Anda di halaman 1dari 9

AQWAL PARA ULAMA'

TENTANG WAJIBNYA IMAMAH (KHILAFAH)1


Oleh Achmad Junaidi Ath Thayyibiy
Pada tulisan yang singkat ini kami kumpulkan sebagian aqwal para
ulama' terkemuka tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan
mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil
syara', baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.
Syeikhul Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata:
pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode
(mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang
menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak
bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal
tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk
mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah. Apabila tidak ada
seorangpun yang layak kecuali seseorang maka kwajiban tersebut menunjuk
padanya dan kwjiban tersebut mengharuskan dia untuk mencari imamah
tersebut apabila masyarakat tidak berinisiatif (untuk menunjuknya). Wallahu
a'lam. Imamah itu sah (terjadinya) dengan tiga metode salah satunya adalah
bai'ah sebagaimana para shahabat membai'at Abu Bakar ra (Imam Alhafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Raudhatuth
Thalibin wa Umdatul Muftin, juz 1 hal 386).
Syeikhul Islam Imam Al-hafidz Zakaria Al-anshari berkata: (Bab
imamah) yang agung (dan imamah tersebut adalah fardhu kifayah)
sebagaimana peradilan, karena adalah suatu keharusan bagi umat adanya
imam yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak untuk
orang yang didzalimi, dan menunaikan hak serta menempatkan hak tersebut
pada tempatnya. (Apabila tidak ada yang layak) untuk imamah (kecuali
seseorang), sementara mereka, kaum Muslim, tidak memintanya (maka
menjadi suatu keharusan baginya untuk mendapatkan imamah tersebut) agar
imamah menentukan imamah tersebut untuk dia. (Bahkan orang tersebut
dipaksa) untuk imamah tersebut (apabila dia menolak) untuk menerima
imamah tersebut. Namun apabila imamah tersebut layak untuk sekelompok
orang maka hukumnya adalah layaknya kalau seandainya adanya
sekelompok orang untuk peradilan dan akan tiba pembahasan hukumnya
pada bab tersebut, sementara untuk sebagian masalah tersebut disinggung
pada pasal berikut. Syarah. (bab imamah yang agung), ada golongan yang
berkata bahwa imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama
dan dunia di tangan seseorang. Pembatasan pernyataan umum dimaksudkan
untuk membedakan dengan hakim, pemimpin atau yang lain. Devinisi ini
bertentangan dengan nubuwwah. Maka yang lebih tepat untuk dinyatakan
bahwa imamah yang agung itu adalah khilafah rasul dalam menegakkan
agama dan menjaga keterikatan (terhadap) agama, dalam arti bahwa
merupakan suatu kwajiban bagi seluruh umat untuk mengikutinya. (Perkataan
pengarang: imamah tersebut adalah fardhu kifayah) adalah berdasarkan
ijma'. Sungguh para shahabat bersegera untuk mewujudkan imamah
tersebut. Bahkan mereka meninggalkan kesibukan untuk menyiapkan
(jenazah) Nabi saw karena takut datangnya suatu perkara yang tiba-tiba atas
(Sebagian dinukil dari Al-maktabah Asy-syamilah (al-ishdaruts tsani

