Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS KASUS KENAIKAN HARGA GAS ELPIJI 12 KG DENGAN MENGGUNAKAN PARADIGMA CRITICAL THEORY

Guna memenuhi tugas Filasafat Hukum

DISUSUN OLEH : Taufik Purbo S 11010110130298

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Perubahan kehidupan masyarakat selalu diikuti oleh manusia dalam pemenuhan kebutuhannya. Rasa keingintahuan untuk memahami realitas kehidupan dari seseorang yang membuat ia terus mengembangkan potensi dirinya terutama dalam hal keilmuannya. Di dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan tersebut manusia perlu menemukan landasan berpikir baru. Yang mana ilmu pengetahuan tersebut merupakan sesuatu hal yang baru dan belum pernah di gagas dan diperhitungkan yaitu filsafat salah satunya adalah filsafat hukum. Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan filsafat. Sesungguhnya, istilah filsafat merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia1. Secara etimologis, kata filsafat berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan sofia. Filo artinya cinta. dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya kebijaksanaan.. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah pandai.: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat dimaknakan: Ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan. Filsafat merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut. Filsafat itu sendiri dapat kita jadikan sebagai pedoman dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn secara sistematis berdasarkan satu sudut pandang ataupun beberapa sudut pandang yang kemudian dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu tindakan. Sedangkan pengertian dari Filsafat hukum itu sendiri yaitu adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hokum.
1

I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1.

Suatu aliran filsafat hukum berbeda dengan paradigma. Setiap aliran filsafat hukum itu sebenernya merupakan bagian dan bisa dikatakan sebagai pengejawantahan dari suatu paradigma tertentu.2 Paradigma itu sendiri dapat dipahami sebagai suatu kerangka pemikiran yang meliputi beragam belief dan standar. Kerangka mana lalu menetapkan ruang lingkup dari segala hal yang dianggap sah dalam suatu bidang, disiplin atau cabang ilmu pengetahuan didalam mana paradigm itu dimaksud diaplikasikan. Secara keseluruhan, apa yang terkandung dalam paradigma dengan demikian mendefinisikan suatu pola aktivitas ilmiah yang mapan dan mantap bagi komunitas ilmuan yang bersangkutan. Pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang sebaliknya, dimana pola ini juga mendefinisikan bagaimana isi dan bentuk darin komunitas ilmuan yang berbagi paradigma tersebut.3 Dalam kaitannya dengan paradigm ini, menurut Guba & Lincon paradigm dibagi menjadi 4 paradigma utama, yaitu positivism, postpositivism, critical theory et al, constructivis. Yang mana dalam membedakan ke empat paradigma yang dikemukakan oleh Guba & Lincoln tersebut dilihat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang dalam hal ini meliputi pertanyaan Ontologis, Epistemologis, dan Metodologisnya. Dari keempat macam paradigma ini hanya akan diambil satu jenis paradigma yang penulis anggap sejalan dengan pikiran penulis, yaitu paradigm critical theory at al berkaitan dengan sebuah kasus yang akan penulis angkat juga dalam menganalisa kasus dalam makalah ini. Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah kenaikan harga gas yang fantaskin dan dilakukan secara mendadak sehingga terkesan seperti dipaksakan. Hal tersebut menyebabkan perubahan sosial yang fundamental. Kebijakan pemerintah saat ini mulai dipertanyakan, hal ini mencuat karena terjadinya kebijakan pemerintah solah olah tidak melihat dampak yang akan terjadi dalam masyarakat jika kebijakan tersebut benar-benar dilaksanakan dalam masyarakat. Yang mana kebijakan tersebut pasti akan mempengaruhi stabilitas perekonomian masyarakat. Dampak tingginya kenaikan harga gas elpiji 12 kg mulai dirasakan masyarakat. Kebijakan ini berdampak panjang karena menuai kritik pedas. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman melihat kebijakan ini sebagai kado terburuk di awal tahun politik.
2

Indarti, Erlyn. DISKRESI DAN PARADIGMA: Sebuah Telaah Filsafat Hukum. (Semarang : Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2010). Halaman. 13 3 Ibid.halaman.14

