Anda di halaman 1dari 14

A. Sejarah Perkembangan Pesantren di Indonesia 1.

Asal-usul Pondok Pesantren dan Sejarah Perkembangannya Pesantren yang merupakan bapak dari pendidikan Islam di Indonesia didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan jaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, bila dirunut kembali sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama atau dai.1 Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, pondok mungkin juga berasal dari bahasa Arab fanduk yang berarti hotel atau asrama.2 Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sejak kurun kerajaan Islam pertama di Aceh dalam abad-abad pertama Hijriyah, kemudian di kurun Wali Songo sampai permulaan abad 20 banyak para wali dan ulama yang menjadi cikal-bakal desa baru.3 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), Spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa dipandang sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.4 Alwi Syihab menegaskan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng santri. Tujuannya agar para

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan LKIS, 1999), hal. 138. 2 Ibid. Hlm. 138 3 Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982), hal. 7. 4 K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: al-Maarif Bandung, 1979), hal. 263.

santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung dimasyarakat luas.5 Dalam sejarah perjuangan mengusir penjajahan di Indonesia, pondok pesantren banyak memberi andil dalam bidang pendidikan untuk memajukan dan mencerdaskan rakyat Indonesia. Perjuangan ini dimulai oleh Pangeran Sabrang Lor (Patih Unus), Trenggono, Fatahillah (jaman kerajaan Demak) yang berjuang mengusir Portugis (abad ke 15), diteruskan
masa Cik Ditiro, Imam Bonjol, Hasanuddin, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, dan lain-lain sampai pada masa revolusi fisik tahun 1945.6

Pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial belanda, pada abad ke-19 untuk di jawa saja terdapat tidak kurang dari 1.853 buah, dengan jumlah santri tidak kurang 16.500 orang. Dari jumlah tersebut belum termasuk pesantren-pesantren yang berkembang di luar Jawa terutama Sumatra dan Kalimantan yang suasana keagamaannya terkenal sangat kuat.7 2. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam a. Unsur-unsur Pesantren Sementara itu yang menjadi ciri khas pesantren dan sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu:8 1) Pondok Merupakan tempat tinggal Kiai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung para santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. 2) Masjid
Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 6-7 6 Marwan Saridjo, Sejarah, hlm. 7. 7 Hasbullah. Ibid. Hlm. 139 8 Hasbullah. Ibid. Hlm. 142-144
5

Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjamaah setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar dalam pesantren berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum dan sesudahnya. 3) Santri Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren. Sedangkan santri kalong adalah santri yang berasal dari daerah sekitar pesantren. 4) Kiai Merupakan tokoh sentral yang memberikan pengajaran. Karena itu, kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampilan Kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. 5) Kitab-kitab Islam Klasik Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. b. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Pesantren walaupun dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tradisional mempunyai sistem pengajaran tersendiri, dan itu menjadi ciri khas sistem pengajaran/metodik-didaktik yang lain dari sistem-sistem pengajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal. Pengembangan KBM di Pondok Pesantren dalam bidang pendidikan pada dasarnya terdiri atas

dua poros, yaitu pengembangan ke dalam (internal) dan keluar (external). Pengembangan internal terpusat pada upaya-upaya

menjadikan kegiatan belajar mengajar lebih efektif, terutama dengan mengembangkan metode-metode pembelajaran. Ada beberapa metode pengajaran yang diberlakukan di pesantren-pesantren, diantaranya: Sorogan, weton/bandongan, halaqah, hafalan, Hiwar, Bahtsul Masail, fathul kutub, dan muqoronah. Metode-metode pembelajaran tersebut tentunya belum mewakili keseluruhan dari metode-metode pembelajaran yang ada di pondok pesantren, tetapi setidaknya paling banyak diterapkan di lembaga pendidikan tersebut. Berikut ini adalah gambaran singkat bagaimana penerapan metode dimaksud dalam sistem pembelajaran santri : 9 1) Sorogan Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan Kiai atau pembantunya asisten Kiai. Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. 2) Wetonan/ Bedongan Weton / bandongan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bhs. Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardlu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak
9

Hasbullah. Ibid. Hlm. 142-144

kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah weton ini, di Jawa Barat disebut dengan bandungan, merupakan adalah cara penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab kuning, sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberi makna, dan menerima. Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid bersifat pasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak. 3) Metode Halaqah Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat. Halaqah ini juga merupakan diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Bila dipandang dari sudut pengembangan intelektual, menurut Mahmud Yunus sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk studi ini, sistem ini juga hanya dapat menghasilkan 1 persen murid yang pandai dan yang lainnya hanya sebatas partisipan. 4) Metode Hafalan (Tahfidz) Sebagai sebuah metodologi pengajaran, hafalan pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang bersifat nadham (syair), bukan natsar (prosa); dan itupun pada umumnya terbatas pada ilmu kaidah bahasa arab, seperti Nadhmal Al-imrithi, Afiyyah Ibn Malik, Nadhm Al-Maqsud, Nadhm Jawahir Al-Maknun, dan lain sebagainya. Namun demikian, ada juga beberapa kitab prosa (natsar) yang dijelaskan sebagai bahan hafalan melalui sistem pengajaran hafalan. Dalam metodologi ini, biasanya santri diberi tugas untuk

menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah kitab, untuk kemudian membacakannya di depan sang Kiai/ Ustadz. 5) Metode Hiwar Berbeda dengan hiwar dalam dunia pesantren yang mengedapankan penguasaan bahasa sebagai alat komunikasi, hiwar dalam pesantren salafiyah identik dengan musyawarah. Dalam pemahamannya yang seperti itu, metode ini hampir sama dengan metode-metode diskusi yang umum kita kenal. Sebagai sebuah metode, hiwar merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di pesanren salafiyah yang telah menjadi tradisi, khususnya bagi santrisantri yang mengikuti sistem klasikal. 6) Metode Bahtsul Masail (Mudzakaroh) Mudzakarah atau bahtsul matsail merupakan pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah, dan permasalahan-permasalahan agama lainnya. Metode ini

sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Bedanya sebagai sebuah metodologi mudzakarah pada umumnya diikuti oleh para kiai atau para santri tingkat tinggi. Dalam kaitan ini, mudzakarah (diskusi) dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu mudzakarah yang diadakan antar sesama kiai atau ustadz dan mudzakarah yang diadakan antar sesama santri. 7) Fathul Kutub Fathul kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama kitab klasik) yang pada umumnya ditugaskan kepada santri senior di pondok pesantren. Sebagai suatu metode, fathul kutub bertujuan menguji kemampuan mereka dalam membaca kitab kuning, khususnya setelah mereka berhasil menyelesaikan mata pelajaran kaidah bahasa arab. 8) Muqoronah Muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham (madzhab),

metode, maupun perbandingan kitab. Oleh karena sifatnya yang membandingkan, pada umumnya metode ini juga hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior saja. 9) Muhawarah atau Muhadatsah Musyawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa arab. Metode inilah yang kemudian dalam pesantren modern dikenal sebagai metode hiwar. Dalam aplikasinya, metode ini diterapkan dengan mewajibkan para santri untuk berbicara, baik dengan sesama santri maupun dengan para ustadz dan kiai, dengan menggunakan bahasa arab. Adakalanya hal demikian diterapkan bagi santri selama mereka berada di pesantren dan adakalanya hanya pada jam-jam tertentu saja. B. Pesantren Dan Tantangan Modernitas Modernisasi yang dalam bentuk umum di Indonesia dalam dasawarsa terakhir lebih dikenal dengan istilah pembangunan (development) adalah proses multi-dimensional yang kompleks. Dalam dunia kependidikan, Azyumardi Azra melihat bahwa modernisasi umumnya dilihat dari dua segi. Pada satu segi, pendidikan dipandang sebagi suatu variabel modernisasi. Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk mencapai tujuan. Pada segi lain, pendidikan dipandang sebagai objek modernisasi.10 Dalam konteks ini, pendidikan pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, karena itulah pendidikan harus diperbarui, dibangun kembali sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sementara itu, pendidikan agama Islam yang sebenarnya telah ada sejak lama, dimodernisasi. Sistem pendidikan pesantren yang secara tradisional merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous juga dimodernisasi. Modernisasi paling awal dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui tidak bersumber dari kalangan kaum muslim sendiri. Kemunculan
Azyumardi Azra, Pembaharuan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar, dalam Marwan Saridjo, Bunga rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Amissco, 1996), hal. 2.
10

modernisasi pendidikan di Indonesia, berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. Dalam lapangan pendidikan, modernisasi ini setidaknya dapat dilihat dengan direalisasikannya

pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang mengadopsi dari sistem dan kelembagaan kolonial Belanda, bukan dari sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. Sistem pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh

pemerintah kolonial Belanda. Namun pada perkembangannya, tantangan yang lebih merangsang pesantren untuk memberikan responnya terhadap modernisasi ini, justru datang dari kaum modernis muslim.11 Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme diperlukan refomasi sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, pesantren melakukan penyesuaian yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal.12 Deskripsi di atas sedikitnya menjelaskan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya. Dalam menghadapi berbagai perubahan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya, tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan sehari-hari, mereka menerima pembaruan (modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive. Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini, pertama, merevisi kurikulumnya dengan

memasukkan sebagian matapelajaran dan keterampilan umum; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan
Azyumardi Azra, Pesantren Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. xii-xiv. 12 Ibid., hal. xv-xxvi.
11

pendidikan umum. Kalau kita cermati lebih dalam, kemunculan modernisasi pendidikan bukan tanpa dampak. Untuk itu, pesantren yang menerima modernisasi harus benar-benar selektif dalam menerima dan mengadopsi pola-pola dari luar, karena bisa jadi, pesantren yang tidak selektif dalam mengikuti perkembangan modernisasi ini akan kehilangan ruh dan identitasnya sebagai lembaga pendidikan pesantren. Dalam hal ini, kita setuju dengan pendapat Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa untuk memainkan peranan yang besar dalam ruang lingkup nasional, pesantrenpesantren tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan, tradisi-tradisi positif yang dimiliki pesantren sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan karena di sinilah letak kelebihannya.13 Namun demikian, pesantren tidak harus menutup diri, ia terbuka dalam mengikuti tuntutan perkembangan jaman. Materi pendidikan pesantren, metode yang dikembangkan, serta manajemen yang diterapkan harus senantiasa mengacu pada relevansi kemasyarakatan dan perubahan. Sepanjang keyakinan dan ajaran Islam berani dikaji oleh watak jaman yang senantiasa mengalami perubahan, maka program pendidikan pesantren tidak perlu ragu berhadapan dengan tuntutan hidup kemasyarakatan. Dalam konteks ini, secara garis besar permasalahan pesantren bisa dikelompokkan ke dalam 4 hal, yaitu:14 1. Kurikulum pendidikan yang mencakup literatur, model pembelajaran, dan pengembangannya. 2. Sarana dan prasarana seperti perpustakaan, laboratorium, internet, lapangan olah raga, dan yang lainnya.

Ciri khusus yang dimaksud misalnya pada fungsi pendidikan pesantren telah diakui oleh berbagai kalangan bahwa ia mampu mencetak santri menjadi seseorang yang mempunyai moral yang baik dan sekaligus mempunyai wawasan keagamaan yang matang. Sebagai lembaga yang mempunyai komitmen terhadap pembentukan moral yang baik, pada era sekarang tampaknya sangat dibutuhkan. Lihat lebih lanjut tulisan Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, hal. 5. 14 Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren : Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 197

13

3. Wahana pengembangan diri seperti organisasi, majalah, seminar, dan lain sebagainya. 4. Wahana aktualisasi diri di tengah-tengah masyarakat, seperti tabligh, khatib dan lainnya. C. Rekonstruksi Pendidikan Pesantren dan Madrasah di masa depan Dunia pesantren yang nyaris dipahami oleh masyarakat sebagai dimensi yang tidak berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi), pada kenyataannya memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan., mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kebebasan membentuk sistem pendidikan baru merupakan

keniscayaan, asalkan tidak lepas dari bingkai ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari kemajuan dunia modern, maka aspek ashlah merupakan aspek kunci yang harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntuan zaman. Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Sistem pendidikan pesantren tidak seluruhnya baik dan tidak seluruhnya jelek, untuk itu pimpinan pesantren dituntut untuk dapat memilih dan memilah mana yang harus diperbaharui dan mana yang harus dipertahankan. Rekonstruksi sistem pendidikan pesantren tidak harus merubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddiin dalam pengertian luas. Pelajaran agama tidak hanya diartikan ilmu-ilmu keagamaan dan apriori terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga diharapkan pesantren mampu melahirkan ulama-ulama intelek yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dalam hal:15
15

1. Dimensi Sumber Daya Manusia Berangkat dari permasalahan di atas, untuk pengembangan pesantren dalam berbagai segi baik pendanaan, pengelolaan maupun manajemen serta permasalahan lainnya, yang harus ditempuh adalah pengembangan sumber daya manusia, pernyataan ini tidak berarti bahwa SDM pesantren dewasa ini lemah, yang dimaksud di sini adalah pengembangan terus-menerus serta kaderisasi. Jangan sampai suatu pesantren "terhenti" hanya karena meninggalnya kyai yang biasanya menjadi komandan sekaligus tumpuan kepercayaan ummat maupun santri, sehingga ketika kyai tersebut (figur) wafat maka pesantrennya ikut mati juga. Bersamaan dengan kaderisasi juga pengayaan SDM yang ada dengan berbagai kemahiran baik manajerial maupun kemahiran lain yang sesuai dengan tuntutan zaman. Cara mudah dalam hal ini adalah mengembangkan budaya baca dan budaya dengar di pesantren, karena kepiawaian dalam berpidato maupun berdebat (biasanya sudah dimiliki para santri) harus didukung dengan informasi (pengetahuan) yang luas supaya tidak tertinggal, tehnik penyampaian gagasan (presentasi) dan tehnik pembuatan proposal bisa juga dijadikan kemahiran tambahan. Pengembangan seperti ini dapat dilakukan pesantren dengan mudah karena sekarang sudah banyak sarjana-sarjana IAIN misalnya yang ada disekitar /mengelola pesantren. Tehnik pembuatan surat resmi serta kemahiran administratif lainnya juga layak untuk diajarkan terutama bagi santri senior yang biasanya dilibatkan membantu kyai mengelola pesantren. Mungkin kegiatan sebagaimana di atas bagi beberapa pesantren bukan hal yang asing, bila demikian adanya, maka bentuk pengembangan lain bisa dilakukan misalnya dengan menambah kemahiran teulis menulis baik tulis halus (kaligrafi) maupun penulisan karangan atau artikel serta kegiatan lain yang bisa membantu pengembangan diri santri di masa datang baik untuk dirinya maupun untuk pesantrennya.

Di masa depan nampaknya sumberdaya yang handal sangat membantu pengembangan pesantren untuk senantiasa bisa eksis di era global tanpa harus meninggalkan nilai-nilai tradisi baik yang telah dimiliki, coba bayangkan alangkah indahnya jika ilmuwan kita nanti, para pemimpin negara kita serta pengarah kebijakan kita adalah orang-orang yang memiliki dasar pengamalan dan pengetahuan agama yang baik sementara pengamalan keagamaan di pesantren telah menjadi tradisi. Pengembangan ke arah ini tidak berarti mengesampingkan peran pesantren sebagai pencetak ulama dan tempat mengaji agama, tapi justru akan lebih mendukung semangat peran tadi dengan melahirkan ulama yang mumpuni. Dalam kesejarahannya ulama itu dituntut serba bisa mulai dari memimpin sholat sampai memimpin perang sebagaimana yang dicontohkan Rasul SAW. Mulai dari mengajarkan agama sampai mengajar berniaga dan memimpin negara. 2. Dimensi Fisik/ Sarana Prasarana Selanjutnya sebagai jawaban atas pencitraan buruk pesantren yang sering dikesankan kumuh, kedepan pesantren dituntut untuk menata bangunan fisiknya sehingga indah menawan, ini juga termasuk kegiatan dakwah, dakwah harus berpenampilan simpatik dan memiliki daya tarik, apalagi zaman sekarang, sebelum membawa anaknya ke pesantren wali santri biasanya melakukan survei terlebih dahulu. Artinya jangan sampai niatan baik masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya di pesantren terhalang karena kurangnya daya tarik penampilan fisik pesantren. Idealnya bangunan pesantren sebagaimana tempat pendidikan lainnya memiliki ruang belajar sesuai standard, baik pencahayaan maupun luas ruangannya. Selain itu harus memiliki halaman dan tempat gerak / bermain yang memadai baik halaman asrama maupun ruang belajar. Dalam daftar isian akreditasi diknas misalnya mencantumkan pertanyaan sekitar; ruang kantor, perpustakaan, laboratorium, ruang makan, dapur, asrama dan ruang belajar serta sarana olahraga.

