Anda di halaman 1dari 3

Batu Nisan Sang Realitas

Posrealitas Sebagai Hiperealitas

Mengapa YAP begitu berani mengklaim kematian realitas dan memproklamasikan lahirnya
posrealitas? Bagaimana realitas itu dimatikan dan agen apa saja yang terlibat dalam "kejahatan"
tersebut? Apakah implikasi dari posrealitas bagi masyarakat kontemporer?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya melihat akar epistemologis dari konsep
posrealitas. Bagi pembaca setia YAP, tidaklah sulit untuk melihat bahwa karya-karya YAP banyak
dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis, Jean Baudrillard. Semangat Baudrillardian
begitu kental dalam gagasan dan pemikiran "menyimpang" YAP sehingga sepertinya karya YAP
sulit dilepaskan dari bayang-bayang epistemologis Baudrillardian. Di dalam konsep posrealitas,
kembali YAP merujuk Baudrillard dengan meminjam konsep hiperealitas untuk menjelaskan
suatu kondisi yang melampaui realitas. Apakah yang dimaksud dengan posrealitas? Menurut YAP,
posrealitas adalah kondisi terbunuhnya "realitas" oleh apa yang sebelumnya dianggap sebagai
"nonrealitas" yang bersifat artifisial (buatan).

Karakteristik kuat dari posrealitas adalah leburnya dikotomi antara dunia material dan immaterial
di mana realitas alamiah dan realitas artifisial berbaur dan tumpang-tindih. Pada kondisi ini, fiksi
ditampilkan seolah-olah sebagai fakta sementara fakta terjebak sebagai fiksi. Ini terjadi ketika
pagar-pagar ontologis antara keduanya diruntuhkan oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam
berinteraksi dengan media-media teknologis seperti televisi, jaringan komputer, telepon seluler,
dan sinematografi.

Leburnya batas antara realitas artifisial dengan realitas alamiah berkonsekuensi pada proliferasi
peran dan fungsi citra. Dalam posrealitas, citra telah menjadi sebuah nilai yang mengonstruksi
realitas dan mendefinisikan eksistensi. Yang menarik, citra bukanlah sebuah entitas yang statis
dan sederhana. Kompleksitas citra meningkat dengan pesat akibat pembiakan tanpa batas melalui
media-media teknologis yang semakin mudah diakses oleh siapa saja.

Matinya Sosial dan Konspirasi Mesin

Berangkat dari posrealitas sebagai gagasan sentral, YAP mengeksplorasi empat fenomena
posrealitas, yaitu pososial, poshororisme, posdemokrasi, dan posmoralitas. Dari sini, YAP
mencoba mengungkap apa yang sedang terjadi pada masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi global. Tidak cukup ruang untuk membahas setiap fenomena yang diamati
YAP di sini. Tetapi mari kita membedah bagian yang saya anggap paling penting, yakni matinya
sosial (pososial) yang sekali lagi diinspirasi oleh pemikiran Baudrillard.

Inti dari tesis pososial adalah transformasi relasi sosial akibat perubahan dimensi ruang waktu
dari yang nyata (fisikal) ke yang maya (virtual). Perubahan dimensi ini menjadikan batas
geografis tidak lagi penting. Seperti yang diilustrasikan oleh YAP, seorang akan meratapi seorang
tokoh telenovela yang jauh di Meksiko lebih hebat ketimbang tetangganya sendiri (hal 96). Di
dalam ruang maya inilah pososial bersemayam.

Kondisi pososial bagaimanapun tidak netral. Menurut YAP, pososial terjadi melalui simulasi
realitas yang bertujuan untuk menyembunyikan realitas sosial yang sesungguhnya. Simulasi
sosial demikian berpusat pada logika yang memelintir makna demi kepentingan tertentu. Dalam
situasi demikian, mesin melakukan konspirasi untuk tujuan-tujuan destruktif melalui simulasi
sosial yang bersifat distortif, reduksionis, dan manipulatif.

