oleh
Pondok Cina-Depok
Indonesia 16424
Email : priscila.fitriasih@ui.ac.id/priscila_limbong@yahoo.com
Fax: 62-021-78849122
Telp: +62856-900-55-07/+622193340906
ABSTRAK
Ide tentang penulisan kembali peristiwa sejarah-baik sejarah klasik maupun kontemporer- dalam
bentuk karya sastra telah banyak ditulis. Salah satu penulis karya sastra yang cerdik memanfaatkan
peristiwa yang telah terjadi itu adalah Rida K. Liamsi. Novel Bulang Cahaya adalah suatu karya kreatif
Rida K. Liamsi yang memanfaatkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Tanah Melayu pada sekitar
abad ke-16. Peristiwa yang terjadi ratusan tahun yang lalu ini diraciknya dari berbagai sumber dengan
sangat hati-hati, menarik, menggugah emosi, dan membangkitkan kesadaran pentingnya sebuah marwah
(kehormatan diri).
Makalah ini akan membahas peristiwa sejarah yang menjadi ide pokok dalam novel Bulang
Cahaya. Di dalam catatan pembuka novel ini, Rida K. Liamsi menyebutkan bahwa novel ini diilhami dari
bingkai sejarah Kerajaaan Riau Lingga. Penulis novel ini juga menyebutkan bahwa ia membaca
beberapa sumber sejarah seperti Tuhfat al Nafis, Silsilah Melayu Bugis, Sejarah Riau, serta karya-karya
bernafaskan sejarah Riau Lingga lainnya sebagai sumber inspirasi penulisan novel ini. Berkaitan dengan
itu, tulisan ini akan mencoba memperlihatkan persamaan dan perbedaan dalam bentuk perbandingan unsur
cerita yang terdapat dalam Bulang Cahaya dengan Tuhfat al Nafis .Selain itu, dalam makalah ini akan
dijelaskan pula mengapa penulis novel ini memanfaatkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Tanah
Melayu pada sekitar abad ke-16 ini.
Kata kunci: peristiwa sejarah, perbandingan unsur cerita, sumber inspirasi, transformasi
1
Disajikan pada seminar Internasional “Serumpun Meretas Globalisasi” diselenggarakan oleh Universiti Malaya,
Malaysia, 6—8 Agustus 2009.
2
Staf pengajar pada Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
A. Pengantar
Ide-ide dalam penulisan karya sastra sangat beragam. Segala yang ada di alam
termasuk berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi dapat dimanfaatkan sebagai ide
atau bahan penulisan karya sastra. Penulis dengan anugerah kreativitas yang luar biasa
bisa mengolah bahan-bahan itu hingga menjadi sebuah santapan literer yang
kontemporer- dalam bentuk karya sastra telah banyak ditulis. Salah satu penulis karya
sastra yang cerdik memanfaatkan peristiwa yang telah terjadi itu adalah Rida K. Liamsi.
Bulang Cahaya adalah suatu karya kreatif Rida K. Liamsi yang memanfaatkan peristiwa
sejarah di Tanah Melayu. Peristiwa yang terjadi ratusan tahun yang lalu ini diraciknya
dari berbagai sumber dengan sangat hati-hati, menarik, menggugah emosi, dan
Bulang Cahaya merupakan sebuah novel yang berbentuk cerita berbingkai. Cerita
utamanya adalah sebuah prolog yang mengisahkan Raja Ikhsan yang menerima kiriman
naskah lama dari koleganya yang berasal dari Leiden dan epilog yang menggambarkan
situasi ketika Raja Ikhsan selesai membaca naskah lama yang dia terima. Adapun cerita
sisipannya adalah cerita yang ada dalam naskah lama yang diterima Raja Ikhsan. Cerita
yang ada dalam naskah lama itu mengambil kisah tentang peristiwa yang pernah terjadi
Tulisan pendek ini akan membahas peristiwa sejarah yang menjadi ide pokok
dalam novel Bulang Cahaya. Di dalam catatan pembuka novel ini, Rida K. Liamsi
menyebutkan bahwa novel ini diilhami dari bingkai sejarah Kerajaaan Riau Lingga.
Penulis novel ini juga menyebutkan bahwa ia membaca beberapa sumber sejarah seperti
Tuhfat al Nafis, Silsilah Melayu Bugis, Sejarah Riau, serta karya-karya bernafaskan
sejarah Riau Lingga lainnya sebagai sumber inspirasi penulisan novel ini. Berkaitan
dengan itu, tulisan ini akan mencoba memperlihatkan persamaan dan perbedaan dalam
bentuk perbandingan unsur cerita yang terdapat dalam Bulang Cahaya dengan Tuhfat al
Nafis3 .
