Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS KASUS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGIAN (TNKT) SULAWESI TENGAH

Executif Summary Kepulauan Togean Kabupaten Tojo Una-una ditetapkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Togian (TNKT) pada tahun 2004 melalui Kepmenhut No. SK.418/Menhut-II/2004 dengan luas areal 362,605 Ha (25.832 Ha daratan, dan 336,773 Ha perairan laut. Penetapan TNKT adalah upaya dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan di Kabupaten Tojo Una-Una khususnya dan Teluk Tomini pada umumnya. Keberadaan TNKT hingga saat ini belum sepenuhnya diterima oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat dikarenakan Pemda Tojo Una-Una meinginkan status kawasan sebagai Taman Wisata Laut (TWL) sebagaimana pernah diusulkan. Hal yang mendasari keinginan Pemda tersebut yakni alasan otonomi pengelolaan oleh daerah serta pemberian akses yang lebih luas pada masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumberdaya alamnya. Penolakan semakin menguat seiring dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menetapkan Kepulauan Togean sebagai Taman Wisata Alam Laut. Di sisi lain juga terdapat penolakan dari masyarakat sekitar zona inti yang tidak pernah terlibat sejak awal usaha perlindungan (pembentukan DPL) sebagai cikal bakal Taman Nasional. Concervasion Internasional Indonesia (CII) sejak 2004 melakukan aktivitas konservasi di Kepulauan Togian hanya menjadikan dua desa sebagai site DPL dengan luas 4.675,32 ha (1,4% dari luas perairan TNKT atau 1,3% dari luas total TNKT). Kecilnya wilayah kajian juga memberi gambaran terhadap kecilnya keterwakilan masyarakat didalamnya sebab secara administratif pada saat pembentukan Taman Nasional jumlah desa di wilayah Kepualauan Togian mencapai 40 desa definitive yang sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Tarik menarik kepentingan tersebut seyogyanya tidak terjadi jika saja semua pihak lebih lunak dan mengedepankan kepentingan masyarakat dan lingkungan di Kepulauan Togian. Perbedaan dasar hukum pijakan yang mengikat secara normative bisa jadi merupakan kendala dan butuh proses panjang dalam penyelesaiannya tetapi kesepakatan duduk bersama demi kepentingan lebih besar akan lebih menguntungkan semua pihak khususnya masyarakat. Pernyataan masalah Pihak yang menolak keberadaan taman nasional berpandangan bahwa penunjukan taman nasional yang ditetapkan melalui keputusan Menteri Kehutanan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pandangan pihak ini mengacu pada asas lex superior derogat legi inferiori, artinya

aturan yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan aturan yang lebih rendah. Sebaliknya, pihak yang setuju terhadap keberadaan taman nasional berpandangan bahwa penunjukan taman nasional merupakan amanat undang-undang dan dibentuk berdasarkan kewenangan Menteri Kehutanan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Penolakan masyarakat yang awalnya tidak terlibat tetapi kemudian wilayahnya menjadi zona inti adalah sebuah kelalaian dalam proses perencanaan sehingga hal ini menjadi kendala dalam pelaksanaannya. reaksi ini tidak mengemuka, sebab pertentangan yang secara politis di ketahui masyarakat umum adalah perbedaan pijakan hukum. Hal ini juga dapat menjadi indikasi bahwa terdapat kepentingan (ego sektoral dan politis) dibalik semua pijakan baik oleh pemerintah daerah maupun pihak pusat (kementerian kehutanan). Alternatif Secara mendasar memang terdapat perbedaan antara perencanaan tata ruang dengan perencanaan kehutanan. Perencanaan tata ruang berorientasi pada prediksi terhadap keadaan ruang (tata ruang) yang diharapkan terbentuk pada waktu yang akan datang. Sedangkan perencanaan kehutanan dilakukan dengan pengukuhan kawasan hutan yang merupakan penetapan terhadap kondisi eksisting kehutanan. Untuk mengharmonisasi persoalan antara penataan ruang dan kehutanan, telah diatur Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, khususnya Pasal 31. Secara rinci dinyatakan bahwa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundangundangan bidang kehutanan. Hal ini menegaskan bahwa ketentuan kehutanan dalam penataan ruang bersifat khusus. Ketentuan ini sangat penting guna mengatur dan menata aspek peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan yang terkait dengan penataan ruang yang bersifat umum, sehingga tidak terjadi dualisme pengaturan suatu aturan hukum. Terlepas dari benar dan salahnya argumentasi masing-masing pihak, dampak dari pebedaan kedua pandangan sangat membingungkan berbagai elemen masyarakat. Agar tidak membingungkan, penyelesaian terhadap persoalan ini sebaiknya cepat dilakukan melalui musyawarah oleh semua pihak. Namun jika upaya ini tidak berhasil, pengadilan tata usaha negara merupakan solusi yang bijak guna memperoleh kepastian hukum dan untuk menghindari konflik yang lebih luas. Kesimpulan Dari semua hal di atas, yang pasti bahwa konflik kawasan berpeluang menumbuhkan berbagai persoalan dan hambatan dalam mencapai tujuan hutan lestari masyarakat sejahtera. Pembentukan

kawasan konservasi baik taman nasional maupun taman wisata alam, tidak akan dapat terkelola dengan efektif, bila keberadaannya terus terbelit oleh persoalan. Dalam perspektif konservasi, pengelolaan yang tidak efektif mengakibatkan rendahnya kepedulian para pihak terhadap pelestarian hutan, sehingga laju deforestasi dan degradasi hutan tidak terkendali. Sedangkan dalam perspektif sosial-ekonomi, menyebabkan kondisi masyarakat setempat tidak terberdayakan. Singkat kata, konflik kawasan akan berdampak merugikan semua kepentingan, baik kepentingan konservasi maupun kepentingan sosial-ekonomi. Implementasi 1. Melakukan konsultasi public terhadap masyarakat Kepulauan Togian agar dapat diketahui apa yang menjadi keinginan masyarakat dalam pengelolaan lingkunganmya. 2. Konsultasi public harus dimediasi oleh pihak netral yang tidak terlibat dalam konflik misalnya pelibatan Perguruan Tinggi. 3. Menyusun rekomendasi hasil konsultasi public dalam bentuk restrukturisasi kembali program pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan Kepulauan Togian. 4. Kementerian yang mempunyai kewenangan pengelolaan terhadap sumberdaya alam Kepulauan Togian (Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Sosial, Kimpraswil, dll) melakukan review program yang sudah berjalan dengan dasar rekomendasi hasil konsultasi public dapat menjadi acuan bersama. Melalui mekanisme tersebut kemudian akan dapat diketahui apakah perluk atau tidak-nya perubahan status kawasan serta dasar hukum yang mana yang akan menjadi pijakan.

Anda mungkin juga menyukai