Anda di halaman 1dari 53

Buletin Kerja Sama Perdagangan Internasional

Pengarah
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Alamat Redaksi Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Gedung Utama Lantai 8 Jl. M.I. Ridwan Rais No.5 Jakarta Pusat Telp: (021) 23528601, Ext. 36341 Fax : (021) 23528611

Penanggung Jawab
Sekretaris Ditjen Kerja Sama Perdagangan Internasional

Koordinator
Haryono Sarpini

Penyunting
Eddy Sofyan Andi Sahman Latifah Muniri Ratih Sintya Suly

Website:
www.ditjenkpi.kemendag.go.id

Tim Redaksi
Riza Rosandy Arif Wiryawan Jerry Sobri S Theresia Sinaga

Email Redaksi:
kumlap-setkpi@kemendag.go.id

Pengutipan diizinkan dengan menyebutkan sumber

Pengantar Redaksi, Para Pembaca, Buletin Kerja Sama Perdagangan Internasional edisi ke-001 tahun 2011 ini menyajikan 6 (enam) artikel, yaitu: Artikel pertama, Special and Differential Treatment (S&DT) Untuk Negara Berkembang Dalam Ketentuan Perdagangan World Trade Organization (WTO) Bidang Pertanian. Artikel ini memaparkan uraian tentang ketentuan Special and Differential Treatment (S&DT) dalam perjanjian WTO khususnya Perjanjian Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture), perkembangan pembahasan S&DT tersebut dalam Perundingan WTO Putaran Doha, serta pentingnya S&DT bagi negara berkembang; Artikel kedua, Implementasi Perjanjian Investasi ASEAN. Artikel ini memaparkan uraian tentang investasi sebagai salah satu instrumen dalam percepatan pembangunan ekonomi ASEAN; Artikel ketiga, Arti Penting Pelaksanaan REDD+ Bagi Indonesia, Serta tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Artikel ini membahas mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD); Artikel keempat, Memanfaatkan dan Mengoptimalisasi Perundingan Indonesia EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA). Artikel ini membahas mengenai perkembangan perundingan Indonesia dan negara-negara anggota EFTA (European Free Trade Association), setelah beberapa lama sempat tertunda; Artikel kelima, Perkembangan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan Kesiapan Indonesia. Artikel ini membahas mengenai terciptanya Komunitas Ekonomi ASEAN melalui liberalisasi di perdagangan jasa; Artikel keenam, Peningkatan Pelaksanaan Perjanjian - Perjanjian ASEAN. Artikel ini membahas tentang meningkatkan pencapaian dari AEC Community dengan mendukung kegiatan-kegiatan untuk memfasilitasi arus barang, jasa, investasi, dan buruh; Akhir kata, tim redaksi menyampaikan terima kasih kepada para penyumbang artikel dan selamat membaca kepada para pecinta Buletin Kerja Sama Perdagangan Internasional. Semoga bermanfaat. Redaksi

ii

DAFTAR ISI
Halaman Redaksi.... Pengantar Redaksi .. Daftar Isi . Special and Differential Treatment (S&DT) Untuk Negara Berkembang Dalam Ketentuan Perdagangan World Trade Organization (WTO) Bidang Pertanian Implementasi Perjanjian Investasi ASEAN .. Arti Penting Pelaksanaan REDD+ Bagi Indonesia: Tantangan dan Hambatan yang akan dihadapi Memanfaatkan dan Mengoptimalisasi Perundingan Indonesia - EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) .. Perkembangan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan Kesiapan Indonesia . Peningkatan Pelaksanaan Perjanjian - Perjanjian ASEAN . i ii iii 1

13

21

27

35 45

iii

SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT (S&DT) UNTUK NEGARA BERKEMBANG DALAM KETENTUAN PERDAGANGAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BIDANG PERTANIAN
Oleh: Ranitya Kusumadewi
1

internasional juga harus memberikan manfaat kepada pembangunan ekonomi negara berkembang dan Least Developed Countries (LDCs). Sebagai bagian dari komitmen, seluruh perjanjian-perjanjian WTO mengandung beberapa ketentuan yang memberikan suatu hak khusus kepada negara berkembang serta mewajibkan negara maju untuk memperlakukan negara berkembang secara lebih ringan dibandingkan negara anggota WTO lainnya. Perlakuan khusus yang diberikan kepada negara berkembang ini dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment (S&DT). Prinsip S&DT ini dilatarbelakangi oleh kondisi negara berkembang yang masih rentan baik dalam situasi perekonomian maupun sosialnya sehingga seringkali tidak dapat mengambil manfaat penuh atas perkembangan perdagangan global yang pesat, bahkan terkena dampak negatif atas persaingan pasar yang semakin tinggi. Oleh karenanya, prinsip S&DT diterapkan agar peraturan perdagangan internasional dapat mengadaptasi situasi ekonomi, memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan negara berkembang negara berkembang dan LDCs agar dapat berpartisipasi secara lebih aktif dalam perdagangan global. Terdapat dua bentuk utama S&DT: Pertama, terkait komitmen akses pasar, S&DT memberikan non1

A. LATAR BELAKANG S&DT adalah ketentuan-ketentuan perlakuan khusus yang diberikan kepada negara berkembang dalam berbagai elemen perjanjian WTO yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta negara berkembang dalam perdagangan global dan mendorong pembangunan. Perkembangan mengenai isu S&DT ini perlu dicermati Indonesia sebagai negara berkembang yang dapat memperoleh hak-hak istimewa tersebut guna mengamankan kepentingan nasional. Dalam pembukaan Agreement on Establishing the WTO hasil perundingan Putaran Uruguay disebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan WTO. Dijelaskan pula bahwa perdagangan

Ranitya Kusumadewi adalah Kepala Seksi Non Tarif Produk Pertanian pada Direktorat Kerja Sama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Isi artikel sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak dapat dianggap sebagai representasi atau pandangan resmi dari Ditjen KPI, maupun Kementerian Perdagangan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

reciprocal trade preferences yang memberikan preferensi akses pasar kepada negara berkembang. Negara berkembang diberikan kewajiban yang lebih ringan dan berbeda dalam membuka akses pasarnya dengan periode implementasi yang lebih lama. Kedua, terkait aturan dan disiplin perdagangan, berarti negara berkembang dapat dikecualikan atau diberikan kewajiban yang lebih ringan atas penerapan suatu aturan perdagangan multilateral. Namun di samping kedua hal tersebut, pemberian bantuan teknis dan finansial kepada negara berkembang juga merupakan bentuk S&DT yang difasilitasi dalam WTO. Beberapa ketentuan yang termasuk dalam S&DT untuk negara berkembang adalah: 1. Periode implementasi perjanjian dan komitmen yang lebih lama; 2. Ketentuan-ketentuan atau instrumen untuk meningkatkan kesempatan perdagangan untuk negara berkembang; 3. Ketentuan untuk seluruh anggota WTO untuk melindungi kepentingan perdagangan negara berkembang; 4. Bantuan teknis untuk membangun infrastruktur terkait implementasi peraturan WTO, menghadapi sengketa, dan menerapkan standar teknis; dan

5. Ketentuan yang terkait anggota Least-Developed country (LDC). S&DT dalam Agriculture WTO Agreement on

Ketentuan S&DT ini terdapat di hampir seluruh perjanjian WTO termasuk dalam Agreement on Agriculture (AoA) yaitu perjanjian WTO untuk produk pertanian. Pertanian merupakan sektor utama bagi negara berkembang di mana pembangunan sangat bergantung pada sektor ini. Dengan demikian, S&DT dalam sektor pertanian dipandang sangat penting dan sensitif bagi negara berkembang. AoA yang saat ini berlaku memberikan sejumlah ketentuan S&DT kepada negara berkembang melalui berbagai cara. Misalnya mempunyai persentase pengurangan tarif, subsidi domestik (domestic support), dan subsidi ekspor yang lebih rendah dengan periode implementasi yang lebih lama. Fleksibilitas yang lebih besar juga diberikan untuk memperbolehkan negara berkembang menggunakan intrumen kebijakan tertentu seperti subsidi investasi, subsidi dengan tujuan dasar pembangunan, dan subsidi ekspor. Di samping itu, terdapat ketentuan khusus untuk negara berkembang yang net food importing dan LDCs sebagaimana diatur dalam Decision on Measures Concerning the Possible Negative Effects of the Reform Programme on

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Least-Developed and Net FoodImporting Developing Countries. Berbagai ketentuan S&DT dalam Agreement on Agriculture diantaranya adalah: 1. Ketentuan yang memperbolehkan fleksibilitas bagi negara berkembang untuk menggunakan instrumen kebijakan ekonomi dan perdagangannya: Subsidi investasi yang secara umum diberikan pada sektor pertanian serta subsidi input pertanian yang secara umum diberikan kepada produsen berpenghasilan rendah atau resourced poor guna mendorong pembangunan dikecualikan dari komitmen pengurangan subsidi domestik (domestic support); Persentase de minimis dari Aggregate Measurement of 3 Support (AMS) dalam subsidi domestik yang tidak memerlukan pengurangan adalah 10% bila dibandingkan 5% untuk anggota negara maju; Ketentuan untuk mengurangi budgetary outlays untuk
2

subsidi ekspor dan jumlah yang diuntungkan dari subsidi tersebut adalah 24% dan 14% masing-masing, bila dibandingkan dengan ketentuan untuk negara maju yang harus mengurangi masing-masing 36% dan 21%. Selama periode implementasi, tidak ada komitmen pengurangan yang harus dilakukan terkait subsidi pemasaran dan pengiriman barang serta subsidi transport internal untuk pengiriman ekspor. Ketentuan penjualan foodstuff dengan harga subsidi dengan tujuan memenuhi kebutuhan makanan rakyat miskin di negara berkembang tidak dianggap sebagai domestic support yang menjadi subjek pengurangan komitmen. 2. Ketentuan yang memperbolehkan periode transisi yang lebih lama untuk negara berkembang: AoA memberikan negara berkembang fleksibilitas untuk mengimplementasikan komitmen pengurangan selama periode 10 tahun, sementara untuk negara maju 6 tahun. Negara LDCs tidak diwajibkan melakukan komitmen pengurangan.

De Minimis adalah jumlah maksimum pemberian subsidi yang dikategorikan sebagai AMS. Jumlah ini dikecualikan dari komitmen pemotongan. 3 AMS adalah jumlah subsidi pertanian baik products specific maupun non product specific yang wajib terkena pemotongan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

B. PERKEMBANGAN Banyak negara berkembang yang berpandangan bahwa fleksibilitas yang ada dalam AoA kurang memadai untuk mendukung program pembangunan. Bahkan dalam implementasinya, terdapat beberapa kebebasan yang dulu dimiliki negara berkembang kini dibatasi oleh komitmen yang ada. Negara berkembang berpandangan bahwa mereka harus tetap diberikan wewenang untuk memproteksi dan membantu produksi pangan domestik demi kepentingan ketahanan pangan (food security), jaminan penghidupan (livelihood security), dan pembangunan pedesaan (rural development); serta melindungi produsen dan konsumen dari harga dunia yang berfluktuasi, dan ancaman lonjakan impor. Di samping itu, negara berkembang juga banyak yang menganggap adanya ketidakseimbangan dalam perjanjian yang sekarang di mana disiplin yang diterapkan untuk negara berkembang dirasa lebih ketat daripada yang diterapkan untuk negara maju. Sebagai contoh, dalam pelaksanaannya, negara maju dapat memberikan subsidi yang mendistorsi pasar lebih besar dari tingkat de minimis, sementara negara berkembang justru terbatasi oleh adanya tingkat de minimis tersebut. Negara berkembang juga memiliki kesulitan menerapkan Special Safeguard (SSG) karena prosedurnya yang sulit dilakukan oleh negara berkembang 4

sementara memungkinkan dilakukan negara maju. Ketidakseimbangan yang dirasakan negara berkembang, inilah yang menuntut agar perundingan WTO Putaran Doha membawa perubahan ke arah yang lebih baik yang dapat memfasilitasi pembangunan negara berkembang sesuai tujuan dari WTO. Dalam perundingan WTO Putaran Doha, para anggota WTO menyepakati bahwa S&DT harus tetap menjadi bagian integral dari seluruh elemen negosiasi pertanian sebagaimana tertuang dalam Doha Declaration hasil Pertemuan Tingkat Menteri WTO ke-4 di Doha. Dalam Deklarasi Doha tersebut juga telah dimandatkan bahwa Committee on Trade and Development (CTD) akan melakuan evaluasi secara khusus mengenai ketentuan-ketentuan S&DT secara keseluruhan. Secara lebih khusus, pembahasan mengenai S&DT terkait Putaran Doha dilakukan 4 dalam format Special Session . Dalam perkembangan perundingan Putaran Doha bidang pertanian, S&DT menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembahasan masing-masing pilar akses pasar, domestic support, dan export competition. Hal ini dimaksudkan agar reformasi peraturan perdagangan internasional bidang
4

Special Session adalah forum pelaksanaan negosiasi dari suatu komite tertentu, yang memiliki kegiatan di luar kegiatan reguler komite.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

pertanian menghasilkan kebijakan yang tidak mendorong kelanjutan dari distorsi perdagangan khususnya yang dilakukan negara maju serta untuk mendorong kebijakan yang fleksibel guna mendorong pertumbuhan dan pembangunan negara berkembang. Fleksibilitas yang lebih tinggi dalam penggunaan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian secara menyeluruh bagi negara berkembang dirasa sangat penting mengingat bahwa sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam transformasi ekonomi negara berkembang. Dengan adanya fleksibilitas tersebut, negara berkembang dapat mengambil manfaat ekonomi dan sosial dari perdagangan global yang diperlukan dalam pembangunan pertanian dan negaranya. Dengan demikian, keberhasilan Putaran Doha sangat bergantung pada bagaimana outcome kesepakatan S&DT untuk negara berkembang yang tertuang dalam setiap elemen modalitas. Berikut adalah beberapa elemen modalitas S&DT untuk negara berkembang yang sedang dinegosiasikan dalam Perundingan WTO Putaran Doha bidang pertanian berdasarkan masing-masing pilar. 1. Market Access Pengurangan tarif yang lebih kecil dengan implementasi periode yang lebih lama.