mereka (sementara imamah belum ada diantara mereka). Dan lagi kalau
seandainya masyarakat dibiarkan kosong (dari imam) itu artinya tidak
menghimpun mereka atas suatu yang haq secara solid dan tidak dapat
menjaga mereka dari kebatilan dengan suatu penjagaan, sungguh mereka
akan hancur dan sungguh orang fasidpun akan mengalahkan hamba (yang
shalih) (Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari, Asnal Mathalib, juz
19 hal 352).
Sedangkan penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj
menyatakan: (Pasal ) tentang syarat-syarat imam yang agung (khalifah)
serta penjelasan metode-metode (pengangkatan) imamah. Mewujudkan
imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Akan datang
berikut ini (pembahasan) tentang imamah yang pembagiannya sebagai
berikut; baik tuntutan, penerimaan maupun sanksi atas para bughat (orangorang yang melepaskan diri dari Negara Islam) karena Al-kitab telah
mensahkan (imamah) tersebut untuk mareka dan memang imamah itu tidak
disebutkan (dalam Al Qur'an) kecuali untuk dita'ati. Sementara bughat itu
berarti keluar dari imam yang agung yang tegak berdasarkan khilafah
kenabian dalam menjaga agama serta perlindungan urusan dunia (Tuhfatul
Muhtaj fii Syarhil Minhaj, juz 34 hal 159).
Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan:
maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung
serta penjelasan metode-metode in'iqadnya imamah. Mewujudkan imamah
yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Karena
merupakan keharusan atas umat adanya imam yang menegakkan agama
serta yang menolong sunnah serta yang menunaikan hak orang yang
didzalimi oleh orang yang dzalim serta menunaikan hak dan menempatkan
hak tersebut pada tempat (yang seharusnya). Dan telah lewat dalam
penjelasan serta topik diskusi tentang imamah atas hukum-hukum tentang
bughat (Mughnil Muhtaj ila Ma'rifati Alfadzil Minhaj, juz 16 hal 287).
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj dinyatakan: (Pasal)
tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode
(untuk mewujudkan) imam. Dan (mewujudkan) imam adalah fardhu kifayah
sebagaimana peradilan dan akan datang pembagian-pembagiannya tentang
imamah tersebut sebagai berikut, yaitu dalam mencari dan menerima serta
sanksi atas pelaku bughat dalam hal ini. Karena bughat itu adalah keluar dari
imam yang agung yang menegakkan khilafah nabawiyah dalam melindungi
agama dan perlindungan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj,
juz 25 hal 419).
Selanjutnya berkata Syeikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria
Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab: (Pasal)
tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in'iqad
imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan).
Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka,
mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa
bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada
ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy)
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa'I: "bahwa para Imam itu
dari golongan Quraisy". Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari
Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang

Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi
berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari
keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan
diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk
menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk
(sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan
menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal
terseebut merupakan bagian dari keberanian. (Syaikhul Islam Imam Al-hafidz
Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2
hal 268).
Ketika Imam Fakhurddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi'I,
menjelaskan firman-Nya Ta'ala surah Al-maidah ayat 38, beliau berkata:
para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk
mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah
bahwa Dia Ta'ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas
pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya
seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat
bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku
criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram)
menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh
imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin
keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban
itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas
kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu
yang pasti qath'inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula
(Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233).
Sedangkan Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi'I berkata: umat
telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab ("maka jilidlah") adalah
imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam.
Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu
tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula. (Imam Abul Qasim
Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi'I An-naisaburi, Tafsir
An-naisaburi, juz 5 hal 465)
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan:
perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah
merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama
dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang
yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut
pada tempatnya... (Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani, Hawasyi Asysyarwani, juz 9 hal 74).
Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan: pasal
tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya.
Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di
dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam
kebolehan menerima maupun tidaknya.. (Hasiyata Qalyubi wa 'Umairah, juz
15 hal 102).
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi
berkata: tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metodemetode sahnya in'iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah
fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu

hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena


berdasarkan hadits: "bahwa para imam itu adalah dari Quraisy". (syarat)
Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula (dengan syarat)
bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan
gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat
imamah (Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi, Hasyiyah
Al-bajayrimi ala Al-khatib, juz 12 hal 393).
Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan: (Pasal)
tentang syarat-syarat imam yang agung dan penjelasan metode-metode
in'iqad imamah. Dan (adanya) imamah itu adalah fardhu kifayah
sebagaimana peradilan (Hasyiyyah Al-bajayrimi ala Al-minhaj, juz 15 hal
66).
Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri
berkata: Mereka (para ulama') sepakat bahwa atas siapa saja yang
membangkang, yaitu para pencuri yang mencari dengan mengambil nyawa
atau kehormatan atau harta membunuhnya adalah wajib. Namun mereka
(para ulama') berbeda pendapat apakah boleh tidaknya memerangi mereka
apabila mereka telah mengangkat seorang imam untuk mereka atau mereka
membangkang pada imam berdasarkan pada penafsiran (terhadap nash).
Meraka (para ulama') sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu
merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh
telah menyalahi ijma' dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka
(para ulama') sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia
adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik
mereka berada di satu tempat atau di dua tempat (Imam Al-hafidz Abu
Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Maratibul Ijma' , juz 1 hal
124).
Berkata Imam 'Alauddin Al-kasani Al-hanafi: dan karena
sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini) tidak
ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan
perbedaan dengan sebagian Qadariyyahkarena ijma' shahabat ra atas hal
tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut.
Untuk keteritakan terhadap hokum. Untuk menyelematkan orang yang
didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang
merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatankemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan
adanya imam (Imam 'Alauddin Al-Kassani Al-hanafi, Bada'iush Shanai' fii
Tartibis Syarai', juz 14 hal. 406)
Imam Al-hafidz Abul Fida' Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman
Allah surah Al Baqarah ayat 30, berkata: dan sungguh Al Qurthubi dan
yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah
untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia,
memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang
mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb.
yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk
menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan
( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan
suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula). (Tafsirul Qur'anil
Adzim, juz 1 hal 221).

Sedangkan Al-imam Al-qurthubi ketika menafsirkan ayat 30 dari surah


Al-baqarah, beliau berkata:







ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah
untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan,
melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan
tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam
kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham2, yang menjadi syariat Asham,
dan begitu pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta orang
yang mengikuti pendapat dan madzhabnya. Al-asham berkata: imamah itu
tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut melengkapinya (saja). Bahwa
umat itu ketika mereka menegakkan hujjah, jihad, mengatur apa yang ada
diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi
ghanimah, fa'I, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa
saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal
tersebut.Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk
mengatur hal tersebut.
Dalil kami (kata Imam Al-qurthubi) adalah firman Allah Ta'ala:

"sungguh Kami jadikan di bumi itu khalifah" (TQS Al Baqarah: 30)


Dan firman-Nya Ta'ala:


"Wahai Dawud sesungguhnya Kami jadikan kamu khalifah di bumi"
(TQS Shad:26)
Dan firman-Nya:

"Allah telah menjanjikan bagi mereka yang beriman dari kalian dan
beramal shalih untuk istikhlaf di bumi" (TQS An Nur:55).
Artinya Allah menjadikan diantara mereka para khulafa' dst.
Para shahabat telah sepakat untuk mendahulukan Ash-siddiq setelah
terjadi perbedaan dalam penunjukan (siapa yang menjadi imam) antara kaum
Al-asham adalah salah satu tokoh senior Mu'tazilah, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-asham

