Anda di halaman 1dari 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit CVA (Cerebrovascular Accident) 1. Pengertian Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang di sebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai gangguan fungsi otak (Muttaqin,2008). Menurut WHO, Stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular menurut Susilo dalam Muttaqin (2008). Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer dan Bare,2001). Stroke (cedera serebrovaskular / cerebrovasculr ccident, CVA) didefinisikan sebagai gangguan neurologis fokal yang terjadi mendadak akibat proses patofisiologi dalam pembuluh darah (Brashers,2007).

2. Etiologi Menurut Fransisca (2008) etiologi stroke antara lain : 1. Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak. 2. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak. 3. Adanya sumbatan bekuan darah di otak Menurut Muttaqin (2008) ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan stroke, antara lain : 1. Trombosis Serebri Terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti di sekitarnya. Hal ini terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebri. Tanda dan Gejala neurologis seringkali memburuk dalam 48 jam setelah terjadi trombosis. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trombosis otak : a. Aterosklerosis Mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya elastisitas atau kelenturan dinding pembuluh darah. b. Hiperkoagulasi pada polisitemia Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebri.

c. Arterits (radang pada arteri) 2. Emboli Emboli serebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak, dan udara. 3. Hemoragik Perdarahan intrakranial atau intraserebri meliputi perdarahan di dalam ruang subarakhnoid atau di dalam jaringan otak sendiri. Pecahnya pembuluh drah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak akan tertekan sehingga terjadi infak otak, edema, dan mungkin herniasi otak. 4. Hipoksia Umum disebabkan oleh : a. Hipertensi yang parah b. Henti jantung paru c. Curah jantung turun kibat aritmia 5. Hipoksia Lokal disebabkan oleh : a. Spasme arteri serebri yang di sertai perdrahan subarakhnoid b. Vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migren Faktor-faktor risiko stroke dalam Smeltzer (2001) : 1. Hipertensi 2. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebri berasal dari jantung : a. Penyakit arteri koronaria

10

b. c. d. e.

Gagal jantung kongestif Hipertrofi ventrikel kiri Abnormalitas irama (khususnya fibrilasi atrium) Penyakit jantung kongestif

3. Kolestrol tinggi 4. Obesitas 5. Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infak serebri 6. Diabetes 7. Kontrasepsi oral (khususnya di hipertensi, merokok, dan kadar esterogen tengan disertai inggi) 8. Merokok 9. Penyalahgunaan obat (khususnya kokain) 10. Konsumsi alkohol 3. Patofisiologi Dalam Muttaqin (2008), menurut patofisiologinya stroke

diklasifikasikan menjadi: a. Stroke Hemoragik Merupakan perdarahan serebri dan mungkin perdarahan

subarakhnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Kesadaran klien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi menjadi dua, yaitu :

11

1) Perdarahan Intraserebri (PIS) Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan

menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebri yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons, dan serebellum. 2) Perdarahan Subarakhnoid (PSA) Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak (Juwono,1993). Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat

mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebri yang berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal

(hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia, dll). b. Stroke Non Hemoragik Berupa iskemik atau emboli dan trombosis serebri, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemik

12

yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik. Klasifikasi stroke dibedakan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya (Muttaqin,2008) : 1. TIA. Gangguan neurologis lokal yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam. 2. Stroke Infolusi. Stroke yang terjadi masih terus berkembang, gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari 3. Stroke komplete. Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplete dapat diawali oleh serangan TIA berulang. Infark serebral adalah berkurangnya darah adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktorfaktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru atau jantung). Arteriskerosis sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus

13

dapat berupa plak arteriskerosis, atau darah pada beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan, edema dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien menunjukkan perbaiakan. Karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebab kan dilatasi aneurisme pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, aneurisme pecah atau ruptur. Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi distruksi masa otak,

