya), kawasan cepat tumbuh, kawasan potensial untuk berkembang, kawasan yang kritis lingkungan Provinsi DIY. (c) Kawasan-kawasan Provinsi DIY yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola pemanfaatan ruang dan perkembangan pembangunan di Provinsi DIY, antara lain:
(1) Kawasan Fungsional yang meliputi Hutan Lindung (Kabupaten Gunung

Kidul dan Kulon Progo), Hutan Konservasi (Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Cagar Alam/Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya);
(2) Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS Progo, DAS Opak-Oyo dan DAS

Serang);
(3) Kawasan tertentu nasional (Taman Nasional Gunungapi Merapi,

Kawasan Cagar Budaya: Keraton, candi-candi, Kawasan Rawan Bencana: jalur patahan Opak, wilayah Gunung Merapi, dan rawan tsunami, banjir dan air pasang di pesisir pantai Kulon Progo dan Bantul);
(4) Kawasan yang cepat tumbuh (Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta, yang

meliputi Kota Yogyakarta, sebagian Kabupaten Sleman, dan Bantul yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta);
(5) Kawasan yang potensial untuk berkembang (Kabupaten Bantul:

Sewon, Kasihan, Banguntapan, Sedayu, Srandakan, Imogiri

dan

Piyungan; Kabupaten Sleman: Godean, Gamping, Pakem, Depok; Kabupaten Kulonprogo: Wates, Temon, Pengasih, Sentolo, dan Nanggulan; Kabupaten Gunungkidul: Wonosari, Bunder, Rongkop, Sadeng);
(6) Kawasan yang kritis lingkungan (Kabupaten Gunungkidul: di Purwosari,

Panggang, Tepus, dan Rongkop; Kabupaten Bantul: di Worotelo, Wukirsari, Muntuk, Jatimulyo, Sendangsari, dan Dlingo; Kabupaten 24

Kulonprogo: Kalibawang, Samigaluh, Girimulyo, dan Kokap). (d) Karakteristik tata ruang internal DIY ditandai tingginya kebutuhan ruang untuk kegiatan budidaya namun dilain pihak menghadapi keterbatasan daya dukung maupun daya tampung lingkungan. Wilayah DIY seluas 318.580 Ha, dengan 47,188% (150.332 Ha) merupakan kawasan lindung (belum termasuk rawan gempa).

25

BAB III SITUASI DERAJAT KESEHATAN

Tahun 2008 Provinsi DIY memperoleh penghargaan Manggala Bhakti Husada Kartika dari Presiden yaitu sebuah penghargaan atas prestasi sebagai provinsi dengan derajad kesehatan terbaik di Indonesia. Indikator yang dinilai paling peka dan telah disepakati secara nasional sebagai ukuran derajad kesehatan suatu wilayah meliputi : (1) Umur Harapan Hidup, (2) Angka Kematian Ibu, (3) Angka Kematian Bayi, (4) Angka Kematian Balita, dan (5) Status Gizi Balita / bayi. 3.1. MORTALITAS 3.1.1 Umur Harapan Hidup (UHH) Peningkatan umur harapan hidup di DIY merupakan yang terbaik di Indonesia bersama dengan DKI dan Bali, namun demikian bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara masih tetap lebih rendah (misal Singapura). Berikut gambaran perkembangan UHH sesuai hasil Sensus Penduduk dari tahun 1971 sampai dengan Sensus Penduduk Tahun 2010 di Provinsi DIY bersumber dari BPS.

Gambar 3 : Umur Harapan Hidup Penduduk DIY Hasil Sensus Penduduk

26

Jika dirunut sejak tahun 1971, telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan selama 30 tahun dari tahun tersebut yang baru mencapai 45,5 tahun. Gambaran perkembangan tersebut memperlihatkan telah terjadinya transisi demografi di DIY yang sebenarnya telah dimulai pada masa 90-an yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya usia lanjut. Peningkatan umur harapan hidup ini dipengaruhi oleh multifaktor yang dalam hal ini kesehatan menjadi salah satu yang berperan penting didalamnya. Peran pengaruh kesehatan ditunjukkan dari semakin menurunnya angka kematian, perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan perbaikan gizi di masyarakat. Transisi demografi yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kelompok usia lanjut ini juga membawa konsekuensi meningkatnya penyakit-penyakit

degeneratif di provinsi DIY. Penyakit-penyakit degeneratif tersebut dicirikan dengan adanya kebutuhan longterm care. Dengan demikian di Provinsi DIY sudah saatnya untuk memulai pengembangan pelayanan jangka panjang tersebut.

3.1.2. Angka Kelahiran Beberapa metode perhitungan untuk menghitung angka kelahiran kasar di provinsi D.I.Yogyakarta sejak tahun 1968 sampai tahun 2009 yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa pada tahun 1968 mengalami penurunan dari 35,2 menjadi tahun 2009 sebesar 13,4. Berdasarkan parameter Hasil Proyeksi Penduduk SP2000 di Provinsi D.I.Yogyakarta Tahun 2000 2025 dari BPS 2006/2007, taksiran jumlah total anak yang dilahirkan oleh 1000 wanita bila para wanita tersebut secara terus manerus hamil pada saat mereka berada dalam tingkat fertilitas menurut usia pada saat sekarang atau rata-rata jumlah anak yang dapat dilahirkan seorang wanita selama masa hidupnya dari tahun 2000 2025 tidak mengalami peningkatan yaitu 1,4 . Dapat diinterpretasikan bawa jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu selama hidupnya adalah 1,4.

27

Sumber : BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2011


Gambar 4. Perkiraan Angka Kelahiran Kasar Provinsi DIY

Jumlah kelahiran pada tahun 2010 yang dilaporkan dari dinas kesehatan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut : jumlah kelahiran (hidup & mati) 43.242 dan lahir mati 194. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah kelahiran (hidup dan mati) adalah sebanyak 45.081 dengan jumlah kasus lahir mati sebanyak 242. Dengan demikian, jumlah lahir hidup pada tahun 2011 sebanyak 44.839. 3.1.3. Angka Kematian Ibu Kematian ibu telah menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Secara Nasional angka kematian ibu di Provinsi DIY juga tetap menempati salah satu yang terbaik. Meskipun demikian angka yang dicapai tersebut masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan berbagai wilayah di Asia Tenggara. Berdasarkan data dari BPS, angka kematian ibu dalam 4 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup baik. Angka terakhir yang dikeluarkan oleh BPS adalah tahun 2008, di mana angka kematian ibu di DIY berada pada angka

28

104/100rb kelahiran hidup, menurun dari 114/100rb kelahiran hidup pada tahun 2004. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah kasus kematian ibu yang dilaporkan kabupaten/kota pada tahun 2011 mencapai 56 kasus, meningkat dibandingkan tahun 2010 sebanyak 43 kasus. Meskipun angka kematian ibu terlihat kecenderungan penurunan, namun terjadi fluktuasi dalam 3 5 tahun terakhir, bahkan berdasarkan jumlah kasusnya dilaporkan mengalami peningkatan. Target MDGs di tahun 2015 untuk angka kematian Ibu nasional adalah 102/100rb kelahiran hidup, dan untuk DIY relatif sudah mendekati target, namun masih memerlukan upaya yang keras dan konsisten dari semua pihak yang terlibat. Tabel 3. Jumlah Kematian Ibu & Anak di DIY Tahun 2010-2011

Kematian ibu Tahun 2010 Tahun 2011 43 56

Kematian neonatus (0-28 hari) 241 311

Kematian bayi (0-11 bln) 346 419

Kematian balita (0-59 bln) 409 469

Sumber data : Seksi Kesga Tahun 2012

3.1.4. Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2010 sesuai hasil

sensus penduduk tahun 2010 yang telah dihitung oleh BPS Provinsi DIY adalah : laki-laki sebesar 20 bayi per 1000 kelahiran hidup, sedangkan perempuan sebesar 14 per 1000 kelahiran hidup. Hasil sensus penduduk yang dihimpun dari data BPS dapat digambarkan sejak tahun 1971 sampai 2010 seperti pada gambar berikut :

29

Sumber:

BPS Provinsi DIY Gambar 5. Angka Kematian Bayi per 1000 kelahiran hidup

Hasil sensus penduduk sejak tahun 1971 sampai dengan sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikans angka kematian bayi dari 102 bayi per 1000 kelahiran hidup sampai 17 bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010 (sesuai hasil sensus penduduk). Sedangkan menurut proyeksi BPS dari hasil sensus penduduk tahun 2000 pada kurun waktu 20002005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9%. Sedangkan untuk periode tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5% dan periode 2010 - 2015 adalah 1,7%. Periode tahun 2020 - 2025 diperkirakan tidak terjadi penurunan karena tingkat kematian yang sudah sangat kecil (hardrock) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit untuk dikendalikan diantaranya faktor genetik. Sebagaimana gambaran perkembangan angka kematian ibu, angka kematian bayi di DIY juga mengalami penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan sebelum tahun 1990. Laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terjadi sebanyak 419 bayi meninggal dengan berbagai sebab. Angka kematian bayi tahun 2011 masih tetap / sama dengan tahun sebelumnya yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup.

30

Angka Kematian Bayi tahun 2011 jauh lebih baik dibandingkan 20 tahun sebelumnya yang mencapai 62 / 1000 kelahiran hidup (tahun 1980). Dengan pola penurunan tersebut maka diprediksikan pada tahun 2013 angka kematian bayi di DIY diharapkan akan mencapai 16 / 1000 kelahiran hidup. Pola penurunan dan kenaikan angka kematian bayi sensitif terhadap berbagai faktor lain. Seperti yang terlihat pada periode tahun 1997 sampai dengan 1999 dimana terjadi krisis multidimensi yang berdampak secara tidak langsung kepada peningkatan angka kematian bayi di DIY. Secara Nasional, target MDGs untuk angka kematian bayi pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999 (dari 25/1000 kelahiran hidup menjadi 16/1000 kelahiran hidup). 3.1.5. Angka Kematian Balita Angka kematian balita memiliki kecenderungan penurunan yang cukup baik. Tahun 1971 tercatat tingkat kematian balita yang sangat tinggi yaitu mencapai 152 / 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut secara berangsur turun dan 20 tahun kemudian menjadi 54/1000 kelahiran hidup,tahun 2002 sudah mencapai 30 / 1000 kelahiran hidup dan data tahun 2010 telah mencapai angka 19/1000 kelahiran hidup.

Gambar 6 : Angka Kematian Balita Propinsi DIY Tahun 1971 - 2010 (Sumber Sensus, SDKI, Supas, Profil Depkes, Profil Dinkes DIY)

31

Pola penurunan sedikit mengalami pola yang berbeda pada kisaran tahun 1997 sampai dengan 2002 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya krisis multi dimensi di Indonesia. Laporan kabupaten / kota tahun 2011 menunjukkan jumlah kematian anak balita sebanyak 50 kasus. Dengan pola penurunan sejak tahun 1971 tersebut maka diprediksikan di tahun 2013 angka kematian balita akan mencapai 16/1000. Secara Nasional target MDGs untuk angka kematian balita pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari da kondisi tahun 1999. 3.2. MORBIDITAS 3.2.1. Pola penyakit Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas selama beberapa tahun terakhir adalah ISPA, penyakit saluran nafas (Bronchitis, Asma, Pneumonia), dan diare. Sementara untuk Balita, pola penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit penyakit infeksi.

