Anda di halaman 1dari 20

KRITIK

TERHADAP STUDI AL-QUR'AN KAUM LIBERAL



Oleh: Fahmi Salim, M.A.
(Majelis Tarjih PP Muhammadiyah & Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia/MIUMI)

RASULULLAH SAW BERSABDA:
ILMU ISLAM INI AKAN DIPIKUL OLEH ORANG-ORANG YANG ADIL (TENGAHAN) DARI SETIAP
GENERASI, MEREKA LAH YANG MENAFIKAN PENAKWILAN ORANG-ORANG JAHIL, PEMALSUAN
ORANG-ORANG BATIL, DAN PENYELEWENGAN ORANG-ORANG EKSTREM
(HR. AL-BAYHAQI, DALAM SUNAN KUBRA)
Pengantar
Judul diatas adalah judul yang sama untuk buku yang, pada awalnya, saya tulis untuk
meraih gelar Magister dari Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir, Universitas al-Azhar Kairo pada
Desember tahun 2007 silam. Syukur Alhamdulillah, buku tersebut menjadi salah satu
nominator terbaik dalam IBF Award tahun 2011 lalu yang diberikan bersamaan dengan
penyelenggaraan IBF ke-10 dengan tema besar, Khazanah Islam untuk Peradaban Bangsa.
Fokus utama buku itu adalah mengkritisi metode hermeneutika yang digadang-
gadang kelompok liberal sebagai metode paling pas dalam memahami Al-Quran saat ini.
Mengapa dan ada apa dengan 'Hermeneutika'? Setelah ditelusuri, ternyata filsafat
pemahaman teks ala Barat inilah yang menjadi "alat buldoser" paling efektif yang berada di
belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-Quran yang terjadi secara massif.
Di tangan para pengasong sekularisme dan liberalisme, metode hermeneutika untuk
mengkaji Al-Qur'an ini ingin menggusur dan mengkooptasi ajaran-ajaran Islam yang baku
dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-
nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.

Liberal Islam
Kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara terminologis
berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam
melindungi hak-hak warganya.
Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru bagi
sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode pencerahan.
Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman renaissance di Italia. Paham
ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-pendukung negara kota yang bebas
melawan pendukung Paus.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas
dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu,
liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya
adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan;
pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total

terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal
dan lembaga sosial.
Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat
dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan
modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala
yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang
non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Quran sebagai kitab suci, dan
sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di
sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis,
metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan
paham lain yang berlawanan dengan Islam.
Tema ini telah menarik perhatian penulis semenjak digelindingkannya suatu upaya
sistematis untuk meliberalkan kurikulum 'Islamic Studies' di perguruan-perguruan tinggi
Islam di Indonesia. Semenjak langkah strategis itu diluncurkan di era kepemimpinan
Munawir Syadzali di Departemen Agama dan Harun Nasution di IAIN Jakarta tahun 1980-an,
sederet nama para penganjur dan pengaplikasi hermeneutika untuk studi Islam tiba-tiba
menjadi super stars dalam kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia. Sebut saja
misalnya: Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd
(hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam),
Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A.
Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih
perempuan), dan lain-lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen di
lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia baik negeri maupun swasta, hingga kini.
Bahkan beberapa tahun silam dengan munculnya Counter Legal Draft (CLD)
Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag RI, yang merombak dan
melucuti banyak hal aspek-aspek yang qath'i dalam sistem hukum Islam, meski telah ditolak
dan digagalkan, telah mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir
hukum ala hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh
umat Islam di tanah air. Itulah salah satu dampak terburuk dari tafsir model hermeneutika ini
yang berkaitan dengan hajat hidup umat Islam Indonesia dalam soal pernikahan, perceraian,
pembagian harta waris, dan lain-lain.

Antara Hermeneutika dan Tafsir
Hermeneutika itu apaan sih? Mungkin banyak umat yang belum faham maksudnya
sehingga tidak melek akan bahayanya jika diterapkan untuk Al-Quran. Membaca dan
memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang SEJARAH, BAHASA dan
BUDAYA yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh
peradaban Barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau takwil dalam
khazanah Islam.
Metode hermeneutik ini secara ijma oleh kelompok liberal di Indonesia bahkan di
dunia ditahbiskan sebagai metode baku dalam memahami ajaran Islam baik dalam Quran
maupun Sunnah. Dalam buku yang ditulis tokoh Paramadina untuk mengenang 40 tahun
pidato pembaruan Cak Nur disebutkan, Islam ingin ditafsirkan dan dihadirkan secara liberal-
progresif dengan metode HERMENEUTIK, yakni metode penafsiran dan interpretasi terhadap
2