14

peningkatan tekanan intrakranial, dan lebih berat menyebabkan herniasi otak pada falks cerebri atau lewat foramen magnum. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bevariasi salah satunya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahannya makin banyak akan mengakibatkan peningkataan tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. (Muttaqin.2008). 4. Tanda dan Gejala / Manifestasi Klinik Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), urutan area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer,2001). Gejala Klinis stroke menurut Fransisca (2008) dibagi menjadi : a. Gejala klinis pada stroke hemoragik berupa 1) Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal yang terjadi pada saat idtirahat atau bangun pagi. 2) Kadang terjadi penurunan kesadaran 3) Terjadi terutama pada usia >50 tahun

15

4) Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. b. Gejala klinis pada stroke akut berupa 1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak. 2) Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik) 3) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma) 4) Afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara) 5) Disartria (bicara pelo atau cadel) 6) Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran) 7) Vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala) Gejala awal stroke yang harus diwaspadai dikenal dengan singkatan FAST. Yaitu face (wajah), arms (gerakan lengan), speech (bicara), dan three of signs (perubahan wajah, kelumpuhan dan bicara.

Face akan tampak mencong sebelah dan tidak simetris. Sebelah sudut mulut tertarik ke bawah antara hidung ke sudut mulut atas yang tampak mendatar. Arms (gerakan lengan), angkat tangan lurus sejajar ke depan (90 derajat) dengan telapak tangan terbuka ke atas selama 30 detik. Apabila terdapat kelumpuhan tangan yang ringan dan tidak disadari oleh penderita, maka lengan yang lumpuh tersebut akan turun menjadi tidak sejajar lagi.

16

Tabel 2.1 Manifestasi Klinis (Smeltzer C. Suzanne, 2001, hal 2135)


NO DEFISIT NEUROLOGIK 1. MANIFESTASI

DEFISIT LAPANG PENGLIHATAN a. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan)

Tidak menyadari orang/objek ditempat kehilangan peglihatan Mengabaikan salah satu sisi tubuh Kesulitan menilai jarak Kesulitan melihat pada malam hari Tidak menyadari objekatau batas objek Penglihatan ganda Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama Paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama Berjalan tidak mantap, tegak Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas Kesulitan dalam membentuk kata Kesulitan dalam menelan Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh Kesulitan dalam proprisepsi Ketidakmampuan menggunakan simbol

b. Kehilangan penglihatan perifer

c. Diplopia
2

DEFISIT MOTORIK a. Hemiparese

b. Hemiplegia

c. Ataksia

d. Disatria

e. Disfagia
3.

DEFISIT SENSORI Parestesia (terjadi pada sisi berlawanan dari lesi)

DEFISIT VERBAL a. Afasia ekspresif

17

berbicara b. Afasia reseptif Tidak mampu menyusun kata-kata yang diucapkan Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif Kehilangan memori jangka pendek dan panjang Penurunan lapang perhatian Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi Alasan abstrak buruk Perubahan penilaian Kehilangan kontrol diri Labilitas emosional Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres Menarik diri Rasa takut, bermusuhan dan marah Perasaan isolasi

c. Afasia global
5.

DEFISIT KOGNITIF

6.

DEFISIT EMOSIONAL

5. Pemeriksaan Penunjang Dalam Doenges (1993) dan Muttaqin (2008) pemeriksaan diagnostik pada pasien stroke antara lain: a. Angiografi serebral : membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik, seperti perdarahan, atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur. b. Scan CT : memperlihtkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infak.

18

c. Pungsi lumbal : menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli serebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragic

subarakhnoid atau perdarahan intra karanial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi. d. MRI : menunjukkan daerah yang mengalami infak, hemoragik, malformasi ateriove na (MAV) e. Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit ateriovena (masalah sistem arteri karotis [aliran darah/muncul plak]

arteriosklerosis) f. EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan darah lesi yang spesifik g. Sinar X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna pada trombosis serebral, klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid. h. Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan darah itu sendiri i. Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali j. Pemeriksaan darah rutin

19

6. Diagnosa Banding Diagnosa banding dari stroke dapat berupa (Brashers,2007) : a. Peristiwa jantung primer dengan hipotensi akut b. Gangguan kejang primer c. Tumor otak d. Serangan metabolik atau toksik (hipoglikemia, obat) e. Meningitis f. Trauma 7. Terapi Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut (Muttaqin,2008) : a. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital : 1) Mempertahankan oksigenasi, jika perlu lakukan trakeostomi untuk membantu pernapasan 2) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi kien, termasuk usaha memperbaiki hipotensi dan hiperensi b. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung c. Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin. Posisi klien harus di ubah tiap 2 jam dan dilakukan latihanlatihan gerak pasif. Pengobatan konservatif : a. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebri (ADS)

20

b. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intraarterial c. Medikasi antitrombosit. Antiagregasi trombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi trombosis yang terjadi setelah userasi alteroma d. Antikoagulan trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardiovaskular. 8. Komplikasi Dalam Muttaqin (2008) komplikasi yang terjadi setelah stroke antara lain : 1. Dalam hal imobilisasi : infeksi pernapasan, nyeri tekan, konstipasi, dan tromboflebitis 2. Dalam hal paralisis : nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas, dan terjatuh 3. Dalam hal kerusakan otak : epilepsi dan sakit kepala B. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Menurut Muttaqin (2008) pengkajian keperawatan stroke mrliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial. Anamnesis identitas klien meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta bantuan kesehatan adalah kelemahan anggota

21

gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran. Pengkajian persistem menurut Lewis (2000) meliputi : a. Data Subjektif Informasi kesehatan yang penting Riwayat kesehatan lalu : hipertensi, stroke yang sebelumnya, TIA, aneurisma, penyakit jantung (termasuk intarction miokard), arrhytmias, failur jantung kongestif, penyakit katup,

endokarditis infektif, hiperlipidemia, polisitemia, diabetes, asam urat Obat: penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan dan kepatuhan dengan agen antihipertensi dan antikoagulan Pola kesehatan fungsional Persepsi Kesehatan - manajemen kesehatan: riwayat keluarga positif, penyalahgunaan alkohol, merokok Gizi - metabolik: anoreksia, mual, muntah, disfagia, gangguan pada rasa dan bau dan Eliminasi: perubahan dalam pola BAB dan BAK Kegiatan - Latihan: hilangnya gerakan dan sensasi, sinkop, kelemahan pada satu sisi, kelemahan umum, debar Kognitif - perseptual: mati rasa, kesemutan satu sisi tubuh, kehilangan memori, perubahan dalam pidato, bahasa,

kemampuan pemecahan masalah, sakit, sakit kepala, mungkin

22

mendadak dan berat (perdarahan), gangguan visual, penolakan penyakit b. Data Objektif Umum Labilitas emosional, lesu, apatis atau menyerang, demam Pernapasan Hilangnya refleks batuk, atau respirasi tidak teratur, takipnea, ronki (aspirasi), saluran napas oklusi (lidah), apnea Kardiovaskular hipertensi, takikardia, carotid bruit Gastrointestinal hilangnya refleks muntah, inkontinensia usus, penurunan atau tidak ada bunyi usus, sembelit Kemih frekuensi kencing, urgensi, inkontinensia Neurologis kontralateral motorik dan sensorik deficites, termasuk

kelemahan, paresis, paralusis, anestesi, murid yang tidak sama, tangan menggenggam, akinesia, afasia (ekspresif, reseptif, global), dysarthria (bicara cadel), agnosias, apraxia, defisit visual, persepsi gangguan spasial; diubah tingkat kesadaran (mengantuk sampai koma dalam), dan tanda Babinski, menurun

23

diikuti oleh spastisitas, amnesia, ataksia, perubahan kepribadian, kaku kuduk, kejang Temuan mungkin CT dan MRI scan positif yang menunjukkan ukuran, lokasi, dan jenis lesi, positif doppler ultrasonography dan angigraphy serebral 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem neurologi CVA (Cerebrovascular Accident) dalam Muttaqin (2008) antara lain : a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri. b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak. c. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan neuromuskular dengan pada

hemipareses/hemiplagia, ekstremitas.

kelemahan

d. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum. e. Kecemasan yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit, dan perubahan kesehatan.

