Anda di halaman 1dari 33

Imam An-Nawawi (Ulama Sunni): Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah SINONIM.

Yang dimaksud dengannya adalah KEPEMIMPINAN UMUM DALAM URUSAN-URUSAN AGAMA DAN DUNIA. Artinya negara sekular tidak termasuk kategori tersebut. Al-Majmu Syarh AlMuhadzdzab, juz 19, hlm 191

Imam Al-Ijiy (Ulama Sunni): (Imamah adalah): penerus Rasulullah saw dalam menegakkan agama yang wajib ditaati oleh segenap umat Islam. Negara sekular bukan Imamah. Al-Mawaaqif fiy Ilm Al-Kalaam, hlm 395

Imam Al-Khatthabi (Ulama Sunni): makna dari Rasulullah saw tidak beristikhlaf adalah bahwa beliau tidak menunjuk seseorang menjadi khalifah, itu tidak berarti bahwa Beliau tidak memerintahkan hal tersebut (mengangkat Imam), tidak mengajarkannya, dan membiarkan urusan terbengkalai tanpa pengurus yang mengurusi. . Masih menurut Beliau: Penundaan pemakaman jenazah Rasulullah saw menunjukkan wajibnya KHILAFAH. (Tharh At-Tatsriyb fiy Syarh At-Taqriyb, juz 8, hlm 75)

Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari (Ulama Sunni), menjelaskan dalam kitabnya, Muthabaqat al-Ikhtiraat alAshriyyah limaa Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, hal. 43, bahwa Nabi saw telah mengabarkan, Umat Islam akan dipimpin oleh banyak penguasa (tanpa penguasa tunggal).

1. Menurut Jumhur Ulama Sunni umat Islam dilarang mempunyai lebih dari satu pemimpin.
Imam Abu Zakariyya An-Nawawi:

Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, baik wilayah Negara Islam luas maupun tidak. (Syarh An-Nawaw al Muslim, juz 12 hal 321)

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H):

Dan sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: Barang siapa yang mendatangi kalian sementara urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah) dia ingin memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika bagaimanapun dia. Yang demikian ini adalah pendapat jumhur Ulama, dan yang mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma tidak hanya satu orang, diantaranya adalah Imam Haramain (AlJuwaini). (Tafsr Ibn Katsr, surat al-baqarah ayat 31)

Imam As-Sinqithi (w. 1393 H):

Menurut Jumhur Ulama: Bahwasannya Imam yang agung (khalifah) tidak boleh berjumlah lebih dari satu, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas suatu wilayah di antara wilayah-wilayah bagian (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara yang diangkat olehnya, mereka (jumhur ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Said Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: jika dibaiat dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (dibaat) di antara keduanya. Adhw Al-Bayn f dhh Al-Qurn bi Al-Qurn, juz 1 hlm 83

Sementara hadits Rasulullah saw tentang akan berbilangnya pemimpin umat Islam adalah berbentuk ikhbaar (pemberitaan) bukan berbentuk tasyrii (penetapan hukum syara), sama halnya dengan pemberitaan Beliau akan banyaknya di akhir zaman nanti perilaku Zina dan Riba, tidak kemudian dipahami bahwa kedua dosa besar tersebut di akhir zaman berubah hukumnya menjadi mubah, atau dimaklumi sebagai sesuatu yang boleh.
Jadi, apabila terjadi khalifah atau pemimpin umat Islam berjumlah lebih dari satu maka itu adalah kemungkaran, merubahnya dengan cara yang baik adalah kewajiban atas kaum muslim. Dan aktivitas izaalatu- l-munkaraat (menghilangkan kemungkaran) bukanlah amalan yang sia-sia.

2. Selain memberitakan akan berakhirnya kepemimpinan tunggal umat Islam, Rasulullah saw juga memberitakan akan datangnya kembali kekhilafahan atau kepemimpinan tunggal umat Islam. Lihat Musnad Ahmad nomor hadits 18596

Al-Imam al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin al-Husain alBaihaqi, berkata dalam kitabnya, Dalail al-Nubuwwah wa Marifat Ahwal Shahib al-Syariah, juz 6, hal. 491, bahwa maksud khilafah alnubuwwah dalam hadits Hudzaifah adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Asyari alSyafii, ulama Sunni, kakek Syaikh Taqiyyudin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, menyebutkan dalam kitabnya, Hujjatullah ala al-Alamin fi Mujizat Sayyid alMursalin, hal. 527, bahwa yang dimaksud dengan khilafah alnubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.

1. Anggapan bahwa khilafah ala minhaj an-nubuwwah yang disebut hadits adalah masa khalifah Umar bin Abdil Aziz merupakan asumsi perawi bernama Habib bin Salim rahimahullaah, sehingga memungkinkan untuk salah karena dia tidak termasuk sabda Rasulullah saw. 2. Habib bin Salim rahimahullaah sendiri tidak meyakini akan asumsinya tersebut, beliau hanya mengatakan berharap:

3. Kalaupun ada yang berpendapat demikian tentunya tidak berupa keyakinan yang kemudian menafikan kemungkinan-kemungkinan lainnya, karena ia sebatas asumsi seorang perawi yang beliau sendiri bahkan tidak sampai meyakininya.

4. Menurut hadits Muslim Nomor 2913: Akan ada kembali Khalifah, (a) Hadits menyebutkan munculnya khalifah di akhir umat Nabi saw., (b)Keterangan Dua Perawinya (Abu Nadhrah dan Abu Al-Alaa), jelas yang dimaksud bukan kalifah Umar bin Abdil Aziz,. Mengatakan tidak akan ada lagi khalifah berarti mengingkari hadits shahih ini.

5. Masih dari sumber yang sama, yaitu hadits nomor 2914: akan muncul kembali Khalifah di Akhir Zaman. Tentunya bukan kalifah Umar bin Abdil Aziz, karena beliau hidup dekat dengan masa kenabian dan bukan di akhir zaman. Mengatakan tidak akan ada lagi khalifah berarti mengingkari hadits shahih ini.

Al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali berkata dalam alIqtishad fi alItiqad, hal. 200, Kajian tentang khilafah tidak penting, dan lebih selamat tidak mengkajinya.

Syaikh Taqiyyuddin alNabhani berkata dalam kitab alSyakhshiyyat alIslamiyyah, juz 2, hal. 19 bahwa Bengpangku tangan dari menegakkan khilafah termasuk dosa terbesar, dan menghentikan eksistensi Islam dalam ranah kehidupan. Semua kaum Muslim dosa besar karenanya.

1. Imamah memang bukan pembahasan akidah, namun mengkajinya menjadi penting karena adanya penyimpangan-penyimpangan di dalamnya. Yaitu anggapan bahwa Imamah tidak wajib (seperti menurut al-Ashamm dan alFuuthiy dari kalangan Mutazilah dan An-Najdaat dari kalangan Khawarij), dan taashshub Syiah Rafidhah yang mengingkari kepemimpinan para Imam (baca: khalifah) sebelum Ali bin Abi Thalib radhiyallaahuanhu, mensyaratkan ishmah bagi Imam, dan memasukkannya dalam ushul keimanan mereka. Dua pendapat di atas adalah pendapat-pendapat keliru di mata Ulama Sunni. Sehingga, meskipun kajian Imamah termasuk wilayah syariat namun para ulama merasa perlu memasukkannya juga ke dalam kajian akidah, untuk membantah anggapan mereka-mereka yang mengingkari wajibnya Imamah, serta membantah keyakinan sesat Syiah Rafidhah, sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab beliau Al-Iqtishad fi-l-Itiqaad.

Berikut keterangan Imam Hasan Al-Aththar (Ulama Sunni) dalam Hasyiyah beliau atas Jamu-ljawaami, juz 2 hlm 487:

2. Yang menyatakan Imamah adalah kewajiban yang Sangat Besar bukan hanya Hizbut Tahrir. Muhammad bin Ahmad As-Safarini Al-Hambali (Ulama Sunni), dalam Lawmi AlAnwr, juz 2 hlm 419:

Ibnu Hajar Al-Haitamiy (w. 974 H), dalam Ash-Shawiq Al-Muhriqah, hlm 10:

Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H), dalam Ghyah Al-Bayn Syarhu Zubad Ibn Rusln, hlm 23:

Muhammad Al-Hashkifi Al-Hanafi (Ulama Sunni), dalam Ad-Durr Al-Mukhtaar syarh Tanwiyr Al-Abshaar, hlm 75:

Ekstrem: Hanzhalah bin Ar-Rabiy ra. (Sahabat + juru tulis Rasulullah saw) menyebutkan bahwa dengan tanpa Khilafah Umat Islam bisa sesat seperti umat Yahudi dan Nasrani! Taariykhu-thThabariy, hlm 776

Ekstrem: Sahabat Umar bin Khaththab ra. menyebutkan bahwa dengan meninggalkan Had Rajam saja umat bisa sesat! Dan tanpa Khilafah banyak hudud ditinggalkan. Shahih AlBukhariy, hadits nomor 6829

Ekstrem: Imam Taqyuddin Abu Bakr AlHishniy (Ulama Sunni) menyebutkan bahwa menurut para ulama istighfar yang disertai dengan diantaranya keridhaan tidak menerapkan hudud adalah terhitung sebagai dosa!
Kifayatu-lAkhyaar, hlm 242

Al-Imam Fakhruddin al-Razi, berkata dalam tafsirnya, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 13, hal. 204, bahwa tampilnya seorang pemimpin yang zalim adalah akibat kezaliman yang dilakukan oleh rakyat.

Hizbut Tahrir merubah sistem dengan berdakwah di tengah-tengah dan bersama masyarakat sampai mereka menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga akhirnya mereka sendirilah yang menuntut penerapan Syariat dan Khilafah.

Al-Imam Abu Jafar al-Thahawi (Ulama Sunni) berkata dalam al-Aqidah alThahawiyyah, bahwa Ahlussunnah Wal-Jamaah tidak memiliki konsep menggulingkan pemerintahan yang sah, meskipun mereka telah berbuat kezaliman.

Pemerintah yang haram digulingkan adalah pemerintah Islam yang menerapkan syariat Islam. Jika pemerintah Islam mengganti atau mencampur syariat Islam dengan syariat lain, maka wajib untuk dilengserkan. Perhatikan Tafsir Ibn Katsir untuk AlMaidah ayat 50:

Adapun merubah pemerintahan yang tidak Islami, maka dengan mencontoh perjalanan dakwah Rasulullah saw saat periode Mekah, yaitu dengan dakwah tanpa kekerasan.

Alhamdulillah

Anda mungkin juga menyukai