Pengurangan bound tariff yang signifikan memiliki risiko untuk negara berkembang sebab negara berkembang relatif lebih rentan dalam sektor pertanian serta memiliki keterbatasan kemampuan finansial untuk menggunakan safeguard atau instrumen kebijakan lainnya untuk menanggulangi efek external shock apabila tarif diturunkan. Sebagian besar negara berkembang banyak yang bergantung pada kebijakan di perbatasan seperti tarif untuk menjaga food security dan rural development, sehingga dengan adanya S&DT tersebut diharapkan masih ada jarak yang memadai antara bound tariff dengan applied tariff untuk negara berkembang. Modalitas yang kini tertuang adalah negara maju diwajibkan melakukan ratarata pemotongan tarif minimum 54% selama 5 tahun, sementara negara berkembang diwajibkan melakukan rata-rata pemotongan tarif maksimum 36% selama 10 tahun. Fleksibilitas untuk memilih sejumlah produk sebagai Special Products (SP) yang penting bagi food security, livelihood security, dan rural development. 5

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Negara berkembang diberikan hak untuk memilih sejumlah produk pertanian yang dianggap penting bagi mereka sebagai Special Products. Pemilihan produk-produk tersebut akan berdasarkan kriteria-kriteria yang berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Perlakuan bagi SP adalah pengurangan tarif yang lebih ringan, bahkan untuk beberapa produk SP, negara berkembang dapat menerapkan zero cut yaitu tidak ada pemotongan tarif. Pemberlakuan Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara berkembang. Peraturan safeguard yang saat ini berlaku sangat sulit atau tidak dapat diterapkan oleh negara berkembang, baik dari segi waktu, teknis, maupun biayanya. Saat ini sedang diusulkan suatu mekanisme safeguard baru yang lebih mudah diterapkan negara berkembang yang disebut Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM dapat diterapkan untuk produk pertanian negara berkembang yang mengalami kerugian atas lonjakan impor atau terdepresinya harga. Perlunya memperhatikan preference erosion.

Preferences secara umum memiliki dampak positif bagi pembangunan negara yang menerimanya. Dalam perundingan Doha, kemungkinan terhapusnya/tererosinya preference akibat pemotongan tarif yang menyeluruh perlu diperhatikan dan diatur pelaksanaannya sehingga dapat meminimalisir kerugian negara berkembang yang semula memiliki preferensi tersebut. Salah satu isu yang dibahas dalam agenda ini adalah pemberian bantuan teknis, termasuk tambahan bantuan dana dan capacity building untuk menghadapi penyesuaian tersebut. 2. Domestic Domestik) Support (Subsidi

Pengurangan yang lebih kecil subsidi yang mendistorsi pasar dengan periode implementasi yang lebih lama. Negara berkembang hanya diwajibkan mengurangi subsidi yang mendistorsi pasar yaitu Overall Trade distorting 5 Domestic Support (OTDS) sebesar 2/3 dari kewajiban negara maju dengan periode
5

OTDS adalah subsidi yang mendistorsi pasar dan menjadi subjek komitmen pemotongan subsidi di bawah perundingan Doha. OTDS merupakan penjumlahan dari Total AMS, 10% Value of Production, dan subsidi blue box.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

implementasi 5 tahun untuk negara maju dan 8 tahun untuk negara berkembang. Tetap berlakunya Artikel 6.2 Agreement on Agriculture (AoA) untuk negara berkembang. Artikel 6.2 AoA menyebutkan bahwa subsidi investasi dan subsidi input yang diberikan kepada lowincome atau resource-poor producers di negara berkembang dikecualikan dari komitmen pengurangan subsidi. De minimis support untuk negara berkembang adalah 20% dari Value of Production (VoP), sementara negara maju adalah 10%. Dalam perundingan ini juga diperjuangkan agar de minimis untuk negara berkembang tidak berada di bawah angka 20% yang saat ini berlaku. 3. Export Competition Dalam Deklarasi Doha serta Hong Kong Ministerial Declaration, telah disepakati bahwa segala bentuk subsidi ekspor harus dihapuskan. Subsidi ekspor tersebut harus dihapuskan pada tahun 2013 untuk negara maju, sementara negara berkembang diberikan waktu yang berbeda yaitu pada tahun 2016.

Pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang dalam Artikel 9.4 Agreement on Agriculture tetap dipertahankan. Artikel 9.4 Agreement on Agriculture menyebutkan bahwa negara berkembang tidak dikenakan kewajiban pengurangan untuk beberapa bentuk subsidi ekspor yang terkait subsidi pemasaran (marketing), pengiriman/transportasi internasional barang, dan subsidi transport internal untuk pengiriman ekspor. Perlakuan khusus untuk State Trading Enterprises (STEs) di negara berkembang di mana STE negara berkembang yang memiliki kegiatan menjaga stabilitas harga dan menjamin food security diperbolehkan menggunakan monopoli ekspor, sementara negara maju harus menghapuskan monopoli tersebut pada tahun 2013. Hal ini dimaksudkan agar STE dapat berkontribusi terhadap transformasi pertaniannya. Pemberian perlakuan yang berbeda untuk negara berkembang dalam disiplin export credit seperti penerapan yang lebih ringan dalam hal pengurangan maximum repayment terms.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Pembahasan mengenai S&DT dalam perundingan bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun dalam perundingan S&DT sudah tertuang dalam berbagai elemen modalitas, S&DT mendapatkan banyak tantangan dan perdebatan dari negara anggota lainnya terutama negara maju. Pertama, S&DT berlaku untuk seluruh negara berkembang yang sifatnya heterogen di mana kemampuan ekonomi serta daya saingnya bisa berbeda-beda. Hal ini menyebabkan konsep tersebut menjadi kurang berarti dalam praktiknya. Terlebih lagi, untuk menjadi negara berkembang hanyalah merupakan selfdeclaration. Sehingga perlakuan khusus ini dapat diberikan kepada negara manapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara berkembang. Sebagai contoh, Singapura dan Korea Selatan yang memiliki kemampuan ekonomi dan daya saing yang baik tetap dianggap sebagai negara berkembang dan akan menerima S&DT tersebut bersama-sama negara-negara yang sangat miskin seperti Benin dan Malawi. Kedua, S&DT dianggap merupakan bentuk hambatan dari proses liberalisasi dan globalisasi yang juga menjadi spirit dari WTO. Ketiga, S&DT justru dapat menyebabkan negara berkembang tidak efisien dan kurang dapat mengadaptasi dengan daya saing dunia akibat preferensi-preferensi yang diterimanya. Keempat, S&DT

akan menyebabkan distorsi perdagangan terutama dengan adanya kelanjutan pemberian subsidi. Meskipun mendapatkan berbagai tantangan, negara-negara berkembang terus memperjuangkan S&DT. Perjuangan negara berkembang tersebut juga banyak dilakukan dalam bentuk koalisikoalisi. Beberapa koalisi negara berkembang dalam bidang Pertanian yang memperjuangkan S&DT di antaranya adalah African, Caribbean and Pacific (ACP) yaitu negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik yang memiliki preferensi dari Uni Eropa; Tropical Products Group yaitu negara berkembang yang mencari akses pasar yang lebih besar untuk produkproduk tropis; G20 yaitu kelompok negara berkembang yang menuntut perubahan yang ambisius di pertanian negara maju dengan fleksibilitas untuk negara berkembang; dan G33 yaitu kelompok negara berkembang yang memperjuangkan Special Products (SP) dan Special safeguard Mechanism (SSM). Indonesia sendiri tergabung dalam kelompokkelompok G33 dan G20. Dalam memperjuangkan kepentingan pertanian Indonesia, Indonesia selalu berperan aktif dalam memperjuangkan S&DT. Menteri Perdagangan menyerukan bahwa Special and Differential Treatment bukanlah tujuan akhir, namun merupakan instrumen untuk

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

mencapai pembangunan tersebut . Salah satu bentuk perjuangan Indonesia yang paling utama adalah Indonesia menjadi pelopor dan koordinator Kelompok G-33 yang bersama-sama dengan 45 negara berkembang lainnya memperjuangkan konsep Special Products (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). SP dan SSM dianggap instrumen yang penting bagi negara berkembang untuk menjamin food security, livelihood security, dan rural development yang diperlukan bagi pembangunan. Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya menghendaki agar pembangunan menjadi bagian integral dari hasil Perundingan Doha dan salah satu cara mencapai pembangunan ini adalah melalui pemberian S&DT bagi Negara berkembang. Meski kedua konsep tersebut mendapatkan banyak tantangan, namun secara prinsip konsep tersebut dapat diterima oleh negara anggota lainnya. C. TINDAK LANJUT S&DT bagi Indonesia sangat bermanfaat apabila dapat digunakan secara maksimal. S&DT bukanlah sebagai instrumen perdagangan yang dapat mendistorsi perdagangan, namun dipandang sebagai instrumen yang dapat mendukung
6

pembangunan. S&DT harus dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong program-program pembangunan pemerintah seperti halnya Swasembada Pangan sehingga kondisi inilah yang akan menjadi kekuatan Indonesia pada akhirnya dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin besar. Sebagai contoh pemanfaatan S&DT yang berlaku saat ini (sesuai dengan AoA) adalah Indonesia masih diberikan fleksibilitas untuk memberikan subsidi di bawah Artikel 6.2 AoA. Hal ini mencakup subsidi input yang diberikan kepada petanipetani yang miskin sehingga dapat mendorong produktivitas dan pada akhirnya dapat mendukung program Swasembada Pangan tersebut. Mengingat saat ini sektor pertanian Indonesia masih didominasi oleh petani-petani kecil, S&DT masih diperlukan untuk menghindari efek negatif dari masuknya produk impor akibat semakin terbukanya akses pasar serta untuk mendorong kelanjutan dari program pembangunan pemerintah yang masih belum tercapai di beberapa area. Untuk itulah, S&DT masih terus diperjuangkan dalam perundingan WTO Putaran Doha. Dalam memperjuangkan S&DT, isu SP dan SSM tetap menjadi fokus utama Indonesia bersama dengan Kelompok G-33 dalam memperjuangkan food security, livelihood security, dan rural development. Meskipun pada dasarnya kedua konsep tersebut 9

Pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 26-30 Januari 2011.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

sudah diterima negara-negara anggota, tantangan yang kini dihadapi adalah bagaimana menuangkan prosedur serta disiplindisiplin penerapan kedua instrumen tersebut sehingga dapat efektif diterapkan negara berkembang. Indonesia akan terus memperjuangkan kedua konsep tersebut sehingga dapat menjadi instrumen yang dapat melindungi pertanian Indonesia di tengah pesatnya perkembangan perdagangan global. Dalam perundingan, Indonesia akan selalu mengedepankan sikap aktif dan konstruktif dalam mendorong kemajuan perundingan. Indonesia baik selaku suatu negara maupun koordinator Kelompok G-33 akan terus berperan aktif dalam berbagai forum persidangan dengan memberikan masukan-masukan substantif guna memperjuangkan S&DT dan majunya perundingan. S&DT juga harus dapat dimanfaatkan guna mengamankan kepentingan nasional baik dari sisi ofensif maupun defensif. Sisi ofensif melibatkan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor Indonesia melalui perjuangan akses pasar untuk produk-produk Indonesia, sedangkan sisi defensif melibatkan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka mengamankan produk-produk Indonesia dari hambatan perdagangan yang bertentangan dengan

prinsip-prinsip adil.

perdagangan

yang

Dalam menyusun posisi serta strategi perundingan Indonesia, Indonesia selalu melakukan koordinasi antar instansi pemerintah serta dengan melibatkan pihak swasta agar semua pemangku kepentingan memiliki satu pandangan dalam menggambarkan kepentingan Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2005 tentang Pembentukan Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional, dibentuk Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional yang selanjutnya disebut dengan Tim Nasional PPI sebagai pihak yang berkoordinasi menyusun posisi runding Indonesia dalam perundingan perdagangan internasional termasuk perundingan WTO. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 49/MDAG/KEP/3/2006 tentang Pembentukan Kelompok Perunding Perdagangan Internasional dan Sekretariat Tim Nasional untuk Perdagangan Internasional, telah dibentuk Tim Kelompok Perunding yang berada di bawah Timnas PPI yang memiliki tugas melakukan perundingan, mengamankan dan memperjuangkan posisi dan strategi suatu perundingan perdagangan internasional berdasarkan kepentingan pembangunan nasional. Dalam menghadapi perkembangan perundingan, Timnas PPI akan terus melakukan koordinasi untuk membahas hasil-hasil perundingan 10 Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

yang telah dilaksanakan dan mengaitkannya dengan kepentingan Indonesia, menyusun posisi Indonesia sesuai subjek yang dirundingkan dengan memperhatikan kepentingan nasional, serta menyusun strategi perundingan sesuai dengan kepentingan nasional dalam menghadapi mitra runding Indonesia. Di samping itu, Indonesia juga dapat berperan aktif dalam memberikan masukan substantif atas review S&DT yang dilakukan Committee on Trade and Development (CTD). S&DT dalam WTO tetap dipandang sebagai instrumen yang dapat membantu pembangunan negara berkembang untuk mengadaptasikan perubahan perdagangan global yang semakin pesat sehingga dapat pula meningkatkan peran serta negara berkembang dalam perdagangan global. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak yang mempertanyakan efektivitas pelaksanaan S&DT tersebut. Sesuai Deklarasi Doha, seluruh negara anggota sepakat bahwa ketentuan S&DT harus di-review dengan maksud memperkuat pelaksanaannya dan membuatnya menjadi efektif dan operasional. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa Committee on Trade and Development diberi mandat untuk melakukan identifikasi terkait ketentuan S&DT. CTD juga diminta melihat cara agar negara berkembang, terutama LDCs dapat Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

dibantu untuk menggunakan S&DT sebaik mungkin. Terkait hal ini, Indonesia dapat berperan aktif memantau pelaksanaan S&DT dan memberikan masukan-masukan khususnya bagaimana kontribusi S&DT terhadap pembangunan negara berkembang. Saat ini Ketua CTD adalah Duta Besar RI untuk WTO, sehingga seyogyanya hal ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara berbagai reformasi perdagangan masih dirundingkan, Indonesia masih dapat menggunakan S&DT yang kini tertuang dalam Agreement on Agriculture seefektif mungkin untuk mendorong pembangunan. D. PENUTUP Bagi negara berkembang, hasil yang memuaskan dalam isu-isu Special and Differential Treatment merupakan inti dari penilaian suksesnya negosiasi Doha dan WTO sebagai institusi yang mendukung pembangunan. Meskipun bentukbentuk S&DT telah lama diterapkan bahkan sejak GATT (General Agreement on Tariff and Trade), namun dalam praktiknya ketentuanketentuan mengenai S&DT belum dapat memfasilitasi negara berkembang secara efektif dalam menghindari efek negatif perkembangan perdagangan yang pesat dan mendukung pembangunan. Sehingga perundingan WTO Putaran Doha yang telah berlangsung sejak

