Anda di halaman 1dari 6

Mengapa Sulit Untuk Membaca? Okay. This is such a real crap. What I have to write then?

It is about something familiar again. It about simple thing about read. Yes. Reading. It cannot be simpler again than that." Selalu muncul begitu banyak excuse (alasan) ketika ingin melakukan sesuatu hal yang produktif. Contoh sederhana adalah ketika ingin membuat sebuah tulisan. Siang menjelang sore ini, dengan cahaya yang terang dan sedikit polusi suara membuat suasana damai pemutar otak begitu lancar. Memang terasa gelap, guruh halilintar terdengar menderu meski masih jauh beberapa kilometer dari sini. Yaah. Ini menjadi lebih sempurna ketika sadar memiliki surplus waktu berlebih, bahkan menyusup ke arah menganggur. Tidak ada kewajiban yang harus diemban dalam waktu dekat ini, tidak ada kegiatan yang dilakukan tertera dalam schedule list, tapi entah mengapa untuk memulai menulis, berbagai macam alasan selalu terdengar logis untuk berkilah dari tujuan yang bajik ini. Mungkin hal tersebut dialami juga ketika ingin membaca. Konteksnya adalah membaca teks. Mudah sekali. Begitu awalnya, sampai opsi-opsi lain yang lebih menarik (menggoda dan yang tak bermaanfaat) yang dapat mengusir bosan lebih dipilih ketimbang membaca. Dibenarkan atau tidak, pada akhirnya akan tetap bosan juga. Apa yang membuat seseorang malas untuk membaca? Kenapa Anda tidak membaca (bahkan untuk paragraf ke dua dari tulisan ini)? dan sampai pada pertanyaan: kenapa saya harus membaca? Hmm. Untuk pertanyaan yang terakhir ini saya tidak ingin menjawabnya untuk Anda. Bahkan untuk satu jawaban yang terdengar masuk akal pun, tidak akan menjadi motor penggerak bagi Anda untuk membaca. Jadi untuk apa saya melakukan hal yang percuma seperti itu. kecuali jika Anda member feedback seperti apa yang saya inginkan. Hmph. Tapi lebih jauh lagi, itu akan berujung pada ego bahwa saya ingin Anda menjadi saya. Bajik tapi tidak bijak. 2 paragraf ini sengaja saya tulis lumayan panjang untuk mengetahui seberapa besar minat Anda untuk membaca. Jika Anda sampai pada paragraf 3 ini. Saya ucapkan selamat. Karena Anda telah berhasil melawan diri Anda untuk berhenti membaca tulisan yang saya buat tidak langsung pada intinya. Saya memang bertujuan sedikit licik. Tapi tentu dengan ini saya memberi satu jawaban berikut juga solusi mengenai membaca. Terima saja. Bahwa saya bisa membuat Anda membaca sampai paragraf 3 ini. Ya. Minat. Tidak perlu minat yang besar untuk membaca. Itu adalah kunci pada pintu pertama yang anda miliki untuk masuk pada ruangan tempat pengetahuan di luar daya empiris Anda berada. Dengan memilih untuk membaca paragraf pertama Anda sudah memulai satu langkah yang mudah. Satu anak tangga yang membuat derajat diri Anda lebih tinggi daripada orang-orang pemalas sekitar Anda. Dari tahap memulai ini tinggal biarkan saja rasa ingin tahu Anda menjelajar seluruh kalimat, seluruh paragraf, seluruh halaman, seluruh bab, dan sampai seluruh buku. Saya setuju dengan Anda. Langkah ini tidak membuat anda bisa keluar dari jabatan pemalas sumur hidup yang Anda miliki, tapi setidaknya Anda akan terlihat sedikit lebih pintar dari kelompok pemalas yang sedang Anda tinggali. Sebuah advantage bagi gengsi anda bukan? Memang butuh perujuangan lebih untuk bisa membaca berlama-lama dan butuh konsentrasi yang menguras kalori untuk membaca banyak. Hal ini sama seperti para pejuang yang sedang berperang. Kemerdekaan (dalam bentuk apapun) bukan lah menjadi satu-satunya tujuan para pahlawan yang sudah