Sumber : Seksi Survailans Dinkes Provinsi DIY Tahun 2012 Laporan STP Puskesmas (pengamatan pada penyakit tertentu)

Gambar 7 : Distribusi 10 besar penyakit pada Puskesmas di Provinsi DIY Januari sampai dengan Desember 2011

32

Pola kunjungan rawat jalan Puskesmas dari tahun ke tahun menunjukkan pola yang hampir sama. Beberapa catatan penting dikaitkan dengan kunjungan rawat jalan di Puskesmas adalah munculnya berbagai berbagai penyakit tidak menular yang semakin tinggi. Hipertensi, dan Diabetes Melitus adalah diantara beberapa penyakit yang memperlihatkan peningkatan signifikan dalam beberap atahun terakhir.

Gambar 8. . Pola Penyakit Rawat Jalan di Rumah Sakit (Sistem Survailans S Terpadu) Tahun 2011

Berdasarkan laporan SIRS tahun 2011 dapat diketahui bahwa kunjungan rawat jalan di Rumah Sakit juga masih didominasi oleh penyakit infeksi saluran pernafasan dan diikuti oleh demam. Pola penyakit rawat jalan di puskesmas maupun n rumah sakit tidak jauh berbeda pada tahun-tahun tahun tahun sebelumnya, dimana penyakit-penyakit penyakit infeksi masih merupakan sepuluh besar penyakit yang dominan di Propinsi DIY.

33

Gambar 9. . Pola Penyakit rawat Inap di RS th 2011 (Laporan SIRS 2011)

Penyakit-penyakit penyakit infeksi diantaranya diare masih mendominasi sepuluh besar penyakit pada rawat inap di Rumah Sakit tahun 2011. Menarik bahwa pada banyak kasus kunjungan, penyakit Hipertensi telah menjadi penyakit paling dominan kedua bagi kelompok keluarga keluarg di DIY. Tidak seperti ISPA, besaran persentase penyakit hipertensi menurut kabupaten kota cukup bervariasi. bervariasi 3.2.1.1. Pola Penyakit Menular Penyakitpenyakit penyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan malaria, masih memiliki potensi untuk meningkat kembali (re-emerging emerging) mengingat kondisi perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, budaya) masyarakat yang kurang mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum tereliminasinya berbagai penyakit tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik baik perilaku maupun lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis seperti DBD sampai saat ini masih tetap menjadi ancaman. a. DBD Tingkat kematian penyakit DBD (case fatality rate) pada tahun 2011 lebih rendah dari rata-rata rata nasional. Data program P2M tahun 2011 20 menunjukkan bahwa CFR (case fatality rate / angka kematian) DBD DIY sebesar 0,5 (nasional <1) dengan incident rate/angka insidensi tahun 2011 20 sebesar 28,8 / 100.000 penduduk. 34

Gambar. 10. Peta kasus DBD Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY Tahun 2012)

Pada tahun 2011 angka insidensi mengalami penurunan menjadi 28,8 / 100.000 penduduk sementara untuk angka kematian / CFR mengalami penurunan menjadi 0,5 dari keseluruhan kasus. Meskipun mengalami penurunan namun kasus dan kematian akibat penyakit DBD masih masuk dalam kategori tinggi. Jumlah kasus DBD pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 985 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 5 kasus. Kasus DBD pada Tahun 2011 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 yaitu sebanyak 985 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 5 yaitu di kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta sebanyak masing-masing 2 kasus dan di Kabupaten Gunungkidul 1 kasus kematian.

35

Gambar. 11 Jumlah kematian akibat DBD Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY Tahun 2012)

Meskipun angka kejadian DBD mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, namun tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor risiko penularan di masyarakat seperti angka bebas jentik yang masih di bawah 95% yaitu baru 64,46% pada tahun 2008 dan 71,8% pada tahun 2009 dan pada tahun 2011 angka bebas jentik sebesar 86,62 rumah yang bebas dari jentik Aedes aegypti.

b. TBC Kualitas pengobatan TBC di DIY berdasarkan laporan program P2M, meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat namun tetap masih rendah yaitu angka kesembuhan baru mencapai 84,07% (target 85%).

36

Grafik 12 Angka penemuan kasus TB / CDR (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY tahun 2012)

Permasalahan lain adalah penemuan penderita yang masih rendah dimana pada tahun 2009 baru mencapai 52,6% (target 70%). Angka tersebut masih belum beranjak membaik dengan capaian capaian di tahun 2010 yang baru mencapai 53,3%. Sedangkan pada tahun 2011 menurun menjadi sebesar 50,8 % dengan target yang tetap yaitu sebesar 70%

Grafik 13 Angka Keberhasilan Pengobatan kasus TB /Succes Rate (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY tahun 2012)

Penderita TBC yang tidak sembuh atau penderita pen erita yang tidak memperoleh pengobatan karena belum ditemukan, merupakan sumber penular yang mengancam pencapaian derajad kesehatan mengingat penyakit TBC disamping bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor

37

berbagai penyakit dengan fatal lain seperti HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi, dan lain sebagainya.

Gambar 14. PETA PROSENTASE KESEMBUHAN TB PARU PROVINSI DIY TAHUN 2011 (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY tahun 2012)

Sementara itu kematian dan kesakitan akibat penyakit infeksi saluran pernafasan, menjadi penyebab kematian terbesar dan memiliki

kecenderungan peningkatan. Penyakit TBC memegang peran penting kasus kesakitan dan kematian penyakit saluran pernafasan tersebut dan

bertanggungjawab terhadap kecenderungan peningkatannya mengingat sifat penularan dan perilaku masyarakat

c. Malaria Penyakit malaria telah menurun dengan sangat signifikan dalam lima tahun terakhir. Namun demikian masih ditemukan adanya kasus penularan indigenous malaria Kabupaten Kulonprogo. Total kasus (indigenous dan non indigenous) tahun 2011 terlaporkan sejumlah 166 kasus terbanyak berasal dari Kabupaten Kulonprogo yang mencapai 159 kasus.

38

Gambar 15. Peta Jumlah Kasus Malaria dengan Pemeriksaan Sediaan Darah Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY tahun 2012)

Angka API / AMI per 100 penduduk tahun 2011 di Provinsi DIY kurang dari 0.01. Hasil pengamatan program P2M memperlihatkan bahwa episentrum KLB malaria masih dijumpai di wilayah Kulonprogo. Sementara belum baiknya kondisi lingkungan dan peningkatan pemanasan global dikhawatirkan akan tetap memberikan peluang yang tinggi bagi perkembangan penyakit ini. Pada tahun 2011 tidak ada kematian akibat penyakit malaria di Provinsi DIY d. HIV/AIDS DIY saat ini telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit HIV/AIDS terbesar. Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kelompok usia 20-26 tahun. Laporan program P2M menunjukkan bahwa penemuan kasus HIV/AIDS masih rendah yaitu dari target semula sebesar 2000 hanya mampu dicapai 1508 kasus. Dari 1508 kasus yang ditemukan sejumlah 586 kasus diantaranya telah memasuki fase AIDS sedangkan sisanya masih dalam fase HIV positif. Sementara itu pada tahun 2011 terdapat 41 kematian akibat AIDS yang meliputi 19 penderita laki-laki dan 22 penderita perempuan.

39

Gambar 16. Distribusi ODHA berdasar Fase Penyakit (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY)

Laporan kabupaten / kota menunjukkan jumlah kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2011 sebesar 132 kasus dengan kasus tertinggi HIV/AIDS adalah di Kota Yogyakarta sementara terendah adalah di Kabupaten Gunungkidul.

e. Filariasis dan Leptospirosis Kasus filariasis pada tahun 2011 ditemukan hanya ditemukan di Kabupaten Gunungkidul di Provinsi DIY sebanyak 6 kasus yang meliputi laki-laki 1 kasus dan perempuan 5 kasus. Sedangkan kasus Leptospirosis tidak ditemukan kasus baru di Provinsi DIY. Dibandingkan dengan tahun 2008, kasus leptospirosis pada tahun 2009 mengalami peningkatan yaitu sebesar 93 kasus dengan jumlah kematian 6 kasus. Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah 11 kasus, dan jumlah kematian 2 meninggal. Sedangkan tahun 2010 terlaporkan 230 kasus dengan kematian yang menigkat tajam menjadi 23 kasus. f. Kusta Penderita penyakit kusta di DIY jumlahnya kecil. Berdasarkan laporan 40

Kabupaten / kota Tahun 2011 jumlah penderita penyakit kusta yang berhasil diidentifikasi mencapai 44 orang (4 PB dan 40 MB). Angka yang dilaporkan tersebut hampir sama dibandingkan laporan tahun 2009 yang mencapai jumlah 45 orang dan tahun 2010 sejumlah 31 orang. Sedangkan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (NCDR) sebesar 1 per 100.000 penduduk. Salah satu yang menjadi catatan penting dikaitkan dengan penderita kusta adalah tingkat pencapaian pengobatan yang berhasil mencapai 100% di tahun 2011. g. Pneumonia Balita Pneumonia pada balita banyak dijumpai di Provinsi DIY. Pada tahun 2011 dilaporkan terdapat 1.739 kasus pneumonia pada balita yang ditangani dari perkiraan 34.575 kasus pneumonia. Laporan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dilaporkan sebanyak 1.813, tahun 2009 dilaporkan sebanyak 1.189 kasus, tahun 2008 ditemukan sejumlah 783 kasus Pneumonia Balita.

Gambar 17 Peta Jumlah Kasus Pneumoni Balita Ditemukan Dan Ditangani Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY tahun 2012)

41

h. Diare Penderita diare di puskesmas di kabupaten / kota setiap tahun jumlahnya cukup tinggi. Namun demikian hal ini belum dapat menggambarkan prevalensi keseluruhan dari penyakit diare karena banyak dari kasus tersebut yang tidak terdata oleh sarana pelayanan kesehatan (pengobatan sendiri atau

pengobatan di praktek swasta). Laporan profil kabupaten / kota menunjukkan bahwa selama kurun tahun 2011 jumlah balita yang menderita diare dan memeriksakan ke sarana pelayanan kesehatan mencapai 64.857 dari perkiraan kasus sebanyak 150.362 balita diare, sementara tahun 2010 mencapai 55.880 balita dilaporkan menderita diare. g. Penyakit bisa dicegah dengan Imunisasi Program imunisasi telah dijalankan sejak lama di seluruh wilayah Indonesia dan telah mencapai hasil yang cukup baik. Provinsi DIY merupakan wilayah yang memiliki tingkat pencapaian kinerja dalam program imunisasi yang terbaik di Indonesia. Seluruh desa (100%) di tahun 2011 yang ada di Provinsi DIY telah masuk dalam kategori desa UCI (Universal Coverage Immunization) yaitu suatu indikasi yang menggambarkan bahwa desa tersebut penduduknya telah menjalankan imunisasi. Hasil pencapaian program imunisasi juga terlihat dari berbagai kasus penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi yang relatif kecil dibandingkan dengan wilayah lain.