11

tahun 2001 diharapkan dapat menghasilkan instrumen-instrumen S&DT yang lebih efektif bagi negara berkembang. Walaupun mendapatkan banyak tantangan, perjuangan tersebut terus dilakukan negara berkembang khususnya di bidang pertanian yang merupakan sektor utama negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada sektor pertanian yang selama ini selalu berperan aktif dalam memperjuangkan S&DT guna mendorong pembangunan pertanian Indonesia. Terkait dengan pembahasan diatas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian di antaranya adalah: Indonesia perlu memperjuangkan instrumen-instrumen S&DT yang dapat secara efektif diterapkan negara berkembang. Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan elemen-elemen modalitas perundingan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Indonesia; Kegiatan monitoring dan review atas pelaksanaan S&DT perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga dapat terlihat bagaimana efektivitas pelaksanaan S&DT; Dalam mengantisipasi perkembangan perdagangan global yang lebih pesat di masa yang akan datang, seyogyanya Indonesia juga harus dapat

membangun dan mempersiapkan diri menghadapi tingginya persaingan global serta mengantisipasi jika S&DT tersebut suatu saat akan menurun atau hilang; Dalam implementasinya, instrumen-instrumen S&DT ini sebaiknya dapat terus diperhitungkan dalam setiap kebijakan pemerintah sehingga dapat tercipta program dan rencana pemerintah yang bersinergi; Indonesia harus memperhatikan bagaimana S&DT ini dapat mempengaruhi perdagangan Indonesia dengan negara berkembang lainnya. Referensi: Agreement on Agriculture, The Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, 1995; FAO, Special and differential treatment in agriculture, Trade Policy Brief No. 10, 2006; Matthews, A., Special and Differential Treatment in the WTO Agricultural Negotiations, 2005; Revised Draft Modalities for Agriculture, Dokumen TN/AG/W/4/Rev.4, 6 Desember 2008.

12

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

IMPLEMENTASI PERJANJIAN INVESTASI ASEAN Oleh: Lazuardi Nasution A. LATAR BELAKANG Negara-negara ASEAN sepakat menempatkan investasi sebagai salah satu instrumen dalam percepatan pembangunan ekonomi ASEAN, seiring dengan upaya untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN (AEC) pada tahun 2015. Selain potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia yang cukup berlimpah di ASEAN, iklim investasi yang kondusif sangat berpengaruh terhadap daya tarik masuknya penanam modal asing ke ASEAN. Salah satu upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif tersebut adalah dengan mencanangkan arus investasi yang terbuka, transparan, dan memiliki standar peraturan yang jelas dan berlaku secara regional di ASEAN. Dengan demikian, pertumbuhan tingkat investasi baik itu yang berasal dari internal (negara-negara ASEAN) maupun eksternal (negara bukan ASEAN) dapat terus meningkat dan berimbas pada tingkat kesejahteraan masyarakat ASEAN itu sendiri.
1

Non Discriminatory Principle, adalah salah satu prinsip yang dirumuskan dalam GATT-WTO dengan tujuan memberikan kesetaraan hak dalam aktivitas perdagangan internasional. Seiring dengan perkembangannya, prinsip tersebut diterapkan pula dalam aktivitas penanaman modal yang melewati batas-batas negara. Prinsip Non Discriminatory tersebut kemudian berkembang menjadi dua prinsip utama, yaitu: 1. The Most Favoured Nation Principle (MFN); merupakan prinsip kesetaraan, yaitu adanya perlakuan yang sama terhadap semua Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke wilayah negara tertentu, baik yang berkaitan dengan perjanjian bilateral dan multilateral yang dituangkan dalam undang undang PMA. 2. National Treatment Principle (NTP); yaitu tentang perlakuan yang sama oleh host country terhadap PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). PMA yang masuk ke suatu negara tertentu mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan NTP. Dalam hal ini PMA tersebut harus berdiri dan tunduk pada hukum yang berlaku di host country. Terkait dengan AEC 2015, diharapkan bahwa kawasan ASEAN merupakan ladang investasi potensial sebagai bagian komunitas ekonomi dunia yang terintegrasi dan memiliki daya kompetisi yang baik. 13

Lazuardi Nasution adalah Kepala Seksi Investasi pada Direktorat Kerja Sama ASEAN, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan. Isi artikel sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak dapat dianggap sebagai representasi atau pandangan resmi dari Ditjen KPI, maupun Kementerian Perdagangan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Sebagai langkah nyata menuju terciptanya kawasan tujuan investasi dunia yang dapat berkompetisi secara baik, telah disepakati suatu perjanjian dengan nama ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA). Perjanjian tersebut ditandatangani oleh para Menteri Ekonomi ASEAN pada tanggal 26 Februari 2009 dalam rangkaian pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-14 di Hua Hin, Thailand. ACIA adalah perjanjian yang menggabungkan dua perjanjian investasi ASEAN, yaitu ASEAN Investment Guarantee Agreement (ASEAN-IGA) yang mengatur aspek perlindungan dan promosi penanaman modal serta Framework Agreement on ASEAN Investment Area (AIA) yang mengatur aspek perlindungan, promosi, dan fasilitasi penanaman modal.

B. PERKEMBANGAN Berdasarkan tabel, dapat digambarkan secara umum bahwa tahun 2008 ASEAN menempati urutan kedua sebagai kawasan tujuan Foreign Direct Invesment (FDI). Peningkatan signifikan dapat dilihat sejak tahun 1998 sebelum terimbas krisis pada tahun 2009. Pada tahun 2009, EU25 dan Jepang menduduki posisi kedua teratas diikuti oleh ASEAN dan USA.

Untuk menghadapi meningkatnya persaingan memperebutkan FDI, ASEAN terus berupaya untuk menciptakan sebuah lingkungan yang lebih menarik bagi masuknya investasi. Negara-negara anggota telah berkomitmen untuk bergerak ke arah iklim investasi yang lebih liberal dan transparan, dengan tujuan untuk meningkatkan arus investasi dan menarik investor lebih banyak ke kawasan ini. US$ million Arus Pemasukan Penanaman Modal Asing ke ASEAN 1998 2,728 3,712 2000 762 7,293 2003 2006 2007 2008 2009 4,428 3,357 7,297 5,308 2,702 Reservation 7,596 9,409 List 10,913 1,495 3,419 6,346 3,380 6,679 10,672 18,384 13,118 3,908 10,230 187 550 157 88 102 1,016 1,254 303 -198 -448 8,382 1,227 3,125 1,040 120 535 7,233

Source ASEAN USA EU25 Japan China Korea Australia New Zealand India

5,553 13,469 3,944 290 91 -302 25 93 503 -133 -42 -303 43 80

1,496 1,509 1,412 991 112 430 1,421 700 239 983

14

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Dalam rangka memenuhi komitmen negara anggota ASEAN di bidang investasi guna menciptakan lingkungan investasi ASEAN yang lebih liberal dan transparan maka khusus untuk investasi dilakukan pembahasan di tingkat working group pada pertemuan ASEAN Coordinating Committee on Investment (CCI), di mana hasil pertemuan tersebut akan dilaporkan kepada ASEAN Senior Official Meeting (SEOM). Perkembangan terakhir dari implementasi AEC Blueprint mengenai arus bebas investasi yang diatur dalam ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA), pada pertemuan ASEAN CCI Meeting ke-51, tanggal 2-3 Desember 2010, secara garis besar dilaporkan bahwa ACIA reservation list Indonesia telah diselesaikan secara inter-sessionally pada bulan Oktober 2010, dan selanjutnya masih menunggu proses untuk mendapatkan endorsement dari AIA Council Ministers. Namun karena satu dan lain hal Indonesia menunda pengesahan Reservation List dan ratifikasi ACIA karena baru diterbitkannya Undang-Undang baru mengenai Holtikultura. Selanjutnya, guna mengamankan sensitivitasnya terhadap arus bebas investasi, negara anggota ASEAN sepakat mengidentifikasi dan menetapkan daftar reservasinya (reservation list) masing-masing dengan mengacu pada Temporary Exclusion List (TEL) dan Sensitive List (SL) yang disepakati dalam Framework AgreeBuletin KPI Edisi 001/KPI/2011 15

ment on AIA. Dengan adanya reservation list ini, maka masingmasing negara anggota ASEAN dapat melakukan reservasi terhadap ketentuan-ketentuan (measures) domestik terkait penanaman modal, yang tidak sesuai (inconsistent) dengan Artikel 5 (National Treatment) dan Artikel 8 (Senior Management and Board of Directors). Reservation List di dalam ACIA mencakup 5 (lima) sektor yaitu: manufacturing, agriculture, fishery, forestry, mining and quarrying, serta sektor jasa yang terkait dengan 5 (lima) sektor di atas (yaitu services incidental to manufacturing, services incidental to agriculture, services incidental to fishery, services incidental to mining and quarrying). Kebijakan Indonesia dalam mengatur daftar usaha yang tertutup dan terbuka bersyarat bagi penanaman modal asing (DNI) sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 77 Tahun 2007, diharapkan menjadi acuan utama dalam menyusun Reservation List Indonesia di ASEAN. Namun mengingat sangat detailnya daftar usaha yang diatur dan yang tertutup serta adanya ketentuan dalam Pasal 3 Perpres (tentang DNI) tersebut yang menyatakan bahwa daftar bidang usaha tersebut berlaku selama 3 tahun dan dapat berubah apabila diperlukan, Indonesia memutuskan untuk tidak menggunakannya sebagai acuan. Indonesia menyusun draft Reservation List dalam format yang sangat umum (broad carve out) dengan meng-

gunakan basis klasifikasi Internasional Standard Clasification Industrial Classification (ISIC) atau disebut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia pada tingkatan 4 digit dan tidak melakukan klasifikasi bidang usaha sesuai syarat/restriksi berdasarkan DNI, khususnya bagi sektor yang telah disebut di atas. Dengan demikian, Indonesia masih memiliki ruang gerak (policy space) dalam komitmen ASEAN maupun forum internasional lainnya, apabila Daftar Bidang Usaha sebagaimana terdapat dalam DNI tersebut mengalami perubahan ke arah yang lebih restriktif di masa mendatang. Modalitas penghapusan/pembatasan hambatan investasi merupakan tahapan yang harus dilalui oleh negara anggota ASEAN, dalam upaya menghapuskan atau mengurangi batasan investasi ASEAN sesuai dengan komitmen time frame yang terdapat pada AEC Blueprint. Negara Anggota ASEAN telah memutuskan untuk menggunakan modlitas self selection dalam menghapuskan atau mengurangi batasan investasi di ASEAN. Self selection memiliki arti bahwa pengurangan/Penghapusan hambatan tergantung dari tingkat kesiapan sektor/subsektor negara anggota ASEAN yang akan diliberalkan. ASEAN telah menyelesaikan modalitas penghapusan/ pembatasan hambatan investasi yang telah di bahas dan disahkan pada pertemuan ASEAN CCI Meeting ke-52, pada 16

tanggal 8-10 Februari 2011. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa modalitas penghapusan/pembatasan hambatan investasi terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu: (a) Tahapan Penghapusan sebagaimana telah diatur dalam AEC Blueprint dan (b) Komponen draft modalitas penghapusan/pengurang-an hambatan investasi yang dibagi ke dalam 3 komponen, yaitu: Komponen 1: Reservation list yang tidak masuk ke dalam penghapusan/pengurangan hambatan, antara lain terkait dengan kepemilikan lahan atau tempat, dan ketentuan WTO (batasan investasi, pengecualian umum, pengecualian keamanan, dan aturan Konstitusi); Komponen 2: Komponen yang masuk ke dalam penghapusan atau pengurangan pada setiap tahap penghapusan yang telah diatur sesuai AEC Blueprint; Komponen 3: komponen yang terakhir adalah CCI Peer Review sebagai mekanisme untuk memantau kepatuhan negara anggota dalam memenuhi penghapusan/pembatasan hambatan investasi sesuai dengan AEC Blueprint. Ketiga komponen tersebut di atas akan dipergunakan sebagai modalitas penghapusan/pembatasan hambatan investasi seluruh negara anggota di ASEAN setelah disahkan oleh Menteri Ekonomi ASEAN pada Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

pertemuan AEM Retreat pada bulan Februari 2011. Untuk mempercepat terciptanya iklim investasi yang kondusif, maka diperlukan adanya langkah kebijakan strategis yang dapat mempercepat terciptanya iklim investasi yang kondusif di Indonesia, terutama untuk mempersiapkan berlakunya modalitas penghapusan/pembatasan hambatan investasi bagi seluruh negara anggota ASEAN. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya kajian ulang dan/atau desain ulang konsep kelembagaan pelayanan investasi sinkronisasi peraturan perundangundangan, khususnya antara Peraturan Daerah dengan peraturan di tingkat pusat, revitalisasi sistem kepabeanan, perpajakan dan ketenagakerjaan yang harus disesuaikan dengan hasil perundingan di ASEAN. Berbagai pusat pertumbuhan atau pusat investasi telah dibangun di Indonesia untuk mendorong pertumbuhan sektor ekonomi, seperti meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan mengurangi kemiskinan. Dalam praktiknya, banyak sekali ditemukan persoalan yang menghambat tumbuhnya investasi secara progresif. Persoalan tersebut antara lain adalah faktor perizinan dan birokrasi yg terlalu bertele-tele, pungutan formal dan pungutan informal yang saling tumpang tindih, serta pelayanan yang berakibat pada lemahnya kinerja investasi. Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