24

f. Kurang Pengetahuan yang berhubungan dengan keterbatasan kognitif 3. Intervensi Keperawatan Menurut Doenges, Moorhouse & Geissler (2000), rencana tindakan pada pasien dengan stroke adalah sebagai berikut: a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri. Tujuan : tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dengan kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual dan muntah, GCS : 4,5,6 tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal. Intervensi : 1) Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam 2) Evaluasi pupil 3) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala. 4) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman sperti masase punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah, dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh. 5) Cegah/hindari terjadinya valsava manuver. 6) Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat.

25

7) Observasi tingkat kesadaran dengan GCS 8) Kolaborasi dalam pemberian O2, cairan intravena, berikan obat diuretik seperti manitol, furosid, berikan analgesik, sedatif, antipiretik, antihipertensi 9) Monitor hasil laboratorium sesui dengan indikasi. b. Penurunan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan interupsi aliran darah, oklusif, hemoragi, edema serebral, vasospasme. Tujuan: perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, atau kejang. GCS: 15 (E:4 M:6 V:5), tanda-tanda vital dalam batas normal, tingkat kesadaran membaik, dan tidak ada penurunan fungsi neurologis. Intervensi: 1) Kaji faktor penyebab dan beri penjelasan kepada keluarga tentang sebab-sabab peningkatan TIK dan akibatnya. Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau kemunduran tanda dan gejala neurologis atau kegagalan mempebaikinya setelah fase awal memerlukan tindakan pembedahan dan atau pasien harus dipindahkan keruang perawatan kritis (ICU) untuk melakukan pemantauan TIK. 2) Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.

26

Rasional: dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut. 3) Monitor tanda-tanda vital seperti: (tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernafasan). Rasional: pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebri yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi. 4) Tinggikan posisi kepala 30-450 dan dalam posisi anatomis (netral). Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral. 5) Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang, dan batasi pengunjung. Rasional: aktivitas atau stimulasi meningkatkan TIK. 6) Anjurkan klien untuk tidak menekuk lutut, batuk, bersin atau mengejan berlebihan. Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. 7) Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi. yang kontinu dapat

27

Rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema. 8) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi: antikoagulan heparin, antifibrolitik asam aminocaproid, antihipertensi, steroid, diuretik, Rasional: dapat digunakan untuk memperbaiki aliran darah serebral, untuk mencegah lisis bekuan yang terbentuk dan perdarahan berulang. c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular, hemiparese atau hemiplegi. Tujuan: klien mampu melaksanakan aktifitas fisik sesuai dengan kemampuannya dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: klien mempertahankan posisi tubuh secara optimal seperti tidak adanya kontraktur atau footdrop, mempertahankan atau

meningkatkan fungsi tubuh yang terkena, klien dapat ikut serta dalam program latihan, mendemonstrasikan tekhnik melakukan aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kebutuhan ADL terpenuhi, dan tonus otot meningkat. Intervensi: 1) Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur, klasifikasikan melalui skala 0-4.

28

Rasional: mengidentifikasi kekuatan atau kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. 2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam. Rasional: menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan. 3) Ajarkan klien latihan rentang gerak aktif dan pasif, libatkan keluarga dalam melakukan tindakan. Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur. 4) Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan. Rasional: mencegah adduksi bahu dan fleksi siku. 5) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi. Rasional: mempertahankan posisi fungsional. 6) Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan bantal. Rasional: mencegah rotasi eksternal pada pinggul. 7) Inspeksi kulit terutama pada daerah yang tertekan dan menonjol secara teratur, lakukan massage pada daerah tertekan, sanggah tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah. Rasional: titik-titik tekanan pada daerah yang menonjol paling berisiko untuk terjadinya penurunan perfusi atau iskemia. 8) Kolaborasi dengan ahli fisiotrapi untuk latihan fisik klien.