Gambar 18. Peta Jumlah Kasus Campak Provinsi DIY Tahun 2011 (sumber Seksi P2 Dinkes Provinsi DIY)

42

Laporan kabupaten / kota memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 ditemukan satu kasus penyakit campak 140 kasus (terbanyak di Kabupaten Sleman) dengan masing-masing penderita laki-laki dan perempuan sama yaitu sebanyak 70 kasus. Sementara kasus polio dan hepatitis pada tahun 2011 tidak ditemukan. Demikian halnya dengan kasus tetanus dan pertusis. Untuk kasus difteri ditemukan 1 kasus di Kulonprogo pada tahun 2011. Di sisi lain pencapaian program imunisasi penyakit campak menunjukkan bahwa cakupan masih belum mencapai 100% (tahun 2011 97,81%, tahun 2010: 101 %, tahun 2009 sebesar 99,09% dan tahun 2008 : 92,57%). h. New Emerging Disease Hasil laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa di 5 kabupaten/kota telah terdeteksi unggas (>1 jenis) positif Avian Influenza. Potensi penyakit Avian Influenza masih terbuka lebar dengan masih buruknya pemahaman dan perilaku masyarakat untuk melakukan pencegahan.Beberapa penyakit baru lain seperti Influanza H1N1, SARS dan lain sebagainya akan tetap mengancam dengan semakin tingginya tingkat mobilitas penduduk antar wilayah dan belum baiknya pola perilaku sehat masyarakat. 3.2.1.2. Penyakit Tidak Menular Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi, maka problem penyakit tidak menular pun cenderung meningkat. Beberapa penyakit tersebut diantaranya adalah Penyakit Jantung

dan Pembuluh Darah (kardiovaskuler), Diabetes Mellitus, Kanker, Gangguan Jiwa. Sejak tahun 1997 data menunjukkan bahwa, pola kematian yang tercatat di rumah sakit rumah sakit di DIY telah mulai menunjukkan pergeseran. Jenis penyakit penyebab kematian terbanyak dari semula penyakit-penyakit menular menjadi kematian akibat penyakit yang masuk dalam kategori penyakit tidak

43

menular. Perkembangan lebih lanjut semakin menunjukkan dominasi penyakit tersebut sebagai penyebab kematian di DIY. Pada beberapa tahun yang akan datang, jumlah penderita penyakit tidak menular akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jumlah penduduk usia tua semakin bertambah. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan longterm care. Data pada saat ini memperlihatkan bahwa pola penyakit pada semua golongan umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit degeneratif, terutama penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan Diabetes Mellitus (DM). Penyakit yang berhubungan dengan organ paru juga menjadi penyakit yang perlu diwaspadai di DIY. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit paru termasuk asma selalu masuk 10 penyebab langsung dan tidak langsung kesakitan dan kematian utama di Indonesia termasuk DIY. Hasil survai kesehatan daerah (Surkesda th 2010) menunjukkan bahwa propinsi DIY masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus hipertensi terbanyak.

Kasus Hipertensi per Provinsi (Riskesdas 2007)


40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
37.4 37.2 37.0 36.6 35.8 34.0 33.9 33.6 32.4 31.6 31.5 31.5 31.3 31.2 31.2 30.3 30.2 29.9 29.8 29.4 29.3 29.1 29.0 28.8

31,7%
28.4 28.1 27.6 26.3 25.1 24.1 22.0 20.1

Suhu udara yang panas dan meningkatnya asap kendaraan bermotor di Yogyakarta mengakibatkan beberapa parameter pencemaran udara sudah memasuki taraf waspada. Hasil pantauan kualitas udara oleh Kantor

Jawa Timur Bangka Belitung Jawa Tengah Sulawesi Tengah DI Yogyakarta Riau Sulawesi Barat Kalimantan Tengah Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tenggara Sumatera Selatan Gorontalo Kalimantan Timur Sumatera Barat Sulawesi Utara Kepulauan Riau NAD Jambi Kalimantan Barat Jawa Barat Maluku Bali Sulawesi Selatan DKI Jakarta Maluku Utara Nusa Tenggara Timur Banten Sumatera Utara Bengkulu Lampung Papua Papua Barat

Gambar 19. Kasus Hipertensi di Indonesia (Sumber : Riskesdas 2010)

44

Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta menunjukkan beberapa kadar zat berbahaya di udara melebihi batas baku mutu udara. Selain itu juga jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey termasuk Susenas, telah mencapai lebih dari 30%. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi DIY tahun 2006 dan 2008 memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga di DIY tidak bebas asap rokok. Sedngkan pada hasil Riskesdas tahun 2010 kasus hipertensi di Provinsi DIY mencapai 35,8 % diatas rata-rata seluruh Indonesia yang mencapai 31,7%. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, intra cranial injury (kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian dan

menunjukkan kecenderungan peningkatan. Kecelakaan lalu lintas di DIY mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 2002 mengalami peningkatan yang cukup besar. Jumlah kasus untuk periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 tercatat 112 kecelakaan meningkat menjadi 691 kecelakaan saat ini. Selama tahun 2008 kecelakaan telah merenggut nyawa 292 orang dan 3766 orang

menderita luka berat dan ringan. Jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2009 ada 4.384 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 201 orang meninggal dan 6.822 mengalami luka berat dan ringan, kondisi tersebut meningkat tajam dibandingkan dengan tahun 2008 ditinjau dari jumlah korban luka berat maupun ringan. Mencegah kematian dini akibat kecelakaan bagaimanapun tidak lagi hanya menjadi tugas Kepolisian tetapi menjadi tugas semua pihak seperti kesehatan. Meskipun sampai saat ini data mengenai tingkat risiko kematian yang ditimbulkan dari kecelakaan dari sektor kesehatan belum dimiliki, namun peran sistem rujukan dan penanganan pra rujukan diyakini akan memiliki peran besar menurunkan angka risiko kematian dini tersebut. Meningkatnya penyakit degeneratif disertai dengan masih berkembangnya penyakit-penyakit infeksi akan menyebabkan beban ganda pembangunan kesehatan di Propinsi DIY.

45

3.2.2. Pola Kematian Akibat Penyakit Penyakit jantung dan stroke dalam sepuluh tahun terakhir selalu masuk dalam 10 penyakit penyebab kematian tertinggi. Analisis tiga tahun terakhir dari data di seluruh rumah sakit di DIY menunjukkan, penyakit-penyakit penyakit penyakit kardiovaskuler seperti jantung, stroke, hipertensi atau dikenal sebagai penyakit CVD (cardiovasculer disease) menempati urutan paling tinggi penyebab kematian. Sampai dengan tahun 2009 menunjukkan bahwa dominasi kematian akibat penyakit tidak menular sudah mencapai lebih dari 80% kematian akibat akib penyakit yang ada di DIY (hospital based). CVD tidak hanya menempati urutan tertinggi penyebab kematian tetapi jumlah kematiannya dari tahun ke tahun juga semakin meningkat seiring semakin meningkatnya jumlah penderita penyakit-penyakit penyakit CVD sebagaimana laporan RS di DIY.

Gambar 20. . Penyebab kematian di RS akibat penyakit tahun 2011 (Sumber : Laporan SIRS Dinkes Provinsi DIY Tahun 2011)

Kematian akibat cedera intracranial (kecelakaan) yang selama ini kurang mendapat perhatian ternyata telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian bahkan menunjukkan kecenderungan peningkatan tajam dalam tiga tahun terakhir. Dalam enam tahun ahun terakhir, peristiwa kecelakaan lalu lintas di provinsi DI Yogyakarta terbilang cukup tinggi. Data Kepolisian menunjukkan, tahun 2006 46

telah terjadi 1.039 kasus kecelakaan di DIY, meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 2005 dan setiap tahun sedikitnya 130 meninggal (12%) akibat kecelakaan lalu lintas di DIY. Laporan Kepolisian menunjukkan bahwa 88% kematian diakibatkan oleh cedera kepala. Faktor perilaku pengendara memang menjadi faktor dominan bagi tinggi rendahnya tingkat kematian akibat kecelakaan. Meskipun demikian disamping faktor perilaku tersebut, dukungan pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan pertolongan pertama / prarujukan, rujukan gawat darurat dan kualitas pelayanan di sarana pelayanan kesehatan sedikit banyak juga bisa ikut berperan untuk menurunkan kematian akibat kecelakaan. Oleh karena itu perbaikan sistem pelayanan termasuk pertolongan prarujukan dan rujukan diharapkan akan mampu menurunkan tingkat kematian. Penyakit infeksi saluran nafas merupakan satu dari dua penyakit infeksi yang masuk sebagai penyebab kematian terbanyak di Yogyakarta. Dalam catatan medis jenis penyebab terbanyak adalah Bronchitis dan Pneumonia, namun dengan melihat kondisi prevalensi dan penemuan kasus TBC di DIY pada khususnya, maka sangat dimungkinkan bahwa penyakit TBC ikut pula menjadi salah satu kontributor kematian penyakit tersebut.

3.3. STATUS GIZI Gambaran keadaan gizi masyarakat Provinsi DIY pada tahun 2010 adalah masih tingginya prevalensi balita kurang gizi yaitu sebesar 10,28 % (KEP total), walau sudah menurun dibanding tahun 2010 sebesar 11,31%. Prevalensi balita kurang gizi di Provinsi DIY ini masih berada di atas 10 %, yang artinya masih di atas nilai ambang batas universal masalah kesehatan masyarakat. Sedangkan prevalensi balita dengan status gizi buruk sebesar 0,68% (menurun dibanding tahun 2010 sebesar 0,7%), status gizi kurang sebesar 9,60% (menurun dibanding tahun 2010 sebesar 10,61%), dan balita dengan status gizi lebih sebesar 2,55% (menurun dibanding tahun 2010 sebesar 2,99%).

47

Meskipun angka gizi kurang di DIY telah jauh melampaui target nasional (persentase gizi kurang sebesar 15% di tahun 2015) namun penderita gizi buruk masih juga dijumpai di wilayah DIY. Tahun 2008 sampai 2011 terdapat penurunan prevalensi balita dengan status gizi buruk, namun demikian perlu dilihat disparitas angka prevalensi gizi buruk di setiap wilayah Kabupaten/kota dan kecamatan. Prevalensi balita gizi buruk di 4 kabupaten sudah sesuai harapan yaitu <1%, sedangkan di Kota Yogyakarta masih 1,35%. Situasi status gizi sejak tahun 2009 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada gambar berikut:

S u m b er : S ek s i G iz i, D ink es P ro v in s i D IY T ah un 2012

Gambar 21. Situasi Status Gizi di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)

Berdasarkan laporan hasil pemantauan status gizi di kabupaten / kota tahun 2011, peta Balita BGM (Bawah Garis Merah) yaitu standar yang menggambarkan status gizi balita, memperlihatkan bahwa balita BGM/D di Provinsi DIY belum mencapai target. Di kabupaten Bantul dan Gunungkidul masing masing 2,35% dan 2,08%, sedangkan 3 kab/kota yang lain <2%. Dari segi pelayanan, cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan mencapai 100%, artinya sebanyak 387 balita yang mengalami gizi buruk (dengan indikator BB/TB), semuanya mendapatkan perawatan. Sedangkan untuk situasi gizi ibu hamil, prevalensi Ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) di DIY pada tahun 2011 adalah sebesar 14,86% meningkat

48

dibanding tahun 2010 sebesar 14,41%, tertinggi di Kota Yogyakarta (22,69%) dan paling rendah di Kabupaten Sleman (11,72%). Situasi prevalensi ibu hamil KEK dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada gambar di bawah.