C. TINDAK LANJUT Sebagai langkah konkret selanjutnya untuk menuju kawasan ASEAN sebagai tujuan investasi dunia adalah meratifikasi ACIA oleh setiap negara anggota. Namun saat ini masih ada permasalahan yang dihadapi dalam hal ratifikasi ACIA, yaitu belum dapat diselesaikannya Reservation List dan ratifikasi oleh Indonesia dan Thailand. Hal ini terkait dengan adanya aturan domestik yang harus dipenuhi oleh kedua negara tersebut. Di luar variabel-variabel di atas yang dihadapi dalam perundingan investasi di ASEAN, iklim investasi dan kinerja pemerintah pun di dalam negeri perlu perbaikan seperti kepastian hukum, kejelasan aturan, efektivitas kelembagaan perizinan, dikotomi dan benturan kewenangan pusat dan daerah, isu ketenagakerjaan, kinerja kepabeanan, keamanan dan stabilitas politik, dan sebagainya. Tingkat kinerja yang rendah dalam upaya menciptakan iklim berusaha yang kondusif, secara langsung menghasilkan dampak negatif berupa rendahnya tingkat investasi di Indonesia. Hal ini menjadikan keunggulan berbanding (comparative advantage) tidak mampu ditransformasikan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Kegagalan dalam mengubah keunggulan berbanding menjadi keunggulan bersaing ini tidak terlepas dari rendahnya kinerja institusional pemerintah yang dipengaruhi pula oleh rendahnya 17

koordinasi antar Kementerian/ Lembaga dan kurangnya dukungan dari pelaku usaha. Indonesia bukan satu-satunya negara anggota yang memiliki masalah dalam mengimplementasikan perjanjian investasi ASEAN. Permasalahan juga dihadapi oleh negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam penyerapan investasi ASEAN dan peningkatan daya saing. Sementara anggota ASEAN lainnya seperti Vietnam, telah muncul menjadi tujuan investasi penting, hal ini memicu masih kesenjangan di antara beberapa negara anggota ASEAN. Karena itu ASEAN perlu menata kembali ruang lingkup kebijakan investasi. Penataan itu meliputi peningkatan hal-hal yang menjadi perhatian utama seperti keamanan nasional di masing-masing negara dan akses ke energi serta bahan baku. ASEAN juga perlu mengantisipasi investor dominan atau pemilik dana dari negara-negara yang memiliki risiko investasi seperti China dan India. Selain itu, perlu juga diperhatikan sektor-sektor baru yang jadi perhatian, yakni investasi di pertanian dan perlindungan terhadap penghijauan. ASEAN perlu mengantisipasi isu-isu strategis menyangkut pengambilalihan oleh asing pada industri-industri strategis dan melindungi teknologi-teknologi yang penting. Selain upaya di atas, penciptaan iklim investasi yang bersih, efektif, dan 18

kondusif juga membutuhkan prasyarat dasar, yakni adanya integrasi pembangunan lintas sektoral. Artinya, pengembangan sektor investasi harus memiliki link and match langsung dengan sektor-sektor penunjangnya baik infrastruktur, ketenagalistrikan, pelabuhan laut/ udara/sungai, jaringan komunikasi, jalur pemasaran produk-produk unggulan, dan sebagainya. Bahkan dunia investasi juga sangat membutuhkan adanya dukungan positif dari aspek kepastian hukum, stabilitas politik, serta konsistensi kebijakan publik. D. PENUTUP Uraian di atas merupakan fakta yang menunjukkan bahwa ASEAN merupakan pasar yang memiliki basis produksi. Fakta-fakta tersebut merupakan faktor yang mendorong meningkatnya investasi di dalam negeri masing-masing anggota dan masuknya investasi asing ke kawasan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar (40%) di antara negara anggota ASEAN, Indonesia diharapkan akan mampu menarik investor ke dalam negeri dan mendapat peluang ekonomi yang lebih besar dari negara anggota ASEAN lainnya. Dari segi peningkatan investasi, berbagai negara ASEAN mengalami penurunan rasio investasi terhadap PDB sejak krisis, antara lain akibat berkembangnya regional hubproduction. Tapi bagi Indonesia, salah satu faktor penyebab penting Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

penurunan rasio investasi ini adalah belum membaiknya iklim investasi dan keterbatasan infrastruktur. Dalam rangka AEC 2015, berbagai kerja sama regional untuk meningkatkan infrastruktur (pipa gas dan teknologi informasi) maupun dari sisi pembiayaan menjadi agenda. Kesempatan tersebut membuka peluang bagi perbaikan iklim investasi Indonesia melalui pemanfaatan program kerja sama regional, terutama dalam melancarkan program perbaikan infrastruktur domestik. Sedangkan, kepentingan untuk harmonisasi dengan regional menjadi prakondisi untuk menyesuaikan peraturan investasi sesuai standar kawasan. Dengan ditandatanganinya ACIA, diharapkan masing-masing negara anggota ASEAN akan memperoleh manfaat antara lain: 1. prosedur pengajuan dan persetujuan penanaman modal akan lebih sederhana; 2. peraturan dan prosedur penanaman modal yang jelas dan kondusif akan meningkatkan penanaman modal serta memberikan perlindungan yang lebih baik kepada penanam modal (investor) maupun kepada penanaman modalnya (investasinya); 3. penanam modal (investor) akan mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal berkenaan dengan perizinan, pendirian, Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011 19

pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya; 4. liberalisasi investasi dapat mendorong pertumbuhan dan pengembangan usaha kecil, menengah, maupun enterprise multinasional yang berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi; 5. terbukanya lapangan kerja baru; dan 6. mempererat hubungan antar negara-negara anggota sehingga tercipta sebuah kawasan penanaman modal terpadu. Di samping dampak positif, dampak negatif liberalisasi investasi harus dicermati dan diantisipasi bersama pula. Dengan diberlakukannya ACIA, dapat dipastikan bahwa investor dari negara anggota ASEAN lainnya akan masuk ke Indonesia. Mengingat Indonesia dengan penduduk sebesar + 230 juta merupakan tujuan pasar yang sangat potensial, yang secara tidak langsung mereka dapat mengendalikan penguasaan suatu usaha di Indonesia. Ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) maupun kurangnya modal usaha akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara penanaman modal asing dan modal dalam negeri sehingga dapat menekan kesempatan kerja maupun usaha para pelaku usaha di Indonesia. Oleh karena infrastruktur itu pembangunan dan peningkatan

keahlian sumber daya manusia Indonesia merupakan hal yang utama dan strategis untuk menghadapi investasi ASEAN yang terbuka sesuai dengan tujuan AEC 2015. Referensi: Buku Menuju ASEAN Economic Community (AEC) 2015 (edisi 2009); Laporan Hasil Pertemuan ASEAN Senior Economic Official (SEOM) 1/42 di Jakarta tanggal 19-21 Januari 2011; Laporan Hasil Pertemuan ASEAN Coordinating Committee on Investment (CCI) ke-51 tanggal 23 Desember 2010 di ASEAN Sekretariat Jakarta; Laporan Hasil Pertemuan ASEAN Coordinating Committee on Investment (CCI) ke-50 tanggal 79 Juli 2010 di Bali.

20

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

ARTI PENTING PELAKSANAAN REDD+ BAGI INDONESIA: TANTANGAN DAN HAMBATAN YANG AKAN DIHADAPI Oleh: Harry Pamungkas A. LATAR BELAKANG REDD merupakan singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Degradation. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) menjelaskan bahwa REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Secara singkat, REDD merupakan upaya pengurangan emisi-emisi akibat terjadinya penghilangan dan perusakan hutan. Penghilangan dan perusakan hutan ini dapat mengakibatkan perubahan iklim dan pemanasan global, beberapa dampak yang mungkin timbul di antaranya:
1

1. peningkatan suhu, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3 derajat Celsius pada seluruh musim terutama sejak tahun 1990; 2. peningkatan intensitas curah hujan, di Indonesia curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek tetapi meningkatkan risiko banjir secara signifikan; 3. ancaman terhadap ketahanan pangan pada bidang pertanian; 4. naiknya permukaan air laut yang akan berakibat pada tergenangnya daerah produktif pantai seperti pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung; 5. air laut bertambah hangat, yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati laut dan terlebih pada terumbu karang yang sudah terancam (coral bleaching); 6. merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor seperti malaria dan demam berdarah. Untuk mengantisipasi pengurangan dan kerusakan hutan ini, yang dapat berakibat pada perubahan iklim dan pemanasan global, di tingkat internasional terus diupayakan pertemuan-pertemuan untuk mencari kesepakatan bagi penanganan masalah yang menjadi perhatian dunia ini, terutama pada satu dekade terakhir.

Harry Pamungkas adalah Staf (CPNS) pada Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Isi artikel sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak dapat dianggap sebagai representasi atau pandangan resmi dari Ditjen KPI, maupun Kementerian Perdagangan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

21

Pada awalnya, Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) berhasil meyakinkan negara-negara di dunia lewat fakta-fakta ilmiah hubungan antara aktivitas manusia dengan pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim (man-made climate change), setelah beberapa lama hanya dianggap sebagai hipotesis belaka. Keberhasilan dalam peningkatan kesadaran dunia ini, yang sekaligus memberikan dasar bagi upaya solusinya, mengantarkan IPCC menerima Hadiah Nobel Perdamaian bersama Al Gore pada tahun 2007. Pertemuan terakhir yang terkait dengan perubahan iklim dan pemanasan global adalah konvensi internasional yang khusus membahas tentang perubahan iklim, Conference of Parties (COP) 16 yang bertempat di Cancun, Meksiko pada pertengahan bulan Desember 2010 silam. Pertemuan ini turut dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan sejumlah kepala negara lain. Pengertian REDD pun meningkat menjadi REDD+, yaitu Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Carbon Stock Enhancement and Forest Conservation, ini menjadikan hutan hujan tropis masuk ke dalam agenda utama perubahan iklim. B. PERKEMBANGAN REDD+ memiliki arti penting bagi Indonesia. Bukan hanya karena

Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, tetapi juga karena himbauan untuk bertukar pengalaman dari kegiatankegiatan yang bertujuan untuk pengurangan emisi yang berasal dari deforestasi dan perusakan hutan tropis, pertama kali tertuang secara formal di Bali Action Plan yang dihasilkan pada UNFCCC COP 13 yang diselenggarakan di Bali, Indonesia. Indonesia melalui Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA) telah menetapkan Road Map REDD yang terbagi ke dalam 3 (tiga) fase: 1. Fase Persiapan (tahun 2007) untuk penyiapan perangkatperangkat metodologi dan strategi implementasi REDD, komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot activities; 2. Fase Transisi (2008-2012) untuk menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism); dan 3. Fase Implementasi Penuh (sejak 2012). Pada bulan Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) Indonesia hingga 26% di tahun 2020. Komitmen ini merupakan komitmen terbesar yang pernah diutarakan oleh negara berkembang. Indonesia telah menetapkan target

22

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

absolut dan Norwegia ingin membantu upaya Indonesia mencapai komitmen tersebut. Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 26 Mei 2010, Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani nota kesepakatan (Letter of Intent) dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia untuk mewujudkan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dari penggundulan dan kerusakan hutan dan konversi lahan gambut. Sesuai Letter of Intent tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan kerja sama konservasi kehutanan untuk mengurangi emisi karbon senilai. US$ 1 miliar Dengan kesepakatan itu, Indonesia menjamin tidak akan terjadi alih fungsi hutan gambut dan kawasan lahan gambut. Selain itu Pemerintah Indonesia juga menjamin hutan produksi tidak boleh dikonversi untuk penggunaan lain, juga tidak boleh ditebang lagi tetapi harus direstorasi. Sebagai imbal baliknya, adalah Pemerintah Kerajaan Norwegia memberikan hibah sebesar US$ 1 miliar, atau sekitar Rp 9 triliun lebih untuk Indonesia dalam rangka pelestarian hutan. Pada tahun 2009, Pemerintah Inggris telah memberikan komitmen bantuan sebesar US$ 500 ribu untuk mendukung IFCA. Selain itu, Pemerintah Australia juga telah menyatakan komitmennya untuk melakukan kerja sama reboisasi dengan Indonesia. Lebih lanjut, diperkirakan bahwa Indonesia memiliki potensi Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

pendapatan dari REDD+ sebesar US$ 3,8 miliar hingga US$ 15 miliar per tahun. Perhitungan kasar tersebut dari pasar korporat atau perusahaan yang ingin melakukan offset emisi atau mengimbangi emisi yang mereka akibatkan dari kegiatan perusahaannya, saat ini harga pasar offset berkisar antara US$ 4 sampai US$ 10 per ton karbon dioksida (CO2) yang tersimpan. Sebagai tindak lanjut dari program kemitraan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Norwegia, maka Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) telah dibentuk pada September 2010, berdasarkan Keputusan Presiden No. 19/2010. Sebagai Ketua adalah Dr. Kuntoro Mangkusubroto. Tugas Satgas REDD+ yang telah terbentuk ini adalah mematangkan strategi nasional REDD+ dan bertanggung jawab untuk mendesain lembaga REDD+ dan instrumen pendanaan untuk kegiatan-kegiatan REDD+. Dengan dibentuknya Satgas REDD+ ini, diharapkan dapat memperbesar daya dorong bagi upaya-upaya Indonesia dalam meletakkan infrastruktur dalam mengurangi emisi melalui terobosan perubahan REDD+ serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat dan menjamin keberlanjutan ekonomi melalui strategi pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Satgas REDD+ bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