teks, konteks dan realitas. Pilihan terhadap metode ini merupakan pilihan sadar yang secara
instrinsik built-in di kalangan Islam Liberal sebagai metode untuk membantu usaha penafsiran
dan interpretasi. (Budhi Munawar Rachman: Reorientasi Pembaruan Islam, hlm. 388)
Selain itu, penggunaan hermeneutika untuk menafsirkan Quran ini berangkat dari
dekonstruksi konsep wahyu yang diistilahkan TANZIL oleh Al-Quran (Fusshilat: 42; As-
Syuara: 192-195). Menurut Prof. M. Naquib Al-Attas, pendiri ISTAC Malaysia, konsep TANZIL
itu memiliki 2 kekhasan yang tak dapat dicari tandingannya dalam konsep kitab suci
manapun dalam agama lain. Kedua ciri khas itu adalah, wahyu Islam diperuntukkan untuk
umat manusia secara keseluruhan (tanpa membedakan waktu dan tempat) dan hukum-
hukum suci yang terkandung dalam wahyu itu tidak memerlukan pengembangan lebih
lanjut dalam agama itu sendiri. (SMN. Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC,
1993, hlm 31-32)
Bertolak belakang dengan konsep TANZIL itu, kaum liberal malah memuji konsep
wahyu dalam pengertian Kristen yg dikemukakan oleh L.S. Thornton sebagai a made of
divine activity by wich the Creator communicates himself to man and, by so doing, evokes
mans response and cooperation. (sebuah aktifitas ketuhanan yang mana Pencipta
mengkomunikasikan kehendaknya kepada manusia, yang menyulut dan akhirnya melibatkan
respon dan kerjasama manusia dalam proses pewahyuan itu, lihat Montgomery Watt dalam
Islamic Revelation in the Modern World, hlm. 6). Konsep wahyu ala Kristen ini lah yang ingin
mereka paksakan untuk memahami ulang konsep Al-Quran (Ulil Absar dkk, Metodologi Studi
Al-Quran, Jakarta: Gramedia, hlm.57).
Dari konsep wahyu Al-Quran yang disamakan dengan Kristen ini, maka kaum liberal
mengajukan modifikasi metode tafsir agar sesuai dengan zaman sekarang. Modifikasi ini
terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat-ayat
uqubat, hudud, qishash, waris dsb. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa
menyelesaikan problem-problem kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari
masalah yg harus dipecahkan melalui prosedur tanqih (Metodologi Studi Al-Quran, hlm.166-
167).
Di bagian lain buku itu dengan lugasnya Ulil dkk menyatakan bahwa, Ayat-ayat
semacam itu disebut fiqih (?!) Al-Quran. Sebagai sebuah fiqih, ayat-ayat itu sepenuhnya
merupakan respon Al-Quran terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus
tertentu, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tersebut bersifat relatif
dan tentatif sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan & penyulingan. Membiarkan
fiqih Al-Quran sama persis dengan bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan Al-Quran pada
perangkap yang mematikan spirit dan elan vital Al-Quran (Metodologi Studi Al-Quran,
hlm.167)
Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus
pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya
adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1
milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler
yang didiktekan dalam berbagai bidang. Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir
modernis muslim baik di Timur-Tengah maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk
Indonesia. Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian
digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya "pembacaan kritis"
3

