Pendapat Ulama' TTG Wjbnya Imam (Terjemah)
Pendapat Ulama' TTG Wjbnya Imam (Terjemah)
mereka (sementara imamah belum ada diantara mereka). Dan lagi kalau
seandainya masyarakat dibiarkan kosong (dari imam) itu artinya tidak
menghimpun mereka atas suatu yang haq secara solid dan tidak dapat
menjaga mereka dari kebatilan dengan suatu penjagaan, sungguh mereka
akan hancur dan sungguh orang fasidpun akan mengalahkan hamba (yang
shalih) (Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari, Asnal Mathalib, juz
19 hal 352).
Sedangkan penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj
menyatakan: (Pasal ) tentang syarat-syarat imam yang agung (khalifah)
serta penjelasan metode-metode (pengangkatan) imamah. Mewujudkan
imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Akan datang
berikut ini (pembahasan) tentang imamah yang pembagiannya sebagai
berikut; baik tuntutan, penerimaan maupun sanksi atas para bughat (orangorang yang melepaskan diri dari Negara Islam) karena Al-kitab telah
mensahkan (imamah) tersebut untuk mareka dan memang imamah itu tidak
disebutkan (dalam Al Qur'an) kecuali untuk dita'ati. Sementara bughat itu
berarti keluar dari imam yang agung yang tegak berdasarkan khilafah
kenabian dalam menjaga agama serta perlindungan urusan dunia (Tuhfatul
Muhtaj fii Syarhil Minhaj, juz 34 hal 159).
Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan:
maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung
serta penjelasan metode-metode in'iqadnya imamah. Mewujudkan imamah
yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Karena
merupakan keharusan atas umat adanya imam yang menegakkan agama
serta yang menolong sunnah serta yang menunaikan hak orang yang
didzalimi oleh orang yang dzalim serta menunaikan hak dan menempatkan
hak tersebut pada tempat (yang seharusnya). Dan telah lewat dalam
penjelasan serta topik diskusi tentang imamah atas hukum-hukum tentang
bughat (Mughnil Muhtaj ila Ma'rifati Alfadzil Minhaj, juz 16 hal 287).
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj dinyatakan: (Pasal)
tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode
(untuk mewujudkan) imam. Dan (mewujudkan) imam adalah fardhu kifayah
sebagaimana peradilan dan akan datang pembagian-pembagiannya tentang
imamah tersebut sebagai berikut, yaitu dalam mencari dan menerima serta
sanksi atas pelaku bughat dalam hal ini. Karena bughat itu adalah keluar dari
imam yang agung yang menegakkan khilafah nabawiyah dalam melindungi
agama dan perlindungan urusan dunia (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj,
juz 25 hal 419).
Selanjutnya berkata Syeikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria
Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab: (Pasal)
tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in'iqad
imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan).
Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka,
mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa
bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada
ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy)
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa'I: "bahwa para Imam itu
dari golongan Quraisy". Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari
Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang
Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi
berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari
keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan
diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk
menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk
(sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan
menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal
terseebut merupakan bagian dari keberanian. (Syaikhul Islam Imam Al-hafidz
Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2
hal 268).
Ketika Imam Fakhurddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi'I,
menjelaskan firman-Nya Ta'ala surah Al-maidah ayat 38, beliau berkata:
para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk
mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah
bahwa Dia Ta'ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas
pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya
seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat
bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku
criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram)
menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh
imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin
keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban
itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas
kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu
yang pasti qath'inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula
(Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233).
Sedangkan Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi'I berkata: umat
telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab ("maka jilidlah") adalah
imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam.
Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu
tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula. (Imam Abul Qasim
Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi'I An-naisaburi, Tafsir
An-naisaburi, juz 5 hal 465)
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan:
perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah
merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama
dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang
yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut
pada tempatnya... (Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani, Hawasyi Asysyarwani, juz 9 hal 74).
Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan: pasal
tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya.
Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di
dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam
kebolehan menerima maupun tidaknya.. (Hasiyata Qalyubi wa 'Umairah, juz
15 hal 102).