23

C. TINDAK LANJUT Pelaksanaan REDD+ di Indonesia tidaklah mudah. Pelaksanaan REDD+ terkait dengan Letter of Intent antara Indonesia dan Norwegia mempunyai problematik tersendiri. Salah satu isi dari Letter of Intent tersebut adalah penghentian/penangguhan (moratorium) pengeluaran izin atas pengelolaan hutan alam dan kawasan lahan gambut selama 2 tahun (a two years suspension on all new concessions for conversion of peat and natural forest), yang tertera dalam poin VII.c.i. Ketidakjelasan konsep serta cakupan area atau kriteria dari pengertian hutan alam dan lahan gambut menjadi kekhawatiran banyak pihak. Dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak dijelaskan mengenai pengertian hutan alam yang ada hanya pengertian dari kata hutan yang didefinisikan sebagai berikut yaitu hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Hingga saat ini, pelaksanaan moratorium hutan terkait Letter of Intent antara Indonesia dan Norwegia tersebut masih terhambat keterlambatan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres), diakibatkan masih terdapat perbedaan interpretasi antara Kementerian Kehutanan dan Satgas REDD+. Dalam

draf Perpres yang dibuat Kementerian Kehutanan, cakupan moratorium hanya hutan alam primer dan gambut. Sedangkan draf dari Satgas REDD+ justru menambahkan hutan alam sekunder dalam lingkup moratorium. Definisi hutan alam primer adalah hutan alam yang belum pernah ditebang industri kayu, sedangkan definisi hutan alam sekunder adalah hutan alam yang pernah dirambah hak pengusahaan hutan dan melalui proses alami Permasalahannya, di Indonesia, hutan alam (terutama hutan alam sekunder) masih merupakan salah satu sumber penghidupan bagi begitu banyak orang. Bila kita memasukkan hutan alam primer dan hutan alam sekunder dalam lingkup memorandum sesuai interpretasi Satgas REDD+, maka akan menimbulkan sejumlah efek domino. Salah satu contoh di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) di mana 3,1 juta dari total 4 juta hektar lahan HTI terletak di hutan alam sekunder, serta menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 7 juta orang pekerja. Begitu juga dengan industri kelapa sawit yang selama ini merupakan salah satu penghasil devisa terbesar negara ini, di mana pada tahun 2010 ekspor kelapa sawit saja dapat menyumbangkan devisa sebesar hampir US$ 15 miliar, dan menyerap banyak tenaga kerja. Oleh karena itu, Pemerintah sulit untuk melakukan moratorium atas hutan alam

24

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

sekunder. Hal ini dikarenakan berbagai jenis izin telanjur keluar atas hutan alam sekunder. Jika moratorium meliputi hutan alam sekunder, pemegang izin bisa dirugikan. Termasuk juga yang dirugikan di dalamnya adalah nasib lebih dari 7 juta pekerja dan para keluarganya. Kemungkinan terburuk ini dapat memicu konflik yang meluas bahkan jika terus berlanjut akan menganggu stabilitas nasional dan justru menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika hal ini sampai terjadi maka kerugian yang didapat sangatlah tidak sebanding dengan nilai Letter of Intent antara Indonesia dan Norwegia yang hanya senilai US$ 1 miliar. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, untuk saat ini sebaiknya moratorium hutan hanya atas pengelolaan hutan alam primer dan hutan gambut, sesuai dengan draf dan interpretasi dari Kementerian Kehutanan. Walaupun terdapat kemungkinan bahwa hal tersebut akan menimbulkan keberatan dari pihak Pemerintah Kerajaan Norwegia, akan tetapi hal tersebut dapat didiskusikan di kemudian hari. Bila kita telaah lebih lanjut, kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Norwegia masih berupa Letter of Intent. Letter of Intent atau biasa disebut Memorandum of Intent dimaksudkan sebagai kesepakatan yang tidak Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat. Sehingga apabila masih ada ketidaksepahaman mengenai isi dari Letter of Intent tersebut, maka dapat dibicarakan oleh kedua belah pihak. D. PENUTUP 1. REDD+ adalah peluang yang sangat menarik, tetapi Indonesia hanya bisa menangkap peluang tersebut bila siap dengan perangkat regulasi yang baik, dan pelaksanaan REDD yang menjamin akuntabilitas. Penyiapan perangkat ini perlu dibangun bersama apabila Pemerintah Indonesia ingin memperoleh manfaat sebesarbesarnya dari REDD+. Indonesia pada saat ini berada di persimpangan sejarah, transisi dalam demokrasi, transisi dalam pengembangan dan transisi untuk menemukan perannya di dalam arena internasional. Ini merupakan momen transformasi dari negara berkembang ke negara maju, terutama dalam hal ekonomi. Dalam periode perubahan yang berkelanjutan, visi yang jelas dan kepemimpinan yang kuat menjadi lebih penting. Jika kita menginginkan Indonesia menjadi pemimpin di dunia internasional terutama dalam hal perubahan iklim melalui REDD+, maka kita harus mengembangkan

2.

25

perekonomian nasional, serta para pemimpin kita harus dapat merangkul seluruh pihak dan memperluas pemanfaatan yang ramah lingkungan dari hutan kita. 3. Ada tiga hal mendesak yang harus dilakukan oleh Pemerintah terkait moratorium hutan demi berhasilnya pelaksanaan REDD+. Pertama, pemerintah harus menghentikan pengeluaran dan perpanjangan izin, sampai Perpres terkait moratorium hutan diterbitkan, sehingga tidak ada kesimpangsiuran hukum. Kedua, harus ada upaya segera penyelamatan hutan-hutan yang paling terancam. Ketiga, penyelesaian masalah-masalah sosial di masyarakat.

Referensi: http://www.aman.or.id/ http://www.bataviase.co.id/ http://www.dephut.go.id/ http://www.greenpeace.org http://www.kemlu.go.id/ http://www.kompas.com/ http://www.mediaindonesia .com/ http://www.nobelprize.org/ http://www.reddindonesia.org/ http://www.thejakartapost. com/

26

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

MEMANFAATKAN DAN MENGOPTIMALISASI PERUNDINGAN INDONESIA - EFTA COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (IE-CEPA) Oleh : Fitryanah, S.Kom, MSE A. LATAR BELAKANG European Free Trade Association (EFTA) dibentuk pada tanggal 3 Mei 1960 oleh Austria, Denmark, Norwegia, Portugal, Swedia, Swiss, dan Inggris; sebagai blok perdagangan alternatif bagi negaranegara di Eropa yang tidak tergabung dalam Uni Eropa (European UnionEU). Pada tahun 1970, Islandia bergabung menjadi anggota EFTA, diikuti oleh Liechtenstein pada tahun 1991. Namun dalam perkembangannya Denmark dan Inggris pada tahun 1972 keluar dari keanggotaan EFTA. Sekarang ini, EFTA hanya beranggotakan 4 (empat) Negara yaitu: Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss. Meski ukuran organisasi EFTA tampak kecil hanya didukung oleh 4 (empat) negara
1 1

anggota, EFTA menempati urutan ke9 sebagai trader terbesar dalam dunia perdagangan internasional, selain itu EFTA juga menempati ukuran ke-5 terbesar dalam dunia commercial services. Setelah beberapa lama sempat tertunda, akhirnya Indonesia dan negara-negara anggota EFTA (European Free Trade Association) melakukan kesepakatan untuk memulai suatu perundingan kerja sama bilateral. Di mana, pada tanggal 5-9 Juli 2010, Presiden Swiss melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Kedua belah pihak telah sepakat untuk memberikan mandat kepada para negosiator kedua negara untuk memulai proses perundingan. Pada pertemuan tersebut, nama perjanjian kerja sama tersebut diubah dari Comprehensive EFTA - Indonesia Free Trade Agreement (CEITA) diganti menjadi Indonesia EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IECEPA) untuk mencerminkan masuknya kerja sama dan pengembangan kapasitas dalam perjanjian. Indonesia mengatakan bahwa proses ini agak baru bagi Indonesia, dan proses integrasi pengembangan kapasitas dalam perjanjian sehingga perlu untuk dibahas lebih lanjut oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak memiliki diskusi yang sangat positif dan konstruktif pada kerja sama teknis dan peningkatan kapasitas, dan menyadari pentingnya kerja sama teknis dan peningkatan 27

Fitryanah adalah Kepala Seksi Eropa Lainnya pada Direktorat Kerja Sama Bilateral, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Isi artikel sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak dapat dianggap sebagai representasi atau pandangan resmi dari Ditjen KPI, maupun Kementerian Perdagangan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

kapasitas berdasarkan perjanjian kemitraan ekonomi yang komprehensif. EFTA mengakui perbedaan tingkat pembangunan ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara anggota EFTA, dan potensi ekonomi Indonesia. Indonesia menggarisbawahi pentingnya cooperation dan capacity building dalam konteks akses pasar dan pengembangan cooperation. Indonesia berpendapat bahwa efektivitas perdagangan bebas tidak hanya tergantung pada pengurangan tarif tetapi juga pada pemenuhan standar negara-negara penerima. Indonesia menekankan perlu menerima kerja sama teknis dalam bentuk capacity building dalam rangka mendukung kemampuan untuk memenuhi standar negara-negara EFTA dan meningkatkan akses pasar efektif. Menanggapi penyelidikan pihak EFTA di FTA Indonesia, pihak Indonesia menjelaskan bahwa selain dari AFTA, bersama dengan negara-negara ASEAN Indonesia memiliki FTA dengan Korea Selatan, Jepang, China, India, Australia, dan Selandia Baru, serta bilateral terpisah Kemitraan Ekonomi Agreement (EPA) dengan Jepang. B. PERKEMBANGAN Dalam perkembangannya, kedua belah pihak telah melaksanakan st perundingan pertama (The 1 Round of Negotiation Indonesia EFTA 28

Comprehensive Partnership Agreement (IE-CEPA)) yang telah dilaksanakan pada tanggal 31 Januari 2 Februari 2011 di Jakarta. Perundingan pertama ini merupakan tindak lanjut dari Pengumuman Bersama pada tanggal 7 Juli 2010 antara Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Swiss, Doris Leuthard. Dalam perundingan ini yang ditekankan bukan hanya penghapusan tarif dan pembukaan akses pasar semata, namun juga meningkatnya perdagangan dan investasi; menjadikan Indonesia sebagai basis investasi EFTA untuk perkuat hubungan bilateral maupun regional; serta mencakup penghapusan hambatan nontarif, di mana penekanan diletakkan pada peningkatan kapasitas SDM (capacity building) yang akan membantu akses pasar Indonesia di EFTA, investasi dari EFTA dan kerja sama ekonomis/teknis yang merupakan bagian integral dari kemitraan ekonomi ini. Perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement CEPA) akan melampaui perjanjian perdagangan bebas dengan memfasilitasi kerja sama investasi dan ekonomi yang lebih besar bagi kedua belah pihak. Kemitraan ekonomi komprehensif ini akan mengembangkan hubungan Indonesia-EFTA yang lebih luas yang

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

lebih kukuh dibandingkan sebelumnya. Hal ini, menyediakan kesempatan yang penting bagi para eksportir negara-negara anggota EFTA untuk menciptakan kesempatan yang dinamis kepada para eksportir dan investor EFTA di Indonesia. Dalam pertemuan kali ini, kedua belah pihak menyepakati beberapa hal sebagai dasar negosiasi, yaitu: (i) prinsip single undertaking; (ii) struktur negosiasi; (iii) waktu dan tempat; (iv) komposisi delegasi; dan (v) hasil negosiasi. Adapun modalitas yang dibahas hanya dari 5 kelompok kerja yaitu: trade in goods, trade in service, investment, rules of origin, dan other issue. 1. Working Group (WG) on Trade in Goods Pada WG ini, kedua belah pihak bertukar informasi mengenai kebijakan perdagangan barang baik di sektor industri, pertanian, perikanan dan kelautan, kehutanan, serta bea dan cukai yang ditetapkan di Indonesia dan masing-masing negara EFTA. Kebijakan yang diterapkan oleh Indonesia pada dasarnya berprinsip pada kebijakan perdagangan akan didasarkan pada aturan WTO dan perjanjian yang ada. Sebenarnya kebijakan perdagangan Indonesia sudah cukup terbuka dan konsisten dengan aturan internasional. Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011 29

Dengan adanya FTA ini, secara umum Indonesia telah berkomitmen untuk meliberalisasikan perdagangan dengan cara mengurangi tarif secara sepihak sehingga mengakibatkan tingkat tarif menjadi rendah dan berharap kemitraan yang komprehensif ini akan membahas masalah pengurangan hambatan nontarif. EFTA belum memiliki kebijakan perdagangan secara umum yang berlaku sama pada para anggota, karena EFTA membebaskan setiap negara anggotanya untuk menerapkan kebijakan yang dimiliki negara anggotanya. Namun, EFTA terikat dalam komitmennya untuk beberapa perjanjian dalam standar Uni Eropa. Dalam melakukan perjanjian dengan Negara mitra dagang, EFTA menganggap bahwa standar dari Uni Eropa sangat diperlukan dalam memenuhi perjanjian. Hal tersebut dilakukan EFTA mengingat Uni Eropa merupakan pasar paling penting bagi negara-negara EFTA. Pada tahun 2009, industri manufaktur di Indonesia merupakan penyumbang terbesar bagi perekonomian nasional (26,4%), dengan industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi sekitar 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Dari semua sektor

industri, sektor makanan dan minuman, tembakau, transportasi, mesin dan peralatan memainkan peran besar terhadap per-tumbuhan industri non minyak dan gas. Sedangkan untuk sektor pertanian, Indonesia memiliki struktur komplementaritas tinggi dengan negaranegara anggota EFTA. Sektor ini tumbuh 3,5% per tahun dengan memberikan kontribusi 10% dari PDB Indonesia dan 45% dari tenaga kerja, sehingga produktivitas tenaga kerja di sektor yang terendah dalam perekonomian. Kebanyakan produk primer pertanian Indonesia memiliki 5% MFN tarif rata-rata, yang merupakan skema umum dan untuk produk sensitif adalah 10%20%. Kebijakan Sektoral Negara Anggota EFTA EFTA memang tidak memiliki common policy seperti negara-negara Uni Eropa. Kebijakan yang dimiliki oleh masing-masing Negara anggota EFTA dijabarkan sebagai berikut: 1) Norwegia Pertanian Kebijakan sektor pertanian Norwegia, dengan lahan sebesar 3% dari total luas lahan pertanian terdiri dari pertanian milik swasta. Norwegia mengimpor gula dan produk biji-bijian, buah30