dan "pemaknaan baru" teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-
isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan
pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada
komunitas muslim.
Kita patut curiga dan bertanya: apakah tidak sebaiknya upaya pembacaan dan
pemaknaan ulang wacana agama itu diarahkan sebagai pembaruan metode dakwah Islam
dan revitalisasi sarana-sarana pendukungnya di era kontemporer ini, sesuai dengan
perkembangan zaman? Kita sangat memerlukan pemikiran segar dan cemerlang untuk
mendakwahkan prinsip-prinsip dan pandangan hidup Islam dengan metode yang cocok
dengan kemajuan zaman. Jika ini yang terjadi, maka kita dengan senang hati menyambut
seruan itu.
Namun jika yang terjadi adalah mengkaji ulang bahkan sampai pada taraf mengubah
prinsip dan pokok-pokok agama dengan dalih keluar dari kungkungan ideologis nash-nash
Al-Qur'an dan Sunnah, membatalkan absolusitas nash Al-Qur'an dengan analisa historisitas
teks atau relativisme teks, juga dibagian lain ingin melakukan studi kritik literatur dan
sejarah seperti yang dipraktekkan kalangan liberal Yahudi dan Kristen atas Bible sejak 3 abad
silam, atau bahkan dengan memunculkan pandangan bahwa nash Al-Qur'an dan Sunnah
telah out of date dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-nilai
globalisasi kontemporer. Jika benar ini yang terjadi di lapangan pemikiran, maka logika
semacam ini ditolak mentah-mentah, baik keseluruhan maupun rinciannya.
Terdapat sekian banyak bahaya tersembunyi di balik seruan di atas. Yang penting di
antaranya berujung kepada pelumeran dan peluruhan inti dan pokok dinul Islam serta
melarikan diri dari kewajiban-kewajibannya. Padahal salah satu tujuan Islam yang mulia
adalah terbentuknya umat yang kokoh kuat dalam setiap segi kehidupannya, terutama
dalam bidang pandangan hidup yang pasti, barometer akidah, syariah, dan akhlaq yang jelas
dan tidak tergerus oleh perubahan zaman yang silih berganti.
Beberapa faktor diatas itulah yang telah mendorong penulis untuk mengkaji dasar-
dasarnya, menelusuri akar sejarah hermeneutika hingga diterapkan untuk mengganti
metodologi tafsir dan takwil Al-Qur'an yang khas dalam tradisi keilmuan Islam. Selain tentu
saja menilisik isu-isu paling mendasar dan krusial secara analitis-kritis di dalam buku ini.
Penulis juga memandang suatu agenda yang mendesak di kalangan cendekiawan
muslim, agar mengkaji secara kritis asal-usul dan perkembangan metodologi pemahaman
terhadap sumber-sumber agama Islam yang kini dipaksakan oleh Barat untuk suatu proyek
hegemoni dan kolonialisme pemikiran di dunia Islam. Imbasnya tentu saja akan merasuki
pendidikan tinggi Islam, sebagai center of exellence, yang diproyeksikan untuk melahirkan
sarjana-sarjana agama Islam, namun minus kebanggaan dan penguasaan terhadap
perbendaharaan intelektual yang telah mengakar sepanjang kurun perjalanan Islam sebagai
agama sekaligus peradaban.
Memang di lingkungan Universitas al-Azhar Mesir, kiblat ilmu-ilmu keIslaman di dunia,
tradisi tahkik (studi editing-filologi naskah klasik) dan penelitian tentang studi kritik tafsir Al-
Qur'an (ad-Dakhil fi al-Tafsir) -terutama naskah-naskah tafsir klasik yang tak jarang terdapat
dampak Israiliyyat dan pendapat-pendapat aneh yang menyalahi kode etik ilmiah,
kebahasaan, maupun riwayat hadis dla'if dan palsu-, telah tumbuh subur dan mengesankan.
Namun penelitian tentang tantangan-tantangan keilmuan Barat kontemporer terhadap
4

khazanah tafsir Al-Qur'an dan juga metodologi studi Al-Qur'an yang kini gencar diupayakan
berorientasi sekuler-liberal, belum banyak yang melakukannya. Harapan penulis, buku ini
dapat memenuhi hasrat keilmuan tersebut dan mampu menjadi karya pionir untuk
menjawab tantangan paradigma sekuler-liberal dalam kajian-kajian Al-Qur'an.

Untuk tujuan penelitian secara sistematis dan tepat guna, maka penulis menyusun langkah
pembahasan thesis ini dalam kerangka sebagai berikut:
I. MUKADDIMAH.
II. PASAL 1: STUDI KOMPARATIF KONSEP TAKWIL DAN HERMENEUTIKA. Mencakup 3
pembahasan:
1- Konsep Takwil dalam Istilah Peradaban Islam
2- Konsep Hermeneutika dalam Istilah Peradaban Barat
3- Sejarah Pertumbuhan Tafsir dan Perkembangannya dalam Islam; telaah masuknya metode
Barat dalam kajian tafsir Al-Qur'an.
III. PASAL 2: HERMENEUTIKA SEBAGAI ALAT PENAFSIRAN TEKS. Mencakup 3 pembahasan:
1- Historiografi hermeneutika; latar sejarah, perkembangan dan aliran-alirannya.
2- Metode hermeneutika dan kritik Biblikal.
3- Upaya penerapan hermeneutika dalam lapangan Qur'anic Studies. Menyoroti peran
orientalis Barat, para penulis prolifik modernis di dunia Islam, dan keterpengaruhan
tulisan kaum modernis oleh pola pandang orientalisme.
IV. PASAL 3: TELAAH KRITIS ANALITIS TERHADAP ISU-ISU UTAMA PENDEKATAN
HERMENEUTIKA TERHADAP AL-QUR'AN AL-KARIM. Mencakup 3 pembahasan:
1- Isu historisitas teks Al-Qur'an; menelaah pandangan dan lontaran ide para hermeneut
seperti: Husain Muruwwah (klaim historisitas Al-Qur'an dan dampaknya terhadap
konsep i'jaz Al-Qur'an), Muhammad Arkoun (dampaknya terhadap sejarah kodifikasi
Al-Qur'an) dan Nasr Hamid Abu Zayd (dampaknya terhadap pentakwilan beberapa
konsep Al-Qur'an).
2- Isu kritik literatur dan historis untuk teks Al-Qur'an; menelaah pandangan dan lontaran ide
para hermeneut seperti: Amin al-Khuly dan M.A. Khalfallah (dampaknya terhadap
penafsiran kisah Al-Qur'an), Muhammad Arkoun (antropologi wahyu dan dampaknya
terhadap kisah Al-Qur'an), Nasr Hamid Abu Zayd (dampak penerapan semiotika atas
konsep Al-Qur'an).
3- Isu kritik dialektis-materialis antara teks Al-Qur'an dengan realitas manusia; menelaah dan
mengkritisi klaim superioritas realita manusia atas nash Al-Qur'an (dampaknya
terhadap konsep Asbab Nuzul dan kaidah al-'Ibrah bi 'Umumi al-Lafzh), menepis asumsi
Nasr Hamid tentang orisinalitas realita manusia di hadapan nash Al-Qur'an, dan dampak
isu ini kepada upaya merubah hukum-hukum qath'iy di dalam Al-Qur'an dengan
asumsi pergerakan realitas manusia yang terus berubah.
V. PENUTUP; yang berisi telaah singkat kesia-siaan dan kegagalan metodologi humaniora
kontemporer untuk tujuan pembacaan dan pemaknaan ulang Al-Qur'an Al-Karim.