Sumber : Seksi Gizi, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2012

Gambar 22. Situasi Prevalensi Bumil KEK di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)

ooOOoo

49

BAB IV SITUASI UPAYA KESEHATAN

4.1.VISI & MISI Pelaksanaan upaya kesehatan di provinsi DIY tidak terlepas dari Visi dan Misi provinsi DIY dalam melaksanakan pembangunan kesehatan. VISI DINAS KESEHATAN PROPINSI DIY sebagai berikut :

Dinas Kesehatan yang katalistik mendukung terciptanya status kesehatan DIY yang tinggi, serta sebagai pusat pelayanan dan pendidikan kesehatan yang bermutu dan beretika
Dan misi sebagai berikut : 1. Mencegah meningkatnya risiko penyakit & masalah kesehatan 2. Menyediakan pelayanan kesehatan secara merata, bermutu baik pemerintah maupun swasta 3. Meningkatnya pembiayaan kesehatan yg cukup untuk peningkatan status kesehatan masyarakat 4. Meningkatkan mutu pendidikan, pelatihan tenaga kesehatan serta penelitian kesehatan

Dengan target yang mengacu pada Visi indonesia Sehat 2010 dan standar pelayanan yang mengacu pada kepmenkes RI No. 281/menkes/SK/IX/2008 tentang standar Palayanan Minimal bidang Kesehatan.

50

4.2. Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi Puskesmas dan jajarannya serta Rumah Sakit adalah sebagai berikut : Tabel 4. Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar di Provinsi DIY Tahun 2011

Sarana Kesehatan Dasar di DIY


KA !PAT"N# NO KOTA 1 2 3 # 5 Kota Yogyakarta Bantul "unung Kidul Kulon Progo Sleman Provinsi P!SK"S $AS P!SK TT P!SK NON TT 18 2 30 21 25 121 3 1! 1# 5 # (2 15 11 1! 1! 21 )* 10 !8 10 !2 1 +1, P!ST! PO%IND"S P!SK T"& #POS S"&TI'IKASI K"SD"S ISO 0 1! 30 #0 8! 1)2 3 1 ! 1 1$ +0

S u m b e r d a ta : S e k s i Y a n k e s d a s 2 0 1 2

Akses masyarakat Yogyakarta terhadap sarana pelayanan kesehatan telah cukup baik. Salah satunya diperlihatkan dari aksesibilitas jarak jangkauan. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2008, dimana menunjukkan bahwa lebih dari 80% penduduk DIY hanya berjarak 1-5 km terhadap puskesmas dan lebih dari 70% penduduk hanya berjarak 1-5 km terhadap rumah sakit dan dokter praktek swasta. Tidak ditemukan penduduk yang memiliki jarak tempuh lebih dari 10 km terhadap sarana pelayanan puskesmas, dokter praktek swasta dan bidan, yang menunjukkan mudahnya akses jarak jangkauan penduduk terhadap sarana pelayanan. Aksesibilitas jarak jangkauan terhadap sarana pelayanan kesehatan cukup merata antar kabupaten kota. Penduduk DIY di setiap Kabupaten / Kota pada umumnya berada pada kisaran 1-5 km terhadap Puskesmas. Rumah Sakit di Provinsi DIY menurut jumlah Rumah Sakit Umum dan Khusus adalah sebagai berikut : Jumlah Rumah Sakit Umum : 44 RS (RS Pemerintah 7, TNI/Polri 3 dan RS

Swasta sebanyak 34 RS). Jumlah Rumah Sakit Jiwa sebanyak 2 RS, Rumah

51

Sakit Ibu & Anak sebanyak 8 RS dan jumlah Rumah Sakit Khusus lainnya sebanyak 9 RS. Sarana kefarmasian pada tahun 2011 tercatat jumlah Apotik sebanyak 455 buah, jumlah toko obat 51 buah dan jumlah industri kecil obat tradisionil sebanyak 64 buah. 4.3. Perbaikan Gizi Masyarakat Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan program gizi yaitu meningkatkan kesadaran gizi keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan status gizi masyarakat. Pemantauan pertumbuhan balita merupakan alat untuk mengetahui status gizi anak balita. Salah satu kegiatan berbasis masyarakat yang melaksanakan pemantauan pertumbuhan terhadap balita adalah posyandu. Karena itu, peran serta masyarakat dengan mengikutsertakan balitanya untuk ditimbang di posyandu memberikan andil yang sangat besar terhadap pencapaian indikator ini. Pada tahun 2011, di Provinsi DIY tingkat partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu (D/S) berkisar antara 70 79 % di semua kab/kota, partisipasi tertinggi di Kabupaten Kulonprogo mencapai 79% dan partisipasi terendah di Kota Yogyakarta sebesar 72,6%. Dengan demikian terlihat bahwa masih ada masyarakat yang belum membawa anak balitanya untuk ditimbang di posyandu. Sedangkan dari segi pencapaian hasil penimbangan yang dilihat dari balita yang naik berat badan saat ditimbang (N/D), terlihat bahwa capaian di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman masih < 50%, Kabupaten Bantul dan Kulonprogo 50 59% sedangkan Kabupaten Gunungkidul 60 69%. Capaian pemberian kapsul vitamin A untuk bayi mencapai 98,60% sedangkan untuk balita mencapai 98,10%. Distribusi vitamin A kepada bayi dan balita merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi bayi dan balita. Dari hasil tersebut terlihat telah mencapai tingkat cakupan yang cukup baik namun belum mencapai target 100%. Anemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian ibu melahirkan. Angka anemia ibu hamil di Provinsi DIY pada tahun 2011 sebesar

52

18,90%, menurun dibanding pada tahun 2010 sebesar 20,95%, dapat dilihat pada grafik di bawah. Berdasarkan kondisi di kabupaten/kota, angka anemia bumil tertinggi yaitu Kabupaten Bantul 25,60% dan terendah di Kabupaten Sleman 10,19%. Prevalensi ibu hamil anemia di Provinsi DIY ini sudah berada di bawah 20%, yang artinya sudah di bawah nilai ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat.

S u m b er : S ek s i G iz i, D in ke s P ro v in s i D IY T ah u n 20 12

Gambar 23. Prevalensi Bumil Anemi di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)

Distribusi kapsul Fe kepada ibu hamil ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ibu hamil dan mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil. Hasil pantauan terhadap pelaksanaan distribusi kapsul Fe kepada ibu hamil belum menunjukkan hasil yang optimal. Laporan Kabupaten / kota tahun 2011 menunjukkan distribusi kapsul Fe1 mengalami penurunan dari 92,81% di tahun 2010 menjadi 92,61% di tahun 2011. Sedangkan Fe3 meningkat dari 86,57% di tahun 2010 menjadi 86,59% di tahun 2011. Untuk cakupan Fe3 dapat dilihat pada grafik di bawah.

53

S u m b e r : S e k s i G iz i, D in k e s P ro v in s i D IY T a h u n 2012

Gambar 24. Situasi Prevalensi F3 Bumil di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)

Dari hasil cakupan Fe dan angka anemia ibu hamil di atas, terlihat bahwa capaian Fe tinggi tidak diikuti dengan turunnya angka anemia ibu hamil. Karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam misalnya pada tingkat kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi Fe. ASI eksklusif merupakan salah satu program yang cukup sulit dikembangkan karena berkaitan dengan berbagai permasalahan sosial di masyarakat. Sampai dengan tahun 2008 cakupan ASI ekslusif di provinsi DIY baru mencapai 39,9%, menurun pada tahun 2009 yaitu sebesar 34,56% dan meningkat menjadi 40,03% pada tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2011, cakupan ASI eksklusif kembali menunjukkan peningkatan menjadi 49,5%. Lebih rinci, cakupan ASI Eksklusif di Kabupaten Sleman sudah mencapai 60%, di Gunungkidul masih 20 - 39%, sedangkan di kabupaten/kota yang lain masih berkisar 40 39%.

S u m b e r : S e k s i G iz i, D in k e s P ro v in s i D IY T ah u n 2012

Gambar 25. Cakupan ASI Ekslusif di Provinsi DIY (Laporan Program Gizi)

54

Upaya yang telah dilakukan Provinsi DIY dalam meningkatkan perbaikan gizi masyarakat mencakup pendidikan gizi bagi masyarakat berupa penyuluhan gizi di Posyandu, pengembangan media KIE serta konseling menyusui dan MP-ASI, peningkatan surveilans gizi berupa pemantauan pertumbuhan balita,

pemantauan dan penanganan kasus gizi buruk, pemantauan konsumsi garam beryodium, pemberian suplemen gizi (melalui pemberian Vitamin A dosis tinggi dan tablet Fe+asam folat), pemberian makanan tambahan untuk balita gizi buruk dan gizi kurang, serta pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang

mengalami kekurangan energi kronis. Upaya yang lain adalah peningkatan kapasitas petugas kesehatan berupa pelatihan tatalaksana gizi buruk, pelatihan penggunaan standar pertumbuhan balita, pelatihan konselor ASI bagi petugas kesehatan dan pelatihan motivator ASI, serta pemberdayaan masyarakat. 4.4. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Kualitas pelayanan kesehatan di DIY yang cukup baik, salah satunya tergambar dari proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan. Cakupan

persalinan yang ditolong tenaga kesehatan pada tahun 2011 di Provinsi DIY berdasarkan laporan kabupaten/kota telah mencapai 99,73%, Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 97,69%. Salah satu upaya dalam menurunkan kematian ibu adalah dengan

meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC: antenatal care) oleh tenaga kesehatan. Indikator yang digunakan untuk memantau cakupan pemeriksaan kehamilan tersebut adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal (K1) yang merupakan indikator akses, dan cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal minimal empat kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (K4) yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah. Capaian K1 dan K4 di Provinsi DIY pada tahun 2011 masing-masing sebesar 99,98 % dan 89,31%. Dengan cakupan K1 dan K4 yang sudah cukup tinggi tersebut, upaya peningkatan pelayanan kesehatan utamanya untuk ibu hamil di 55

Provinsi DIY pada masa yang akan datang adalah meningkatkan kualitas pelayanan, yaitu pelayanan antenatal yang lengkap dan sesuai standar. Diharapkan dengan kualitas ANC yang baik akan dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan yang terjadi pada masa kehamilan, dan mencegah kejadian komplikasi. Meskipun demikian dari hasil capaian tersebut, terlihat masih ada kesenjangan antara K1 dan K4 yang cukup jauh. Cakupan penanganan ibu hamil yang mengalami komplikasi (PKO) pada tahun 2011 di Provinsi DIY, berdasar data yang diperoleh dari kabupaten/kota yaitu sebesar 70,44%. Namun, cakupan tersebut tidak bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat karena denominator yang digunakan adalah perkiraan jumlah bumil risiko tinggi, yaitu 20% dari jumlah bumil. Dari hasil diskusi dan pertemuan yang dilakukan dengan kab/kota, disimpulkan bahwa semua kasus komplikasi yang terjadi pada ibu hamil sudah ditangani. Kunjungan nifas menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan terhadap ibu, mulai 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Pada tahun 2011, ibu nifas yang telah memperoleh pelayanan minimal tiga kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (KF3) mencapai 88,96%, meningkat dari tahun 2010 sebesar 86,18%. Dari hasil capaian tersebut, terlihat kesenjangan yang cukup jauh antara capaian persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) dengan kunjungan nifas lengkap (KF3). Dengan demikian terlihat bahwa masih ada ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan pada masa nifas, walaupun sudah melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan. Diharapkan, kesenjangan antara K1 dan K4 dapat diturunkan dan capaian K4 dan KF3 dapat lebih meningkat di masa yang akan datang sehingga dapat memberikan andil dalam penurunan AKI. Gambaran K1, K4, persalinan nakes dan KF3 dapat dilihat pada gambar di bawah.