Bulang Cahaya merupakan inspirasi dari berbagai penulisan sejarah masa lampau
yang terjadi di tanah Melayu. Tuhfat an Nafis merupakan salah satu karya sastra sejarah
Melayu yang penting pada masanya. Ketika membaca Bulang Cahaya dan Tuhfat al
sebagai berikut.
1. Latar
Kedua karya sastra ini sama-sama mengambil latar tanah Melayu, yaitu daerah
cerita di atas latar yang mendominasi adalah sekitar daerah Lingga, Riau, Johor,
Melaka, Selangor, dan lain-lain. Kota-kota ini digambarkan sebagai pusat kerajaan.
2. Tokoh
Nama-nama tokoh dalam kedua karya sastra ini pada umumnya sama, begitupun
silsilah mereka. Silsilah Sultan Melayu dan Raja Bugis yang berperan di kerajaan
Melayu tertulis jelas dalam kedua karya ini. Tokoh-tokoh yang disebutkan dalam
3
Teks ini dijadikan sebagai pembanding karena menurut beberapa ahli, teks ini merupakan karya sastra sejarah
yang paling penting karena luasnya isi karya sastra ini (lihat Liaw Yock Fang, 1993:133).
kedua karya ini adalah Raja Haji, Raja Ali, Raja Ahmad, Raja Djaafar, Sultan Abdul
Jalil Riayatsyah, Sultan Mahmud, Daeng Parani, Daeng Marewa, Daenga Manambun,
Daeng Kumasi, dan lain-lain. Hanya ada sedikit perbedaan, yaitu dalam Tuhfat al
dimunculkan satu per satu secara kronologis pula. Dalam Bulang Cahaya , tokoh-
tokoh muncul sesuai kebutuhan penceritaan dan penjelasan silsilah dalam novel ini
tidak terlalu dijelaskan secara panjang lebar. Akan tetapi, yang menarik adalah tokoh
wanita yang menjadi sentral cerita pada novel ini, yaitu Teuku Buntat tidak terdapat
dalam Tuhfat al Nafis. Dalam Tuhfat an Nafis terdapat nama tokoh Raja Buntit anak
perempuan yang keempat Yang Dipertuan Muda Raja Haji, ayah Raja Djaafar.
3. Tema
Kedua cerita di atas memiliki tema utama yang sama, yaitu menonjolkan kebesaran
kerajaan Melayu yang dibangun oleh Melayu-Bugis pada masanya. Akan tetapi, tema
di atas dalam Bulang Cahaya dibungkus oleh tema bawahan romantisme percintaan
antara Raja Djaafar dan Teuku Buntat. Dalam Tuhfat al Nafis yang menjadi fokus
penceritaan adalah konflik kekuasaan yang terjadi di Melayu. Pada cerita ini unsur
percintaan tidak begitu dipentingkan karena pada umumnya naskah-naskah lama yang
mengandung sejarah mengabaikan romantisme dan menekankan fakta dan data yang
Dalam Bulang Cahaya, pada bagian catatan pembuka dari penulis, penulis novel
ini menyebutkan sumber-sumber cerita yang digunakan dalam penulisan novel ini.
Beberapa karya sastra sejarah yang sudah disebutkan di atas menjadi bagian dari bahan
riset pembuatan novel ini. Walaupun demikian, tentu saja setiap penulis mempunyai
kekuasaan untuk meracik berbagai sumber penceritaan hingga menjadi bentuk lain
mengikuti naluri kreativitasnya. Ada beberapa perbedaan antara Bulang Cahaya dengan
menjadikannya sebuah karya sastra yang pantas dinikmati. Perbedaan yang akan
diperlihatkan pada bagian ini adalah perbedaan yang terdapat dalam cerita sisipan Bulang
bawah ini.
1. Penulisan waktu
Penulisan waktu dalam Bulang Cahaya tidak spesifik. Hanya ada penulisan waktu
yang jelas, yaitu pada cerita utama bagian prolog, “Di mata Raja Ikhsan, Kerajaan
Riau Lingga yang jatuh bangun dalam rentang waktu yang cukup panjang (1511-
1912), adalah sebuah kerajaan yang cukup penting di Nusantara ini (Bulang Cahaya:
13). Selebihnya, dalam novel ini waktu hanya dituliskan sebagai bagian dari sebuah
deskripsi perasaan tokoh utama dalam cerita sisipan. Hal ini dapat terlihat dari
kutipan berikut:
Djafaar benci kenangan itu bangkit kembali. Sudah lebih lima tahun dia
berusaha keras membekukan semua kenangan di Riau, dan dia merasa
sudah berhasil (Bulang Cahaya: 18).