Pandangan Prof. Al-Attas tentang Tafsir dan Hermeneutika
Al-Attas adalah sarjana muslim kontemporer pertama yang telah memahami
keunikan sifat ilmu tafsir dan membedakannya dari konsep dan praktik Barat mengenai
5

hermeneutika, baik yang bersumber dari Bibel maupun teks-teks lainnya. Al-Attas
menggarisbawahi bahwa ilmu pertama di kalangan umat Islam (ilmu tafsir) bisa berkembang
karena sifat ilmiah struktur bahasa Arab. Tafsir, kata dia, benar-benar tidak identik dengan
hermeneutika Yunani, Kristen, dan tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur
dan agama lain (CEII). Ilmu tafsir Al-Quran sangat penting karena ia merupakan ilmu dasar
yang diatasnya dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan
agama Islam.
Tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan nabi, sebab
beliau telah diperintahkan oleh Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, agar
kamu dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka (an-Nahl:
44)
Karena Al-Quran diwahyukan dalam bahasa Arab dengan mengikuti cara-cara
retorika orang-orang Arab, orang-orang yang hidup sezaman dengan nabi bisa memahami
makna ayat Al-Quran berikut konteks ketika diturunkannya (asbab al-nuzul). Meski demikian,
terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran Al-Quran yang memerlukan penjelasan dan penafsiran
nabi, baik secara verbal maupun behavioral yang kemudian dikenal sebagai Sunnah. Dalam
beberapa koleksi hadis terdapat bab khusus yang membahas penafsiran Al-Quran yang
disebut kitab atau bab al-Tafsir. Jadi pengetahuan tentang hadis dan Sunnah menjadi salah
satu prasyarat yang sangat mendasar bagi pemahaman dan penafsiran Al-Quran. Prasyarat
lain, menurut al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti leksikografi, tata
bahasa, konjugasi dan retorika, ilmu fiqih, imu ragam bacaan Al-Quran, ilmu asbab al-nuzul,
dan ilmu nasikh mansukh.
Penafsiran dan penjelasan Al-Quran seperti yang dibahas diatas, kebanyakan
berdasarkan analisis semantik dengan pertimbangan latar belakang sosial-historis agar dapat
memperoleh pengertian yang tepat. Kebenaran ayat-ayat Al-Quran mengenai metafisika,
hukum-hukum sosial dan sains tidak dibatasi oleh kondisi sosial historis ketika
diturunkannya. Sementara itu, Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity kelihatan terlalu
menekankan pentingnya latar belakang sosio historis turunnya ayat-ayat Al-Quran.
Namun, Al-Attas dengan tetap mengakui perlunya hal itu, menolak mentah-mentah
jika kondisi sosio-historis itu dijadikan asas untuk merelatifkan ajaran hukum dan etika. Jika
demikian, nabi semestinya tidak akan menyusun kitab suci Al-Quran seperti yang kita dapati
sekarang ini yang tidak mengikuti urutan sejarah. Semua pertimbangan ini yang seluruhnya
didasarkan pada sifat ilmiah bahasa Arab dan adanya dukungan sejarah yang autentik, telah
membantu menghasilkan tafsir-tafsir Al-Quran yang otoritatif, yang tidak terdapat dalam
tradisi-tradisi kitab suci lainnya.
Sangat jelas bahwa ilmu-ilmu penafsiran Al-Quran sangat berbeda dari hermeneutika
atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen, atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat
fundamental dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi mengenai sifat dan
otoritas teks serta keautentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci
tersebut.
Umat Islam secara universal mengakui Al-Quran sebagai kata-kata Tuhan yang
diwahyukan secara verbatim kepada nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-
ayatnya ketika nabi masih hidup. Adanya pelbagai variasi bacaan Al-Quran telah diketahui
dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang sebagai sesuatu yang tidak
6