56

% & a ku'a n K 1( K #( P n da n K ) 3 * a hun 2010+2011

Sumber data : Seksi Kesga Tahun 2012

Gambar 26. Cakupan Program Kesga Provinsi DIY (Laporan Program Kesga)

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian neonatal (usia 0 28 hari), adalah dengan meningkatkan cakupan pelayanan neonatal sesuai standar pada 6 48 jam pertama setelah lahir (KN-1) serta pelayanan neonatal minimal tiga kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (KN-L). Berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, cakupan KN-1 di Provinsi DIY pada tahun 2011 sebesar 98,99%, meningkat dari tahun 2010 sebesar 96,7%. Sedangkan cakupan KN-L sebesar 88,26%, justru mengalami penurunan dibanding tahun 2010 sebesar 91,3%.
% & a ku'a n K un,ung a n - eona tus 1 da n K un,ung a n - eona tus . a n,uta n * a hun 2010+ 2011

Sumber data : Seksi Kesga Tahun 2012

Gambar 27. Cakupan Kunjungan Neonatal (Hasil Riskesdas 2010)

57

Sementara untuk kasus kematian neonatal, di Provinsi DIY pada tahun 2011 terjadi sebanyak 311 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 241 kasus, dengan penyebab kematian terbanyak disebabkan karena BBLR dan asfiksia. Tabel 5. Jumlah Kematian Neonatal & Faktor Penyebabnya Prov. DIY Tahun 2011
-o Ka/u'ate0Kota Kematian -eonatal 3# 88 5# $# #1 311 BB.1 13 3# 1 #5 $ 118 )aktor Penye/a/ 2s3iksia Se'sis Kelainan Kongenital 1# 2 5 20 2 15 23 # # 33 0 18 2 5 36 108 10 .ain+ lain 0 1 ! $ 3$

1 Yogyakarta 2 Bantul 3 Kulon'rogo # "unungkidul 5 Sleman Provinsi DIY

Kesehatan remaja masuk dalam ranah kesehatan anak. Program kesehatan remaja dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap siswa SD/MI dan SMP/SMU. Program ini belum mampu menjangkau seluruh target sasaran. Pada tahun 2011, jumlah siswa kelas 1 yang diperiksa melalui penjaringan kesehatan sebesar 98,53% untuk SD/MI, 97,13% untuk SMP/MTs, dan 96,85% untuk SMA/MA/SMK. Dalam meningkatkan kualitas kesehatan anak, perlu dilakukan upaya yang berkesinambungan pada setiap sikus kehidupan manusia (continuum of care), yang meliputi masa reproduksi, masa hamil, neonatal, bayi, balita, anak prasekolah, masa sekolah dan remaja. Intervensi kesehatan perlu dilakukan pada setiap tahapan kehidupan tersebut, dan hal tersebut tergambar pada peningkatan cakupan indikator kesehatan ibu dan anak, di antaranya K1, K4, Pn, KN-1, KN-L, penanganan komplikasi obstetri maupun neonatal, pelayanan kesehatan bayi dan balita, serta KB aktif, maupun pelayanan kesehatan terhadap anak usia sekolah dan remaja. Upaya yang lain adalah dengan meningkatkan kualitas SDM dengan mengadakan berbagai pelatihan untuk petugas kesehatan seperti pelatihan manajemen asfiksia, BBLR, dll, serta yang tidak kalah penting adalah meningkatkan kualitas sarana pelayanan kesehatan (dalam hal ini puskesmas) dengan meningkatkan kemampuan puskesmas menjadi puskesmas yang mampu PONED, PKPR, PKRE, mampu tatalaksana KtPA, melaksanakan MTBS, SDIDTK, dan dapat memberikan pelayanan KB sesuai standar. 58

4.5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan Kondisi perumahan di Provinsi DIY dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh kabupaten / kota menunjukkan bahwa baru 64,65% yang masuk dalam kategori rumah sehat. Program pemantauan sendiri baru mampu menjangkau sejumlah 38,89% dari target yangdiharapkan. Meskipun demikian beberapa parameter rumah sehat pada masyarakat di DIY menunjukkan telah cukup baik diantaranya adalah pemanfaatan air bersih (94%) dan jamban sehat (75%).

- Pen.u.uk /0 mem1un/ai akses air minum, - kua2i3as air minum memenuhi s/ara3, - 1en.u.uk men00unakan 4amban 1er Kab#Ko3a Tahun 2011

Sumber : Seksi Pen/eha3an %in0kun0an, Dinkes Provinsi DIY Tahun 2012

Gambar 28 Hasil Cakupan Program Kesehatan Lingkungan Tahun 2011

Prosentase penduduk yang mempunyai akses air minum di DIY telah mencapai 90,09% (terendah di Bantul 81%) sedangkan prosentase kualitas air minum memenuhi syarat sebesar 62,02% (terendah di Gunung Kidul 20%). Prosentase penduduk yang menggunakan jamban masih sebesar 78,78%. Parameter tempat sampah sehat dan air limbah sehat masih perlu ditingkatkan yang diperlihatkan dari capaian yang baru 50,23% untuk tempat sampah sehat dan 65,47% untuk pengelolaan limbah sehat.

59

4.6. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat DIY Kesehatan merupakan aset masa depan dan merupakan modal terciptanya hidup yang sejahtera. Agar status kesehatan dapat diraih, perlu dilakukan upaya pencegahan penyakit, di antaranya pada tingkat pertama adalah melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pola PHBS ini hendaknya dilaksanakan oleh seluruh masyarakat yang ada di berbagai tempat / tataran yaitu di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, di institusi kesehatan, dan di rumah tangga. PHBS di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Berdasarkan evaluasi, maka pada

perkembangannya indikator PHBS tatanan rumah tangga mulai ditingkatkan kualitasnya. Dari 10 indikator yang semula masih menggunakan stratifikasi sehat I IV, maka secara nasional sudah ditingkatkan kualitas indikatornya menjadi 10 indikator yang sifatnya komposit/gabungan, sehingga 10 indikator PHBS tatanan rumah tangga semua harus terpenuhi. Sepuluh indikator PHBS rumah tangga tersebut adalah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI eksklusif, balita ditimbang, penggunaan air bersih, cuci tangan, penggunaan jamban, pemberantasan jentik, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik dan tidak merokok di dalam rumah. Provinsi DIY telah menerapkan indikator tersebut sebagai evaluasi pada tatanan PHBS rumah tangga mulai tahun 2010. Hasil pencapaian tahun 2011, dari 341.362 rumah tangga yang dipantau menunjukkan sebanyak 31,40% rumah tangga telah menerapkan PHBS, seperti terlihat pada gambar di bawah. Dari capaian tersebut, yang memberikan kontribusi terendah dan masih menjadi masalah kesehatan pada umumnya adalah tidak merokok di dalam rumah yang baru mencapai 46,67%, bayi diberi ASI eksklusif sebesar 77,70%, konsumsi buah dan sayur sebesar 83,35% dan aktifitas fisik sebesar 87,48%. Gambaran capaian Rumaha Tangga berPHBS di Provinsi DIY seperti berikut :

60

Sumber: Sie Promosi Kesehatan dan Kemitraan.


Gambar 29. Capaian Rumah Tangga ber-PHBS ber PHBS di Provinsi DIY Tahun 2011

Merokok merupakan salah satu perilaku yang menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa prevalensi perokok di DIY sebesar 31,6%, dan sebanyak 66,1% masih merokok merokok di dalam rumah. Hal tersebut terlihat pada grafik di bawah.

Dalam Rumah: Provinsi(3)


7( ) 7* 7 76 ! 76 6 7" 6 "+ ! "* (

66 !

6" !

$ati#

Indonesia

%&B

Kalti#

DI Yogya

'aluku

'alut

Bali

Sumber: Riskesdas 2010


Gambar 30. Prosentase Merokok di dalam rumah menurut Provinsi

Persentase rumah tangga bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6%, tertinggi di Kota Yogyakarta (52,1%) dan terendah di Gunungkidul (40,2%). Dari hasil tersebut, tidak mengherankan jika persentase perokok pasif cukup tinggi

Kalteng

61

karena perokok biasa merokok di dalam rumah. Sedangkan jika dilihat dari statusnya, perokok rumah tangga tangga didominasi suami / kepala rumah tangga. Untuk mendukung peningkatan capaian 10 indikator PHBS, dilakukan berbagai upaya, diantaranya meningkatkan pembinaan UKBM secara terintegrasi (posyandu, desa siaga, kadarsi), penyebarluasan informasi baik secara secar langsung maupun tidak langsung melalui media, serta meningkatkan peran serta swasta, ormas, dan LSM. Pengembangan desa siaga yang dilakukan adalah meningkatkan desa siaga yang sudah terbentuk menjadi desa siaga aktif. Capaian desa siaga di profinsi DIY Y sudah mencapai 100 %, sedangkan desa siaga aktif mencapai 89,25%. Sedangkan capaian posyandu aktif di Provinsi DIY pada tahun 2011 sebesar 75,52%. Jika dilihat dari srata perkembangannya, posyandu pratama sebesar 4,79%, posyandu madya sebesar 19,69%, posyandu posyandu purnama sebesar 47,39% dan posyandu mandiri sebesar 28,14%, seperti terlihat pada grafik di bawah. .