3. Dimensi Materi dan Dimensi Metodologi Untuk materi sebagaimana telah dibahas dalam Bab II tentang metodologi dan upaya pembaruan, tergantung haluan yang mau dijadikan pijakan apakah tepe salafiyah plus madrasah atau salafiyah murni, tepe KMI Gontor atau pesantren modern sesuai konsep dan pilihan yang dianggap tepat bagi para pengelolanya. Cuma barangkali tipe manapun yang diambil pengembangan materi maupun metodologi bisa senantiasa dilakukan sejalan dengan pola-pola pengajaran yang lebih banyak dipakai atau secara variasi. Bisa saja misalkan materi "fathul kutub" dipakai sebagai cara pengenalan kitab-kitab kontemporer kepada para santri senior, bisa juga pengajaran kitab-kitab klasik dengan metode diskusi atau dengan metode pengajaran modern yakni dengan langkah-langkah misalkan penyampaian materi, pencarian kosa kata yang sulit, pembacaan tek bahan ajar serta tanya jawab sebagai variasi dari metode sorogan atau wetonan.Begitu juga sebaliknya bagi pesantren modern bisa mengenalkan kitab-kitab klasik lewat acara fathulkutub dst. Mengenai materi umum di pesantren salafiyah apakah harus dimasukkan atau tidak, yang pasti para santri nantinya akan hidup di masyarakat yang demikian kompleks, sudah barang tentu mereka harus mengenal cara-cara bermasyarakat dengan baik, hidup sehat, serta bisa menghitung. Walaupun tidak diajarkan secara rutin ilmu-ilmu

kemasyarakatan tersebut bisa disajikan dalam bentuk studium general atau penataran. Sejalan dengan kemajuan zaman dan perkembangan tehnologi, nampaknya bisa juga diajukan gagasan pesantren kejuruan, artinya kegiatan pesantren tetap sebagaimana adanya baik materi maupun metodologi, tapi ada tambahan kemahiran khusus bagi santri misalkan pertanian, dakwah, atau pendidikan, semacam jurusan di perguruan tinggi. Kalau kejuruan yang diambil pertanian, maka materi tambahannya selain mengaji adalah bertani dengan cara yang benar sesuai perkembangan ilmu pertanian, jika yag diambil adalah kejuruan dakwah, maka materi tambahannya adalah metodologi dakwah, ilmu jiwa dan sosiologi.

Demikian juga jika yang diambil jurusan pendidikan maka ada penambahan materi khusus berkenaan dengan pendidikan. Misalkan yang dirintis Drs Didin Sirajuddin M.Ag, ia mengembangkan pesantren dengan kaligrafi sebagai kejuruannya, tidak mustahil nanti ada pesantren dengan kejuruan perfilman, penyiaran, jurnalistik, tata boga, akuntansi, perikanan, peternakan dll. 4. Dimensi Teknologi Bagi pesantren, pengembangan masalah tekhnologi ini tidak berarti pada dataran pembuat, tapi lebih berupa pengenalan tekhnologi dan penggunaannya. komputer, atau Bagaiamana alat-alat cara menggunakan pembelajaran (mengoperasikan) lainnya (tehnologi

bantu

pendidikan) karena biasanya para santri selepas pesantren lebih akrab dengan dunia pembelajaran dan presentasi (ceramah dan pidato). Dewasa ini berkenaan dengan teknologi nampaknya pesantren sudah tidak asing, bahkan kreatifitas para santri relatif lebih "nakal" dalam merekayasa teknologi kecil-kecilan seperti merangkai elektronik (tape player, pembuatan pemancar gelap FM, penyambungan lampu dan merakit sound system bahkan menyediakan jasa penyewaan sound sitem) menyediakan jasa cetak undangan (sablon) serta setting komputer.

Anda mungkin juga menyukai