Anda di halaman 1dari 2

Sisi Lain Pak Beye dan Istana

Sumber Judul Peresensi Penulis Penerbit Tahun Tebal : Kompas, 24 September 2010 : Pak Beye dan Istananya : Ali Rifan : Wisnu Nugroho : Kompas, Jakarta : I, Juli 2010 : 256 halaman

Di dunia ini, tidak ada manusia yang sempurna. Semua pasti memiliki kelemahan dan kekurangan, termasuk seorang Presiden sekalipun. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata. Begitu yang termaktup dalam ajaran agama. Buku Pak Beye dan Istananya karya Wisnu Nugroho ini ingin membedah sisi lain di balik pesona seorang Presiden dan gemerlap Istananya. Seperti kebanyakan orang, Pak Beye juga manusia biasa yang memiliki segudang kekurangan. Seperti yang dituliskan pada bab V tentang Pernik-Pernik Pak Beye misalnya. Di sini penulis menyoroti banyak hal, seperti tahi lalat Pak Beye yang hilang, soto ayam kegemaran Pak Beye, sampai kasur empuk Pak Beye yang diusung dari Istana Merdeka ke Istana Negara. Secara kasat mata, tulisan Inu ini memang terkesan mengungkap hal-hal yang tidak penting tentang Pak Beye dan segala sesuatu yang ada di kompleks Istana Kepresidenan selama satu periode (2004-2009). Tapi, karena ditulis oleh wartawan Istana yang pernah mengenyam pendidikan filsafat dan mengetahui secara detail seluk-beluk dan siku-liku dinamika di Istana, buku ini menjadi amat menarik dan sarat dengan pesan-pesan tersembunyi. Simaklah kisah pada tajuk Melihat Pak Beye Gak Pede. Dalam sambutannya di podium, Pak Beye selalu berpesan kepada para menterinya, bahkan pesan ini mungkin sudah puluhan kali beliau sampaikan baik kepada pejabat berlevel teri mapun kelas kakap. Mari kita lakukan (lagi) kampanye besar-besaran untuk mengkonsumsi produk dalam negeri. Ketika sidang usai, pesan tersebut menjadi aneh. Betapa tidak, seorang menteri perempuan diiringi ajudannya dengan gagahnya menenteng tas kulit berwarna putih dengan logo LV (Louis Vuitton). Melihat fakta itu, Pak Beye langsung kehilangan kepedeannya. Yang tak kalah menariknya, buku ini juga mendedah ihwal tunggangan para pejabat lengkap sampai satu bab. Barangkali, di sini, Inu ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa Istana Negara sesekali bisa disulap menjadi tempat pertunjukkan mobil papan atas. Sebab, saat rapat kabinet, halaman Istana Negara kerap menyerupai showroom mobil. Puluhan Toyota Camry hitam, mobil dinas menteri saat itu (sekarang Toyota Crown), berjajar rapi. Tak pelak, Yenny Zannuba Wahidyang pernah tinggal di Istana Merdekamengatakan membaca buku ini bak melihat teatrikal di negeri ini, lengkap dengan aktor-aktor di dalamnya. Kisah tentang makanan Pak Beye juga tak kalah menarik untuk disimak. Bu Budi, misalnya, sebagai juru masak kepresidenan selalu memilih belanja di pasar tradisional daripada di

supermarket. Alasannya, daging, ikan, ayam atau sayur di pasar tradisional lebih segar. Menu yang kerap dimasak Bu Budi untuk Pak Beye, antara lain, gado-gado, pecel, trancam, sayur asam, ikan asin, tahu goreng, tempe goreng, dan empal. Sedangkan camilan yang paling disukai Pak Beye adalah tahu sumedang. Jika masih hangat dan dihidangkan dengan cabai rawit, Pak Beye bisa menghabiskan sepuluh potong tahu. Ihwal Pencitraan Seperti banyak dikatakan pengamat, kepemimpinan Pak Beye saat ini terkesan banyak pencitraan. Benar tidaknya asumsi tersebut pembaca bisa menilai sendiri di Bab IV. Seperti yang kita saksikan ketika Pak Beye diwawancarai doorstop atau konferensi pers dari layar kaca, seolah-olah presiden begitu dekat dengan wartawan dan mau dicegat untuk menjawab pertanyaan wartawan. Padahal, presiden mau memberikan keterangan di halaman Istana bukan karena dicegat wartawan. Ada skenarionya untuk itu semua. Dalam tradisi Istana, banyak hal yang kerapkali diskenariokan. Ketika ada konferensi pers di Istana atau di kediaman Pak Beye di Cikeas yang disiarkan langsung oleh stasiun televise, misalnya, semua sudah diatur dengan rapih dan sarat dengan polesan pencitraan tingkat tinggi. Seperti pertanyaan yang akan diajukan oleh para wartawan kadang sudah disiapkan dan dititipkan terlebih dahulu kepada sejumlah wartawan kepercayaan. Atau pun posisi-posisi yang tepat ketika hendak wawancara. Buku ini memberikan tesis berharga bagi pembaca ihwal sisi lain Pak Beye dan sisik-melik Istananya. Karena ternyata, sebuah Istana Kepresidenan tidaklah melulu menghadirkan berita-berita serius seperti laporan tentang rapat kabinet, upacara detik-detik proklamasi, tamu negara, hingga reshuffle kabinet. Namun hal-hal yang tak terduga, jarang diketahui oleh khalayak, serta bernuansa narsis juga banyak kita temukan. Buku Pak Beye dan Istananya ini adalah satu di antara Tetralogi Sisi Lain SBY (Pak Beye dan Istananya, Pak Beye dan Politiknya, dan Pak Beye dan Keluarganya) yang tengah terbit. Dari hasil wawancara sederhana saya dengan rekan-rekan muda, ternyata antusias untuk menyambut buku ini sangat tinggi. Bagi mereka, mengetahui hal-hal privasi dan sensitif dari orang nomor satu di negeri ini menjadi perlu. Hukum alam memang selalu berbicara demikian, semakin populis seseorang, semakin menarik untuk disimak perjalanan hidupnya. Namun, satu barangkali pernyataan teman saya yang cukup getir untuk didengarkan, Kalau seperti ini, apa bedanya Presiden kita dengan selebriti yang ada di infotainment? begitu kelakarnya di sela-sela ngobrol gayeng.

Anda mungkin juga menyukai