Seharusnya, rencana menaikkan harga gas elpiji non-subsidi itu dikoordinasikan dengan pemerintah. Berbagai pihak telah meminta agar kenaikan harga gas elpiji 12 kg bisa ditunda dahulu dan jangan terburu-buru membuat keputusan menaikkan harga. Keputusan Pertamina menaikkan harga gas seharusnya bisa dikontrol pemerintah melalui rapat umum pemegang saham (rups). Sebab, sebagai perusahaan negara, setiap kebijakannya jangan berpatokan untuk kepentingan bisnis semata. Seharusnya pemerintah bisa mengontrol Pertamina. Apalagi sebagai BUMN, Pertamina mendapat hak monopoli penuh. Kenaikan harga gas elpiji sekitar 67 persen diyakini akan memicu terjadinya migrasi besarbesaran dari konsumen gas elpiji 12 kg ke gas elpiji 3 kg. Fenomena ini membuktikan bahwa kebijakan menaikkan harga gas elpiji 12 kg keluar di waktu yang tidak tepat. Kebijakan yang dibuat Pertamina, waktunya tidak tepat. Karena dengan menaikkan harga elpiji 12 kg akan berdampak pada migrasi besar-besaran dari pengguna gas elpiji 12 kg ke 3 kg. Kemudian, saat ini sedang terjadi inflasi tinggi dan pendapatan masyarakat terpuruk. Terlepas dari itu, dasar pertimbangan Pertamina menaikkan harga gas lantaran terus menerus merugi.

I.2. Tujuan Tujuan penulisan makalah untuk memahami dan mengetahui lebih mendalam mengenai matakuliah Filsafat Hukum dengan menganalisa permasalahan hukum menggunakan salah satu paradigma guba dan lincoln yaitu critical teori et al

I.3 Permasalahan Dari uraian diatas dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Permasalahan tersebut antara lain : 1. Bagaimanakah arah kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga gas elpiji 12 kg yang hampir 2 kali lipat yang mendadak dan terkesan dipaksakan ? 2. Apakah dampak yang terjadi dalam masyarakat akibat kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram tersebut ?

BAB II PEMBAHASAN

Pada pembuatan tugas kali ini penulis akan lebih menekankan pada paradigmaa critical theory et al dalam menganalisa permasalahan kenaikan gas elpiji yang mendadak dan terkensan dipaksakan. Paradigmaa critical theory et al ini sendiri memiliki suatu kenyataan virtual atau sejarah, artunya bahwa aliran-aliran ini dimaksudkan untuk memahami atau menyakin hukum secara virtual atau sejarah. Karenanya, bagi mereka hukum pada dasarnya adalah kesadaran yang tidak benar atau dengan kata lain disadari secara salah.4 Dalam pengertian lain menurut Guba dan Lincoln paradigmaa critical theory et al merupakan realitas yang nyata dalam suatu dimensi yang terbentuk oleh factor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender kemudian sejalan dengan waktu terkristalisasi dan dianggap nyata. Dalam teori ini, penganut atau pemegang dan obyek pencarian terkait secara interaktif, artinya adalah temuan obyek penelitian ditengahi oleh nilai yang dipegang semua pihak terkait. Paradigmaa teori kritikal ini berpandangan bahwa ada suatu dialog antara penganut dengan obyek investigasi dimana kesalahan maupun kesalahpahaman merubah pemahaman bahwa struktur histori suatu obyek dapat dirubah dengan memerlukan aksi nyata. Pada paradigmaa critical theory et al, yang diakui adalah nilai formatif. Sedangkan etika yang terkandung di dalamnya, sebagai unsur intrinsic adalah pencerahan atau kesadaran moral. Tujuannya ditelusuri dari pradigma ini adalah kritik - transformasistruktur sosial, politik, cultural, ekonomi, etnis dan gender yang membatasi dan mengeksploitasi manusia melalui konfrontasi dan (bila perlu dengan konflik). Sifat paradigmaa critical theory et al ini dalam kandungan pengetahuan merupakan serangkaian wawasan struktural atau historis sejalan dengan hilangnya kemasabodohan dan kesalahpahaman. Dalam critical theory et al ini, hukum dianggap sebagai sesuatu yang historis atau wujud dari kenyataan, sesuatu yang bersejarah dan dalam wujud yang bisa dimengerti atau dipercaya,

