Anda di halaman 1dari 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang mendukung faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, yaitu : 1. Kepatuhan Wajib Pajak Menurut kamus umum bahasa Indonesia (sebagaimana dikutip oleh nugroho, 2006), kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal pajak, aturan yang berlaku adalah aturan perpajakan. Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungutan pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo, 2009). Menurut kamus umum bahasa Indonesia wajib pajak orang pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan diatas pendapatan kena pajak (PKP). Jadi dalam hubungannya dengan wajib pajak yang patuh, maka pengertian kepatuhan wajib pajak merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuan-ketentuan atau aturanaturan perpajakan yang diwajibkan atau diharuskan untuk dilaksanakan (Nugroho, 2006). Sejak reformasi perpajakan tahun 1983 dan yang terakhir tahun 2000 dengan diubahnya Undang-Undang Perpajakan tersebut menjadi UU No. 16 Tahun 2000, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 2000, maka sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah Self Assessment System.

Menurut Mardiasmo (2009), Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam sistem ini mengandung pengertian bahwa wajib pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan surat pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap dan tepat waktu. Dalam kaitannya dengan akuntansi maka kepatuhan wajib pajak mengandung pengertian tersebut di atas. Dalam Practice Note tentang Compliance Measurement yang diterbitkan oleh OECD (2001) yang dikutip oleh Santoso (2008), kepatuhan dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) kepatuhan administratif (administrative compliance); dan (2) kepatuhan teknis (technical compliance). Kepatuhan administratif mencakup kepatuhan pelaporan dan kepatuhan prosedural. Sedangkan kepatuhan teknis mencakup kepatuhan dalam penghitungan jumlah pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak. Berdasarkan definisi kepatuhan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan administratif adalah kepatuhan formal, yakni kepatuhan yang terkait dengan ketentuan umum dan tatacara perpajakan. Sedangkan kepatuhan teknis adalah kepatuhan material, yakni kepatuhan yang terkait dengan kebenaran pengisian SPT dalam menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. Hak dalam pemungutan pajak didukung dengan beberapa teori yang menjelaskan pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain (Mardiasmo, 2009) : a. Teori asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyat. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

b.

Teori kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayarkan.

c.

Teori daya pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu : a) Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. b) Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.

2.

Pengetahuan Perpajakan Dalam kamus umum bahasa Indonesia, pengetahuan berarti informasi yang telah

dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindak yang lantas melekat dibenak seseorang. Atau dalam arti lain pengetahuan merupakan berbagai gejala yang ditemukan dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Jadi, pengetahuan perpajakan adalah informasi mengenai perpajakan yang diperoleh melalui pengamatan akal seseorang.

Undang-undang pajak penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut wajib pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia (dalam negeri) maupun dari luar Indonesia (luar negeri), yang dapat dipakai untuk konsumsi ataupun untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Bagi wajib pajak dalam Negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan wajib pajak Luar Negeri, yang menjadi objek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja. Selain membayarkan pajak, wajib pajak terlebih dahulu membuat surat pemberitahuan (SPT) untuk melaporkan kegiatannya yang terdapat kaitannya dengan pengenaan pajak. Surat Pemberitahuan atau yang biasa disebut dengan SPT adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fungsi SPT bagi wajib pajak penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotong atau pemungut pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak; b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak; c. Harta dan kewajiban; dan d. Pembayaran dari potongan atau pemungutan tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Kesadaran dan Niat Kesadaran dalam kamus umum bahasa Indonesia merupakan keadaan pada saat orang tau atau ingat (keadaan yang sebenarnya). Sedangkan niat dalam kamus bahasa Indonesia (yang dikutip dalam Harisnani, 2011) adalah maksud atau niat, atau kehendak (keinginan dalam hati) akan melakukan sesuatu. Wajib pajak menurut Sehingga Kesadaran dan niat wajib pajak adalah suatu kondisi di mana wajib pajak mengetahui, memahami, dan melaksanakan ketentuan perpajakan dengan sukarela. Sebagaimana diketahui bahwa dalam sistem perpajakan yang baru, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan sendiri pajak yang terutang. Besarnya pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak, kemudian membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Dengan sistem perpajakan yang baru diharapkan akan tercipta unsur keadilan dan kebenaran

mengingat pada wajib pajak yang bersangkutanlah yang sebenarnya mengetahui besarnya pajak yang terutang. Kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Kesadaran perpajakan juga seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat. Kesadaran wajib pajak atas perpajakan amatlah diperlukan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Secara empiris juga telah dibuktikan bahwa makin tinggi kesadaran perpajakan wajib pajak maka makin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak (Nugroho, 2006). 4. Persepsi tentang Sanksi Pajak Berdasarkan kamus umum bahasa Indonesia, persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Pengertian sanksi menurut Nugroho (2006) menyatakan