29

Rasional:

peningkatan

kemampuan

dalam

mobilisasi

ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisiotherapis. d. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskular: kerusakan pada area bicara (afasia), kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, dan kelemahan secara umum. Tujuan: klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu

menggunakan bahasa isyarat dengan kriteria hasil yang ingin dicapai yaitu: terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien terpenuhi, klien mampu berespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat, membuat metode komunikasi, mampu mengekspresikan diri dan memahami orang lain. Intervensi: 1) Kaji tipe atau derajat disfungsi misalnya klien tidak mengerti tentang kata-kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri. Rasional: membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan klien sebagian atau seluruh proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam mengartikan kata-kata. 2) Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti tutup matamu dan lihat kepintu.

30

Rasional: untuk menguji afasia reseptif. 3) Berikan metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis, menggambar, gunakan kata-kata sederhana secara bertahap dan dengan bahasa tubuh. Rasional: memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu. 4) Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien. Rasional: membantu menurunkan frustasi oleh karena

ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi. 5) Mintalah pasien mengucapkan suara sederhana seperti Sh atau Pus. Rasional: mengidentifikasi disatria komponen bicara (lidah, gerakan bibir). 6) Anjurkan klien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu anjurkan klien untuk membaca kalimat pendek. Rasional: menguji ketidakmampuan menulis (agrafia) dan defisit membaca. 7) Berbicara dengan nada normal dan hindari ucapan yang terlalu cepat, berikan waktu klien untuk berespon. Rasional: klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak menyebabkan klien marah dan tidak menyebabkan rasa frustasi.

31

e. Kecemasan yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit, dan perubahan kesehatan. 1) Bantu pasien mengekspresikan perasan marah, kehilangan dan takut 2) Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan 3) Hindari konfrontasi 4) Beri lingkungan yang tenang 5) Meningkatkan kontrol sensasi pasien 6) Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan Beri privasi untuk pasien dan orang terdekat f. Kurang Pengetahuan yang berhubungan dengan keterbatasan kognitif 1) Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga 2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat. 3) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat 4) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat 5) Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat 6) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

32

7) Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat 4. Implementasi Keperawatan Merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawata. Dalam pelaksanaan tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat,A,009). Implementasi pada pasien dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan. 5. Evaluasi Keperawatan Dalam Smeltzer (2001) hasil yang diharapkan dari intervensi dan implementasi keperawatan antara lain : a. Mencapai peningkatan mobilisasi 1) Kerusakan kulit terhindar, tidak ada kontraktur dan footdrop. 2) Berpartisipasi dalam program latihan 3) Mencapai keseimbangan saat duduk 4) Penggunaan sisi tubuh yang tidak sakit untuk kompensasi hilangnya fungsi pada sisi yang hemiplegia. b. Tidak mengeluh adanya nyeri bahu 1) Adanya mobilisasi baku; latihan bahu 2) Lengan dan tangan dinaikkan sesuai interval c. Berpartisipasi dalam program meningkatkan kognitif d. Adanya peningkatan komunikasi

33

1) Mempertahankan kulit yang utuh tanpa adanya kerusakan; memperlihatkan turgor kulit tetap normal dan berpartisipasi dalam aktivitas membalikkan tubuh dan posisi. e. Anggota keluarga memperlihatkan tingkah laku yang positif dan menggunakan mekanisme koping. 1) Mendukung program latihan 2) Turut aktif ambil bagian dalam proses rehabilitasi f. Tidak terjadi komplikasi 1) Tekanan darah dan kecepatan jantung dalam batas normal untuk pasien. 2) Gas darah arteri dalam batas normal.

Anda mungkin juga menyukai