Ibid.halaman.28

namun hukum bisa juga dianggap sebagai kesadaran yang melenceng. Ciri-ciri hukum dari konsep pemahaman hukum tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: serangkaian struktur sebagai suatu realitas virtual atau historis, yang merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik, ekonomi, sosial, budaya, etnik, gender dan agama sebagai instrument hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif dan eksploitatif setiap saat terbuka bagi kritik, revisi dan transformasi, guna menuju emansipasi. Paradigma critical theory et al / critical legal studies ini merupakan sebuah teori yang bertujuan melawan pemikiran yang sudah mapan khususnya mengenai norma-norma yang sudah standart/ built-in dalam teori dan praktek hokum yang ada selama ini, yang cenderung diterima apa adanya, yaitu norma-norma standart hokum yang didasarkan pada ajaran premis liberal justice.5 Penganut aliran ini percaya bahwa logika dan struktur hukum muncul dari power relationalships dalam masyarakat. Kepentingan hokum adalah untuk mendukung kepentingan atau kelas dalam masyarakat yang membentuk hokum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini, mereka yang kaya dan kuat menggunakan hokum sebagai instrument untuk melakukan penekanan-penekanan kepada masyarakat, sebagai cara untuk mempertahankan kedudukan. 6 Dengan kata lain, hokum mulai dari proses pembuatan sampai dengan pemberlakuan seelalu mengandung pemihakan, skalipun dalam liberal legal order, dibentuk akan keyakinan, kenetralan, objektivitas, prediktibilitas dalam hokum.7 Pengembangan paradigma menurut Guba dan Lincoln tentang bagaimana paradigma tersebut dapat digunakan seseorang, dijabarkan dengan adanya tiga aspek dimensi yaitu, dimensi ontologis, dimensi epitemologis, dimensi metodologis. 1. Dalam dimensi Ontologis, pertanyaan pokoknya Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Sehingga dapat dipertanyakan kenyataannya. Dalam ontologis dari paradigma critical theory et al /
5

Salman,Otje dan Anton F.Susanto, Teori Hukum : mengingat, mengumpulkan, dan mmnbuka keembali,(Bandung : PT. Refika Aditama, 2004), hal. 125 6 Ibid, halaman 126 7 Ibid

critical legal studies ini menjelasakan bahwa setiap saat hokum semestinya terbuka bagi kritik, revisi, dan transformasi guna menuju emansipasi.8

2. Dimensi Epistemologi, pertanyaan pokonya ialah bagaimana relasi antara peneliti dan yang diteliti? Epistemologi dalam pengertian "filsafat pengetahuan" mempakan salah satu cabang filsafat. Oleh karena itu, filsafat ilmu menjadi bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi dalam kajian ini bukan dalam ruang lingkup yang lebih luas sebagai cabang filsafat, tetapi sebagai salah satu aspek bahasan filsafat ilmu (di samping aspek ontologis dan axiologis) yang secara membahas dengan mengutamakan bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan, prosedur, tolak ukur kebenaran nya dan sarana / teknik memperolehnya.9 Dalam epistemologi dari paradigma critical theory et al / critical legal studies ini menjelaskan hubungan antara setiap manusia, kelompok manusia, dan institusi harus secara subjektif dan interaktif dalam hal pembuatan, pembentukan atau pengabungan, bahkan penegakan hokum berangkat dari semacam proses mediasi/transaksi diantara sekalian nilai yang dipegang oleh semua pihak yang berkepentingan.10

3. Dimensi metodologi. Pertanyaan pokoknya ialah Bagaimana bahasa yang dipakai dalam penelitian atau kajian? Dalam dimensi dari paradigma critical theory et al / critical legal studies ini disebutkan bahwa hukum selanjutnya dibuat, dibentuk, dibangun dan ditegakan melalui metodologi dialogis atau dialektikal. Yang mana disini berlangsung dialog diantara masyarakat luas dan bersifat dialektikal yang mentrasnform kemasabodohan dan kesalahpahaman menjadi kesadaran untuk mendobrak ketimpangan atau penindasan.11

8 9

Indarti, Erlyn, Op cit,hal 28 Salman,Otje dan Anton F.Susanto, Op cit,hal 128 10 Indarti, Erlyn, Op cit,hal 28 11 Indarti, Erlyn, Op cit hal 28-29

A. ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT KENAIKAN HARGA GAS ELPIJI 12 KG YANG HAMPIR 2 KALI LIPAT YANG MENDADAK DAN TERKESAN DIPAKSAKAN Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman berperilaku dalam lalu lintas atau hubunganhubungan hukum dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalam bunyi aturan formal maupun nilainilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Sistem hukum modern saat ini, sebagian strukturnya dibangun di atas paradigmaa positivism dalam ilmu pengetahuan. Hukum yang sedari awal dikonstruksikan untuk bersifat adil dan netral, di dalam pelaksanannya ternyata sangat berlawanan dengan sifat-sifat tersebut. Hukum sedari awal telah memiliki potensi untuk bersifat memihak terutama kepada mereka yang memiliki kekuasaan yang dominan. Kenaikan harga elpiji di awal tahun ini menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Tentu saja tanggapan negatif yang banyak diutarakan baik itu di media televisi maupun media sosial. Kenaikan harga elpiji ini dilakukan oleh Pertamina dengan alasan Pertamina merugi sekitar 5 Triliun sepanjang tahun 2013. Mahalnya nilai tukar dolar terhadap rupiah juga mendorong meruginya bisnis Pertamina. Pertamina juga berdalih bahwa gas elpiji yang mengalami kenaikan adalah gas elpiji 12 kg yang notabene tidak disubsidi oleh Pemerintah. Pengguna gas elpiji 12 kg ternyata mereka bukanlah orang-orang yang sepenuhnya mampu (kaya). Mereka adalah masyarakat yang masuk dalam kategori rentan miskin. Dengan adanya kenaikan harga yang begitu tinggi dalam waktu yang singkat, bukan tidak mungkin jika mereka bisa masuk ke dalam kategori masyarakat miskin. Pengguna gas elpiji non subsidi juga ada yang berasal dari keluarga miskin. Mereka adalah masyarakat yang tidak mendapatkan jatah pembagian kompor gas dan tabung gas elpiji nonsubsidi gratis yang dibagikan oleh pemerintah beberapa tahun lalu. Mereka tidak mendapatkan pembagian tersebut karena tidak memiliki NIK, tidak digolongkan sebagai masyarakat miskin dan menolak menerima bantuan karena merasa ada yang lebih membutuhkan daripada mereka.

