Segala sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, maka
di anggap suatu hal yang baik menurut Allah
Sedang Istihsan menurut istilah adalah
(
)
Istihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan
kepada sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang
dipandang lebih kuat atau lebih baik.
Dengan demikian , istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari
tuntutan qiyas nyata ( jali ) kapada qiyas khafi ( samar ), atau dari dalil kully
kepada hukum tashhish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid
mengalihkan hasil pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.
Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang
status hukumnya tidak ada, maka penyelesaiannya harus menggunakan dua
sisi yang konttradiktif, yaitu:
1. Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.
2. Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak ( khafi ) menghendaki adanya
ketetapan hukum lain.
Dari kenyataan itu, pada diri mujtahid ada dalil yang dianggap lebih
mendahulukan sisi ketidaktampakan ( khafi ), sehingga ia berpindah kepada
sisi yang nyata ( jali/ lahiriyyah ). Begitu juga jika ada ketetapan hukum kulli
pada diri mujtahid, namun ia menghendaki adanya dalil juziy dari hukum
kully tersebut dan memberikan ketetapan hukum kepada juziynya. Maka hal
2
ini dalam syara dikenal dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan adalah
perpindahan penerapan suatu bentuk qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.
B. Pengertian mashlahah mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan
mursalah.Perpaduan dua kata menjadi marsalah mursalahyang berarti prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam.
Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di
antaranya :
1. Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai berikut: Maslahah ialah, perbuatan yang
bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri` (Allah) kepada hamba-
Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan
harta bendanya)
2. Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah
meraih manfaat dan menolak madarat
3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah :Memelihara tujuan
syara dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.
Mashlahatul mursalah yaitu memperoleh suatu hukum yang sesuai
menurut akal dipandang dari kebaikannya, sedangkan tidak diperoleh alasannya,
seperti seseorang menghukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuannya
oleh agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh. Maka hendaklah dipandang
kemudharatannya dan kemanfaatannya. Bila kemudharatannya lebih banyak dari
kemanfaatannya berarti perbuatan itu terlarang. Sebaliknya bila kemanfaatannya
lebih banyak dari kemudharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama,
karena agama membawa kepada kebaikan oleh sebab itu dikatakan oleh Ibnu
Taimiyyah:
Artinya: Hukum sesuatu adakah dia haram atau mubah, maka dilihat
dari segi kebiasaannya dan kebaikannya.
Mashlahah adalah kalimat isim yang berbentuk mashdar dan artinya sama
dengan al-shulhu yang artinya sinonim dengan kata al-manfaat, yaitu
kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan
Sedang menurut istilah para ahli ushul berbeda beda redaksi dalam
mendefinisikannya antara lain :
3
Pengertian yang lain, mashlahah adalah bentuk perbuatan ynag
bermanfaat yang telah diperintahkan oleh syari ( allah ) kepada hamba-NYA
untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda mereka.
(yuqollidu)
artinya :
Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).
b. Menurut Istilah (Terminologi)
Sedangkan Amm menurut istilah adalah :
.
Artinya :
Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu
kata sekaligus. Contohnya kata yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-
laki di dunia ini masuk dalam kata. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam
surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki
atas kaum perempuan:
:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita). (Q.S.Annisa: 34)
Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-
laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi
ini.
c. Menurut para ulama
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian Amm yang
berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya
pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:
1) Menurut Ulama Hanafiyah:
.
Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun
makna.
2) Menurut ulama Syafiiyah, diantaranya Al-Ghazali:
.
Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
3) Menurut Al-Bazdawi:
.
Lafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut
dengan satu kata.
16
2. Pengertian Khash
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash.
Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama.
Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
.
Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan
manunggal.
Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:
.
Setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan
terhindar dari makna lain yang (musytarak).
Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan
musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh am.
Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafiiyah.
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk,
yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang
berpikir, atau berbentuk spesies (nauun), seperti kata laki-laki dan wanita,
atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan
angka-angka (3, 5, 100, dan seterusnya).