signifikan; perbedaannya hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama.
(Jami al-Bayan at-Tabari; Adrian Brokett, The Values of Hafs and Warshs Transmissions for the
Textual History of the Quran, dalam Rippin, ed., Approaches)
Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga Hindu, tidak pernah memercayai adanya
nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat orang Yunani kebanyakan
didasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan pada spekulasi
para filosof mereka yang beragam. Penafsiran terhadap mitologi dan puisi boleh jadi sangat
subjektif atau sangat dipengaruhi oleh kondisi politik keagamaan yang berlaku. Metode
terpenting yang digunakan secara alami adalah metode kiasan allegory, sebuah tradisi
Yunani yang diprakarsai oleh Theagenes dari Rhegium (abad ke-6 sm). Penafsiran kiasan
umumnya melibatkan penolakan literer atau meninggalkannya sama sekali.
Bibel berbahasa Ibrani (atau materi-materi pembentuk PL), menurut para
cendekiawan mereka, sepenuhnya tidak dibangun atas dasar ilmiah historis yang
menunjukkan keasliannya, tetapi berdasarkan keimanan belaka.
Teks Ibrani yang sekarang di tangan kita memiliki satu kekhususan; meski usianya
cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak
terlambat. Oleh karena itu, dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga seribu tahun)
banyak yang telah berubah dari aslinya. Tidak ada satupun dari manuskrip-manuskrip
itu yang datang lebih awal dari abad ke-9 M. (J. Alberto Soggin, Introductioan to the
Old Testament; From its Origin to the Closing of the Alexandrian Canon [London: SCM
Press Ltd., 1976)
Kehadiran kitab suci tertulis yang terlambat, sebenarnya tidaklah dengan sendirinya
berarti negative, jika semua isinya dihafal secara sempurna oleh sejumlah besar orang yang
sezaman dengan Jesus dan yang integritasnya tidak perlu diragukan lagi. Dengan demikian,
secara praktis mustahil terjadi kesalahan, seperti dalam kasus keterpeliharaan Al-Quran.
Sebelum menerapkan secara tepat hikmah khusus dan umum yang terdapat dalam
kitab suci ke dalam situasi sosial-historis yang berbeda-beda, pertama-tama kita harus
memahami secara benar pengertian-pengertian yang orisinil dari ayat-ayat dalam kitab suci
itu. Di sini, jelas bahwa pengetahuan mengenai pengertian-pengertian orisinil dalam kitab-
kitab suci Yahudi dan Kristen tidak dapat diperoleh, dan pada gilirannya akan memberikan
jalan bagi suatu perkembangan yang oleh Gray disebut dengan metode yang tidak sehat
dalam penafsiran. (George Buchanan Gray, Bibel)
Berdasarkan pengamatannya yang ringkas mengenai semangat dan kecenderungan
fundamental terhadap hemeneutika dan pemahamannya yang mendalam mengenai
keunikan karakter tafsir sebagai ilmu, Prof. Al-Attas menggarisbawahi dengan perkataan
yang pasti bawa tafsir benar-benar merupakan suatu metode ilmiah. Hal ini disebabkan tafsir
yang benar adalah yang berdasarkan ilmu pengetahuan yang mapan mengenai bidang-
bidang makna (semantical fields), seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan
diaplikasikan di dalam Al-Quran, serta tercermin dalam hadis dan Sunnah. Oleh karena itu,
Al-Attas menyatakan bahwa di dalam tafsir tidak ada ruang bagi dugaan yang gegabah, atau
ruang bagi interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pembacaan atau pemahaman
subjektif atau yang hanya berdasarkan ide relativisme historis, seakan-akan perubahan
semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang
membentuk kosakata kitab suci. (CEII dan Commentary)
7