Determinisme Teknologi

Bagaimanakah konspirasi mesin itu terjadi? Pertanyaan ini sukar ditemui jawabannya walaupun
teknologi adalah elemen sentral dalam pengamatan YAP. Tidak terjawabnya pertanyaan ini karena
YAP melihat teknologi secara taken for granted. Ini salah satu titik kelemahan pemikiran YAP
yang terlalu kental dengan muatan determinisme teknologi. Sikap deterministik ini dapat dilihat
dari kalimat pembuka yang berbunyi: "terbentuknya sebuah dunia baru sebagai akibat dari
perkembangan sains dan teknologi mutakhir" (hal 53). Kata-kata ini menunjukkan bagaimana
mudahnya YAP menerima teknologi sebagai faktor determinan dalam perubahan sosial tanpa
melihat bahwa teknologi itu sendiri adalah produk sosial. Teknologi dilihat sebagai kotak hitam
yang misterius dan lepas dari campur tangan sosial.

Akibat tidak terjelaskannya relasi dua arah antara manusia dan teknologi, sikap determinisme
teknologi YAP menghasilkan paranoid terhadap teknologi itu sendiri. Pada titik ini, YAP melihat
teknologi seakan- akan sebagai sebuah sistem yang otonom dan memiliki logikanya sendiri.
Lebih lanjut, YAP menuduh teknologi simulasi komputer sebagai pembunuh realitas sosial yang
sebenarnya (natural reality) dan menjebak manusia ke dalam "lorong gelap kegalauan" (hal 99).

Paranoid tidak cukup. YAP pun bersikap sinis terhadap peran positif teknologi (internet),
khususnya dalam praktik demokrasi. Dalam pengamatan YAP, ketika demokrasi masuk ke dalam
dunia sosial yang virtual dia berkembang ke arah titik ekstrem. Hal ini disebabkan ketiadaan
kontrol dan etika. Dalam dunia virtual setiap orang bebas melakukan aktivitas politik, ekonomi,
budaya, hingga seksual secara bebas tanpa kendali.

Kebebasan yang "kebablasan" ini membuat YAP merasa diperlukannya sebuah institusi kontrol.
Tanpa itu, YAP khawatir manusia akan terjerumus ke dalam kematian budaya (hal 114). Namun
patut diingat, kontrol hanya bisa dilakukan jika ada fixed point of reference tentang kebenaran.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam kadar tertentu YAP adalah seorang "modernis" karena
masih percaya perlunya sebuah otoritas (kontrol) yang berlandaskan pada sebuah kebenaran
tunggal.

Paradoks Heterorealitas

Sebagai penutup, YAP melakukan sintesa tiga cara pandang realitas, yaitu fisika (metarialisme),
metafisika (idealisme), dan patafisika (citra). Menurut YAP, era posrealitas diwarnai masalah
pertentangan ketiga cara pandang tersebut yang saling menegasikan satu sama lain. Pertentangan
ini merugikan karena bagaimanapun juga setiap cara pandang memiliki kekuatan masing-masing
dalam memahami realitas dari berbagai dimensi. Karena itu, YAP menawarkan konsep
heterorealitas yang dibangun berdasarkan prinsip ekletik dengan mengombinasikan fondasi-
fondasi fisika, metafisika, dan patafisika. Ini akan menghasilkan suatu cara pandang realitas yang
bersifat holistik.

Konsep heterorealitas menarik tetapi problematis. Pada praktiknya, heterorealitas sebenarnya


telah terjadi di masyarakat. Ini kita bisa lihat dari tayangan-tayangan mistik (realitas metafisik)
yang ditampilkan di televisi (realitas fisik) melalui penciptaan citra (realitas patafisik).
Penentangan terhadap tayangan-tayangan mistik justru menunjukkan bahwa heterorealitas
bersifat paradoks. Karenanya, kecuali kita mau menerima paradoks itu sebagai sebuah "realitas"
baru, heterorealitas adalah sebuah utopia.

Secara keseluruhan buku ini bagaimanapun sangat bermanfaat untuk memahami berbagai
fenomena pencitraan sosial, politik, dan budaya dalam masyarakat kontemporer yang dikepung
oleh teknologi informasi. Melalui aliran tulisan yang menggigit, YAP menawarkan perspektif
dalam yang tidak kita temui dalam penjelasan ilmuwan positivis.

Anda mungkin juga menyukai