Sumber: Sie Promosi Kesehatan dan Kemitraan 2012


Gambar 30. 30 Prosentase Posyandu mandiri di Provinsi DIY

62

BAB V SUMBERDAYA KESEHATAN

5.1. Tenaga Kesehatan Undang undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang

mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sedangkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, maka tenaga kesehatan terbagi atas 7 (tujuh) jenis tenaga yaitu tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik dan tenaga keteknisian medis Ketersediaan tenaga di sarana kesehatan baik di puskesmas maupun rumah sakit pada umumnya sudah baik. Jumlah tenaga kesehatan yang ada di seluruh Propinsi D.I. Yogyakarta yang terdiri dari RSU Pemerintah dan Swasta, Puskesmas, Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi DIY tahun 2011 adalah sebagai berikut :
Gambar 31. Distribusi Tenaga Kesehatan di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011


$000 8000 000 !000 5000 #000 3000 2000 1000 0 4enis *enaga Kesehatan 2!2! 100 353 $5 20!$ 85# 5edis Ke'era6atan Kesehatan 5asyarakat Ke3armasian "i7i Ketera'ian )isik Keteknisian 5edis 8051

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

63

5.1.1 Tenaga Medis Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan tenaga medis meliputi Dokter dan Dokter gigi, termasuk didalamnya tenaga dokter spesialis Tenaga medis merupakan salah satu unsur pelaksana pelayanan kesehatan yang utama di fasilitas pelayanan kesehatan, baik di puskesmas, rumah sakit, klinik, maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Adapun jumlah tenaga medis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan wilayah kerjanya dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 32. Distribusi Tenaga Medis di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011

500 #50 #00 350 300 250 200 150 100 50 0

#5 380 Kota Yogyakarta 301 2#3 1$0 1#$ 81 133 $ 2 2$ Dokter 8mum Dokter S'esialis 115 1## !5 2 #2 1## 20 Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman Provinsi

Dokter "igi

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera diatas Jumlah tenaga dokter umum yaitu sejumlah 1065 orang, terbanyak berada di Kota Yogyakarta dengan jumlah dokter umum sebanyak 380 orang dan disusul dengan Kabupaten Sleman sebanyak 243 orang, sedangkan dokter umum paling sedikit terdapat di Kabupaten Kulonprogo sebanyak 81 orang dan di Provinsi ( yang terdiri atas Dinas Kesehatan Provinsi, RSUP Dr. Sardjito, dan RS Jiwa Ghrasia) sebanyak 79 orang. Untuk dokter spesialis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1119 orang, terbanyak berada di Kota Yogyakarta dengan jumlah dokter spesialis sebanyak 457 orang, kemudian Provinsi dengan dokter spesialis

64

sebanyak 301 orang, sedangkan dokter spesialis paling sedikit berada di Kabupaten Kulonprogo sebanyak 27 orang. Sedangkan untuk dokter gigi dari sejumlah 442 orang terbanyak terdapat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yang masing masing sejumlah 442 orang, sedangkan yang paling sedikit terdapat di Provinsi yaitu sejumlah 20 dan di Kabupaten Kulonprogo sejumlah 27 orang Dari gambaran data perkembangan jumlah tenaga medis di

Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa persebaran tenaga medis masih belum merata terlihat masih terpusat di kota Yogyakarta, sementara di kabupaten yang lain selain Sleman tenaga medis masih jauh lebih kecil jumlahnya. Prosentase tenaga medis yang bekerja sesuai dengan wilayah kerjanya dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 33. Proporsi Dokter Umum, Dokter Spesialis dan Dokter Gigi di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011

Dok3er !mum
9#2 22982 Kota Yogyakarta Bantul 359!8 Kulon'rogo "unungkidul 129#$ 9!1 139$$ Sleman Provinsi

Dok3er S1esia2is

Dok3er Gi0i
#952

2!9$0

#098#

32958

32958

1!9$8 295$ 29#1 10928 $950 !911

1#9 1

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

65

Adapun sesuai dengan tempat kerjanya ada beberapa variasi, untuk dokter gigi sebagian besar di instansi pemerintah yaitu puskesmas, sedangkan untuk dokter spesialis sebagian besar bekerja di rumah sakit. Hal ini sudah sesuai dengan peruntukkannya, bahwa tenaga dokter spesialis utamanya bekerja pada pelayanan kesehatan rujukan. Adapun sebarannya dapat ditunjukkan oleh grafik beriku ini :
Gambar 34. Distribusi Tenaga Medis Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi DIY Tahun 2011
1200 1021 1000 800 Dinas :8P* !00 #38 #00 200 3! 0 Dokter 8mum Dokter S'esialis Dokter "igi 2 3 1 220 8$ 1! 1 $ 18# !3 1umah Sakit Puskesmas Sarkes .ainnya

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

Berdasarkan data yang tertera diatas distribusi tenaga dokter umum yang bekerja di masing masing jenis sarana pelayanan kesehatan tersebar secara merata yaitu di rumah sakit sebanyak 438 orang, di puskesmas sebanyak 371 orang, serta sarana kesehatan lainnya sejumlah 220 orang yang tersebar di Balai Pengobatan, Rumah Bersalin, Klinik, praktik dokter berkelompok, maupun praktik mandiri. Sedangkan yang terkecil yaitu sejumlah 36 orang tenaga dokter umum bekerja di Dinas Kesehatan serta UPT-nya yang sebagian juga bekerja di UPT yang melakukan pelayanan kesehatan seperti BP4, Balai Labkes, dan selainnya. Untuk dokter spesialis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1119 orang, sebagian besar bekerja di rumah sakit, baik rumah sakit

66

pemerintah, rumah sakit TNI/Polri, maupun rumah sakit swasta, tersebar di 63 rumah sakit yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan untuk dokter gigi dari sejumlah 442 orang terbanyak bekerja di rumah sakit dan puskesmas, yaitu sejumlah 184 orang bekerja di puskesmas dan 179 orang bekerja di rumah sakit, sisanya bekerja di Dinas Kesehatan dan UPT- nya serta sarana pelayanan kesehatan lainnya.

5.1. 2 Tenaga Keperawatan Tenaga Keperawatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan terdiri atas tenaga perawat dan bidan. Tenaga Perawat terdiri atas tenaga perawat dan tenaga perawat gigi, namun dalam profil ini hanya perawat saja yang sudah dilakukan pendataan. Perawat sesuai dengan Permenkes Nomor 148 Tahun 2010 adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun definisi bidan sesuai dengan Permenkes Nomor 1464 Tahun 2010 adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai ketentuan perundang undangan. Adapun gambaran distribusi tenaga keperawatan sesuai dengan wilayah kerjanya di Provinsi DIY pada tahun 2011 dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 35. Distribusi Tenaga Keperawatan Per Wilayah Kerja di Provinsi DIY Tahun 2011
2500 210$ 2000 1500 1000 500 0 Pera6at Bidan $ # 801 5# 3 # 33# #3# 21$ 21 3!# 28$ 138$ Kota Yogyakarta Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman Provinsi

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

67

Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga perawat yaitu sejumlah 6194 orang, terbanyak berada di Kota Yogyakarta dengan jumlah perawat sebanyak 2109 orang dan disusul dengan tenaga perawat di Provinsi ( yang terdiri atas Dinas Kesehatan Provinsi, RSUP Dr. Sardjito, dan RS Jiwa Ghrasia) sebanyak 1380 orang, kemudian Kabupaten Sleman sebanyak 974 orang, sedangkan tenaga perawat paling sedikit terdapat di Kabupaten Kulonprogo sebanyak 374 orang. Untuk tenaga bidan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1857 orang, terbanyak berada di Kabupaten Bantul dengan jumlah bidan sebanyak 434 orang, kemudian Kabupaten Sleman sebanyak 364 orang, sedangkan tenaga bidan paling sedikit berada di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 217 orang. Dari gambaran data yang ada tentang untuk tenaga perawat sebarannya masih belum merata, hal ini juga berkaitan dengan jumlah sarana yang ada di masing masing wilayah yang ikut mempengaruhi komposisi distribusi tenaga perawat, terutama berkaitan dengan banyaknya rumah sakit di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Adapun untuk tenaga bidan sebarannya du masing masing wilayah terdistribusi secara merata. Hal ini dikarenakan

sebagian besar tenaga bidan bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah terutama pusksmas. Gambaran prosentase distribusi tenaga keperawatan yang bekerja sesuai dengan wilayah kerjanya dapat digambarkan oleh grafik berikut ini :
Gambar 36. Prosentase Tenaga Keperawatan Per Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2011

Pera5a3
Kota Yogyakarta 229#2 159 2 3#905 Bantul Kulon'rogo "unungkidul

i.an
Kota Yogyakarta 1595! 1 9$$ 1$9!0 2393 Bantul Kulon'rogo "unungkidul 119 $

8983

!90#

129$3

119!$

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

68

Adapun sesuai dengan tempat kerjanya ada beberapa variasi, untuk tenaga perawat sebagian besar bekerja di rumah sakit, sedangkan untuk tenaga bidan sebagian besar bekerja di puskesmas. Adapun sebarannya dapat ditunjukkan oleh grafik beriku ini :
Gambar 37. Distribusi Tenaga Keperawatan Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi DIY Tahun 2011
5000 #500 #000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 #510

Dinas :8P* 1umah Sakit Puskesmas $38 108 Pera6at 2$1 5$2 3# Bidan 85# 22 Sarkes .ainnya

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga perawat sebagian besar bekerja di rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta, yang jumlahnya mencapai 4510 orang atau mencapai 73 %, adapun sisanya tersebar di puskesmas, Dinas Kesehatan dan sarana kesehatan lainnya. adapun untuk tenaga bidan sejumlah 854 orang bekerja di puskesmas, di rumah sakit sejumlah 592 orang, dan sisanya bekerja di Dinas Kesehatan dan sarana kesehatan lainnya. Adapun dari pendidikan yang dimiliki oleh tenaga perawat yang berpendidikan Sarjana Strata Satu keatas baru mencapai 9,88 %, sedangkan sisanya atau mencapai 90,12% masih berpendidikan Diploma III kebawah. Sedangkan untuk tenaga bidan yang berpendidikan minimal Diploma III Kebidanan baru mencapai 81,04 % dan masih terdapat 18,96% tenaga bidan yang berpendidikan Diploma Satu. Hal ini memerlukan peran serta pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tenaga keperawatan terutama untuk tenaga kebidanan yang masih belum sesuai dengan persyaratan minimal berpendidikan DIII.

69

5.1.3 Tenaga Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasin. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Adapun gambaran distribusi tenaga kefarmasian di masing

masing wilayah di Provinsi DIY dapat digambarkan oleh grafik berikut ini :
Gambar 38. Grafik Distribusi Tenaga Kefarmasian per Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2011
#50 #00 350 300 250 200 150 100 50 0 2'oteker *enaga *eknis Ke3armasian #8 1$ 1 ! 50 1$5 1 0 2 3#3 322 Kota Yogyakarta Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman Provinsi #21

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga apoteker yaitu sejumlah 1052 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah apoteker sebanyak 343 orang dan disusul dengan tenaga Apoteker di Kota Yogyakarta yaitu sebanyak 277 orang, sedangkan tenaga apoteker paling sedikit terdapat di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 19 orang. Untuk tenaga teknis kefarmasian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 1017 orang, terbanyak berada di Kota Yogyakarta dengan jumlah tenaga teknis kefarmasian sebanyak 421 orang, kemudian Kabupaten Sleman sebanyak 322 orang, sedangkan tenaga teknis kefarmasian paling sedikit berada di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 50 orang.