Tafsir Al-Quran adalah interpretasi berdasarkan ilmu pengetahuan yang mapan. Ia


adalah kata benda infinitive yang diderivasi dari kata kerja transitif fassara yang, menurut
leksikolog Arab klasik, berarti menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan
atau membuka sesuatu yang tersembunyi, atau membuat menjadi jelas, nyata, atau
gamblang, menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan. Di situ, tafsir, untuk diterapkan
terhadap Al-Quran, menunjukkan arti memperluas, menjelaskan, atau meng-interpretasikan
cerita yang ada dalam Al-Quran, dan memaklumkan pengertian kata-kata atau ekspresi yang
janggal, serta menjelaskan keadaan ketika ayat-ayat itu diwahyukan. Pengertian tafsir yang
telah mapan adalah suatu usaha untuk memberikan arti melalui bukti nyata atau eksternal
(dalalah zahirah) sebagai bandingan dari bukti internal atau tersembunyi (dalalah bathinah)
yang terkandung dalam tawil atau interpretasi yang lebih mendalam. (lihat al-Itqan karya As-
Suyuthi dan al-Tarifat karya Al-Jurjani)
Pandangan Al-Attas ketika menyatakan, dalam tafsir tidak ada ruang bagi dugaan
yang gegabah, penafsiran atau pemahaman subjektif yang hanya berdasarkan ide
relativisme historis, tidak berarti kebiasaan-kebiasaan seperti itu tidak pernah dilakukan
dalam pelbagai karya tafsir, sebab hal itu memang terjadi dan akan terus terjadi. Meskipun
demikian, dugaan-dugaan dan penafsiran subjektif itu dengan sendirinya dan pada
kenyataannya bukanlah tafsir, walaupun merupakan karya besar yang diberi nama tafsir.
Namun, karena adanya syarat-syarat yang jelas dan diterima secara luas, seperti yang
disebutkan di atas, anggota masyarakat yang terdidik secara Islami tentu dapat bersikap
secara tepat ketika menghadapi pelbagai penafsiran Al-Quran yang tidak bermutu dan
diakui itu.
Karena kenyataan bahwa ilmu-ilmu yang disebutkan di atas sangat diperlukan dan
telah dikodifikasikan serta dapat diperoleh dengan mudah, ilmu tafsir Al-Quran adalah
sesuatu yang telah direalisasikan dan karena itu tidak terbuka kemungkinan bagi generasi
yang akan datang untuk melakukan perubahan-perubahan yang fundamental. Sudah tentu
generasi mendatang dapat memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap tafsir
otoritatif yang telah ada, khususnya dalam aspek-aspek ilmu alam, tetapi mereka tidak dapat
begitu saja mengesampingkan penjelasan-penjelasan spiritual, etika, dan hukum serta
hubungan latar belakang historisnya.
Metode ilmiah tafsir, karena sifat ilmiah bahasa Arab, dapat dibuktikan dari
kenyataan bahwa hasil-hasil kerja tafsir yang betul adalah ilmu pengetahuan yang pasti,
sama pastinya dengan ilmu eksakta, seperti ilmu fisika dan matematika. Kesalahan juga
dapat terjadi pada ilmu pasti, baik dalam formulasi paradigma dan prosedurnya maupun
dalam aplikasinya, atau pada keduanya. Namun, tafsir sebagai ilmu pasti tidak mungkin
salah, karena didasarkan pada aturan linguistik dan bidang semantik mengenai makna yang
baku serta pandangan hidup Al-Quran dan Sunnah nabi yang sahih. Tafsir sebagai ilmu pasti
tidak memberikan penjelasan final, karena hal itu termasuk dalam ruang lingkup tawil.
Pandangan Al-Attas mengenai sifat ilmiah tafsir adalah suatu jawaban yang tajam terhadap
pandangan yang menyesatkan para penulis muslim yang dipengaruhi, secara langsung atau
tidak, oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam sejarah sains dan sosiologi ilmu
pengetahuan, dan perkembangan umum hermeneutika.
Karena sifat Al-Quran yang tidak diragukan lagi dan kodifikasi hadis-hadis nabi yang
dilakukan secara ilmiah, metode dan produk-produk tafsir bahkan tawil, seperti diuraikan
8

oleh Al-Attas, bukanlah usaha yang serampangan dan subjektif yang mencerminkan kondisi
sosial historis dan orientasi ideologis para penafsir, sebagaimana terjadi pada penafsiran
teks-teks keagamaan atau teks-teks lainnya. Sehingga jelaslah bahwa tafsir dan tawil
bukanlah pemahaman serampangan dan subjektif yang mengikuti perubahan-perubahan
sosial-historis, meskipun rujukan-rujukan historis tetap diper-timbangkan. Fakta bahwa
orang-orang Islam terpelajar dan bijaksana yang memahami dan mempertahankan tafsir
para pakar otoritatif di masa lampau dengan menghilangkan batasan-batasan etnis,
geografis, sosial-ekonomis, dan historis adalah argumentasi yang lebih dari cukup untuk
mendiskreditkan pendapat bahwa tafsir dikondisikan dan dibatasi oleh situasi-situasi sosial
historis dan ekonomi.