Muhajirin dan Anshar di Saqifah bani Sa'adah. Bahkan shahabat Anshar


berkata: untuk kami pemimpin dan untuk anda sekalian pemimpin. Abu Bakar,
Umar dan kaum Muhajirin menolak hal tersebut. Mereka berkata pada kaum
Anshar: "bahwa sesungguhnya orang Arab itu tidak beragama kecuali urusan
ini ditangan orang Quraisy, lalu kaum Muhajirin meriwayatkan pada kaum
Anshar khabar tentang hal itu. Maka kaum Ansharpun menarik pendapatnya
dan ta'at pada golongan Quraisy. Maka kalau seandainya keharusan adanya
imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain
lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh
orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang
diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa
kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu
hal yang tidak wajib. Sementara itu sungguh Ash-shiddiq ra ketika hampir
meninggal maka dia mengangkat Umar untuk imamah, dan tidak seorangpun
yang berkata pada Ash-shiddiq bahwa hal ini tidaklah wajib atas kita dan
anda. Ini menunjukkan atas wajibnya imamah dan bahwa imamah tersebut
adalah salah satu pilar agama yang dengan pilar tersebut terjaga kekuatan
kaum Muslim. Walhamdulillahi rabbil alamin. Sedangkan Rafidhah berkata:
bahwa wajibnya mengangkat imam adalah berdasarkan akal, dan sungguh
ta'at itu untuk penegasan penegasan sebagai konskuensi dari akal. Adapun
pengetahuan tentang imam, memang diketahui berdasarkan 'pendengaran'
(wahyu), bukan berdasarkan akal, dan pendapat bahwa imamah itu
berdasarkan akal adalah fasid. Karena sungguh akal itu tidak mewajibkan,
juga tidak mengharamkan, tidak pula mencela dan juga tidak memuji. Dengan
demikian maka menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib dari sisi syara'
bukan akal. Dan ini jelas sekali. (Al-imam Muhammad bin Ahmad bin Abu
Bakar bin Farah Al-qurthubi, Al-jami' li Ahkamil Qur'an, juz 1 hal 264-265).
Imam Abu Hayyan Al-andalusi berkata: dan sungguh sebagian
mufassirin telah menyebutkan hukum imamah yang agung tersebut disini,
meski topik imamah yang agung tersebut adalah masalah ushuluddin, maka
disanalah hal tersebut disebutkan. Namun aku tidak akan membiarkan pada
kitabku adanya pembahasan tentang imamah tersebut yang sifatnya
ringkasan tanpa istidlal. Kami nyatakan: dimana para ahli hadits dan sunnah
juga berpendapat yang sama, bahwa mengangkat seorang imam itu fardhu,
berbeda dengan Khawarij. Yaitu shahabat-shahabat Najdah Al-hururi. Mereka
mengklaim bahwa imamah itu bukanlah suatu kewajiban, meski adalah
kwajiban bagi manusia untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya,
dan untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tersebut tidak
membutuhkan imam. Sedangkan menurut firqah Ibadhiyyah mengklaim
bahwa imamah itu adalah sunnah. Landasan kewajiban (adanya) imam
adalah syara', bukan akal. Ini berbeda dengan Rafidhah. Mereka berpendapat
bahwa wajibnya imamah itu berdasarkan akal
Selanjutnya beliau, Imam Abu Hayyan Al-andalusi, menyatakan:
bahwa tidak (boleh) diangkat dua imam pada masa yang sama, ini berbeda
dengan Karamiyyah. Mereka membolehkan hal tersebut (Imam Abu
Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan Al-andalusi,
Tafsirul Bahril Muhith, juz 1 hal 496).
Sedangkan Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang
dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta'ala surah Albaqarah ayat 30, berkata: dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang

cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk lakilaki dan wanita.
Selanjutnya beliau berkata: .ayat ini adalah dalil wajibnya
mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk
menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang
khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para
imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti
dia, bahwa imamah itu tidaklah wajib dalam agamadan umat ketika telah
menegakkan hujjah, berjihad, mengatur apa yang ada pada mereka,
mengeksploitasi yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa'I serta
zakat untuk yang berhak, dan mereka menegakkan had-had atas yang
diwajibkan dilaksanakan had maka (Allah) akan membelas mereka atas hal
tersebut. Tidak diwajibkan atas mereka mengangkat seorang imam untuk
mengurus hal tersebut. Sedangkan syarat-syarat imamah itu adalah seperti
yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh. (Imam Umar bin Ali bin Adil Alhambali ad-dimasyqi, Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, juz 1 hal 204).
Berkata Imam Abul Hasan Al-mardawi Al-hambali dalam kitab Alinshaf: bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama,
mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu':
fardhu kifayahlah yang paling tepat (Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Almardawi Al-hambali, Al-inshaf fii Ma'rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil
Imam Ahmad bin Hambal, juz 16 hal. 60 dan 459).
Sementara itu Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata: (mengangkat imam
yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia
membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga
konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma'ruf dan
nahi munkar. (Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful
Qina' an Matnil Iqna', juz 21 hal. 61)
Imam Al-hafidz Ibn hazm dalam kitab Al-muhalla menyatakan:
Masalah 1768. Tidak halal bagi seorang muslim untuk bermalam selama dua
malam sedangkan di pundaknya tidak ada imam yang dibai'ah. Hal tersebut
berdasarkan apa yang kami riwayatkan melalui jalur Muslim, dia berkata:
telah memberitahu kami Ubaidillah bin Muadz Al-'anbari, telah memberitahu
kami 'Ashim bin Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar bin Al-khattab
dari Nafi', dia berkata: telah berkata pada saya Umar: (saya mendengar
Rasulullah saw bersabda: "barangsiapa yang melepaskan tangannya dari
keta'ataan pada Allah maka dia akan menghadap Allah pada hari kiamat
kelak tanpa memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati sedangkan
dipandaknya bai'ah maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyyah"). Maka
apabila dikatakan: telah meninggal Umar ra dan beliau menjadikan khilafah
tersebut untuk dimusyawarahkan oleh enam orang. Utsman, Ali,
Abudrrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqash, Thalhah dan Az-zubair ra, dan
beliau memerintahkan mereka untuk bermusyawarah selama tiga hari untuk
(memilih) siapapun diantara mereka yang diangkat. Kami berkata: benar dan
dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan perintah Rasulullah saw yang kami
sebutkan karena Umar ra telah mengangkat salah satu diantara mereka yang
mereka sepakati. Maka Ustmanlah yang menjadi khalifah ketika
meninggalnya Umar. Sedangkan masyarakat ditempat yang jauh dari negeri
khalifah, pada rentang waktu tiga hari tersebut, mereka tidak tahu nama
khalifah dan sosoknya kecuali setelah (lewat) waktu tertentu. Maka hal

tersebut mensahkan keimamahan Utsman dan ba'iahnya. Meski masyarakat


belum tahu nama khalifah, nasabnya dan sosoknya. Wabillahi Ta'ala at-taufiq.
(Imam Al-hafidz Abi Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Almuhalla, juz 9 hal 359).
Dalam kitab Nailul Authar Imam Asy-syaukani berkata: (tentang)
hadits Abdullah bin Umar dan hadits Abu Said. Sungguh Al-bazzar telah
mengeluarkan hadits yang serupa dengan keduanya dengan isnad yang
shahih dari hadits Umar bin Al-khattab dengan lafadz (" Apabila kalian bertiga
dalam bepergian maka jadikanlah salah satu diantara kalian menjadi amir ,
karena Rasulullah saw meme-rintahkannya"). Al-bazzar juga mengeluarkan
dengan sanad shahih dari hadits Abdullah bin Umar secara marfu' dengan
lafadz (" Apabila bertiga dalam bepergian maka hendaknya kalian menjadikan
salah satu dari kalian sebagai amir"). Ath-thabarani mengeluarkan hadits
dengan lafadz seperti ini dari hadits Ibnu Mas'ud dengan isnad yang shahih.
Hadits-hadits ini menjadi syahid antar satu dengan yang lain. Sementara Abu
Dawud dan Al-mundziri diam atas hadits Abu Said dan Abu Hurairah. Kedua
hadits tersebut rijalnya adalah rijal yang shahih kecuali Ibn Bahr, dia tsiqah.
Lafadz hadits Abu Hurairah tersebut adalah (" Apabila (kalian) bertiga dalam
bepergian maka hendaknya kalian memilih salah seorang dari kalian menjadi
amir"). Hadits-hadits tersebut merupakan dalil bahwa beliau saw
mensyariatkan untuk tiap bilangan yang mencapai tiga orang atau lebih
hendaknya menjadikan salah seorang dari mereka sebagai amir. Karena hal
tersebut akan menyelamatkan dari perbedaan pendapat yang bisa
mengantarkan pada kehancuran. Maka dengan tidak ada yang menjadi amir,
akan menjadikan masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya serta
mengerjakan apa yang sesuai dengan kehendaknya maka hal tersebut akan
menghancurkan mereka. Dengan adanya amir akan memperkecil perbedaan
pendapat serta menyatukan pendapat. Apabila untuk tiga orang yang berjalan
diatas muka bumi atau orang yang bepergian saja disyariatkan untuk
mengangkat amir, maka pensyariatan untuk bilangan yang lebih besar yang
tinggal di kampung atau kota, dan dibutuhkan untuk mencegah saling
mendzalimi serta memisahkan yang saling bersilisih tentu lebih utama dan
lebih layak (untuk disyariatkan). Hal tersebut merupakan dalil untuk yang
berpendapat bahwa merupakan kewajiban atas kaum Muslimin untuk
mengangkat para imam, wali dan para penguasa. Sungguh kebanyakan
(ulama') berpendapat bahwa imamah itu adalah wajib, meski mereka berbeda
pendapat apakah kewajiban tersebut berdasarkan akal atau berdasarkan
syara'. Bagi golongan Al-itrah dan kebanyakan Mu'tazilah serta Asy'ariyyah
wajibnya imamah itu berdasarkan syara', sedangkan menurut Imamiyyah
wajibnya berdasarkan akal (Imam Al-hafidz Muhammad bin Ali bin
Muhammad Asy-syaukani, Nailul Authar syarah muntaqa Al-akhbar, juz 13
hal 290).
Dalam kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan: tentang syarat Imam
yang agung dan tentang penjelasan metode in'iqad imamah. Mewujudkan
imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. (syarat Imam
adalah yang layak untuk peradilan). Maka hendaknya dia muslim, merdeka,
mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, cerdas, mendengar, melihat dan bisa bicara,
sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan pada bab tentang
peradilan (Hasyiyyatul Jumal, juz 21 hal 42).