buahan serta beberapa sayuran, dan sebagian besar untuk daging (32,1% dari produksi pertanian) dan susu (32,4%). Saat ini produk pertanian organik terdiri dari 4,3% makanan yang diproduksi dan 1% makanan yang dikonsumsi, dan target Pemerintah Norwegia adalah 15% dari makanan organik yang diproduksi dan dikonsumsi pada tahun 2015. Perikanan Selain sektor pertanian, sektor perikanan juga merupakan hal yang sangat penting bagi perekonomian Norwegia dan merupakan sektor ekspor ketiga terbesar mereka. 2) Iceland Pertanian Sesuai dengan nama negara nya ice (es). Negara ini hampir seluruh wilayah daratannya diselimuti oleh salju. Dikarenakan iklim, musim produktif sangat pendek untuk memproduksi pertanian, terutama jerami, kentang, dan biji-bijian tunggal, sedangkan bunga dan sayuran sebagian besar dibudidayakan di rumah kaca. Saat ini ketahanan pangan diBuletin KPI Edisi 001/KPI/2011

anggap sebagai isu penting di Islandia. Perikanan Ikan dan hasil laut lainnya sangat penting tinggi untuk Islandia, dan merupakan komoditas ekspor penting. Seperti halnya Norwegia, Islandia mempunyai liberalisasi penuh untuk produk industri, termasuk ikan dan produk laut lainnya. Islandia diterapkan untuk menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 2009, dan sedang dalam proses negosiasi aksesi. Jika menjadi anggota Uni Eropa, Islandia harus menarik diri dari EFTA serta semua FTA ditandatangani di bawah EFTA. Sementara itu Islandia berkomitmen penuh sebagai anggota EFTA. 3) Swiss Pemerintah Swiss menerapkan kebijakan reformasi untuk decoupling environmental policy, penurunan peraturan pasar, mempromosikan keberlanjutan sosial dan lingkungan, penghapusan subsidi ekspor, pengurangan lebih lanjut dari dukungan pasar, dan nilai tambah strategi untuk indikasi geografis. Ada moratorium pada produksi Genetically Modified Organisme (GMO) di mana masyarakat Swiss umum adalah skeptis terhadap

transgenik. Swiss memiliki 24 kuota tarif terutama untuk bijibijian, susu dan daging, dan beberapa yang dibagi dalam subkuota. Pemerintah Swiss juga telah melakukan negosiasi dengan Uni Eropa pada perdagangan bebas di sektor pertanian dan makanan. Perlu digarisbawahi, dalam perjanjian IE-CEPA ini, untuk WG on Trade in Goods dalam bidang pertanian, perundingan dilakukan dengan masing-masing negara EFTA (secara bilateral). Hal tersebut dilakukan mengingat masing-masing Negara EFTA memiliki kebijakan yang berbeda untuk sektor pertanian. Akan ada negosiasi untuk perjanjian terpisah yang terkait dengan perdagangan basic agricultural products, yang terdiri dari produk yang tercantum dalam HS 1-24 kecuali ikan dan produk pertanian olahan, tetapi termasuk produk pertanian tertentu. 2. Working Group on Trade in Service Dalam perundingan perdagangan jasa telah disetujui adanya prinsip-prinsip dasar, modalitas dan prosedur yang secara keseluruhan telah disepakati oleh kedua belah pihak untuk mengacu kepada GATS article V kecuali untuk MFN, National Treatment (NT), dan Market access exemption, safeguard,

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

31

economic, dan development issue masih diperlukan pembahasan lebih lanjut yang akan diklarifikasi oleh Indonesia. Di samping itu pihak Indonesia telah menyampaikan counter draft atas usulan EFTA mengenai pasal perdagangan jasa dan diharapkan counter draft tersebut dapat ditanggapi segera oleh pihak EFTA. Diharapkan dalam pengimplementasian dari kerja sama ekonomi ini tidak terbatas untuk capacity building seperti: magang, bantuan teknis, program pelatihan, namun dalam bentuk kerja sama untuk mendirikan sertifikasi, sektoral Mutual Recognition Arrangement (MRA), dan kerja sama dalam proyekproyek jasa lainnya. 3. Working Group on Investment Dalam WG on Investment, kedua belah pihak memandang untuk perlunya ada kesepakatan dan kerja sama dibidang investasi untuk masa depan IE-CEPA. Namun perlu digarisbawahi perjanjian investasi Indoensia dengan EFTA, berbeda dengan perjanjian investasi Indonesia dengan masing-masing negara EFTA. Pihak EFTA menginginkan agar investasi yang dilakukan Indonesia EFTA berfokus pada akses pasar pada sektor non-jasa (establishment), sementara perlindungan hukum atas bisnis di semua sektor akan tercakup 32

dalam perjanjian investasi bilateral (bilateral investment treaties/BIT) antar masing-masing negara. Di sisi lain, Indonesia mengusulkan agar IE-CEPA mencakup akses pasar dan perlindungan investasi. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia dalam tahap menegosiasikan kembali Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) dengan Swiss, sedangkan P4M Indonesia - Norwegia telah diakhiri. Islandia menyatakan ketertarikannya akan hasil perundingan Indonesia-Swiss. Dalam melakukan Free Trade Agreement (FTA) (investasi) dengan negara mitra dagang, pendekatan yang diterapkan oleh EFTA berbeda untuk masingmasing negara mitra dagang, misalnya: EFTA - Serbia FTA hanya berisi ketentuan umum atas investasi. Hal tersebut dilakukan oleh EFTA karena salah satu anggota EFTA tidak memiliki mandat untuk bernegosiasi tentang perlindungan investasi. 4. Working Group on Rules of Origin Kedua belah pihak saling bertukar informasi mengenai pemahaman yang baik, di mana pihak EFTA menginginkan pemahaman terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan selfdeclaration, approved exporter, Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

importation by instalment dan pemisahan akuntansi. Di sisi lain, Indonesia melihat draft text sebagai kontribusi positif terhadap final text yang mendukung pengembangan dan promosi perdagangan antara negara EFTA dan Indonesia. Kedua pihak juga menyetujui 4 (empat) bidang utama dalam diskusi Rules of Origin (RoO) sebagai berikut: (i) Rules, (ii) Product Specific Rules (PSRs), (iii) Operating Certification Procedures (OCP); dan (iv) Documentation (Proof of Origin). Untuk mencari solusi yang lebih baik dalam WG on RoO ini, pihak Indonesia akan mendiskusikan kembali secara internal dengan pihak-pihak terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap Undang-Undang Indonesia. 5. Working Group on Other Issue Dalam WG ini, ada beberapa issue yang dibahas, antara lain (i) Intellectual Property Rights (IPR); (ii) government procurement; dan (iii) capacity building. Menyadari hambatan pada pelaksanaan Intellectual Property Rights (IPR) seperti menciptakan kesadaran akan pentingnya Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dan tingkat kemampuan teknologi di Indonesia, pihak Indonesia menekankan perlunya memiliki kerja sama dan transfer

teknologi dari EFTA untuk mengembangkan IPR tersebut. EFTA mengakui latar belakang yang berbeda dari kedua belah pihak dalam HKI dan berbagi pandangan dengan Indonesia tentang pentingnya perlindungan HKI yang efektif, terutama dalam rangka merangsang alih teknologi. Mereka juga mengakui upaya Indonesia dalam pengelolaan sistem HKI dan menyambut baik ide untuk memiliki diskusi tentang HKI, termasuk perlindungan Indikasi Geografis, Genetic Resources, HKI Penilaian serta Merek Dagang dan Perlindungan Paten. Indonesia dan EFTA saling bertukar informasi mengenai pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah Indonesia. Diinformasikan oleh pihak Indonesia bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 54 Tahun 2010, harus memperhatikan kemiskinan, pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Selain itu, setiap kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menunjukkan sifat yang lebih terbuka, transparan, efektif, dan efisien, serta berusaha keras untuk mengharmoniskan dengan standar dan kebiasaan internasional. Saat ini, Indonesia telah menerapkan sistem Pengadaan 33

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

melalui elektronik (EProcurement), untuk mendukung kebijakan Pemerintah yang lebih terbuka dan transparan. Mengenai permintaan capacity building diharapkan dengan adanya perjanjian IE-CEPA ini, tidak hanya terbatas pada pengurangan tarif, namun juga untuk penyesuaian standar kualitas barang dan jasa di negara penerima. Indonesia menekankan pentingnya suatu kerja sama dan bantuan berupa peningkatan capacity building guna meningkatkan standar kualitas barang dan jasa dari Indonesia sehingga dapat memenuhi standar negara-negara EFTA, serta mendapatkan akses pasar di negara-negara EFTA. C. TINDAK LANJUT Untuk pertemuan selanjutnya, kedua belah pihak sepakat untuk menindaklanjuti putaran kedua negosiasi IE-CEPA yang akan diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 6-8 Juni 2011. Pertemuan tersebut sepakat untuk membentuk Working Group (WG) tambahan yaitu WG on IPR, WG on Government Procurement, WG on Cooperation, WG on General and Final Provisions. D. PENUTUP Total perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara EFTA pada tahun 2009 tercatat sebesar US$ 765 34

juta, terdiri atas ekspor senilai US$ 223 juta dan impor sebesar US$ 541 juta. Angka ini mengalami penurunan sebesar 36,04% bila dibandingkan dengan tahun 2008. Total perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara EFTA pada periode Januari-Oktober 2010 adalah sebesar US$ 927 juta, atau mengalami peningkatan sebesar 32,54% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2009 yakni sebesar US$ 700 juta. Produk ekspor nonmigas utama Indonesia ke wilayah EFTA untuk periode Januari November 2010 adalah ferro alloys; emas (termasuk emas yang disepuh platinum); batubara; minyak essential; furniture; lensa kamera; dan alas kaki. Sedangkan produk impor Indonesia dari EFTA adalah mesin turbin; pupuk kimia; obat-obatan; elektronik; tinta; dan mesin percetakan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

PERKEMBANGAN ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (AFAS) DAN KESIAPAN INDONESIA Oleh: Silvi Ch. Sumanti A. LATAR BELAKANG Dalam rangka terciptanya Komunitas Ekonomi ASEAN melalui liberalisasi di perdagangan jasa diperlukan kesiapan Indonesia guna dengan memenuhi roadmap liberalisasi dengan paket-paket pada ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang sangat progresif. Perkembangan AFAS yang sangat progresif ini harus diimbangi dengan kesiapan yang baik pula, tidak hanya oleh regulator dalam hal ini pemerintah dan kementerian terkait, namun juga oleh pelaku usaha, penanam modal, asosiasi, dan masyarakat luas. Dalam rangka meningkatkan daya saing para penyedia jasa di ASEAN melalui liberalisasi perdagangan jasa, para pemimpin ASEAN sepakat untuk segera mempercepat terbentuknya
1

Komunitas Masyarakat ASEAN pada tahun 2015.

Ekonomi

Komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan realisasi tujuan akhir integrasi ekonomi sebagaimana dicanangkan dalam ASEAN Vision 2010, yakni untuk menjadikan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi di mana di dalamnya terdapat aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan aliran modal dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin berkurang pada tahun 2020. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mewujudkan Komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN disusunlah suatu cetak biru yang merupakan jadwal strategis yang menjadi tonggak kunci bagi integrasi ekonomi yang lebih komprehensif. Dalam mengimplementasikan cetak biru di bidang perdagangan jasa maka dibentuklah ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Sejak ditandatanganinya AFAS pada tahun 1996, sejumlah paket komitmen AFAS telah berhasil diselesaikan dan ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN. Hal tersebut merupakan kontribusi dari seluruh negara anggota ASEAN secara progresif dan telah memperdalam tingkatan dan cakupan komitmennya untuk menghapuskan secara substansial hambatan-hambatan 35

Silvi Ch.Sumanti adalah Kepala Seksi Jasa Konstruksi, Pariwisata, Rekreasi Budaya dan Olahraga pada Direktorat Perundingan Perdagangan Jasa, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Isi artikel sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak dapat dianggap sebagai representasi atau pandangan resmi dari Ditjen KPI, maupun Kementerian Perdagangan.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

perdagangan jasa di kawasan dalam beberapa paket. Manfaat Liberalisasi Perdagangan di Bidang Jasa adalah potensi keuntungan yang dapat diraih oleh ASEAN dari liberalisasi bidang jasa sangatlah tinggi. Melalui proses liberalisasi, maka investasi di bidang jasa yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi, dan diharapkan akan semakin meningkat. Sebagai catatan, pada tahun 2008 pendapatan sektor jasa di ASEAN mencapai 50% dari total arus foreign direct investment jasa di ASEAN atau sekitar US$ 33,5 miliar. Peningkatan investasi di bidang jasa di ASEAN tentunya akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan dan kemajuan sektor perekonomian lainnya di kawasan seperti sektor keuangan, telekomunikasi, distribusi, dan transprotasi. Tujuan AFAS dibentuk antara lain: a. Untuk meningkatkan kerja sama di bidang jasa di antara negaranegara ASEAN dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi serta pasokan dan distribusi jasa, baik antara para penyedia jasa di ASEAN maupun di luar ASEAN; b. Untuk menghapus hambatan perdagangan jasa secara substansial antara anggota ASEAN;

c. Untuk meliberalisasikan perdagangan bidang jasa dengan memperdalam dan memperluas cakupan liberaliasai yang telah dilakukan oleh negara-negara dalam kerangka GATS/WTO yang bertujuan untuk merealiasikan area perdagangan bebas bidang jasa. Dalam perundingan liberalisasi bidang jasa, AFAS menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah diterapkan dalam World Trade Organization (WTO), antara lain: a. Most Favoured Nation (MFN) Treatment yaitu kemudahan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain; b. Non Discriminative yaitu pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian; c. Transparency yaitu setiap negara anggota wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang undangan, pedoman pelaksanaan dan semua keputusan/ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah; d. Progressive Liberalization yaitu liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi setiap negara anggota.

36

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

B. PERKEMBANGAN AFAS Sejak ditandatanganinya AFAS pada tahun 1996, sejumlah paket komitmen AFAS telah berhasil diselesaikan dan ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN. Paket-paket AFAS yang merupakan kontribusi dari seluruh Negara anggota ASEAN telah memperdalam tingkatan dan cakupan komitmennya untuk menghapuskan secara substansial hambatan-hambatan baik tarif dan nontarif perdagangan jasa di kawasan. Dalam mencapai liberalisasi perdagangan jasa pada tahun 2015, terdapat beberapa tindakan yang telah dicanangkan untuk dipenuhi, 2 antara lain : Mengurangi secara substansial seluruh hambatan dalam perdagangan jasa untuk empat sektor prioritas bidang jasa, yaitu transportasi udara, e-ASEAN, kesehatan, dan pariwisata pada 2010 dan untuk sektor prioritas kelima, yaitu jasa logistik pada 2013; Mengurangi secara substansial seluruh hambatan perdagangan jasa pada 2015; Melaksanakan liberalisasi perdagangan jasa melalui putaran negosiasi setiap 2 tahun hingga

2015, yaitu 2008, 20110, 2012, 2014, dan 2015; Menargetkan jadwal jumlah subsektor jasa yang harus dipenuhi pada setiap putaran, yaitu tahun 2010 (AFAS 8) : 80 subsektor, tahun 2012 (AFAS 9): 100 subsektor, tahun 2014 (AFAS 10): 120 subsektor, tahun 2015 (AFAS 11): 128 subsektor, yang didasarkan pada klasifikasi umum perjanjian umum WTO (GATS) W/120. Menjadwalkan paket komitmen untuk setiap putaran sesuai parameter sebagai berikut: o Tidak ada hambatan bagi moda 1 dan 2, dengan pengecualian alasan yang dapat diterima (seperti kepentingan dan keamanan nasional) atas persetujuan semua negara anggota berdasarkan kasus per kasus; o Mengizinkan penyertaan modal asing (ASEAN) minimal 51% pada 2008 dan 70% pada 2010 bagi empat sektor prioritas; minimal 49% pada 2008, 51% pada 2010 dan 70% pada 2015 bagi sektor jasa logistik; dan minimal 49% pada 2008, 51% pada 2010 dan 70% pada 2015 bagi sektor jasa lainnya; dan o Menghapuskan secara progresif hambatan lainnya

Masyarkat Ekonomi ASEAN, Kemenlu, 2010

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

37

bagi perdagangan jasa Moda 3 pada 2015. Menetapkan parameter liberalisasi untuk pembatasan national treatment, Moda 4 dan pembatasan dalam horizontal commitments pada setiap putaran pada 2009; Menjadwalkan komitmen sesuai dengan parameter yang disepakati untuk pembatasan national treatment, Moda 4 dan pembatasan pada horizontal commitments yang ditentukan pada 2009; Menyelesaikan kompilasi daftar hambatan perdagangan jasa pada Agustus 2008; Mengizinkan seluruh fleksibilitas, yang meliputi subsektor yang secara penuh dikecualikan dari liberalisasi, dan subsektor yang parameternya belum disepakati dalam penjadwalan komitmen liberalisasi. Penjadwalan komitmen liberalisasi pada tiap putaran akan disesuaikan dengan fleksibilitas sebagai berikut: o Kemungkinan untuk ikut serta pada putaran berikutnya jika negara anggota tidak dapat memenuhi parameter komitmen yang ditentukan pada putaran sebelumnya; o Mengizinkan pergantian subsektor yang telah sepakat diliberalisasikan dalam satu

putaran dengan subsektor lain di luar yang telah disepakati, tapi hanya untuk negara anggota yang tidak mampu melaksanakan komitmennya; dan o Liberalisasi melalui formulasi ASEAN minus X. Menyelesaikan Pengaturan Saling Pengakuan (Mutual Recognition Arrangements/MRAs); Mengimplementasikan MRA secepatnya sesuai dengan ketentuan dari setiap MRA; Mengidentifikasikan dan mengembangkan MRA untuk jasa profesi lainnya selambatlambatnya pada 2012, untuk diselesaikan selambat-lambatnya pada tahun 2015; dan Memperkuat pengembangan SDM dan peningkatan kemampuan di bidang perdagangan jasa. o Meliberalisasi secara progresif hambatan-hambatan pada setiap subsektor atau modamoda sebagaimana diidentifikasi oleh setiap negara anggota pada 2015; dan o Meliberalisasi secara progresif hambatan-hambatan pada setiap subsektor atau modamoda lainnya yang belum diidentifikasi berdasarkan fleksibilitas yang disepakati sebelumnya, pada 2020. 38 Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Proses perundingan pada tahun 2011 diharapkan agar AFAS Paket 8 dapat diselesaikan. Capaian AFAS Paket 8 ialah negara anggota ASEAN harus memperluas cakupan sub-sektor serta memperdalam komitmennya dalam hal pernyertaan modal asing (Foreign Equity Participation). Pada AFAS Paket 8, terdapat threshold yang harus dipenuhi oleh ASEAN Member States (AMS), yaitu : Mode 1 (Pemasokan Jasa Lintas Batas) dan Mode 2 (Konsumsi Jasa di Luar Negeri) harus None atau tanpa batasan. Mode 3 (Kehadiran Perusahaan Asing) untuk PIS harus dengan batasan kepemilikan modal asing sebesar 70%, dan sektor lainnya sebesar 51%. Selain itu, pada sektor PIS tidak diperbolehkan adanya limitasi akses pasar selain batasan kepemilikan modal asing, sementara untuk non PIS masih diperbolehkan adanya 2 limitasi akses pasar. Untuk limitasi perlakuan nasional masih diperbolehkan sampai 4 limitasi baik untuk PIS dan non PIS. Pada hasil SEOM 3/41 disadari bahwa negara anggota ASEAN menghadapi kesulitan untuk memenuhi threshold untuk AFAS Paket 8 dan menyepakati penggunaan fleksibilitas. Selanjutnya fleksibilitas sebesar 15% tersebut dialokasikan ke 3 (tiga) moda, yaitu moda 1, 2, dan 3, sehingga total yang Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011 39

dapat memperoleh fleksibilitas untuk diperbolehkan tidak memenuhi threshold sebanyak 36 moda (80 sub sektor x 15% x 3 moda). Berdasarkan hasil AEM ke- 42 disepakati pengalokasian fleksibilitas tersebut agar balance across modes yaitu pengalokasian fleksibilitas tersebut tidak difokuskan pada satu moda saja. Namun demikian, disadari bahwa kesulitan pada umumnya dari negara anggota ASEAN adalah dalam pemenuhan threshold moda 3. Pada Coordinating Committee on Services (CCS) ke - 64 yang diselenggarakan pada tanggal 21-24 Februari 2011 dihasilkan dua opsi terakhir yaitu: Maksimum 50% dari fleksibiltas yang dapat diterapkan kepada moda tertentu. Dengan demikian untuk AFAS Paket 8, maksimum dari 50% x 15% x 80 subsektor x 3 moda = 18 subsektor yang dapat diberikan fleksibilitas dari kewajiban memenuhi threshold can be subjected to flexibility of not meeting threshold requirements for the same mode of supply. Maksimum 60% dari fleksibiltas yang dapat diterapkan kepada moda tertentu. Dengan demikian untuk AFAS Paket 8, maksimum dari 60% x 15% x 80 subsektor x 3 moda = 22 subsektor yang dapat diberikan

fleksibilitas dari kewajiban memenuhi threshold can be subjected to flexibility of not meeting threshold requirements for the same mode of supply. Namun, dikarenakan tidak adanya konsensus untuk dua opsi tersebut, maka selanjutnya akan dibawa ke SEOM atau AEM untuk keputusan selanjutnya. Sementara untuk Mode 4 (Pergerakan Tenaga Kerja) saat ini masih dalam pembahasan konsep Perjanjian Movement of Natural Person (MNP). Adapun hasil dari pertemuan CCS ke - 64 yang lalu antara lain: (a) Hasil final dari Perjanjian MNP Agreement harus merupakan liberalisasi lebih lanjut dari mode 4 dan tidak terbatas sebagai perjanjian fasilitasi saja; (b) Sebagai langkah awal, konsep dari Perjanjian MNP agreement dan mencakup Business Visitors (BV) dan Intra-Corporate Transferees (ICT). Tipe lainnya dari natural persons, termasuk Contractual Service Suppliers (CSS) dan Independent Professionals (IP), dapat dipandang sebagai subjek untuk dirundingkan; (c) Tidak perlu adanya definisi bersama atas kategori dari MNP di dalam perjanjian. Negara anggota dapat mendefinisikan berbagai kategori MNP di dalam

Schedule of Commitmentnya masing-masing; (d) Parameter liberalisasi moda 4 harus berada di luar Perjanjian MNP; (e) CCS harus berkonsultasi dengan Coordinating Committee on Investment (CCI) dalam memasukkan penanam modal sebagai salah satu kategori dari Perjanjian MNP; (f) Negara anggota akan berkonsultasi dengan tenaga ahli hukum untuk melihat implikasi legal dari mengaitkan komitmen MNP dengan Perjanjian MNP, demikian juga bila tidak mengaitkan komitmen moda 4 dengan Schedule AFAS yang ada. C. KESIAPAN INDONESIA Mengingat perundingan perdagangan jasa ASEAN yang sangat progresif, maka diperlukan kesiapan dalam menghadapi perkembangan perundingan AFAS. Kesiapan tersebut harus meliputi seluruh segi dan menyeluruh, baik dari pemerintah, pelaku pasar, asosiasi, dan akademisi. Kesiapan Pemerintah Sebagai regulator, pemerintah Indonesia telah menyiapkan diri dalam menghadapi liberalisasi perdagangan jasa. Liberalisasi memberikan konsekuensi reregulasi beberapa peraturan domestik, demikian juga liberalisasi 40 Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

perdagangan jasa ASEAN. Salah satu contoh adalah kolom J pada peraturan pemerintah mengenai Daftar Negatif Investasi yang dibuat untuk mengakomodir penyertaan modal asing yang lebih liberal bagi investor ASEAN dibanding peraturan yang berlaku bagi investor nonASEAN. Peraturan yang baik sangat diperlukan untuk mengatur industri jasa, demikian juga perlindungan yang cukup bagi industri jasa domestik. Dalam rangka persiapan menghadapi perpindahan tenaga kerja di kawasan ASEAN, maka telah disadari untuk menyiapkan sertifikasi dan kualifikasi yang diperlukan untuk memberikan daya saing bagi tenaga kerja nasional. Sosialisasi kepada pemangku kepentingan mengenai perkembangan perundingan juga menjadi hal yang penting dan telah menjadi agenda di berbagai kementerian. Kesiapan Pelaku Pasar Kesiapan para pelaku pasar dalam hal ini industri jasa Indonesia dapat dilihat melalui daya saing dan efisiensi biaya ekonomi industri yang bersangkutan. Semakin efisien suatu industri maka menunjukan daya saing yang tinggi dan kesiapan menghadapi liberalisasi. Membangun basis industri yang sehat perlu dilakukan. Adapun

sejumlah persoalan di tataran riil yang dihadapi industry jasa dalam negeri antara lain: tingkat suku bunga kredit yang tinggi, infrastruktur yang belum memadai, tenaga kerja mayoritas lulusan SMP dan SMA, penguasaan teknologi yang kurang, inovasi yang belum berkembang. Hal tersebut menjadikan ekonomi nasional rentan atas 3 ekonomi biaya tinggi . Kesiapan Asosiasi dan Akademisi Asosiasi penting peranannya sebagai perwakilan dari berbagai perusahaan/industri jasa terkait, yang dapat memberikan masukan dan posisi dari industri yang diwakilinya. Asosiasi juga memberikan informasi dan menyiapkan industri jasanya dalam menghadapi liberalisasi perdagangan jasa ASEAN. Sehubungan dengan hal tersebut, asosiasi telah melibatkan diri dan bekerja sama dengan pemerintah untuk memberikan gambaran mengenai kesiapan dan perkembangan dari industri jasa yang diwakilinya. Kesiapan akademisi juga dapat dilihat melalui kajian-kajian mengenai liberalisasi perdagangan jasa ASEAN, baik dilakukan secara independen maupun bekerja sama dengan pemerintah.

Indra Maipita, Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan Internasional, 2002

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

41

D. TINDAK LANJUT Bila dilihat dari masih banyaknya pihak yang belum mengerti mengenai perundingan perdagangan jasa di ASEAN, hal ini menunjukkan masih kurang siapnya berbagai sektor dalam menghadapi liberalisasi jasa di kawasan ASEAN. Di samping itu, sektor-sektor terkait masih lebih bertindak reaktif dan kurang terencana dalam menghadapi perkembangan perundingan jasa ASEAN. Ketidaksiapan ini tentu akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar, diantaranya kurang termanfaatkannya liberalisasi dan Indonesia hanya menjadi tujuan pasar dari berbagai sektor jasa asing atau negara ASEAN lainnya. Sebagaimana diketahui, sektor jasa merupakan sektor yang melibatkan banyak instansi pemerintah. Terdapat lebih dari 20 (duapuluh) Kementerian yang menangani dan terlibat dalam perdagangan di bidang jasa. Untuk itu, diperlukan koordinasi yang baik oleh seluruh instansi pemerintah, terkait penyusunan strategi perundingan maupun implementasi hasil perundingan. Terkait hal ini, peranan asosiasi juga sangatlah penting khususnya dalam memberikan pandangan mengenai industri jasanya masing-masing. Sektor-sektor juga harus mempersiapkan diri, terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjaga kompetisi yang adil

dan transparan, demikian juga untuk melindungi dan menunjang perkembangan industri dalam negeri. Peraturan domestik merupakan hal yang sangat penting untuk disusun secara matang, mengingat batasanbatasan yang dapat diterapkan di sektor jasa hanya melalui regulasi domestik. Dengan demikian, untuk menilai siap tidaknya suatu sektor dalam menghadapi liberalisasi dapat dilihat melalui regulasi yang sudah diterapkan, semakin baik regulasi di sektor tersebut maka semakin siap sektor tersebut untuk diliberalisasi. Kesiapan pelaku pasar dalam negeri sangatlah diperlukan dalam menghadapi kompetisi dengan pelaku pasar negara ASEAN lainnya. Untuk itu diperlukan sosialisasi yang optimal baik kepada penanam modal dalam negeri, agar dapat memanfaatkan keterbukaan pasar di negara-negara ASEAN lainnya, demikian juga dengan pelaku pasar dalam negeri agar dapat mempersiapkan diri menghadapi kompetisi dengan keterbukaan pasar di dalam negeri. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri nasional diperlukan perbaikan infrastruktur, kestabilan ekonomi dan keamanan nasional, tingkat pendidikan yang lebih baik, demikian juga kemampuan teknologi dan kreativitas serta inovasi dari industri jasa dalam negeri sangatlah penting untuk ditingkatkan.