bahwa: Sanksi adalah hukuman negatif kepada orang yang melanggar peraturan, Menurut Mardiasmo (2009) dalam bukunya Perpajakan, menyatakan bahwa: Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi atas sanksi perpajakan merupakan gambaran yang terstruktur dan bermakna pada hukuman yang dikenakan kepada wajib pajak yang tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Dalam hal penyampaian SPT ada kalanya wajib pajak melakukan kesalahan dalam penghitungan pajaknya, maka dari itu wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis,

dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan SPT menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. Dalam hal ini wajib pajak membetulkan sendiri SPT tahunan maupun SPT masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak, terhadap ketidakbenaran perbuatan wajib pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan apabila wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang bayar. Meskipun Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Wajib pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan (Mardiasmo, 2009): a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar; c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau d. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.

Pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ini beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang bayar, harus dilunasi oleh wajib pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. Batas waktu dalam penyampaian SPT dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu (Mardiasmo, 2009): a. Untuk SPT Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak; b. Untuk SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak; atau c. Untuk SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau batas waktu perpajangan penyampaian SPT, dikenakan sanksi administrasi sebesar (Mardiasmo, 2009): a. Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT masa pajak pertambahan nilai; b. Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk SPT masa lainnya; c. Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk SPT tahunan pajak pengalihan wajib pajak badan; d. Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi. Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau tidak melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh wajib pajak dan

wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Selain sanksi berupa denda, wajib pajak juga dapat dikenakan sanksi bunga. Sanksi bunga adalaah wajib pajak diharuskan untuk mebayar utang pajaknya dalam jumlah yang benar dan pada waktu yang tepat. Jadi bunga merupakan sanksi administrasi yang dikenakan pada wajib pajak yang berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak dalam jumlah yang benar dan pada waktu yang tepat. Ketentuan atas pengenaan sanksi berupa denda menurut UU No.28 Tahun 2007 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1. Ketentuan pengenaan sanksi denda


Masalah Pembetulan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar Berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar Pada saat jatuh tempo pembayaran pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar Besar/lamanya sanksi 2% perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir s.d tanggal pembayaran karena pembetulan SPT itu 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa/bagian tahun/tahun pajak s.d. diterbitkannya SKPKB 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 2% sebulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Cara membaya r/menagih SSP Dasar Hukum Pasal 8 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 tahun 2000 Pasal 13 ayat (2)

SKP

STP

Pasal 19 ayat (1)

Wajib Pajak yang diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian SPT

SSP/STP

Pasal 19 ayat (2)

Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana perpajakan setelah lewat waktu 10 tahun Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana perpajakn setelah lewat waktu 10 tahun

2% sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak

SSP/STP

Pasal 19 ayat (3)

STP

Pasal 14 ayat (3)

48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar yang ditambahkan dalam SKPKB

SKP

Pasal 13 ayat (5)

48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar yang ditambahkan dalam SKPKBT

SKP

Pasal 15 ayat (4)

Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar Undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak (Suyatmin, 2004). Wajib pajak akan mematuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi denda akan lebih banyak merugikannya. Semakin banyak sisa tunggakan pajak yang harus dibayar wajib pajak, maka akan semakin berat bagi wajib pajak untuk melunasinya. Oleh sebab itu, sikap atau pandangan wajib pajak terhadap sanksi denda diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Penilaian positif masyarakat wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi negara oleh pemerintah akan menggerakkan masyarakat untuk mematuhi kewajibannya untuk membayar pajak (Suyatmin, 2004). Hal senada juga dinyatakan oleh Loekman Sutrisno (1994) yang menyatakan bahwa membayar pajak merupakan sumbangan wajib pajak bagi terciptanya kesejahteraan bagi terciptanya kesejahteraan bagi diri mereka sendiri serta bangsa secara keseluruhan. Soemarso (1998) menyatakan bahwa kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Lerche (1980) juga mengemukakan bahwa kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat. Kesadaran wajib pajak atas perpajakan amatlah diperlukan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

B. PENELITIAN SEBELUMNYA Berikut adalah penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini : 1. Nugroho (2006)

Dalam penelitian Nugroho (2006) yang meneliti tentang sanksi denda dengan kesadaran yang berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Dalam penelitian ini menyatakan bahwa pelaksanaan sanksi denda secara parsial memiliki pengaruh positif yang signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi denda maka makin tinggi pula kepatuhan wajib pajak. Sedangkan kesadaran perpajakan secara parsial memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini menunjukkan bahwa makin tinggi sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan maka makin tinggi pula kepatuhan wajib pajak.