Tentang imamah dan khilafah ini Imam Asy-syahrastani menjelaskan:


tidak pernah terlintas di dalam hatinya (Abu Bakar ra), tidak pula
seorangpun (dari shahabat Nabi saw) bahwa dibolehkan di dunia itu kosong
dari imam. Semua itu menunjukkan bahwa sesungguhnya para shahabat dan
mereka adalah shadrul awwal (sumber pertama), bahwa penolakan mereka
sejak dini menunjukkan bahwa di dunia itu harus ada imam. Maka dari sisi ini
hal tersebut merupakan ijma', yang merupakan dalil yang qath'I atas wajibnya
imamah.. (Imam Abul Fatah Muhammad bin Ahmad Asy-syahrastani,
Nihayatul Iqdam fii Ilmil Kalam, hal 480).
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil
Muntaha dinyatakan: (dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah)
karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga
kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had,
menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar. Dan yang terkena
khitab tersebut adalah dua golongan. Pertama, ahli ijtihad sampai mereka
dipilih. Kedua, siapa saja yang dirinya memenuhi syarat-syarat imamah,
dengan maksud agar salah satu diantara mereka dipilih. Sedangkan yang
memiliki hak untuk memilih maka hendaknya mereka adalah adil, memiliki
pengetahuan yang bisa mengantarkan dia untuk mengetahui siapa yang
layak untuk imamah, (memiliki) visi, dan kecermatan yang mengantarkan
untuk memilih siapa yang paling layak untuk imamah tersebut. (Al-allamah
Asy-syeikh Musthafa bin Sa'ad bin Abduh As-suyuthi Ad-dimasyqi Al-hambali,
Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381)
Terakhir tentang ijma' shahabat yang merupakan dalil syara' yang
sharih (jelas) dan kuat atas wajibnya mengangkat seorang khalifah Monggo
silahkan periksa siapa saja yang menyatakan bahwa dengan ijma' shahabat
ditetapkan wajibnya mengangkat khalifah atas kaum Muslim pada rujukanrujukan sebagai berikut: a- Al-mughni fii Abwabit Tauhid wal Adl, juz 20
bagian pertama hal 47-48; b- Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz 12 hal
205-206 (Al-hamisy); c- Tuhfatul Murid ala Jauharit Tauhid, juz 2 hal 100-101;
d- Ghayatul Maram fii Ilmil Kalam, hal 142; e- Al-musamarah fii Syarhil
Muyasarah, hal 142)

Anda mungkin juga menyukai