Anda di halaman 1dari 5

Banyak orang menuduh bahwa baik agama islam maupun realitas-realitas politik muslim bahwa islam tidak sejalan

dengan demokrasi. Jadi apakah Islam dan Demokrasi sesuai? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita harus memulai dengan sebuah pengamatan umum: tradisi keagamaan merupakan perpaduaan antara teks dan konteks-wahyu dan interprestasi manusia dalam konteks sosio-historis tertentu. Seluruh tradisi keagamaan menunjukkan dinamisme dan keragaman,yang merupakan alsan munculnya elemen-elemen konservatif, modernis maupan progresif dalam seluruh agama. Secara umum dikatakan,jawabanya mungkin ya. Sepanjang sejarahnya, islam telah terbukti dinamis dan beragam.ia beradaptasi untuk mendukung gerakan dari Negara.selain itu, Islam juga telah lama digunakan untuk mendukung baik ekstermisme maupun ortodoksi konservatif. Saat ini, Islam terusmenerus meminjamkan dirinya pad a pelbagai macam interpretasi tentang pemerintahan ia digunakan untuk mendukung demokrasi yang terbatas dan kediktatoran, republikanisme dan monarki.Islam memiliki sumber-sumber daya intelektual dan ideologis yang dapat menyediakan pembenaran bagi serangkaian luas model-model politik. Kaum sekulerisme mengusulkan pemisahan agam adan Negara.Kaum rejeksionis ( baik Muslim Moderat maupun militant ) mempertahankan pandangaan bahwa bentuk pemerintahan Islam tidak cocok dengan demokrasi. Sebagian pembela demokrasi islam beragumen bahwa dokrin Keesaan Tuhan(tawhid) atau monotisme mengandaikan bentuk system demokraktik tertentu. Tidak ada kaum muslim yang mempertanyakan kedaulatan Tuhan atau kekuasan Syriah, hukum islam.akan tetapi,

sebagian besar kaum muslim benarbenar (dan telah ) memiliki kekhawatiaran tentang kliam-kliam oleh seseorang bahwa dialah yang berdaulat. Kedaulatan seorang manusia bertentangan dengan kedaulatan Tuhan. Karena manusia sama di hadapan Tuhan. System pemilihan umum tidak memiliki tempat dalam ajaran Islam, yang menyerukan pemerintahan berdasarkan musyawarah dan keterbukaan sang pemimpin terhadap rakyatnya. Beberapa tantangan Demokrasi Demokrasi harus unggul dalam teori sebelum ia bisa diwujudkan dalam praktik. Orang orang Islam harus menerima secara luas dan tegas bahwa Islam dan demokrasi memiliki kesesuian, dan bahwa keimanan yang bermakna mensyratkan sebuah kebebasan. Tapi sebelum orang-orang Islam dapat menerima demokrasi sebagai prinsip yang islami, filsafat politik isalm harus berhasil melaksanakan tugas-tugas berikut: 1. mengaitkan legitimasi politik bukan pelaksanaan sebuah aturan hukum tertentu yang dipandang sudah ada sebelum adanya politik, tapi pada konsep syura yang bersifat mengikat. 2. menolak gagasan tentang bentuk syariah yang telah baku, dan memilih untuk menjadiakan syariah tetap terbuka dan bergantung pada pemahaman yang di negosiasikan . 3. menjelaskan bagaimana perbincangan tentang kedaulatan Tuhan dapat membebaskan para penguasa dari pertanggungjawaban rakyat. 4. mengakui batasan tradisi hukum islam dan menjauhinya untuk lebih mengutamakan perjanjian Madinah sebagai pilar demokrasi yang islami. 5. memperlakukan islam sebgai sumber nilai yang menjadi tuntutan perilaku, bukan memperlakukanya sebagi sebuah system yang memberikan solusi siap saji terhadap berbagai persoalan.

6. pendapat-pendapat klasik tidak boleh menggantikan refleksi politik konteporer.kita akan terbebas hanya ketika kita dapat menentukan secara bebas bagi diri kita sendiri tentang makna syariah yang sebenarnya. Tiadak ad aperantara dalam Islam, dan para ahli hukum Islam menyingkir. Selam colonial dalam fikih Isalm tetap bertahan, maka tidak akan pernah ada demokrasi yang oslami. 1. Mengancam akidah umat Islam. Bahaya paling mendasar dari demokrasi adalah bahwa sistem ini telah menjadi agama baru bagi kaum Muslim. Dari segi akidah, ide demokrasi telah merampas hak Allah untuk membuat hukum dan menyerahkannya kepada hawa nafsu manusia. Dalam hal ini Allah secara tegas berfirman: Siapa saja yang tidak berhukum kepada apa saja yang telah Allah turunkan maka dia telah kafir. (QS alMaidah [5]: 44). Demokrasi bisa membuat kaum Muslim menjadi kufur terhadap hukum-hukum Allah. Berdasarkan ide demokrasi ini juga akan muncul pandangan bahwa semua agama adalah sama sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar agamanya. Hal ini diperkuat oleh argumentasi tentang kebebasan beragama. Akibat pandangan seperti ini, tidak sedikit kaum Muslim yang murtad (keluar) dari Islam, atau seorang wanita Muslimah tidak merasa berdosa ketika menikah dengan laki-laki kafir dengan alasan persamaan agama. Bukan hanya itu saja, dengan dalih kebebasan beragama memunculkan banyak aliran sesat di Indonesia. Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. (Waspada.co.id, 1/11/07). 2. Menjauhkan kaum Muslim dari aturan-aturan Islam. Implikasi logis dari demokrasi adalah jauhnya kaum Muslim dari aturan-

aturan Islam, terutama dalam masalah publik (kemasyarakatan). Hal ini disebabkan karena demokrasi telah menetapkan garis tegas, bahwa agama tidak boleh terlibat untuk mengatur masalah publik. Jadilah kaum Muslim sekarang hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau dia mau) dalam masalahmasalah individu, ritual dan moral; sementara dalam masalah publik mereka terikat dengan asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu mereka. Atas nama untuk kepentingan rakyat, sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ?Orde Reformasi?, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing. Kondisi ini jauh dari harapan Islam yang menjadikan kepemilikan umum harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. 3. Demokrasi menyuburkan liberalisasi Islam dan kebebasan. Akibat kebebasan berpendapat, ideide liberal yang ?menyerang? Islam semakin berkembang, seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Islam dianggap sebagai agama yang menganjurkan keterbelakangan, tidak modern, didakwahkan dengan pedang, dan yang lainnya.

Demikian juga, akibat kebebasan berperilaku, tersebar luaslah pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03). Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaksi memicu perilaku seks bebas. Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian remaja di 4 kota besar Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (Detik.com, 26/1/05). Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya Indonesia harus malu; malu karena justru demokrasi yang dipuja-puji oleh pihak lain pada faktanya hanya memproduksi banyak keburukan. Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah: Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa? (QS Ali Imran [3]: 133). []

Anda mungkin juga menyukai