2. Mustikasari (2007) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mustikasari (2007) adalah: (1) tax professional yang memiliki sikap terhadap ketidakpatuhan positif, niat ketidakpatuhan pajaknya tinggi, (2) pengaruh orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional untuk berperilaku patuh, (3) tax professional yang memiliki kewajiban moral yang tinggi, niat ketidakpatuhan pajaknya rendah atau sebaliknya, (4) semakin rendah persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan mendorong tax professional berniat patuh.

3. Supriyati dan Nur Hidayat (2008) Dalam penelitian yang dilakukan Supriyati dan Nur Hidayat (2008) menyatakan bahwa pengetahuan tentang perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Salah satu penyebab berpengaruhnya pengetahuan perpajakan terhadap kepatuhan adalah adanya sumber informasi perpajakan yang didapat oleh setiap wajib pajak, sebagian besar wajib pajak memperoleh pengetahuan pajak dari petugas pajak. Selain dari petugas pajak,

pengetahuan wajib pajak ada yang diperoleh dari televisi, surat kabar, buku perpajakan, dan konsultan pajak, adapula yang diperoleh dari pelatihan pajak. Pengetahuan pajak juga diperoleh wajib pajak dari sosialisasi yang dilakukan oleh Dirjen Pajak. Bertambahnya wawasan wajib pajak mampu memberikan kesadaran akan pentingnya pajak bagi mereka, masyarakat dan negara. 4. Dewi (2009) Prosedur peraturan perpajakan dan sanksi perpajakan berpengaruh terahadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian diketahui bahwa model regresi yang digunakan tidak cocok untuk menguji hipotesis yang diajukan, karena nilai Fhitung yang diperoleh sebesar 3,300 dengan taraf signifikan sebesar 0,059. Karena taraf signifikansi yang lebih besar dari 0,05. 5. Muliari dan Setiawan (2009) Penelitian Muliari dan Setiawan (2009) menyatakan bahwa persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara parsial berpengaruh Positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Begitu juga kesadaran wajib pajak yang secara parsial juga berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. 6. Hapsari (2010) Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hapsari (2010) dapat diambil kesimpulan bahwa pengetahuan perpajakan dan kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak tidak terbukti kebenarannya. 7. Harisnani (2011)

Penelitian yang dilakukan oleh Harisnani (2011) menyatakan bahwa niat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, penelitian ini terbukti dengan pengujian yang dilakukan menggunakan uji Simultan dan Parsial. 8. Laksono (2011) Hasil dari penelitian yang dilakukan Laksono (2011) menunjukkan bahwa pengaruh dari: (1) sikap terhadap perilaku kepatuhan terhadap kepatuhan pajak badan adalah positif dan signifikan, (2) norma subyektif terhadap kepatuhan pajak badan adalah positif dan signifikan, (3) kontrol keperilakuan yang dipersepsikan terhadap kepatuhan pajak badan adalah positif dan signifikan, (4) kondisi keuangan perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan adalah positif dan signifikan. 9. Tambunan (2011) Tambunan (2011) meneliti tentang persepsi wajib pajak dan kesadaran terhadap kepatuhan, dan dalam penelitian tersebuty menyatakan bahwa terdapat pengaruh simultan yang signifikan dari persepsi wajib pajak atas sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan dalam pengujian secara parsial Persepsi wajib pajak atas sanksi perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, begitupula dengan kesadaran wajib pajak yang secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak

C. KERANGKA PEMIKIRAN Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki suatu

negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Salah satu bentuk iuran masyarakat tersebut adalah pajak. Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai salah satu unsur penerimaan negara, pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pengeluaran pemerintahan. Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyebab peningkatan penerimaan pajak adalah karena sejak tahun fiskal 1984 pemerintah memberlakukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak. Berbeda dengan sistem pemungutan pajak sebelumnya, yaitu official assessment system. Sistem self assessment memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, wajib pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Sistem self assessment menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sanksi, Pemahaman, Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari Wajib Pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut. Dianutnya sistem self assessment membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap (kesadaran) warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance).23) Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment. Wajib pajak bertanggung jawab

menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Dengan demikian, berikut merupakan kerangka pemikiran penelitian ini:

Gambar. 2.1. Kerangka Pemikiran

X1 = Pengetahuan tentang Perpajakan

X2 = Kesadaran dan niat wajib pajak

X3 = Persepsi tentang sanksi pajak

H2

H1

Y = Kepatuhan Wajib Pajak

D. HIPOTESIS Berdasarkan kerangka penelitian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1 : pengetahuan tentang perpajakan, kesadaran dan niat, dan persepsi tentang sanksi pajak

berpengaruh signifikan secara bersama-sama (simultan) terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di Purwokerto. H2 : pengetahuan tentang perpajakan, kesadaran dan niat, dan persepsi tentang sanksi pajak berpengaruh signifikan positif secara individual (parsial) terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai