Anda di halaman 1dari 23

REFLEKSI KASUS

25 SEPTEMBER 2013

CEPHAL HEMATOMA DAN SEPSIS NEONATORUM

Nama No. Stambuk Pembimbing

: Lucky Sarjono Buranda : G 501 09 009 : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU 2013

PENDAHULUAN

A. Cephal Hematoma Cephal hematoma merupakan salah satu bentuk trauma lahir yang diperoleh seorang bayi baru lahir akibat faktor eksternal. Cephal hematoma biasanya disebabkan oleh adanya jejas periosteum dari cranium yang terjadi selama proses persalinan, sehingga cephal hematoma jarang terjadi pada bayi baru lahir secara spontan (Cunningham et al, 2010). Studi Baskett et al (2007) menyatakan bahwa sekitar 1,6% neonatus menderita cephal hematoma. Lebih lanjut Simonson et al (2007) melaporkan bahwa 11% dari 913 bayi yang dilahirkan menggunakan bantuan ekstraksi vakum mengalami cephal hematoma. Sebagai perbandingan, studi Alexander et al (2006) menunjukkan bahwa hanya 0.3% dari total keseluruhan bayi yang dilahirkan dengan metode seksio sesar mengalami cephal hematoma. Hal ini menunjukkan bahwa trauma lahir memiliki potensi yang besar untuk menyebabkan terjadinya cephal hematoma pada pasien bayi baru lahir. Perdarahan yang terjadi pada kondisi cephal hematoma sendiri dapat timbul melalui satu atau lebih tulang parietal, dimana palpasi menunjukkan bahwa darah telah mencapai batas periosteum (Cunningham et al, 2010).

Gambar 1. Perbedaan Anatomis (A) Caput Succedaneum dengan (B) Cephal Hematoma Gambar 1 menunjukkan perbedaan antara cepal hematoma dengan caput succedaneum. Pada caput succedaneum, terjadi efusi cairan pada lapisan ekstraperiosteal, sehingga menyebabkan terjadinya edema periosteal

(Cunningham et al, 2010). Sebagian besar caput succedaneum terjadi hanya pada lapisan subkutan. Lesi ini biasanya terjadi secara spontan dan akan tetap terjadi satu hingga beberapa hari pasca persalinan. Berbeda dengan cephal hematoma, caput succedaneum jarang menjadi etiologi terjadinya penurunan konsentrasi eritrosit maupun jaundice. Beberapa studi menyatakan bahwa prognosis caput succedaneum dapat mengalami nekrosis dan menjadi tanda lahir (scarring). Apabila caput succedaneum terjadi akibat dari induksi persalinan menggunakan vakum, maka bentuk caput succedaneum akan mengikuti bentuk vakum yang digunakan (Cloherty et al, 2008). Cephal hematoma hanya dapat terjadi apabila perdarahan periosteum telah cukup banyak untuk memenuhi area periosteum. Cephal hematoma dapat membesar secara cepat, serta menghilang dalam kurun waktu beberapa minggu

hingga bulan kemudian. Berbeda dengan pada caput succedaneum yang tidak menyebabkan penurunan konstentrasi eritrosit serta jaundice, cephal hematoma pada bayi baru lahir dapat menyebabkan terjadinya anemia (Cunningham et al, 2010) serta dapat dipertimbangkan sebagai salah satu etiologi terjadinya newborn jaundice atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir (Cloherty et al, 2008). Penanganan yang buruk pada cephal hematoma dapat menyebabkan terjadinya infeksi serta abses pada lokasi cephal hematoma tersebut (Gibbs et al, 2008). Selain caput succedaneum dan cephal hematoma, beberapa trauma kranial yang dapat terjadi pada bayi baru lahir di antaranya juga seperti Sub galeal hemorrhage dan intra cranial hemorrhage (Gambar 2).

.Gambar 2. Trauma Kranial Pada Bayi Baru Lahir.

Menurut Cloherty et al (2008), beberapa faktor risiko terjadinya trauma pada bayi baru lahir diantaranya adalah: 1. Besar bayi (Berat bayi lahir) 2. Imaturitas 8. Primiparitas 9. Kecil Masa Kehamilan

3. Malpresentasi kelahiran 4. Kompresi normal intra partum 5. Kontorsio 6. Induksi mekanis pada saat lahir (forceps dan vakum) 7. Letak janin pada saat akan dilahirkan (Malformasi fetus)

10. Anomali pelvis ibu 11. Persalinan yang terlalu lama dan terlalu cepat 12. Oligohidramnion 13. Macrosmia fetal 14. Anomali fetus

B. Ikterus Ikterus atau biasa disebut juga dengan jaundice, menurut kamus kedokteran Dorland (2008) adalah suatu kondisi kelebihan kadar bilirubin dalam darah sehingga menyebabkan deposit pigmen bilirubin pada kulit, membran mukosa, serta bagian putih dari mata. Hal ini menyebabkan pasien yang menderita ikterus mengalami penampakan kuning di seluruh tubuhnya.

Gambar 3. Penyebab Ikterus/Jaundice

Bilirubin merupakan hasil pemecahan eritrosit yang terjadi dalam tubuh. Ketika eritrosit pecah, maka hemoglobin yang terdapat di dalam eritrosit akan keluar. Hemoglobin ekstra-eritrosit tersebut kemudian di-fagositosis oleh makrofag pada sebagian besar lokasi di dalam tubuh, namun tugas fagositosis ini terutama dilakukan oleh sel Kupffer di hepar serta sel-sel makrofag di spleen dan sumsum tulang. Beberapa jam hingga hari kemudian, makrofag akan melepaskan zat besi dari hemoglobin ke aliran darah untuk dibawa oleh transferrin menuju ke sumsum tulang sebagai bahan baku pembentukan eritrosit baru atau dibawa ke hepar untuk disimpan sebagai ferritin. Di lain pihak, porfirin yang terkandung dalam molekul hemoglobin diubah oleh makrofag menjadi pigmen bilirubin yang dilepaskan ke dalam darah untuk kemudian disekresi melalui hepar ke vesica biliaris (Guyton & Hall, 2006). Bilirubin tak terkonjugasi (bilirubin indirek/unconjugated) merupakan zat larut lipid, sehingga kurang mampu larut dalam air pada pH fisiologis. Oleh karena tidak mampu larut dalam air, maka bilirubin indirek harus berikatan dengan albumin terlebih dahulu untuk kemudian ditransportasikan. Ikatan bilirubin-albumin ini kemudian mengalami disosiasi dalam sinusoid hepar, berdifusi melalui membran sel, kemudian masuk ke dalam sel-sel hepar. Konjugasi terjadi antara bilirubin terutama dengan asam glukoronat yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal bilirubin-uridine diphosphate (UDP) glukoronil transferase. Asam glukoronat ini sebagian disediakan oleh asam uridine diphosphoglucoronic (UDPGA) dalam reaksi yang berasal dari oksidasi uridine diphosphoglucose (UDPG) oleh UDPG dehidrogenase (Fanaroff, 1994).

Bilirubin yang telah terkonjugasi ini kemudian memiliki kelarutan yang baik di dalam air sehingga mampu diekskresi melalui urine. Meskipun demikian, sebagian besar bilirubin glukoronida ini diekskresi melalui ductus biliaris ke organ intestinal. Oleh karena permeabilitasnya yang rendah terhadap bilirubin direk, maka bilirubin direk ini bergabung dengan feses untuk diekskresi dari dalam tubuh. Sebaliknya, permeabilitas bilirubin indirek dan urobilinogen (derivat bilirubin yang dihasilkan oleh bakteri intestial) yang tinggi dengan usus menyebabkan terjadinya reabsorbsi kembali menuju ke sirkulasi (Ganong, 2003).

Gambar 4. Produksi dan Metabolisme Bilirubin

Keberadaan darah pada ruangan ekstravaskuler merupakan salah satu faktor risiko peningkatan bilirubin dalam tubuh neonatus. Hal ini disebabkan terjadi pemecahan masif eritrosit oleh makrofag di luar sirkulasi (Fanaroff, 1994). Hiperbilirubinemia merupakan komplikasi umum yang terjadi pada neonatus yang mengalami cephal hematoma. Hal ini disebabkan hematoma yang terjadi pada neonatus mengalami destruksi oleh makrofag, sehingga dapat menyebabkan peningkatan masif kadar bilirubin dalam tubuh (Cloherty et al, 2008).

C. Sepsis Neonatorum Sepsis merupakan suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh penyebaran mikroba atau toksin dalam cairan darah dan menimbulkan respon sistemik berupa hipotermia atau hipertermia,takikardia, hiperventilasi, serta letargi yang merupakan kedaruratan medik sehinga memerlukan penatalaksanaan segera untuk dapat menurunkan angka kematian (Anderson-Alley, 2012). Pada neonatus sendiri, sepsis merupakan sindroma klinik bakteremia dengan manfestasi sistemik (Fanaroff, 1994). Meskipun merupakan masalah pada neonatus, terutama neonatus dengan berat lahir rendah dan prematur, namun adanya perawatan intensif neonatus (neonatal intensive care) menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis neonatus pada onset awal (Cloherty et al, 2008).

KASUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN Nama : By. S

Tanggal Lahir : 15 September 2013 pk. 22.10 Tanggal Masuk : 15 September 2013 pk. 22.15 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama II. ANAMNESIS Bayi laki-laki lahir pada tanggal 15 September 2013 di kamar bersalin RSUD Undata pada pukul 22.10 WITA diinduksi dengan vakum tarikan berat sebanyak 3 kali, diterima di ruangan Peristi tanggal 15 September 2013 pukul 22.15 WITA. Bayi lahir tidak langsung menangis, lemah, dan hipoaktif dengan Apgar Score 3/5, serta warna ketuban hijau kental. Riwayat kehamilan ibu G1P0A0. III. PEMERIKSAAN FISIK Berat Badan Lahir : 3000 gram Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 167 x/menit Pernapasan : 64 x/menit Suhu : 37,3 oC CRT : < 3 detik Panjang Badan : 49 cm : Islam

Sistem Pernapasan. Sianosis (-), merintih (+), apnea (-), retraksi dinding dada (+), pergerakan dinding dada simetris bilateral, pernapasan cuping hidung (-), stridor (-), bunyi napas bronkovesikuler, bunyi tambahan Wh -/-, Rh -/-. SKOR DOWN Frekuensi napas : 1 Retraksi Sianosis Udara masuk :1 :0 :1

Stridor Total Kesimpulan

:1 :4 : gangguan napas sedang

Sistem Kardiovaskuler. Bunyi jantung I,II murni, reguler , murmur (-). Sitem Hematologi. Pucat (-), ikterus (-). Sistem Gastrointestinal. Kelainan dinding abdomen (-), massa/organomegali (-), diare (-), bising usus (+) kesan normal, umbilikus (+): keluaran (-), tidak tampak edema. Sistem Saraf. Bayi aktif, tingkat kesadaran compos mentis, fontanel datar, kejang (-), tampak refleks terhadap cahaya. Sistem Genitalia. Hipospadia (-), hidrokel (-), hernia (-), testis sudah turun ke skrotum. Pemeriksaan Lain. Ektremitas : akral dingin, turgor normal (< 2 detik), kelainan kongengital (-), trauma lahir (+) tampak cephal hematoma SKOR BALLARD a) Maturitas neuromuskular Sikap tubuh Persegi jendela Rekoil lengan Sudut poplitea Tanda selempang Tumit ke kuping b) Maturitas fisik :3 :3 :2 :3 :2 :3

Kulit Lanugo Payudara Mata/telinga Genitalia c) Total skor d) Minggu e) Kesimpulan

:3 :2

Permukaan plantar : 3 :3 :3 :4 : 34 : 36-38 minggu : Kurang bulan + SMK

Gambar 5. Kurva Lubchenco

IV.

RINGKASAN Bayi laki-laki lahir pada tanggal 15 September 2013 pukul 22.10 WITA

diinduksi dengan vakum tarikan berat sebanyak 3 kali. Bayi lahir tidak langsung menangis, lemah, dan hipoaktif dengan Apgar Score 3/5, serta warna ketuban hijau kental. Denyut jantung 167 kali/menit, respirasi 64 kali/menit, suhu 37,3 , CRT < 3 detik, berat lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm. Skor Down 4 (gangguan napas sedang), skor Ballard 36-38 minggu, klasifikasi Battaglia & Lubchenco: kurang bulan sesuai masa kehamilan.

V.

DIAGNOSIS Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + dugaan sepsis (A1 gangguan napas, B1 mekonium hijau kental)

VI.

TERAPI Asuhan Bayi Baru Lahir Hangatkan bayi Atur posisi kepala bayi Isap lendir jika perlu Keringkan dan rangsang taktil Atur kembali posisi bayi Penilaian Denyut jantung, respirasi, dan warna kulit. Pemberian tetas mata Gentamisin Injeksi vitamin K1 1 mg IVFD Dext. 5% 8 tpm Gentamicin 2x8 mg/IV Cefotaxim 3x150 mg/IV Puasakan Kebutuhan Cairan Hari-1 60x3 = 180 ml/hari = 7,5 ml GIR 8 ml

VII.

ANJURAN PEMERIKSAAN GDS Darah Rutin : 91 mg/dl : Dalam batas normal

VIII. FOLLOW UP 16/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 148 x/menit Pernapasan : 56 x/menit Suhu : 37,2C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (-), pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (+) ringan, muntah (-), diare (-), pucat (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + dugaan sepsis + gangguan napas ringan P : IVFD Dextrosa 5% 8 tpm Gentamycin 2x8 mg/iv Cefotaxim 3x150 mg/iv ASI/PASI Kebutuhan cairan hari-2 90x3=270 ml/hari 270/2 = 135 ml IVFD ASI BB : 3000 gram

135/24=5,6 6tpm 135/8=16,8 17cc GIR 8x17cc

17/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 140 x/menit Pernapasan : 48 x/menit Suhu : 36,6C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (+), sianosis (-), merintih (-), ikterus (-), pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), BB : 2900 gram

muntah (-), diare (-), pucat (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A P : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma : IVFD Dextrosa 5% 12 tpm Gentamycin 2x7,5 mg/iv Cefotaxim 2x150 mg/iv Inj. sibital 60 mg/iv (kejang IVFD I) 360/24=15tpm Kebutuhan cairan hari-3 120x3=360 ml/hari

Inj. sibital 30 mg/iv (kejang GIR II)

Inj. sibital 2x7 mg/iv (6 jam kemudian)

Puasakan sementara

18/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 120 x/menit Pernapasan : 62 x/menit Suhu : 36,5C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (+), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer V, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hyperbilirubinemia (bilirubin total 62,6 mg/dl) P : BB : 3200 gram

IVFD Dextrosa 5% 12 tpm Gentamycin 2x7,5 mg/iv Cefotaxim 2x150 mg/iv Inj. sibital 60 mg/iv (kejang I)

Kebutuhan cairan hari-4 150x3=450 ml/hari 450/2 = 225 ml IVFD 225/24=9,375 tpm GIR ASI 225/8=28,125 cc 8x28cc

Inj. sibital 30 mg/iv (kejang II)

Inj. sibital 2x7 mg/iv (6 jam kemudian)

ASI/PASI

19/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 144 x/menit Pernapasan : 42 x/menit Suhu : 36C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer V, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), ikterus (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A P : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hiperbilirubinemia : BB : 2900 gram

IVFD KAEN 1B 12 tpm Gentamycin 2x7,5 mg/iv Cefotaxim 2x150 mg/iv Inj. sibital 2x8 mg/iv

Kebutuhan cairan hari-5 180x3= 540ml/hari 540/2 = 270 ml IVFD 270/24=11,25 tpm GIR ASI 270/8=33,75 cc 8x34cc

(maintenance) ASI/PASI

20/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 147 x/menit Pernapasan : 45 x/menit Suhu : 37,3C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer V, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), ikterus (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hiperbilirubinemia (bilirubin total 21,4 mg/dl) P : BB : 2900 gram

IVFD KAEN 1B 12 tpm Inj. sibital 2x8 mg/iv ASI/PASI Fototerapi

Kebutuhan cairan hari-6 200x3=600 ml/hari 600/2 = 300 ml IVFD 300/24=12,5 tpm GIR ASI 300/8=16,8 17cc 8x37,5cc

21/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 121 x/menit Pernapasan : 48 x/menit Suhu : 37C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer V, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), ikterus (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A P : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hiperbilirubinemia : Inj. sibital 2x8 mg/iv ASI/PASI Fototerapi Kebutuhan cairan hari-7 200x3=600 ml/hari 600/8=75cc 8x75 cc BB : 2900 gram

22/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 140 x/menit Pernapasan : 40 x/menit Suhu : 37C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer IV, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), ikterus (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A P : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hiperbilirubinemia : ASI/PASI Fototerapi Kebutuhan cairan hari-8 200x3=600 ml/hari 600/8=75cc 8x75 cc BB : 2900 gram

23/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 136 x/menit Pernapasan : 44 x/menit Suhu : 37,1C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer IV, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), ikterus (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hiperbilirubinemia (bilirubin total 8,1 mg/dl) BB : 2900 gram

P -

: ASI/PASI Fototerapi Kebutuhan cairan hari-9 200x3=600 ml/hari 600/8=75cc 8x75 cc

24/09/2013 S : Bayi tidur

O : Tanda Tanda Vital Denyut Jantung : 130 x/menit Pernapasan : 40 x/menit Suhu : 37,1C CRT : < 3 detik Kondisi umum sakit sedang, kejang (-), sianosis (-), merintih (-), ikterus (+) kremer IV, pernapasan cuping hidung (-), retraksi dinding dada (-), muntah (-), diare (-), pucat (-), ikterus (-), testis (+) sudah turun, sekret/keluaran (-) tonus otot (+) A P : Bayi aterm + SMK + Cephal hematoma + hiperbilirubinemia : ASI/PASI Fototerapi Kebutuhan cairan hari-10 200x3=600 ml/hari 600/8=75cc 8x75 cc Keluarga pasien meminta pulang paksa BB : 3000 gram

DISKUSI

Keberadaan cephal hematoma pada pasien merupakan indikasi terjadinya trauma lahir pada neonatus. Pada pasien yang dijadikan sebagai subjek refleksi kasus ini, pasien mengalami persalinan dengan induksi vakum sebanyak 3 kali. Penggunaan vakum sebanyak ini melebihi ketetapan FDA Public Health Advisory 1998 yang menyatakan bahwa penggunaan ekstraksi vakum tidak boleh melebihi 3 kali ekstraksi. Ekstraksi menggunakan vakum dapat menyebabkan terjadinya laserasi dan memar, hematoma subgaleal, cephalohematoma, perdarahan intrakranial, jaundice neonatal, perdarahan subkonjungtiva, fraktur clavicula, distorsi bahu, jejas nervus kranial VI dan VII, serebral palsy, perdarahan retina, bahkan kematian (Cunningham et al, 2010). Oleh karena itu, meskipun dapat digunakan sebagai salah satu metode induksi persalinan, namun sebaiknya ekstraksi vakum tidak terlalu sering digunakan sebagai induktor persalinan. Selain mengalami cephal hematoma, pasien juga pada hari ke-3 mengalami kejang sehingga harus diberi terapi sibital. Sibital mengandung fenobarbital sodium 100 mg. Fenobarbital merupakan derivat asam barbiturat. Mekanisme aksi fenobarbital masih belum sepenuhnya diketahui. Meskipun demikian, fenobarbital mampu menghambat transmisi eksitasi secara signifikan. Sejumlah studi menyatakan bahwa fenobarbital dapat menekan secara selektif kinerja dari neuron yang mengalami abnormalitas. Sama seperti phenytoin, fenobarbital menekan frekuensi tinggi eksitasi repetitif dari neuron melalui konduktansi Na+, namun hal ini hanya dapat terjadi pada konsentrasi tinggi. Selain itu, fenobarbital juga mampu berikatan pada lokasi allosteric regulatory dari