Dalam hal kenaikan harga ini, Pemerintah berlindung dibalik ketiak pertamina. Pemerintah beralasan bahwa pemeintah tidak bisa menentukan harga gas elpiji. Mekanismenya pertamina yang menentukan harga dan hanya perlu melaporkan -tidak meminta persetujuankepada pemerintah. Logika berpikirnya, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk sepenuhnya kesejahteraan rakyat. Kenaikan harga gas elpiji menyangkut hajat hidup orang banyak dan akan mengancam kesejahteraan masyarakat. B. DAMPAK YANG TERJADI DALAM MASYARAKAT AKIBAT KENAIKAN HARGA GAS ELPIJI 12 KILOGRAM Kenaikan harga ini tentu akan diikuti dengan naiknya harga barang-barang produksi yang menggunakan gas elpiji. Tidak hanya barang yang menggunakan gas elpiji, pedagang kecil yang menggunakan gas elpiji untuk memasak tentu mengharapkan keuntungan yang besar dari bisnisnya dalam upaya menutupi kebutuhan rumah tangganya. Jangan lupakan buruh yang pada tahun 2010 saja sudah berjumlah 4.501.145 (berdasarkan data BPS). Mereka juga akan mengeluarkan uang yang lebih besar untuk membeli gas elpiji. Tentu hal itu akan menguras anggaran pengeluaran rumah tangganya. Dan sudah bisa ditebak, buruh akan kembali turun ke jalan untuk menuntut kenaikan gaji. Kenaikan harga gas elpiji yang menurut pemerintah karena mengikuti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar justru akan mendorong rupiah kembali melemah sebagai dampak dari inflasi. Naiknya harga-harga di dalam negeri akan mendorong pemerintah untuk melakukan impor, hal ini juga akan mendorong melemahnya rupiah. Sehingga Indonesia mengalami dua kali kesialan dari hal ini. Sudah jatuh tertimpa tangga. Gas elpiji merupakan program pemerintah untuk mengalihkan tingginya penggunaan bahan bakar minyak yang persediaannya semakin menipis. Dan program tersebut terbilang sukses. Banyak kalangan masyarakat yang beralih dari bahan bakar minyak ke gas elpiji. Selain iklan pemerintah tentang manfaat penggunaan elpiji yang begitu gencar, harganya yang murah - pada saat itu - juga menjadi alasan masyarakat beralih menggunakan gas elpiji.

BAB III PENUTUP

Dari hasil analisis dalam bab pembahasan, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : 1. Arah kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat hal ini dipertegas dengan beberapa kebijakan yang berdampak buruk bagi masyarakat sehingga seharusnya kebijakan tersebut tidak dilaksanakan oleh pemerintah. 2. Pengambilan keputusan mengenai kebijakan haruslah melihat dari berbagai segi sehingga tidak berdampak buruk bagi masyarakat negara tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku 1. Bahan kuliah Filsafar Hukum 2013 oleh Aditya Yuli S.H.,M.H dan Prof. Erlyn Inadrti SH., M.A,. Ph.D 2. I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1990 3. Indarti, Erlyn. Diskresi Dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Semarang : Badan penerbit Universitas Diponegoro, 2010 4. Raharjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007 5. Salman,Otje dan Anton F.Susanto, Teori Hukum : mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali, Bandung : PT. Refika Aditama, 2004 6. Friedmann, W, Teori Dan Filsafat Hukum : Hukum dan Masalah-Masalah Kotemporer, Jakarta : Rajawali, 1990 7. Sidharta, Arief, Refleksi tentang struktur ilmu hukum, Bandung : Mandar Maju, 2000

B. Peraturan Perundangan 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Anda mungkin juga menyukai