gugur di masa lalu. Terkadang sebuah penghargaan untuk sebuah prestise diri sendiri tidak bisa juga dipungkiri. Bukan bermaksud untuk kurang ajar pada nasionalis dan patriotis. Hal tersebut memang sudah menjadi naluri manusia. Menjadi insting yang sudah menempel dan menjadi basis menemani kemampuan manusia untuk bertahan hidup dan beradaptasi (survive). Keinginan untuk memperlihatkan bahwa aku ini ada secara sadar. Ini sudah menjadi hukum alam yang pasti. Untuk itu lah mengapa kesadaran manusia secara psikoanalisis Freud dibagi menjadi 3: ego, superego dan id. Ilmu sosial yang diambil dari kombinasi ilmu alam dan psikologi ini sulit untuk dibantah. Mengapa? Karena logis! Anda, saya, tidak perlu menerimanya sebagai sebuah hukum sosial. Karena memang tidak pernah ada hukum sosial seperti hukum alam. Yang digunakan adalah konsep mengenai diri atau ego. Keinginan untuk menonjolkan diri, melabeli diri, menunjukan Aku sebagai ini atau itu sudah menjadi hakikat diri manusia dalam bertahan hidup, meski dalam implementasi atau pengendaliannya dari tiap indvidu sering sekali berbeda, tekanan ego bisa bervariasi, begitu juga cara mengontrolnya. Bertahan hidup tidak hanyak mengenai pemenuhan kebutuhan biologis seperti makan dan reproduksi, tetapi juga untuk menunjukan pada dunia kehadiran dari Aku sebagai manusia. Sebuah perjuangan eksistensialisme yang menjadi hakikat dasar manusia selain dari berpikir dan berakal. Untuk di sini: Apakah Anda manusia? Dari intermezzo awal, sekarang tulisan ini mulai masuk pada ranah abstrak pikiran saya mengenai mengapa seseorang sulit untuk membaca. Maaf jika mengecewakan Anda yang sangat condong pada tipe praktikal yang sangat senang membaca tulisan bertipe how to atau teknik yang dapat anda serap manfaatnya secara langsung dan dapat anda praktikan di dunia nyata. Maaf juga terhadap Anda yang hatinya bertipe fototropis yang bergerak karena disinari oleh perkataan yang menyegarkan berasal dari cahaya yang dapat memotivasi Anda. Dan tentu selamat datang juga bagi para pembenci (haters) yang senang mengumpat agar dirinya terlihat kuat, tapi tidak pernah tau dengan apa yang sedang dia lakukan dan katakan. Oh hai juga di sana orang-orang bodoh yang pikirannya hanya dibentuk oleh opini dan begitu senang menghakimi. Over all selamat membaca para pembohong. Membaca atau baca adalah hal yang mudah. Tulisan saya memang subyektif, dan bahkan seringkali saru. Baik, lalu apa itu membaca bagi saya? Dari pengantar di beberapa paragraf sebelumnya, saya padatkan dalam satu kapsul sederhana, bahwa membaca adalah perjuangan untuk mengokohkan identitas. Sebuah pertarungan modal simbolis. Membaca jarang sekali ditempatkan pada kardus kebutuhan manusia. Tetapi tentu itu semua tergantung pada tiap diri individu, jika dia memilih membaca sebagai prioritas maka itu menjadi kebutuhan bagi mereka. Setiap orang memiliki prioritas yang berbeda-beda. Tentu. Ini adalah salah satu mengapa Anda sulit untuk membaca. Lalu apa yang membuat setiap prioritas orang berbeda-beda? Jawabannya sangat sederhana dan simbolis: lingkungan. Ya kerena simbolis berarti terdapat makna di dalam konsep lingkungan ini. lingkungan dalam konteks alam saya rasa kurang tepat digunakan sebagai makna untuk tulisan saya ini. Meski tentu secara materi konsep ini memiliki pengaruh yang jelas. Lingkungan dalam makna sosial lah yang saya anjurkan pada Anda untuk memahami konten dan konteks tulisan yang akan saya lanjutkan pada paragraf-paragraf selanjutnya.