reseptor GABAA. Ikatan ini menyebabkan peningkatan aktivitas neuron yang dimediasi reseptor GABA dengan cara memperlama pembukaan kanal ion klorida. Selain itu pula, fenobarbital mampu menurunkan respon eksitasi. Penurunan eksitasi ini berhubungan dengan hambatan pada reseptor DL--amino3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionate yang merupakan reseptor dari glutamat (Katzung, 2009). Melihat adanya potensi neuron yang mengalami kerusakan inilah yang menyebabkan penggunaan terapi fenobarbital pada kondisi kejang pasien. Hal ini bertujuan untuk menekan terjadinya transmisi dari neuron-neuron abnormal. Meskipun belum ada studi yang secara signifikan menghubungkan antara penggunaan vakum berlebihan dengan kejadian kejang pada neonatus, namun adanya tarikan berlebihan, khususnya pada bagian kepala, dapat menyebabkan jejas organ intrakranial (otak) sehingga berdampak pada rusaknya sel-sel neuron otak.

Gambar 6. Panduan Fototerapi Menurut American Academy of Pediatric

Sesuai dengan teori yang dikemukakan sejumlah buku, adanya hematoma dapat berdampak pada terjadinya hiperbilirubinemia neonatus. Oleh karena itu, maka diperlukan tindakan yang lebih untuk menurunkan kadar bilirubin kembali ke kadar normal bilirubin neonatus. Tindakan yang dapat dilakukan, khususnya di ruangan persiti RSUD Undata, adalah dengan menggunakan fototerapi. Fototerapi merupakan terapi penyinaran dengan panjang gelombang cahaya 450-460 nm (gelombang sinar biru 425-475 nm atau sinar putih 380-700 nm) dengan spekrum radiasi 30 W/cm2/nm. Standar indikasi dilakukannya fototerapi mengikuti grafik peningkatan kadar bilirubin total menurut American Academy of Pediatric (Gambar 6).

DAFTAR PUSTAKA

Alexander J.M., Leveno K.J., Hauth J., et al. (2006). Fetal injury associated with cesarean delivery. Obstet Gynecol; 108:885. Anderson-Alley A.L. (2012). Neonatal Sepsis. Medscape. Baskett T.F., Allen V.M., OConnell C.M., et al. (2007). Fetal trauma in term pregnancy. Am J Obstet Gynecol; 197:499. Cloherty J.P., Eichenwald E.C., Stark A.R. (2008). Manual of Neonatal Care 6th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., et al. (2010). Williams Obstetrics 23rd Ed. USA: The McGraw-Hill Companies. Dorlands Medical Dictionary for Health Consumers version 3.0.80[for Android]. Philadelphia: Elsiever; 2008. Fanaroff M.J., Fanaroff A.A. (1994). Klaus & Fanaroff's care of the high-risk neonate 4th Ed. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Ganong W.F. (2003). Review of Medical Physiology 22nd Ed. USA: The McGrawHill Companies. Gibbs R.S., Karlan B.Y., Haney A.F., et al. (2008). Danforths Obstetric and Gynecology 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Guyton A.C. & Hall J.E. (2006). Textbook of Medical Physiology 11th Ed. USA: Elsiever. Katzung B.G., Masters S.B., Trevor A.J. (2009). Basic & Clinical Pharmacology 11th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies. Simonson C., Barlow P., Dehennin N., et al. (2007). Neonatal complications of vacuumassisted delivery. Obstet Gynecol 110:189.

Anda mungkin juga menyukai