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi
berkata: tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metodemetode sahnya in'iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah
fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu
ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah
untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan,
melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan
tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam
kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham2, yang menjadi syariat Asham,
dan begitu pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta orang
yang mengikuti pendapat dan madzhabnya. Al-asham berkata: imamah itu
tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut melengkapinya (saja). Bahwa
umat itu ketika mereka menegakkan hujjah, jihad, mengatur apa yang ada
diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi
ghanimah, fa'I, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa
saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal
tersebut.Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk
mengatur hal tersebut.
Dalil kami (kata Imam Al-qurthubi) adalah firman Allah Ta'ala:
"Wahai Dawud sesungguhnya Kami jadikan kamu khalifah di bumi"
(TQS Shad:26)
Dan firman-Nya:
"Allah telah menjanjikan bagi mereka yang beriman dari kalian dan
beramal shalih untuk istikhlaf di bumi" (TQS An Nur:55).
Artinya Allah menjadikan diantara mereka para khulafa' dst.
Para shahabat telah sepakat untuk mendahulukan Ash-siddiq setelah
terjadi perbedaan dalam penunjukan (siapa yang menjadi imam) antara kaum
Al-asham adalah salah satu tokoh senior Mu'tazilah, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-asham
cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk lakilaki dan wanita.
Selanjutnya beliau berkata: .ayat ini adalah dalil wajibnya
mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk
menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang
khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para
imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti
dia, bahwa imamah itu tidaklah wajib dalam agamadan umat ketika telah
menegakkan hujjah, berjihad, mengatur apa yang ada pada mereka,
mengeksploitasi yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa'I serta
zakat untuk yang berhak, dan mereka menegakkan had-had atas yang
diwajibkan dilaksanakan had maka (Allah) akan membelas mereka atas hal
tersebut. Tidak diwajibkan atas mereka mengangkat seorang imam untuk
mengurus hal tersebut. Sedangkan syarat-syarat imamah itu adalah seperti
yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh. (Imam Umar bin Ali bin Adil Alhambali ad-dimasyqi, Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, juz 1 hal 204).
Berkata Imam Abul Hasan Al-mardawi Al-hambali dalam kitab Alinshaf: bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama,
mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu':
fardhu kifayahlah yang paling tepat (Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Almardawi Al-hambali, Al-inshaf fii Ma'rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil
Imam Ahmad bin Hambal, juz 16 hal. 60 dan 459).
Sementara itu Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata: (mengangkat imam
yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia
membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga
konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma'ruf dan
nahi munkar. (Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful
Qina' an Matnil Iqna', juz 21 hal. 61)
Imam Al-hafidz Ibn hazm dalam kitab Al-muhalla menyatakan:
Masalah 1768. Tidak halal bagi seorang muslim untuk bermalam selama dua
malam sedangkan di pundaknya tidak ada imam yang dibai'ah. Hal tersebut
berdasarkan apa yang kami riwayatkan melalui jalur Muslim, dia berkata:
telah memberitahu kami Ubaidillah bin Muadz Al-'anbari, telah memberitahu
kami 'Ashim bin Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar bin Al-khattab
dari Nafi', dia berkata: telah berkata pada saya Umar: (saya mendengar
Rasulullah saw bersabda: "barangsiapa yang melepaskan tangannya dari
keta'ataan pada Allah maka dia akan menghadap Allah pada hari kiamat
kelak tanpa memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati sedangkan
dipandaknya bai'ah maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyyah"). Maka
apabila dikatakan: telah meninggal Umar ra dan beliau menjadikan khilafah
tersebut untuk dimusyawarahkan oleh enam orang. Utsman, Ali,
Abudrrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqash, Thalhah dan Az-zubair ra, dan
beliau memerintahkan mereka untuk bermusyawarah selama tiga hari untuk
(memilih) siapapun diantara mereka yang diangkat. Kami berkata: benar dan
dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan perintah Rasulullah saw yang kami
sebutkan karena Umar ra telah mengangkat salah satu diantara mereka yang
mereka sepakati. Maka Ustmanlah yang menjadi khalifah ketika
meninggalnya Umar. Sedangkan masyarakat ditempat yang jauh dari negeri
khalifah, pada rentang waktu tiga hari tersebut, mereka tidak tahu nama
khalifah dan sosoknya kecuali setelah (lewat) waktu tertentu. Maka hal