dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Hari Raya Idul Fithri merupakan puncak dari
seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhon, dimana dalam bulan tersebut kita
melakukan ibadah shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Penetapan Hari Raya Idul
Fithri oleh Rasulullah SAW dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa
dilaksanankan orangorang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah
SAW yaitu :
"Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan bagi penduduk Madinah
ada dua hari yang mereka ( bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai
permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : " Apakah hari yang dua ini ? " Penduduk
Madinah menjawab : " Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya ". Kemudian
Rasulullah bersabda : " Allah telah menukar dua hari itu dengan yang lebih baik yaitu Idul
Adha dan Idul Fithri ". (HR Abu Dawud)
Di negara Indonesia, Hari Raya Idul Fithri juga merupakan puncak pengalaman hidup sosial dan
spiritual keagamaan masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan masyarakat
selama satu tahun diarahkan untuk dapat merayakan hari besar itu dengan sebaik-baiknya.
Mereka bekerja dan banyak yang menabung untuk kelak mereka nikmati pada saat tibanya Idul
Fithri.
Hari raya yang juga disebut lebaran itu sebanding dengan perayaan Thanks Giving Day di
Amerika Serikat, saat rakyat negeri itu bersuka-ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama
seluruh keluarga. Gerak mudik rakyat Indonesia juga mirip sekali dengan yang terjadi pada
orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day itu. Semuanya merasakan dorongan amat
kuat untuk bertemu ayah-ibu dan sanak saudara, karena justru dalam suasana keakraban
kekeluargaan itu hikmah Idul Fithri atau Thanks Giving Day dapat dirasakan sepenuh-penuhnya.
Sebagai hari raya keagamaan, Idul Fithri pertama-tama mengandung makna keruhanian. Tapi
karena dimensi sosialnya sedemikian besarnya, khususnya dimensi kekeluargaannya, maka Idul
Fithri juga memiliki makna sosial yang amat besar. Dan juga dilihat dari segi bagaimana orang
bekerja dan menabung untuk berlebaran, Idul Fithri juga mempunyai makna ekonomis yang
besar sekali bagi masyarakat Indonesia. Cukup sebagai indikasi tentang hal itu ialah bagaimana
daerah-daerah tertentu memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik,
sehingga pemerintah daerah bersangkutan merasa perlu menyambut dan mengelu-elukan
kedatangan warganya yang bekerja di kota-kota besar itu.
Dalam pengertian ini, semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur, dan apa saja yang
wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fitrah. Semuanya itu bernilai
kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari design penciptaan oleh Tuhan. Karena itu
berbuka puasa atau "kembali makan dan minum" disebut ifthar, yang secara harfiah dapat
dimaknakan "memenuhi fitrah" yang suci dan baik. Dengan perkataan lain, makan dan minum
adalah baik dan wajar pada manusia, merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut
pandang ini kita mengerti mengapa Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci
dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, berumah
tangga, dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi Saw pernah memberi peringatan keras
kepada salah seorang sahabat beliau, bernama `Utsman ibn Mazh'um', yang ingin menempuh
hidup suci dengan tindakan semacam pertapaan. Nabi juga dengan keras menolak pikiran
sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tanpa kawin. Semua tindakan
meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fithrah, jadi juga tidak sejalan
dengan sunnah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam hari raya Idul Fithri terkandung makna kembali kepada
hakikat yang wajar dari manusia dan kemanusiaan. Kewajaran itu adalah pemenuhan keperluan
untuk makan dan minum sehingga makna sederhana Idul Fithri dapat diartikan "Hari Raya
Makan dan Minum" setelah berpuasa sebulan.