70

Dari gambaran data yang ada untuk tenaga apoteker sebarannya masih belum merata, hal ini juga berkaitan dengan jumlah sarana yang ada di masing masing wilayah yang ikut mempengaruhi komposisi distribusi tenaga apoteker, terutama berkaitan dengan banyaknya rumah sakit dan apotek di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Begitupun dengan tenaga teknis kefarmasian juga tidak merata sesuai dengan banyaknya sarana rumah sakit dan apotek yang ada di wilayah masing masing. Gambaran prosentase distribusi tenaga kefarmasian yang bekerja sesuai dengan wilayah kerjanya dapat digambarkan oleh grafik berikut ini :
Grafik 39. Prosentase Distribusi Tenaga Kefarmasian per Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2011

A1o3eker
Kota Yogyakarta 1!91! 2!933 Kulon'rogo 329!0 1895# 319!! "unungkidul Sleman Bantul

Tena0a Teknis Ke6armasian


9# Kota Yogyakarta Bantul #19#0 Kulon'rogo "unungkidul #9$2 95 !9$8

1981 #95!

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2012 Adapun sesuai dengan sarana kesehatan tempat tenaga kefarmasian bekerja ada ketimpangan terutama untuk di puskesmas, karena sebagian besar tenaga kefarmasian yang ada di puskesmas masih merupakan tenaga teknis kefarmasian, padahal sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian menyatakan bahwa setiap pelaanan di fasilitas pelayanan kefarmasian harus dilaksanakan oleh seorang apoteker. Gambaran distribusi tenaga kefarmasian sesuai dengan sarana kesehatan tempat mereka bekerja dapat digambarkan sebagaimana grafik dibawah ini :

71

Gambar 40. Distribusi Tenaga Kefarmasian Sesuai dengan Tempat Kerjanya di Provinsi DIY
800 00 !00 500 #11 #00 300 200 100 0 2'oteker *enaga *eknis Ke3armasian 21 1!1 18 135 20 153 13 Dinas dan 8P* #20 1umah Sakit Puskesmas Diknakes Sarkes .ainnya 1

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga perawat sebagian besar bekerja di sarana kesehatan lainnya yaitu terutama di apotek yang jumlahnya mencapai 717 orang atau mencapai 68,16 %, adapun sisanya tersebar di puskesmas, rumah sakit, Dinas Kesehatan dan Institusi Diknakes. Adapun untuk tenaga teknis kefarmasian sejumlah 420 orang bekerja di sarana kesehatan lainnya, di rumah sakit sejumlah 411 orang, dan sisanya bekerja di Dinas Kesehatan puskesmas dan Dinas Kesehatan.

5.1.4 Tenaga Kesehatan Masyarakat Tenaga kesehatan masyarakat terdiri atas epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan,

administrator kesehatan dan sanitarian.

Grafik berikut ini memperlihatkan sesuai

kepada kita gambaran distribusi tenaga kesehatan masyarakat

dengan wilayah kerjanya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011.

72

Gambar 41. Distribusi Tenaga Kesehatan Masyarakat Per Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2011
#50 #00 350 300 250 200 150 100 50 0 Kesehatan 5asyarakat Sanitarian #2 $1 !! 3! 2# #8 !1 !3 #5 #8 Kota Yogyakarta Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman Provinsi #0!

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga kesehatan masyarakat yaitu sejumlah 651 orang, terbanyak berada di Provinsi (Dinas Kesehatan Provinsi dan UPT, RS Sardjito, dan RS Ghrasia) dengan jumlah tenaga kesehatan masyarakat sebanyak 406 orang, sedangkan tenaga kesehatan di kabupaten/kota lainnya jumlahnya hampir sama dengan tenaga kesehatan masyarakat paling sedikit terdapat di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 24 orang. Untuk tenaga sanitarian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejumlah 356 orang, terbanyak berada di Kabupaten Bantul dengan jumlah tenaga sanitarian sebanyak 91 orang, kemudian Provinsi sebanyak 63 orang, sedangkan tenaga sanitarian paling sedikit berada di Kabupaten Kulonprogo sebanyak 45 orang.

Dari gambaran data yang ada untuk tenaga kesehatan masyarakat sebarannya sudah merata, namun demikian hal itu didominasi oleh tenaga kesehatan masyarakat dengan status tenaga pemerintah. Adapun distribusi tenaga kesehatan masyarakat sesuai dengan sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dapat digambarkan dalam grafik berikut ini :

73

Gambar 42. Distribusi Tenaga Kesehatan Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi DIY Tahun 2011
#00 350 300 250 200 150 100 52 50 0 Kesehatan 5asyarakat Sanitarian 28 125 88 !5 2 22 31 1!! Dinas : 8P* 1umah Sakit Puskesmas Diknakes Sarkes .ainnya 358

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga kesehatan masyarakat sebagian besar bekerja pada institusi pendidikan tenaga kesehatan yang jumlahnya mencapai 358 orang, adapun pada sarana kesehatan lainnya jumlahnya sangat sedikit, hanya mencapai 28 orang. Adapun untuk tenaga sanitarian sejumlah 166 orang bekerja di puskesmas, sedangkan lainnya secara merata bekerja di sarana kesehatan lainnya, baik di Dinas Kesehatan, rumah sakit maupun institusi diknakes dan sarana kesehatan lainnya.

5.1.5 Tenaga Gizi Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 menyebutkan bahwa tenaga gizi terdiri atas nutrisionis dan dietisien. Tenaga gizi yang bekerja di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 353 orang dengan yang berpendidiikan DIII dan DI sejumlah 267 orang dan yang berpendidikan DIV dan S1 sejumlah 86 orang. Adapun distribusinya dapat kita gambarkan pada grafik berikut ini :

74

Gambar 43. Distribusi Tenaga Gizi Per Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2011
$0 80 0 !0 50 #0 30 20 10 0 "i7i 38 #1 !# !5 $ !! Kota Yogyakarta Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman Provinsi

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah tenaga gizi yaitu sejumlah 353 orang, terbanyak berada di Kabupaten Sleman dengan jumlah tenaga gizi sebanyak 79 orang, di Provinsi sebanyak 66 orang, Kabupaten Bantul sebanyak 65 orang dengan tenaga gizi paling sedikit terdapat di Kabupaten Kulonprogo sebanyak 38 orang. Adapun distribusi tenaga gizi sesuai dengan sarana pelayanan kesehatan tempat mereka bekerja dapat digambarkan dalam grafik berikut ini :
Gmbar 44. Distribusi Tenaga Kesehatan Per Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan di Provinsi DIY Tahun 2011
200 180 1!0 1#0 120 100 80 !0 #0 20 0 1 #

12#

Dinas : 8P* 1umah Sakit Puskesmas Diknakes

25 3 "i7i

Sarkes .ainnya

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

75

Berdasarkan data yang tertera diatas dapat kita lihat bahwa tenaga gizi sebagian besar bekerja pada puskesmas yang jumlahnya mencapai 174 orang, disusul di rumah sakit berjumlah 124 orang, adapun pada sarana kesehatan lainnya jumlahnya sangat sedikit.

5.1.6 Tenaga Keterapian Fisik dan Tenaga Keteknisian Medis Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996

menyebutkan bahwa tenaga keterapian fisik terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis dan terapi wicara. Adapun untuk tenaga keteknisian medis terdiri atas radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis. Adapun gambaran jumlah tenaga keterapian fisik dan keteknisian medis di Provinsi DIY sesuai dengan wilayah kerjanya dapat kita gambarkan sebagai berikut : Gambar 45. Distribusi Tenaga Keterapian Fisik dan Keteknisian Medis Per Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Tahun 2011
200 180 1!0 1#0 120 100 80 !0 #0 20 0 1 3 12#11$ 1 3$ 28 8 2 #1 18 0 #! 32 21 13 23 81 Kota Yogyakarta Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman Provinsi *eknik ;lektromedik : 1adiogra3er 2nalis Kesehatan

110

)isiotera'is

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011

Berdasarkan data yang tertera diatas jumlah fisioterapis yaitu sejumlah 95 orang, terbanyak berada di Kota Yogyakarta dengan jumlah tenaga fisioterapis sebanyak 39 orang dengan tenaga fisioterapis paling sedikit terdapat di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 2 orang, dan tidak terdapat fisioterapis yang bekerja di Provinsi.

76

Adapun

untuk

tenaga

teknik

elektromedik

dan

radiografer

dari

sejumlah176 orang yang terbanyak bekerja di Kabupaten Sleman dengan jumlah 46 orang disusul di Kota Yogyakarta dengan jumlah 41 orang, adapun yang paling sedikit jumlah fisioterapis yang bekerja di wilayah Kabupaten Gunungkidul sebanyak 13 orang. Untuk tenaga analis kesehatan yang bekerja di wilayah Provinsi DIY sejumlah 678 orang dengan yang terbanyak bekerja di Kota Yogyakarta yaitu sejumlah 173 orang, dan di kabupaten/kota lainnya terdistribusi merata dengan tenaga analis kesehatan yang berjumlah paling sedikit bekerja di Kabupaten Kulonprogo sejumlah 71 orang. Apabila dikaitkan dengan tempat kerjanya, maka tenaga fisioterapis, tenaga teknik elektromedik & radiografer, dan tenaga analis kesehatan yang bekerja di wilayah Provinsi DIY sebagian besar bekerja di sarana kesehatan utamanya di rumah sakit, sedangkan di tempat lain tidak terlalu banyak. Gambaran dari distribusi tenaga fisioterapis, tenaga teknik elektromedik & radiografer, dan tenaga analis kesehatan sesuai dengan tempat kerjanya dapat digambarkan pada grafik berikut ini : Gambar 46. Distribusi Tenaga Keterapian Fisik dan Keteknisian Medis menurut Tempat Kerjanya di Propinsi DIY Tahun 2011
350 300 250 1$ 200 150 100 50 0 )isiotera'is *eknik ;lektromedik : 1adiogra3er 2nalis Kesehatan 0 !8 1$ #0 0 8 15 0 12 12 1#2 $ Dinas : 8P* 1umah Sakit Puskesmas Diknakes Sarkes .ainnya 332

Sumber : Profil SDMK Provinsi DIY Tahun 2011 Dari data di atas dapat kita lihat bahwa dari seluruh tenaga fisioterapis yang ada tidak ada yang bekerja di Dinas maupun di institusi pendidikan, sebagian besar bekerja di rumah sakit dengan jumlah 68 orang, disusul dengan

77

yang bekerja di puskesmas sejumlah 19 orang dan 8 orang bekerja di sarana kesehatan lainnya. Adapun untuk tenaga radiografer sejumlah 142 orang bekerja di rumah sakit dan sisanya bekerja di puskesmas 15 orang, Dinas dan UPT-nya sejumlah 7 orang dan di sarana kesehatan lainnya sejumlah 12 orang. Untuk analis kesehatan yang paling banyak bekerja di rumah sakit dengan jumlah analis kesehatan sebanyak 332 orang, disusul yang bekerja di puskesmas sejumlah 197 orang. 5.2. Sarana Kesehatan Sarana pelayanan kesehatan di Provinsi DIY relatif cukup banyak baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah (Puskesmas) telah menjangkau keseluruhan Kecamatan yang ada di Kabupaten / kota bahkan jika digabungkan dengan puskesmas pembantu sebagai jaringan pelayannya, telah mampu menjangkau seluruh desa yang ada. Jumlah puskesmas terbanyak adalah di Kabupaten Gunungkidul dengan 30 puskesmas disusul oleh Kabupaten Bantul dan Sleman masing-masing 27 dan 25 puskesmas. Sementara untuk Kota Yogyakarta memiliki 18 puskesmas. Dari sejumlah total 121 puskesmas tersebut, sebanyak 42 diantaranya telah dikembangkan menjadi puskesmas rawat inap. Seluruh Puskesmas telah dilengkapi dengan jaringan Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan memiliki jaringan kemitraan dengan Desa Siaga di seluruh wilayah. Perkembangan pelayanan kesehatan dasar di sektor swasta juga berkembang dengan pesat dengan munculnya berbagai sarana pelayanan seperti dokter praktek swasta, bidan praktek swasta, poliklinik, praktek bersama dan lain sebagainya.