Lingkungan menentukan siapa Anda. Disadari atau tidak, pengaruhnya lebih besar dari apa yang pernah Anda bayangkan. Lingkungan memiliki struktur yang membentuk peraturan yang secara halus (subtle) menjadi asupan yang renyah bagi mental dan otak Anda. Karena ke-halusan-an ini lah Anda sulit untuk menyadarinya. Tidak dalam bentuk yang kongkret dan kasat mata, pengaruhnya pun tidak diterima secara langsung. Dengan proses sosialisasi dan internalisasi yang konstan, lingkungan ini membuat segala bentuk anturan menempel pada Anda dalam bentuk kebiasaan. Lebih lanjut lagi, segala pengaruh ini bisa membentuk bagaimana cara Anda berpikir, bagaimana mental Anda terasah, dan bagaimana beradaptasi termasuk bagaimana untuk survive. Dalam adaptasi dan survive selalu berkaitan dengan lingkungan, dan lingkungan yang menjadi tempat Anda berada lah yang sedang Anda pertahankan. Segala hal itu lebih mudah jika dijelaskan pada contoh yang lebih kecil dan simpel. Dan contoh ini akan secara langsung menusuk perspekititf Anda menjadi perspektif yang saya maksudkan dalam tulisan ini. Baik. Kita mulai dengan contoh yang paling dekat dan berada di sekeliling kita. Ambil saja satu kelompok pertemanan yang umum. Dalam ruang dan tempat tertentu mereka berkumpul. Saling mengobrol membicarakan hal-hal mengenai device yang keluar baru-baru ini berupa gadget. Hmm. Gadget tersebut kita misalkan saja smartphone. Dari kelompok pertemanan antara 4-6 orang ini, mayoritas di antaranya bercuap dengan semangat, dan beberapa yang lain tidak. Meski begitu untuk kelompok pertemanan pada masa saat ini (teknologi smartphone yang sedang berkembang secara masal dan progresif)i dimana globalisasi dan standar nilai terhadap teknologi cenderung sama, dalam kelompok ini tidak akan menafikan bahwa smartphone ini menjadi penting. Terlepas apakah kita memilikinya atau tidak. Dan saya kira Anda pun akan setuju. Meski tidak menjadi barang yang secara fungsional pragmatis, tetapi secara sosialii sangat diagungkan. Akui atau tidak, jika smartphone ini berbentuk nonekonimis seperti oksigen (udara), Anda ingin menghirupnya dalam-dalam. Mari kita kaji contoh sederhana yang saya berikan. Memang tidak selalu pendek dalam menjelaskan agar mencapai satu perspektif yang sama. Begitu saya asumsikan bahwa sekarang Anda paham mengenai contoh yang saya berikan. Kelompok ini menghadapi realitas sosial yang sama: konsumsi kebutuhan. Dalam hal ini adalah penggunaan smartphone. Apakah berhenti hanya disitu saja? Sedikit menggunakan perspektif Marx. Suatu yang material hanya memiliki esensi dalam relasinya. Smartphone, akan menjadi penting karena hubungannya dengan realitas (kebutuhan) lain: ekonomi, komunikasi, hiburan, aktualisasi diri, identifikasi status sosial, prestise, dan adaptasi. Segala hal lain seperti hubungan dengan orang tua, teman, media sosial, kecepatan mendapat informasi dan lainnya hanyalah sebuah turunan. Tanpa ada relasi yang menghubungkan materi (smartphone) dengan hal-hal lain yang saya sebutkan di atas, apakah dia akan bermakna? Jawabannya bisa ya dan juga tidak. Tergantung pada lingkup sosial tertentu, dalam hal ini lingkungan (kelompok) mana Anda sedang berada. Esensi bernilai relatif, sama seperti kebenaran, tidak ada yang bernilai mutlak. Tiap kelompok mempunyai standarisasi kebutuhan relasi yang berbeda. Yang saya sebutkan diatas penting bagi relasi pertemanan para adolescents (remaja) di sekitar kota besariii. Tentu akan berbeda jika smartphone berada di lingkungan perkampungan yang masih menjunjung tinggi fungsi ketimbang content dan kemasan. Orang-orang yang berada di lingkup yang lebih sederhana tidak melihat prestise, aktualisasi diri, identifikasi status sosial dan lainnya dalam sebuah smartphone, karena hal tersebut masih bisa didapatkan di dalam handphone regular.

Dari penjelasan ini saya harap Anda sudah paham mengenai pentingnya lingkungan dan pengaruhnya terhadap Anda. Mungkin Anda akan menyangkal bahwa yang paling penting itu tergantung pada individunya. Saya sarankan coba pikirkan sekali lagi. Saya tidak bermaksud untuk menyerang para eksistensialis murni. Manusia dan kebudayaan adalah satu kesatuan, begitu juga struktur (yang hanya ada dalam sebuah kelompok) dan agen (individu seperti Anda). Manusia tidak bisa menciptakan struktur secara individu, tetapi harus melalui konsensus yang tentunya harus memiliki prasyarat individu lain. Dan kembali pada pernyataan awal: faktor lingkungan > individu. Saya ulangi kembali bahwa penting tidaknya suatu hal itu relatif, tergantung pada berbagai macam faktor, dan tergantung pada konteksnya. Saya sudah memaparkan mengenai pengaruh lingkungan atau kelompok sosial dan hubungannya dengan relasi, selanjutnya saya mengarah pada penjelasan mengenai prioritas. Dari formulasi antara lingkungan dan relasi, ini lah yang membentuk prioritas setiap individu. Tentu dalam kenyataannya sangat kompleks jika dijabarkan, tapi bisa dipahami dalam penjelasan yang sederhana. Prioritas adalah segala hal yang dianggap lebih penting dari kepentingan lainnya. Tergantung pada lingkungan mana kecenderungan anda berada, maka lingkungan tersebut akan memilah prioritasprioritas Anda. Seperti contoh sebelumnya pada lingkungan remaja kota besar, mereka akan menaruh kepemilikan gadget smartphone pada derajat tertentu. Benda ini digunakan sebagai sebuah simbol status karena siapa yang tidak memilikinya akan cukup malu berada di dalam lingkungan itu. Konsensus tidak harus selalu dibentuk secara sadar, ketika tiap individu dalam kelompok memiliki pandangan yang sama, maka suatu konsensus telah dibentuk secara sendirinya. Konsensus untuk membuat kepemilikikan gadget sebagai tanda diakuinya status individu dalam kelompok. Mungkin ada beberapa orang yang menyangkal hal ini, tetapi mengapa harus membeli gadget yang canggih-canggih (dan serupa) hanya untuk berkomunikasi dan menikmati hidup sosial? Mengapa harus sony experia, iphone, Samsung galaxy, dan segala macam device portable lainnya yang anda miliki? Mengapa begitu bersemangat ketika memilih model mana yang akan Anda beli? Mengapa begitu bangga membawanya dan menunjukan pada teman-teman Anda? Jika Anda mengaku cukup malu dan tidak ingin menyombong, mengapa tetap Anda beli sedangkan fungsinya saja tidak menjadi primer? Anda malu bukan karena hal tersebut, terkadang Anda malu karena lingkungan yang Anda tinggali dominan tidak dapat memiliki smartphone tersebut sehingga hanya Anda yang menjadi satu-satunya pemilik. Hal ini membuat Anda menjadi yang paling beda dari yang lain, yang memiliki status kelas atas dan paranoid terhadap cemoohan kelas bawah. Ya. Hal-hal seperti kasus tersebut sering ditemui, tapi akan beda ceritanya jika lingkungan Anda mendukung kualitas modal simbol yang Anda miliki, dan mengokohkannya sebagai legitimasi identitas diri. Pertarungan identitas, perjuangan simbol, pemenuhan kebutuhan ego, semua hal ini lah yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini. 3 hal yang saya sebutkan tersebut tertuang dalam satu konsep: prioritas. Mungkin agak sedikit jauh dari konteks awal mengenai membaca. Tetapi cara ini lah yang paling mudah menurut saya untuk menyampaikannya. Jika Anda sudah cukup memahami maksudnya dalam penjelasan di atas, semuanya tinggal memindahkannya pada kasus mengenai membaca. Perkara yang saya pikir mudah. Mengapa orang sulit membaca? Karena itu bukan prioritasnya. Jawabannya simpel dan langsung. Ya mungkin dari Anda ada yang sadar bahwa saya sedang membahas mengenai motif. Dan tentu ada yang menyangkal: Saya membaca karena saya senang membaca, saya membaca karena

ditugaskan seperti itu, membaca adalah sebuah kewajiban, membaca itu sudah jadi kebutuhan saya sendiri.. Ya. Komentar itu hanya sebuah turunan dari dasar-dasar motif yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Semua pernyataan yang tadi lupa akan pentingnya relasi dalam esensi membaca. Tidak akan pernah berarti suatu hal (konsep) tanpa seseorang yang memaknainya. Dan pemaknaan ini tidak pernah berdiri sendiri, karena harus dikeluarkan dan butuh untuk di-respon. Karena jika tidak. Maka tidak pernah ada pemaknaan sama sekali. Karena kegiatan membaca butuh untuk dimaknai dan direspon, baik dengan cara yang subtle (halus) tidak langsung ataupun langsung konkret bentuknya. Dan untuk itulah lingkungan dan kelompok sosial terbentuk, begitu juga pada proses membaca, jika lingkungan Anda merespon aktivitas membaca Anda, mengapa tidak dijadikan saja membaca sebagai prioritas? Mungkin ada baiknya masuk pada sebab-akibat lain mengapa seseorang sulit untuk membaca. Hmm. Alasan seperti: saya tidak kuat untuk membaca, saya tidak ada minat untuk membaca, saya selalu mengantuk untuk membaca, tidak ada satupun yang masuk ketika saya membaca. Dan segala hal sulit lainnya mengenai membaca. Ya mungkin karena itu juga, mengapa orang yang membaca mempunyai nilai lebih ketimbang yang tidak. Dan hal tersebut bisa digunakan sebagai senjata untuk mengukuhkan satu identitas bukan? Ada pun orang yang takut disebut nerd (kutu buku) karena terlalu banyak membaca dan menjadi antisosial. Jika memang merasa takut dan malu, berarti perhatikan kembali lingkungan Anda. Apa yang menjadi prioritas di lingkungan tersebut? Well. Hmm bukan berarti saya bermaksud untuk menyisikan kehidupan sosial lain dan mengagungkan kegiatan membaca. Toh tetap saja manfaat dari membaca ini harus saya salurkan pada ranah sosial juga. Selain sebagai aktualisasi diri, akan sangat sulit sekali mengingkari diri dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Karena jika tidak seperti itu, maka justru akan cenderung menganggap semua orang adalah orang bodoh, karena kita begitu congkak. Benar begitu kan, Freud? Mengapa seseorang sulit untuk membaca? Karena membaca bukan menjadi prioritasnya. Mengapa tidak menjadi prioritasnya? Karena lingkungannya tidak memberikan respon yang dibutuhkan dalam aktivitas membaca. Mengapa tidak memberikan respon? Karena membaca tidak menjadi simbol penting dalam pemenuhan kebutuhan manusia akan identitas diri. Apakah harus selalu mengenai simbol dan pemenenuhan kebuthan akan identitas diri? Tentu tidak. Membaca adalah cara termalas untuk bisa mengubah status sosial seseorang menuju derajat yang lebih baik. Membaca secara praktis bermanfaat untuk: menambah ilmu, pendisiplinan diri, mengasah ingatan, membantu kajian ilmu dan semacamnya, tapi itu tidak esensial. Mengapa tidak esensial? Karena tidak berhubungan langsung pada kebutuhan basic manusia. Bahkan keinginan untuk terlihat rajin lebih esensial ketimbang menambah ilmu. Karena ini berhubungan pada kebutuhan dalam eksistensi diri, untuk bertahan hidup. Lalu mengapa masih ada saja orang yang malas membaca padahal itu berhubungan secara langsung dengan basis kebutuhan manusia? Pemenuhan kebutuhan eksistensi diri tidak hanya melulu diperoleh dari membaca, tapi dari konsensus yang ada di dalam lingkungan individu. Jika membaca menjadi sebuah alat penting yang diakui satu kelompok, maka banyak-banyak lah orang membaca. Tapi jika lingkungan dan kelompok tersebut memiliki prioritas lain, pemenuhan kebutuhan tetap saja berlanjut dengan caranya sendiri. hanya saja dalam hubungan transenden dan horisontal, aktivitas membaca memiliki pahala lebih dan

value yang lebih tinggi. Salah satunya karena mendapatkan ilmu, meski ini tentu tidak menggiurkan, kecuali jika berhubungan atau berelasi dengan kebutuhan lainnya, seperti ilmu mendapatkan pacar misalnya. Terkadang manfaat mendapatkan ilmu dinomerduakan. Bukan berarti tidak penting, tetapi ada hal yang lebih penting dari hal itu dari membaca. Yaitu habit, atau kebiasaan. Ini lah pembentuk identitas dan pemikiran yang real. Dari kebiasaan maka siapa Anda sebenarnya bisa didefinisikan. Terkadang ilmu tidak didapatkan secara mudah dan menerap begitu saja. Bahkan saya sendiri sering lupa dengan apa yang sudah saya baca. Jadi siap untuk kecewa, tapi itu akan tetapi menjadi lebih baik ketika seseorang memuji: Dia baca kok. Dan setidaknya kita memiliki modal simbolis untuk menyerang mereka yang diam-bodoh (membuang-buang waktu) bukan? Semoga tulisan saya mengenai membaca dapat ditangkap secara terbuka. Terkadang tulisan ini terbawa terlalu jauh karena kurangnya kontrol emosional dari saya. Tapi tak akan saya perbaiki. Saya senang seperti itu, karena dengan hal tersebut saya membuat celah-celah agar argument saya dapat disalahkan atau dikritisi. Mengapa seperti itu? siapa yang tahu dari tulisan ini saya tidak berbohong kepada Anda kan? Mungkin saja saya sengaja membodohi Anda. Bagaimana cara Anda untuk mencari tahu? yaa.. baca. M. C. S. 30 Novemver 2013
i

Pada tahun 2012-2013 di saat tulisan ini dibuat. Dalam masyarakat yang berada dalam cakupan globalisasi dan informatika dan terjamah oleh media penghantar informasi mengenai teknologi dsc. iii Kota besar saya gunakan karena secara langsung mengarah pada lingkungan yang memiliki arus informasi dan teknologi yang tinggi karena mobilisasi sosial-ekonominya bersifat dinamis, mengingat kota besar adalah pusat dari arus globalisasi dan informatika yang pesat. Selain itu kota besar juga tempat yang menyokong perkembangan smartphone dari luasnya modal material dalam infrastruktur pembentuknya, seperti: pemancar, accessories, suku cadang, transport, media (elektronik khususnya), internet, dsc.
ii

Anda mungkin juga menyukai