Tak terasa sudah masuk tahun keempat Raja Djaafar menjadi Yang
Dipertuan Muda Riau. Negeri yang dahulunya hidup dalam kesusahan
akibat sengketa dan perang itu, kini makin makmur (Bulang Cahaya: 257).
Pada Tuhfat al Nafis penulisan waktu sangat spesifik. Hal ini disebabkan karena
Tuhfat al Nafis ditulis oleh Raja Ahmad dan Raja Ali Haji yang mendapat pengaruh
gaya penulisan Bugis yang detail dalam masalah waktu. Apalagi, naskah ini memang
ditulis dengan tujuan agar pembaca dapat mengingat peristiwa sejarah yang terjadi
pada masa naskah ini dibua. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
Ada kemungkinan penulisan waktu yang tidak spesifik pada Bulang Cahaya sebagai
upaya untuk menunjukkan bahwa novel ini merupakan karya sastra yang tidak
berpretensi menjadi tulisan sejarah dalam arti sesungguhnya dan tidak ingin
2. Penggambaran peristiwa
Dalam Bulang Cahaya, peristiwa diawali dengan peristiwa kedatangan Raja Husin
yang memintanya kembali ke Riau untuk menjadi Yang Dipertuan Muda. Dari sini
alur menjadi mundur karena Raja Djaafar terkenang akan peristiwa yang dialaminya
semasa di Riau, terkenang akan tragedi cintanya yang tak sampai. Kemudian, setelah
Raja Djaafar memutuskan bersedia kembali ke Riau untuk menjadi Yang Dipertuan
Muda, alur melaju pada peristiwa yang terjadi setelah Raja Djaafar menjadi Yang
Dipertuan Muda dan berakhir pada masa pengangkatan Sultan Abdurrahman yang
kekuasaan, dan percintaan yang berujung tragedi disajikan secara seimbang dan
menarik. Begitu pula penggambaran sikap etnis, dalam novel ini penulis
masalah percintaan tetapi disebabkan oleh konflik internal dalam kerajaan. Peristiwa-
peristiwa ini diceritakan secara kronologis dan detail. Pada karya ini pembaca dapat
melihat secara jelas peranan Bugis dan Melayu dalam sejarah Melayu.
3. Hubungan diplomasi
Dalam Bulang Cahaya hubungan diplomasi antara Melayu dengan wilayah lain di
luar Nusantara tidak digambarkan secara terperinci, bahkan cenderung diabaikan. Hal
ini berbeda dengan Tuhfat al Nafis, hubungan diplomasi Sultan Riau dan Raja Bugis
dengan orang-orang asing, seperti Cina, Siam, Poturugis, Belanda, dan Inggris
dijelaskan dengan baik sehingga pembaca dapat melihat luasnya hubungan diplomasi
Kerajaan Melayu. Pada Bulang Cahaya hubungan diplomasi yang tergambar jelas
adalah hubungan diplomasi antara etnis Riau dan Bugis yang berkaitan dengan
pembagian kekuasaan.
Perbedaan-perbedan yang telah dijelaskan di atas, tentunya memperlihatkan bahwa
Bulang Cahaya merupakan sebuah karya sastra yang mandiri, yang memiliki identitas
sendiri, dan memiliki tujuan perceritaan yang berbeda dengan sumber cerita yang
diacunya.
D. Penutup
versi lain yang modern. Penulis cerita ini, dengan caranya yang kreatif, meramu unsur
sejarah yang ada dalam Tuhfat al Nafis dengan unsur romantisme percintaan sehingga
membuat cerita ini lebih nikmat dibaca. Selain itu, penulisan Bulang Cahaya ini
memperlihatkan usaha penulis untuk memperkenalkan kembali suatu bentuk sastra lama
Melayu yang dibangun oleh etnis Melayu dan Bugis yang tertuang dalam karya sastra.
Daftar Pustaka
Braginsky, V.I. Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7—19.
Jakarta: INIS, 1998.
Culler, Jonathan. Structuralist Poetics: Structuralism Linguistics and the Studi of Literature.
London: Routledge & kegan Paul, 1980.
Ibrahim, Zahra. Sastera Sejarah: Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1986.
Iskandar, Teuku. Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra, 1996.
Liamsi, Rida K. Bulang Cahaya, Sebuah Novel. Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007.
Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 1993.
Newton, K.M. 1990. Menafsirkan Teks. Terj. Dr. Soelistia,M.L. London: Harvester Wheatsheaf,
1990
Suwondo, Tirto. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003.