42

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Selain itu, perlu disusun suatu kajian yang komprehensif untuk dapat melihat bagaimana pemanfaatan hasil-hasil AFAS yang sudah disepakati maupun untuk mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan sehingga hasil-hasil AFAS tersebut dapat termanfaatkan dengan optimal, demikian juga dalam upaya menyusun strategi perundingan, serta visi dan misi dari perdagangan jasa nasional. Hal penting lainnya adalah kesiapan data dan informasi. Ketidaksiapan data dan informasi sangat berpengaruh dalam menentukan posisi perundingan demikian juga dalam menyusun kebijakan. Khususnya data statistik yang terbaru dan menyeluruh. Kesiapan data dan informasi juga diperlukan dalam menyusun strategi dan posisi Indonesia di sektor tenaga kerja. Ketidaksiapan data dan informasi di sektor tenaga kerja menyebabkan ketidakpastian pada sektor mana Indonesia akan bersikap ofensif dan sektor mana yang diperlukan untuk bersikap defensif. Kepentingan yang dapat diperjuangkan selama ini adalah dimasukkannya sektor berketerampilan menengah untuk menjadi bagian dalam liberalisasi tenaga kerja di kawasan ASEAN. Pengaturan saling pengakuan atau Mutual Recognition Arrangements/ MRAs juga memerlukan kesiapan dalam negeri terkait kualifikasi dan Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

sertifikasi dari berbagai jenis profesi dikarenakan ketiadaan kualifikasi dan sertifikasi dapat melemahkan tingkat kompetisi tenaga kerja Indonesia. E. PENUTUP Terciptanya Komunitas Ekonomi ASEAN melalui liberalisasi di bidang jasa harus dipandang sebagai suatu visi dan misi, sehingga perkembangan perundingan AFAS ini tidak hanya menjadi ancaman namun dapat disikapi sebagai suatu kesempatan dan tantangan demi kemajuan bangsa dan negara. Selain itu, diperlukan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan yang dapat saling melengkapi lewat kesiapan yang matang, sehingga masing-masing pihak dapat memberikan energi positif dan mencapai cita-cita secara bersama melalui suatu strategi dalam perundingan dan pengimplementasian dari hasil perundingan AFAS ini. Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan juga memiliki arti bahwa semua pihak harus menanggalkan ego sektoral sehingga ada kesamaan visi dan misi. Merangkum hal-hal yang perlu dipersiapkan di dalam negeri dan melihat tingkat progresivitas perundingan yang cukup tinggi, maka sangat diperlukan keseriusan dan kesungguhan dari seluruh pihak untuk dapat saling bekerja sama dan mempersiapkan diri secara matang.

43

PENINGKATAN PELAKSANAAN PERJANJIAN-PERJANJIAN ASEAN


Oleh: Dina Kurniasari
1

A. LATAR BELAKANG Dalam rangka mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang terintegrasi pada tahun 2015, maka saat ini ASEAN telah menandatangani Perjanjian terkait dengan barang, investasi dan jasa sebagai regional legal frameworks. Adapun Perjanjian-perjanjian tersebut,yaitu: ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) yang ditandatangani pada bulan Februari 2009; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) yang ditandatangani pada bulan Februari 2009; dan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang telah ditandatangani pada bulan Desember 1995. Perjanjian-perjanjian ini merupakan perwujud-an komitmen dari negaranegara ASEAN untuk melakukan arus bebas barang, investasi, dan jasa. Namun dalam pelaksanaannya, implementasi dari ketiga perjanjian tersebut berbeda-beda karena di antara negara ASEAN terdapat ber-

bagai macam tantangan berupa kesenjangan dan hambatan secara hukum dan institusional. Hambatan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan sistem hukum di masing-masing negara anggota. Padahal pelaksanaan perjanjianperjanjian tersebut secara penuh merupakan kunci utama untuk mencapai tujuan yang terdapat pada ASEAN Economic Blueprint. Oleh karena itu, pada Pertemuan AEM ke-41 di Bangkok Thailand pada tahun 2009, para Menteri menugaskan SEOM dan sectoral committees terkait untuk mengidentifikasikan kesenjangan antara national legislations di masingmasing negara ASEAN dengan komitmen regional di dalam ATIGA, ACIA, dan AFAS. Sehingga kemudian dibuatlah proyek Enhancing the Implementaton of ASEAN Agreements yang didanai oleh ASEAN-Australia Development and Cooperation Programme-Phase 2 (AADCP II). Studi tersebut kemudian dilakukan oleh ITS Global Consultant bekerja sama dengan University of Asia and the Pacific. B. PERKEMBANGAN

Dina Kurniasari adalah Kepala Seksi Fasilitasi Perdagangan Barang pada Direktorat Kerja Sama ASEAN, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan. Isi artikel sebagian dan seluruhnya bukan dan tidak dapat dianggap sebagai representasi atau pandangan resmi dari Ditjen KPI, maupun Kementerian Perdagangan.

Proyek yang didanai oleh AADCP II ini bertujuan untuk meningkatkan pencapaian dari AEC dengan mendukung kegiatan-kegiatan untuk memfasilitasi arus barang, jasa, investasi, dan buruh, dengan melakukan pemetaan (mapping)

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

45

kewajiban-kewajiban ASEAN Member States (AMS) yang terdapat dalam ketiga persetujuan tersebut terhadap peraturan dan hukum di dalam masing-masing AMS dan mengindentifikasikan perubahan-perubahan yang diperlukan terhadap peraturan hukum dalam negeri/domestik yang ada sehingga semua komitmen regional ASEAN tersebut dapat berlaku efektif di dalam negeri. Adapun studi yang dilakukan oleh ITS Global Consultant tersebut dilakukan dengan tujuan antara lain: (i) mengkaji perbedaan kondisi hukum di masing-masing negara anggota dan keharusan memenuhi komitmen; (ii) mengidentifikasi kebijakan yang bersifat menghambat implementasi komitmen-komitmen yang telah disepakati dalam ketiga agreements untuk mewujudkan AEC; dan (iii) merumuskan rekomendasi dan aksi yang harus dilaksanakan oleh ASEAN, baik di tingkat regional (ASEANcollective) maupuan nasional (individual country). Jika diperinci dan dikaji satu-persatu, memang dalam ketiga perjanjian ASEAN tersebut mempunyai kesenjangan dan hambatan masingmasing. Pada Perjanjian Jasa/AFAS, telah diindentifikasikan kesenjangan (gaps) di antara negara ASEAN seperti besarnya kesenjangan di negara Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam (CLMV) khususnya di sektor transportasi dan logistik, tele-

komunikasi, penerbangan udara, jasa profesional, dan perdagangan retail. Sementara hambatan hukumnya adalah tidak adanya framework yang bersifat legal binding dan konsisten dengan AEC goals, terbatasnya komitmen hukum di dalam negeri beberapa anggota ASEAN untuk liberalisasi AFAS, serta tidak adanya domestic law yang mengatur tentang sektor-sektor di beberapa kasus. Sedangkan di sektor investasi juga telah diindentifikasikan beberapa kesenjangan. Kesenjangan yang paling mencolok adalah adanya kesenjangan dengan AEC goals terutama di pertanian, perikanan, kehutanan, pabrikan, dan pertambangan. Selain itu, juga ada kesenjangan terkait dengan izin untuk investor asing dan national treatment yang berhubungan dengan kepemilikan dan penggunaan tanah. Terdapat juga hambatan hukum di sektor ini, di mana perjanjian terkait investasi tidak sesuai dengan national treatment untuk investor asing. Di Indonesia sendiri, bahkan UU Holtikultura yang baru berlaku, bertujuan untuk meningkatkan produksi, kualitas dan daya saing produk hortikultura tanah air, namun mempunyai komitmen yang bertentangan dengan ACIA. Hal ini tentunya harus dicermati oleh pembuat kebijakan dalam negeri agar peraturan dalam negeri bertentangan dengan peraturan Internasional.

46

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

Pada sektor barang, terdapat beberapa kesenjangan antara komitmen ATIGA dan tujuannya. Kesenjangan tersebut antara lain karena Non Tariff Measures (NTM) yang tidak sesuai dengan ATIGA, khususnya di bidang otomotif, perikanan, kehutanan, dan kesesuaian dengan komitmen di ATIGA untuk meningkatkan transparansi dari persyaratan di daerah perbatasan. Selain itu, juga telah diindentifikasikan adanya tingkat tarif yang relatif tinggi di beberapa produk sensitif. Sedangkan hambatan hukumnya tidak adanya transparansi atau persyaratan trade restrictive border, seperti nonautomotic licensing measures; serta tidak adanya hukum atau peraturan yang mengatur mengenai dikeluarkannya (phase out) tarif di ATIGA. C. TINDAK LANJUT Setiap negara ASEAN harus melakukan tindak lanjut lebih mendalam untuk mengatasi hal ini terutama di tingkat tinggi. Program kerja yang disusun oleh Sekretariat ASEAN dan Coordinating Committees yang terkait (investasi, jasa, dan implementasi ATIGA) serta rekomendasi dari konsultan (ITS Global) yang telah mengajukan beberapa langkah yang harus dilakukan dapat dijadikan pedoman oleh negara ASEAN untuk meningkatkan pelaksanaan perjanjian-perjanjian ASEAN tersebut. Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011 47

Namun selain itu, ASEAN sebagai organisasi regional mempunyai peranan penting untuk memberikan pedoman dan program percepatan untuk pengimplementasian ketiga Perjanjian tersebut. Komitmen di tingkat Menteri ASEAN diperlukan untuk memberikan pedoman yang diperlukan untuk masing-masing negara ASEAN dalam melakukan perubahan yang diperlukan. Selain itu, sebagai tindak lanjut, program untuk mengimplementasikan komitmen-komitmen tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prioritas. Prioritas-prioritas tersebut juga harus sesuai dengan dengan prioritas integrasi ASEAN dan harus disetujui oleh ASEAN Economic Ministers (AEM). Adapun daftar prioritas dari ketiga perjanjian tersebut yang harus dilakukan oleh ASEAN secara keseluruhan, adalah: Area 1
Jasa Transportasi dan Logistik,Tele komunikasi Pertanian, Manufaktur Pertanian

Prioritas 2
Jasa Profesional, Transportasi Udara, Retail Pertambangan, jasa TCF, Otomotif

3
Pariwisata, Kesehatan

Investasi Barang

Perikanan, Kehutanan Perikanan

Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa langkah yang direkomendasikan untuk AEM, ASEAN bodies dan Sekretariat ASEAN antara lain adalah: (i) AEM harus menetapkan strategi yang termasuk

dalam prioritas tinggi di bidang jasa, investasi dan barang untuk semakin mendekatkan kesenjangan dan menghapus hambatan yang telah diindentifikasikan di laporan. Prioritas tertinggi direkomendasikan di bidang jasa dan investasi karena kedua bidang tersebut mempunyai hambatan terbesar; (ii) ASEAN Coordinating Committees (CCS, CCI, CCA, CCC) harus mengembangkan kerangka kerja dan pedoman untuk melaksanakan rekomendasi yang telah diajukan; (iii) Sekretariat ASEAN harus memfasilitasi koordinasi dan melaksanakan work program tersebut di antara negara-negara anggota ASEAN. Namun selain tindak lanjut yang harus dilakukan oleh ASEAN secara keseluruhan, masing-masing negara ASEAN juga harus melakukan langkah-langkah tindak lanjut. Keputusan untuk segera melaksanakan komitmen-komitmen dalam ketiga perjanjian tersebut harus dibuat pada tingkat tertinggi. Di bidang jasa, masing-masing negara ASEAN diminta untuk menyerahkan setiap tahunnya ke Coordinating Committee on Services (CCS) jadwal komitmen di dalam AFAS untuk mendemonstrasikan kesesuaian dengan AEC priority actions dan langkah rekomendasi selanjutnya sebagai hasil dari laporan ini. Sedangkan di sektor Investasi, Coordinating Committee on Investments (CCI) diharapkan dapat

mempertimbangkan model perhitungan ekonomi untuk menilai biaya ekonomi dari pembatasan investasi dan memperoleh keuntungan dari pemindahan atau pengurangan di negara-negara ASEAN serta mengajukan jadwal untuk mengurangi kesesuaian investasi untuk kegiatan prioritas untuk jasa yang telah ditentukan di AEC. Sedangkan di tingkat Coordinating Committee on Customs (CCC), diminta untuk melakukan kajian lebih jauh untuk mengakses wilayah di mana hasil prospektif dari pengurangan biaya hambatan perdagangan dari streamlining dari persyaratan hambatan dan mengajukan hal ini ke dalam inisiatif terkini dari ASEAN connectivity dan Roadmap ASEAN untuk Integrasi jasa Logistik. Lebih lanjut, SEOM pada pertemuannya yang ke-1/42 pada bulan Januari 2011 yang lalu meminta seluruh negara anggota mempelajari kajian dan rekomendasi studi tersebut dan memberikan masukan dan tanggapannya atas hasil kajian tersebut khususnya rekomendasi yang dilakukan oleh ITS pada butir (iii) kepada pertemuan SEOM 2/42 tanggal 21-25 Maret 2011 di Singapura. SEOM, untuk selanjutnya akan memutuskan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh ASEAN baik secara kolektif (ASEAN bersama-sama) maupun individual (dalam negeri) dalam upaya memastikan terealisasikannya 48 Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015. D. PENUTUP Berdasarkan hasil paparan di atas, dapat di simpulkan bahwa diperlukannya strategi, program kerja, dan pedoman yang lengkap untuk melaksanakan recommended actions pada tingkat ASEAN secara luas dan masing-masing negara anggota ASEAN untuk mengembangkan dan mempercepat liberalisasi jasa, barang, dan investasi. Strategi, program kerja, dan pedoman juga harus disesuaikan dengan keadaan politik, ekonomi, instansi/lembaga yang berwenang serta keadaan hukum dari masingmasing negara ASEAN sehingga pelaksanaan dari ketiga perjanjian tersebut dapat berjalan lebih efektif. Model yang berbeda namun mudah diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi hukum masing-masing negara ASEAN juga mutlak diperlukan untuk mengadopsi ASEAN Agreements ke masing-masing negara anggota ASEAN.

Buletin KPI Edisi 001/KPI/2011

49

Anda mungkin juga menyukai