Tabel 5. Jumlah Rumah Sakit dan Kapasitas Tempat Tidur menurut Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2011

78

Rumah Sakit Kab/Kota (1) 1. Kulonprogo 2. Bantul 3. Gunungkidul 4. Sleman 5. Yogyakarta Provinsi DIY

Kapasitas Tempat Tidur

Pemerintah Swasta Jumlah Pemerintah Swasta Jumlah (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 2 1 6 2 12 7 9 2 17 16 51 8 11 3 23 18 63 200 350 156 1255 284 2.245 311 477 51 952 1.552 3.343 511 827 207 2.207 1.836 5.588

Sumber : Seksi Bintesa Dinkes Prov.DIY

Sarana pelayanan kesehatan rujukan di Provinsi DIY juga relatif telah memadai dengan berbagai jenis pelayannya. Rumah sakit pemerintah tersedia di kelima kabupaten / kota. Secara kumulatif Kabupaten Sleman dan Kota

Yogyakarta adalah dua wilayah yang memiliki jumlah sarana pelayanan kesehatan rujukan terbanyak dibandingkan dengan tiga wilayah lain.

Perkembangan pelayanan rujuakn di sektor swasta sangat pesat dalam 10 tahun terakhir. Sarana pelayanan rujukan khusus juga telah berkembang diantaranya untuk jenis pelayanan kesehatan mata, jiwa, dan paru. Sarana pelayanan kesehatan pendukung seperti laboratorium kesehatan juga berkembang baik dengan semakin besarnya peran swasta. Dalam 3 tahun terakhir telah tumbuh berbagai sarana pelayanan pendukung laboratorium dan apotik. Pemerintah Provinsi sendiri telah memiliki sarana Balai Laboratorium Kesehatan (UPT) dan instalasi farmasi. Unit Pelayanan Teknis juga berkembang baik di tingkat provinsi dan Kabupaten / Kota. UPT laboratorium tersedia di setiap wilayah. Sementara untuk UPT jaminan kesehatan baru berkembang di tingkat provinsi, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. UPT balai paru merupakan unit pelayanan pemeriksaan paru yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi yang menjadi pusat 79

rujukan untuk pemeriksaan paru dan di masa mendatang akan dikembangkan lebih lanjut menjadi rumah sakit khusus. UPT Bapelkes (balai pelatihan kesehatan) dikelola oleh Dinas Kesehatan Provinsi DIY untuk memberikan dukungan dalam pengembangan sumberdaya manusia kesehatan di Provinsi DIY. Pelayanan pengobatan tradisional yang berbasis berbasis bukti juga telah mulai dikembangkan bekerjasama dengan berbagai institusi pendidikan kesehatan yang ada di Provinsi DIY yang melahirkan gagasan untuk pengembangan pembinaannya di tahun-tahun tahun mendatang. 5.3. Pembiayaan Kesehatan

Program Pembiayaan Kesehatan telah dilaksanakan sesuai dengan pedoman di tingkat Pusat, diantaranya untuk Program Jaminan Kesehatan untuk masyarakat miskin. Program Jamkesmas di Provinsi DIY per bulan Mei 2012 telah diikuti oleh 942.129 jiwa, dengan perincian perincian Kota Yogyakarta 68.456 jiwa, Bantul 222.987 jiwa, Kulon Progo 141.893 jiwa, Gunungkidul 340.635 jiwa dan Sleman 168.158 jiwa. Gambaran kepesertaan jaminan kesehatan di Provinsi DIY per 31 Desember Tahun 2011 sebagai berikut :

Peser3a 7amkes Pra a/ar .i DIY Tahun 2011 1(122(#$


3$ ($05 8( #0 $#2(12$ !

Gambar 47. Peserta Jaminan Jaminan Kesehatan di DIY Tahun 2011

Provinsi DIY mempunyai unit teknis sebagai pengelolaan Jaminan Kesehatan berupa unit pelayanan teknis dari Dinas Kesehatan Provinsi yang

80

mempunyai tugas untuk pengelolaan program Jamkessos. Pelayanan kesehatan bagi keluraga miskin di unit pelayanan kesehatan baik puskesmas dan rumah sakit yang bekerjasama dengan Jamkessos adalah sebagai berikut : Tabel 6. Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Jamkessos Tahun 2011

No

KA 8#KOTA

PPK I P8SK;S5 2S D<K;. BPS 5 32 3! #! 2 2+ 12: 1 BP# 1

PPK II D2- III 1S9 1S9 P;5;1I-*2= S>2S*2 1 1 1 1 # , 12 13 5 1 $ (0

19 Kota Yogyakarta 29 Bantul 39 Kulon'rogo #9 "unungkidul 59 Sleman 7!$%A9

18 2 21 30 25 121

3 $ 2

Sumber data : Seksi Pembiayaan Kesehatan Tahun 2012

Sesuai dengan pedoman pengelolaan jaminan kesehatan keluarga miskin Provinsi DIY memlaksanakan program Jamkesmas, pada tahun 2011 pelayanan kesehatan bagi keluraga miskin di unit pelayanan kesehatan baik dokter keluarga, bidan swasta, puskesmas dan rumah sakit yang bekerjasama dengan Jamkesmas adalah sebagai berikut :

Tabel 7. Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan Jamkesmas Tahun 2011 81

No

KA 8#KOTA

PPK 1 P8SK; S52S

PPK II DAN III 1S9P;5; 1I-*2= 1S9 S>2S*2 1 1 1 1 # 1 , 13 2 1 $ +2

BPS 13 3# 5# #5 !3 20*

BP# 1

19 29 39 #9 59

Kota Yogyakarta Bantul Kulon'rogo "unungkidul Sleman 7!$%A9

18 2 21 30 25 121

Sumber data : Seksi Pembiayaan Kesehatan Tahun 2012

Pembiayaan Program Kesehatan di Provinsi DIY bersumber pada Anggaran Pendapatan & Belanja Negara dan Daerah (APBN/APBD), serta sebagian kecil dari Bantuan Luar Negeri (BLN). Besaran anggaran kesehatan di Provinsi DIY pada tahun 2011 adalah sebagai berikut :

2nggaran Kesehatan *ahun 2011


Total anggaran kesehatan Rp.911.144.397.057,S!$ "& 2PBD K2B0K<*2 2PBD P1<?I-SI 2PB- D;K<-S;-*12SI 2PB- D2K 2PB- 2SK;SKI2PB- *P 1S8 K2B 2PB- D2-2 B<K P=.B2-S<S P1;5I 425K;SS<S B2-*82- K;.;5B2"2- KP2D B2-*82- K;.;5B2"22- P5I B2-S<S =IB2= Sumber : Subag Program Dinkes Provinsi DIY Tahun 2012 IAYA 7!$%A9 ANGGA&AN 5 59!$09$0 921 839335921295$3 $91!#911$958! 2193 #9! 5928$ 1359 !!9 159028 25900090009000 $90 592859000 #92# 911 93## #09$539#1!9000 8$9$$09000 1 $9!!$9000 59 #093509000

Total anggaran kesehatan di DIY pada tahun 2011 adalah sebesar Rp.911.144.337.057,dengan anggaran kesehatan perkapita sebesar

Rp.259.358,- (rincian lebih lanjut dapat dilihat pada lampiran). Prosentase anggaran APBD kesehatan terhadap APBD Kabupaten/Kota masih sekitar 8,52% (prosentase tertinggi di Kabupaten Bantul sebesar 15,36%). BAB V KESIMPULAN

82

Pembangunan Kesehatan di Provinsi DIY telah berjalan sesuai dengan pedoman dan kewenangan yang telah ditetakan melalui dasar hukum yang berlaku. Dinas Kesehatan Provinsi DIY sebagai institusi yang ditunjuk dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai penggerak pembangunan kesehatan telah melaksanakan program-program pembangunan kesehatan sesuai dengan Rencana Strategik Dinas Kesehatan tahun 2009-2013. Capaian pembangunan kesehatan dapat dilihat melalui beberapa indikator Program Pelayanan Kesehatan, yaitu diantaranya sebagai berikut : A. Indikator keberhasilan dari aspek sumberdaya kesehatan : Total anggaran kesehatan di Provinsi DIY tahun 2011 sebesar : Rp.911.144.397.057,- naik dibanding tahun 2010 yang hanya sebesar Rp.733.083.824.869,Anggaran kesehatan perkapita naik, dari Rp.209.971,- pada tahun menjadi Rp.259.358,- pada tahun 2011. Jumlah sarana kesehatan rujukan (Rumah Sakit) mengalami peningkatan dari 60 RS pada tahun 2010 menjadi 63 RS pada tahun 2011. Jumlah tenaga medis mengalami peningkatan dan lebih terdistribusi merata. Diantaranya untuk tenaga dokter umum dari 1.065 orang pada tahun 2010 menjadi 1.111 orang pada tahun 2012 B. Hasil indikator pencapaian (cakupan program), diantaranya : Status gizi balita di Provinsi DIY pada tahun 2011 mengalami penurunan, gizi buruk 0,68%, kurang 9,6% dan lebih sebesar 2,55% (pada tahun 2010 gizi buruk 0,7%). Jumlah kematian ibu mengalami peningkatan dari 43 ibu pada tahun 2010 menjadi 56 ibu pada tahun 2011 dengan penyebab utama adalah perdarahan, eklamsi dan sepsis. Cakupan K1 sebesar 99,98%, K4 sebesar 89,31% dan cakupan persalinan nakes 99,73%. Cakupan pelayanan kesehatan bayi dan balita pada tahun

83

2011 adalah : cakupan yankes bayi sebesar 90,16% sedangkan yankes anak balita 75,87%. Gambaran penyakit TB Paru di DIY : angka penemuan (case detection rate) sebesar 50,8% sedangkan angka keberhasilan (succes rate) sebesar 84,6%. Jumlah kasus HIV/AIDS di Provinsi DIY sebanyak 1.508 kasus dengan perincian HIV 922 dan AIDS 586 kasus pada tahun 2011. Sepuluh besar penyakit yang didiagnosa pada pasien rawat jalan di Puskesmas sesuai laporan sistem survailans terpadu adalah : influensa, diare, hipertensi, DM, pneumonia, tiphus, diare berdarah, tersangka TB paru, campak dan TB BTA positif. Sedangkan di Rumah Sakit adalah : infeksi saluran nafas atas, demam, diare, dispepsia, hipertensi,

dermatosis, cedera, penyakit pulpa, faringitis dan gangguan mental. Prosentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan pada tahun 2011 sebesar 84,85% sedangkan rumah sehat yang memenuhi syarat sebesar 72,35%.

84

LAMPIRAN

85

Anda mungkin juga menyukai