Anda di halaman 1dari 11

Bagaimana Hukum Memakai Cadar? ketegori Muslim.

Sebagaimana kita ketahui, banyak dari umat muslimah yang menggunakan cadar untuk menutupi wajahnya. Apakah ada hukum fikih yang mengatur hal tersebut? Kemudian bagaimana kaitannya dengan aurat muslimah berupa wajah dan telapak tangan. Wallahualam. Muhamad Kasyful Jawaban Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga. Dalam kesempatan ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan berkenalan dengan dalil masingmasing. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak. 1. Kalangan yang Mewajibkan Cadar Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram. Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain: a. Surat Al-Ahzab: 59 Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`. Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat An-Nuur yang berbunyi , Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya. Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun secara `urf . Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah. b. Surat An-Nuur: 31

Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju. Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahih dari para shahabat termasuk riwayat Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl dan cincin. Riwayat ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih. c. Surat Al-Ahzab: 53 `Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteriisterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah. Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus diikuti. Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka . Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra. bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi. Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung. Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`. Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al-fariq. Karena para istri nabi memang memiliki standar akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran. `Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.` d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.

`Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya dan memakai sarung tangan`. Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat berihram. Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan sesuatu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib? Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat. e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa, Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya`. Menurut At-turmuzikedudukan hadits ini hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah. f. Mendhaifkan Hadits Asma` Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa, Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya. *** 2. Kalangan yang Tidak Mewajibkan Cadar Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah SAW. a. Ijma` Shahabat Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita. b. Pendapat Para Fuqoha bahwa Wajah Bukan termasuk Aurat Wanita. Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. . Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan. Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.

Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`, kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan. Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1: 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla. c. Pendapat Para Mufassirin Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama. d. Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan oleh Hadits Lainnya Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`. e. Perintah Kepada Laki-laki untuk Menundukkan Pandangan. Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan . Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa, Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah ancaman/dosa. . Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.

Hukum Memakai Cadar Pakaian Islami yang diwajibkan atas perempuan muslimah adalah semua pakaian yang tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, serta menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Tidak ada larangan baginya untuk memakai pakaian yang berwarna dengan syarat tidak mencolok, menarik perhatian atau memikat lawan jenis. Bila syarat-syarat ini dapat terealisasi pada suatu jenis pakaian tertentu, maka seorang muslimah boleh memakainya dan menggunakannya untuk berpergian ( keluar rumah). Adapun hukum memakai cadar yang menutup wajah bagi perempuan dan sarung tangan yang menutup kedua telapak tangannya, maka menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah tidak wajib. Sehingga, seorang muslimah boleh membiarkan wajah dan telapak tangannya terbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT (yang artinya), "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya." ( AnNur:31) Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan para ulama setelah mereka menafsirkan " perhiasan yang biasa tampak" dalam ayat diatas dengan wajah dan telapak tangan. Penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Anas dan Aisyah radhiyallahu'anhum. Jumhur ulama berpegang pada ayat (yang artinya): Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khumur) ke dadanya (juyub)." (Al Aahzab: 59). Sedangkan al-jaib adalah bagian pakaian yang terbuka di atas dada. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan seorang muslimah untuk menutup dadanya dengan kerudung. Seandainya menutup wajah merupakan suatu kewajiban, niscaya ayat tersebut juga akan menjelaskannya secara jelas. Sedangkan dari Sunah adalah hadist yang diriwayatkan Aisyah r.a, bahwa Asma' binti Abu Bakar mengunjungi Rasululah saw. dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah saw pun berpaling darinya seraya bersabda, "Wahai Asma' seorang perempuan jika telah mencapai masa haid, tidak boleh ada yang terlihat darinya selain ini dan ini."Beliau mengatakan demikian sembari menunjuk wajah dan telapak tangannya. (HR. Abu Dawud). Di lain pihak, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa seorang muslimah wajib menutup wajahnya. Mereka berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah r.a, bahwa dia berkata, "Rombongan-rombongan haji melintasi kami yang sedang dalam keadaan ihram bersama Rasulullah saw.. Jika salah satu rombongan itu sejajar dengan kami, maka setiap orang dari kami akan menurunkan jilbabnya dari arah kepalanya untuk menutupi wajahnya. Bila mereka telah menjauh dari kami, maka kami membuka wajah kami kembali." Hadist ini tidaklah menunjukkan kewajiban menutup wajah bagi perempuan, karena perbuatan sahabat sama sekali tidak menunjukkan kewajiban. Hadist ini juga tidak menutup kemungkinan dikhususkan untuk para Ummul Mukminin (para istri Rasulullah saw), sebagaimana kekhususan larangan menikahi mereka setelah Rasulullah saw. meninggal dunia. Di sampng itu, sebagaimana diketahui dalam ilmu Ushul Fikih, bahwa peristiwa-peristiwa personal yang mempunyai hukum khusus untuknya, jika mengandung kemungkinan hukumhukum yang berbeda , maka ia mengandung makna global (ijmal), sehingga tidak bisa digunakan sebagai dalil (Inna waqai' al-ahwal idza tatharraqa ilaiha al ihtimal, kasaha tsaub al-ijmal, fa saqatha biha al-istidlal). Menutup wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita muslimah tidaklah wajib, melainkan hanya masuk

dalam wilayah kebolehan. Sehingga jika dia menutup wajah dan kedua telapak tangannya, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila dia hanya menggunakan pakaian islami saja, tanpa menutup wajah dan telapak tangannya, maka dia telah melakukan kewajiban menutup aurat yang dibebankan atasnya. Jadi bisa diambil kesimpulannya bahwa tidak ada kewajiban bercadar. Namun, juga tidak ada larangan untuk memakainya.

Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab Kategori: Fiqh dan Muamalah 13 Komentar // 22 Mei 2011 Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Quran, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahualaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah. Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab. Madzhab Hanafi Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. * Asy Syaranbalali berkata: Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami (Matan Nuurul Iidhah) * Al Imam Muhammad Alaa-uddin berkata:

Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki (Ad Durr Al Muntaqa, 81) * Al Allamah Al Hashkafi berkata: Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189) * Al Allamah Ibnu Abidin berkata: Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat (Hasyiah Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189) * Al Allamah Ibnu Najiim berkata: : Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah (Al Bahr Ar Raaiq, 284) Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang? Madzhab Maliki Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat. * Az Zarqaani berkata: . Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani (Syarh Mukhtashar Khalil, 176) * Ibnul Arabi berkata:

Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan) (Ahkaamul Quran, 3/1579) * Al Qurthubi berkata: : Ibnu Juwaiz Mandad ia adalah ulama besar Maliki berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya (Tafsir Al Qurthubi, 12/229) * Al Hathab berkata: . Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat (Mawahib Jaliil, 499) * Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas: p .

Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah (Hasyiyah Ala Syarh Az Zarqaani, 176) Madzhab Syafii Pendapat madzhab Syafii, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mutamad madzhab Syafii. * Asy Syarwani berkata: . : : : Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk

wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mutamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha (Hasyiah Asy Syarwani Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112) * Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata: . . :

Maksud perkataan An Nawawi aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan (Hasyiatul Jamal Ala Syarh Al Minhaj, 411) * Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:

Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan (Fathul Qaarib, 19) * Ibnu Qaasim Al Abadi berkata: .

Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah (Hasyiah Ibnu Qaasim Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115) * Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata: Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar) (Kifaayatul Akhyaar, 181) Madzhab Hambali * Imam Ahmad bin Hambal berkata:

Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31) * Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al Anqaari, penulis Raudhul Murbi, berkata: . .

Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat i ni telah dijelaskan dalam kitab Ar Riayah kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha (Raudhul Murbi, 140) * Ibnu Muflih berkata: : : Imam Ahmad berkata: Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan (Al Furu, 601-602) * Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna , ia berkata: : . Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya (Kasyful Qanaa, 309) * Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:

Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi (Fatawa Nurun Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml) Cadar Adalah Budaya Islam Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam. Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam : 1. Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Taala berfirman: Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu (QS. Al Ahzab: 33)

Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahualihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam. 2. Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahualaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka. Aisyah Radhiallahuanha berkata: ( ) (Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. (QS. Al Ahzab An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya. (HR. Bukhari 4759) Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut. Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Anda mungkin juga menyukai