17
Mutlaq dan Muqqayat
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat tanpa sesuatu qayyid
(pembatas). Jadi ia hanya menunjukkan kepada satu indifidu tidak tertentu dari
hakekat tersebut.
Muqayyad adalah lafazh yang telah di hilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli
maupun juz'I, atau Muqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu hakekat dengan
qayyid (batasan), seperti kata "raqabah" (budak) yang dibatasi dengan iman dalam
ayat:
"(hendaklah) ia memerdekakan budak beriman." {Qs. An-Nisa': 92}
Macam-macam Mutlaq dan Muqayyad dan Status Hukumnya Masing-masing
Mutlaq dan muqayyad mempunyai bentuk-bentuk aqliyyah dan sebagian realitas
bentuknya kami kemukakan sebagai berikut:
a. Sebab dan hukumnya sama.
Misalnya "puasa" untuk kafarah sumpah. Lafazh itu dalam qira'ah mutawatir yang
terdapat dalam mushaf di ungkapkan secara mutlaq:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan
kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." {Qs. Al-Ma'idah: 89}
Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan tatabu' (berturut-turut) dalam qira'ah Ibnu
Mas'ud :
"Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut." Dalam hal seperti ini,
pengertian lafazh yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa
yang dimakdus oleh lafazh mutlaq adalah sam yang dimaksud oleh muqayyad),
karena "sebab" yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh
karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan
secara berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qira'ah tidak
mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat
18
golongan yang pertama. Maka dalam kasus ini di pandang tidak ada muqayyad yang
karenanya lafazh mutlaq dibawa kepadanya.
b. Sebabnya sama namun hukum berbeda.
Seperti lafazh "tangan" dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam
berwudhu dibatasi sampai dengan siku-siku. Allah berfirtman:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku." {Qs. Al-Ma'idah: 6 }
Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana di
jelaskan dalam firman-Nya:
"Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu." {Qs. Al-Ma'idah: 6 }
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafazh yang mutlaq tidak dibawa kepada yang
muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun al-Ghayali menukil dari ulama'
Syafi'I bahwa mutlaq di sini dibawa kepada muqayyad mengingat "sebab"nya sama
sekalipun berbeda hukumnya.
c. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama
Dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya, pembebasan budak dalam hal
kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak "beriman" dalam kafarah
pembunuhan tak senganja. Allah berfirman:
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (dengan memberi maaf). Jika ia
(si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman." {Qs.
An-Nisa': 92}
Sedangkan dalam kafarah dhihar ia diungkapkan secara mutlaq:
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
19
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." {Qs. Al-
Mujadalah: 3}
Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya, "puasa kafarah" ia ditaqyidkan dengan
berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah:
"Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." {Qs. An-Nisa': 92}
Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaiman dalam firman-Nya:
"Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur." {Qs. Al-Mujadalah: 4}
d. Sebab berbeda dan hukumpun berlainan
Seperti, "tangan" dalam berwudhu dan dalam kasus pencurian. Dalam berwudhu, ia
dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian di mutlaqkan, tidak dibatasi.
Firman Allah:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." {Qs. Al-Ma'idah: 38}
20
Mantuq dan mafthum Zahir dan Tawil
A. Pengertian Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika
diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:
Artinya :Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu
yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal).
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung
lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq.
Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada surat Al-
Isra ayat 23 yang berbunyi :
Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya
mengucapkan kata ah dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga
digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya
memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
1. Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut
ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum
muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk
memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam
meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2
bagian yaitu:
1) Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku.
24
Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai
ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan
bulan kulihat semuanya sujud padaku.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait
dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
1. Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
Syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dikemukakan
oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqh, sebagai berikut. Untuk syahnya
mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat, yaitu :
a. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik
dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan
dengan dalil mantuq: (Q.S. Al-Isra Ayat 31)