Hermeneutika dan Dekonstruksi Hukum Islam
Salah satu pintu masuk diterapkannya hermeneutika untuk menafsir ulang doktrin
hukum Islam adalah adanya prinsip maslahat dan maqashid syariah dalam konstruksi hukum
Islam. Anehnya, kaum liberal berani menganulir teks-teks syariah atas nama pemenuhan
kemaslahatan manusia, seakan-akan syariah hadir untuk merampas kemaslahatan manusia.
Mereka mengklaim dengan hal itu tidak ingin merobohkan syariah, melainkan hendak
menjaga maqashid dan substansinya, tanpa harus terikat dengan bentuk formalnya. Mereka
hendak membatalkan dan merobohkan seluruh bangunan fikih dan ilmu ushul fikih Islam,
dan mencukupkan diri dengan konsep maqashid yang cenderung sekuler (karena telah
diplintir) untuk menjustifikasi semua produk hukum dan peradaban Barat modern dan
postmo. Alias semuanya bisa dibenarkan atas nama maqashid syariah. Itu sama saja
menghancurkan hukum-hukum syariah atas nama syariah itu sendiri.
Dengan kedok falsafah maqashid, kita disuruh mengubah hukum keluarga dalam
Islam; mencegah talak jatuh oleh suami, mengharamkan poligami, membolehkan muslimah
kawin dengan non muslim, dan menyamakan bagian waris anak laki-laki dan perempuan dll
atas nama memelihara maslahat umum yang menjadi tujuan syariat yang utama! Sehingga
mazhab penganulir teks ini berkesimpulan boleh menganulir hukum hudud dan sistem sanksi
Islam lainnya yang ditetapkan oleh teks-teks Quran yang pasti atas nama maslahat dan
maqashid.
Penulis berhasil mengidentifikasi beberapa visi dan landasan berfikir yang mendasari
fenomena pembacaan hermeneutis atas kitab suci Al-Qur'an. Prioritas tujuan dari riset ini
adalah munculnya fakta pengaruh ideologi para penganjur hermeneutika untuk Al-Qur'an di
balik gerakan sistematis ini. Sehingga, hemat penulis, persoalan ini tidak lah relevan bila
dikaitkan dengan urusan metodologi yang digunakan mereka. Karena letak persoalan serius
justru karena ideologi sekulerisme yang diinfiltrasikan ke dalam Islam dan alam pandangan
hidup umat Islam, dengan satu tujuan besar yaitu pengosongan Islam dari ajaran-ajarannya
yang luhur dan melumpuhkannya agar tidak berlaku efektif dalam kehidupan umat.
Ulama besar Mesir yang konsern mematahkan argumentasi kaum liberal Mesir, Yusuf
Al-Qardhawi menyindir pendekatan interpretasi model ini sebagai sikap latah dan minder di
hadapan Barat sehingga mengekor worldview dan model interpretasi mereka. Ia
menyatakan,

9


...
!
Kaum sekuler-liberal ingin umat memandang sesuatu dg kacamata Barat, mendengar dg
kuping Barat, dan berfikir dengan nalar/framework Barat. Sehingga Apa saja yg bagus menurut
Barat maka baik menurut Allah, dan Apa saja yg dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk
menurut Allah. Mereka hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat dalam soal bagaimana
kita harus hidup, pandangan Barat ttg agama, konsep Barat ttg sekularisme dan berbagai teori
Barat dlm bidang hukum, sosial, politik, bahasa dan kebudayaan! (Kitab Dirasah fi Fiqh
Maqashid Syariah: 2007, hlm.96)

Ilmuan Barat Menampik Hermeneutika
Seorang sarjana Barat modern menyatakan bahwa hermeneutika tidak cocok untuk
diterapkan dalam konteks Islamic Studies, seperti terungkap dari Prof. Joseph van Ess,
professor emeritus dan pakar teologi Islam di Universitas Tuebingen Jerman:
We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made
for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology.
Schleiermacher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were
deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say text they
mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text
which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Platos dialogues, a poem
by Holderlin. This not necessarily so in Islamic studies. (Irene A. Bierman (ed), Text &
Context in Islamic Societies Reading, UK: Ithaca Press, 2004, hlm. 7)

Jadi, menurut beliau, hermeneutika Jerman tidak pernah digagas untuk kajian Islam,
sebab asal mulanya adalah produk pemikiran teologi Protestan. Schelairmacher
menerapkannya dalam kajian kritis Bible, lalu dilanjutkan oleh Heidegger dan Gadamer untuk
kajian susastra dan naskah-naskah kuno. Intinya metode tersebut tidak lah cocok diterapkan
untuk Islamic studies. Namun terus saja fakta tersebut diabaikan, dan kelompok liberal terus
menerus menjajakan hermeneutic untuk menafsirkan firman Allah swt.
Kesadaran palsu para penganjur sekularisasi teks Al-Qur'an dan ilmu-ilmu Al-Qur'an
telah mendorong mereka untuk menyederhanakan persoalan seakan hal ini berkaitan erat
dengan problematika metodologi yang digunakan untuk menganalisis Al-Qur'an. Padahal
target mereka tak lain adalah untuk mengimpor 'sisa-sisa limbah' metodologi yang telah
menyesaki ilmu humaniora peradaban Barat, yang mana hal itu belum tentu cocok dengan
prinsip-prinsip Islam dan rincian-rincian ajarannya. Limbah metodologi Barat itu
diproyeksikan untuk menyerang dan melumpuhkan Islam yang telah diwahyukan kepada
Nabi Muhammad saw. Tujuan riset yang telah kami tulis terkait dengan tema ini di dalam 3
pasal secara berurutan adalah sebagai berikut:

10

1) Riset ini telah menjelaskan betapa jauhnya berbagai pendekatan metode yang diimpor
dari Barat itu dengan spirit nilai-nilai Al-Qur'an, karena berbenturan keras dengan hal-hal
aksioma di dalam Islam.
2) Riset ini berhasil menunjukkan ketidakmampuan metode-metode humaniora Barat untuk
sampai kepada hasil apa pun. Karena memang metode humaniora tersebut lahir sesuai
dengan setting pemikiran Barat dan untuk melayani kepentingan analisis karya-karya
sastra yang ditulis oleh manusia, bukannya untuk menafsiri risalah Allah swt.

Dan masih tersisa lagi satu persoalan dasar bahwa ilmu-ilmu humaniora tersebut
tidak pernah berhasil untuk menjadi hakim dan kata putus dalam studi-studi Al-Qur'an.
Alasannya sederhana, bahwa secara logis amat mustahil sesuatu yang relatif dapat
mengatur dan menentukan nilai yang absolut. Fakta keilmuan inilah yang selalu diperhatikan
oleh para pakar ilmu syariah dalam seluruh rentang sejarah peradaban Islam.
Ilmu-ilmu humaniora Barat tidak dapat menjadi wasit bagi nash Al-Qur'an. Logikanya
adalah mustahil menengahi Al-Qur'an dengan teori-teori yang sangat spekulatif dan relatif.
Ilmu-ilmu humaniora Barat dibangun untuk memenuhi tujuan tertentu jadi sudah tidak
objektif lagi, seperti diungkap oleh Jabir al-Haditsi dalam artikelnya yang berjudul "Azmat al-
'Ulum al-Insaniyyah" (Krisis Ilmu Humaniora) di dalam jurnal al-Fikr al'Arabi edisi 37.
Objektifitas ilmiah yang diklaim ada dalam kajian humaniora Barat adalah "hipokrasi"
intelektual yang mesti diungkap sebagai skandal. Krisis internal dalam kajian humaniora ini
sebenarnya berdimensi ideologis, sehingga tidak pernah melahirkan kesepakatan di antara
golongan intelektual Barat yang bergelut di dalamnya.
Selain itu aspek teknis dari krisis internal itu tercermin dalam tidak adanya teori tafsir
yang utuh dan komprehensif dalam ilmu humaniora Barat, seperti diungkap oleh Michele
Foucoult. Hal ini bisa dibuktikan bahwa teori interpretasi sejak Marx, Freud, Nitsche adalah
tidak berkesudahan. Sebab bagi mereka bahaya paling besar adalah kepercayaan terhadap
suatu tanda-tanda yang memiliki wujud asli dan bersifat final. Guna menetapkan teori
interpretasi, berbagai pendekatan dilakukan, tetapi suatu hal yang pasti bahwa setiap takwil
dipaksa untuk mentakwilkan (reinterpretasi) dirinya sendiri. Tidak ada lagi kerangka acuan
bagi proses interpretasi. Michele Foucault mengakui hal itu dengan mengatakan hampir
mustahil membuat ensiklopedi bagi seluruh tehnik interpretasi dalam ilmu humaniora Barat,
bahkan sangat sedikit sekali yang ditulis untuk tujuan ini.

Penutup
Dari ulasan di atas, terbukti bahwa fenomena pembacaan hermeneutik atas Al-Qur'an
yang didasari oleh perkembangan ilmu humaniora Barat tak lain untuk meliberalkan tafsir Al-
Qur'an dari kaidah-kaidah metodologis yang pasti. Dalam konteks inilah, maka mereka
dimungkinkan untuk bisa melontarkan apa saja tanpa ada rasa malu untuk mempertanyakan
legitimasi dan akar justifikasi pemikiran-pemikiran mereka. Jika demikian, tak ada gunanya
bagi kita untuk menerima metode pembacaan teks yang sekuler untuk diterapkan bagi nash
Al-Qur'an. Bahkan, sudah seharusnya kita membendung dan memerangi program liberalisasi
dan sekularisasi studi Al-Qur'an karena jelas-jelas akan membahayakan visi misi Al-Qur'an
seperti yang ditanzilkan oleh Allah swt.

11

Lampiran.1

GRAND STRATEGY LIBERALISASI AL-QURAN


Oleh: Fahmi Salim, M.A.

UNTUK MEREALISASIKAN TUJUAN IDEOLOGIS PENYEBARAN PAHAM SEKULARISME DAN


LIBERALISME KE DALAM ISLAM MELALUI PRODUK-PRODUK TAFSIR, KAUM LIBERAL MENEMPUH
CARA DAN STRATEGI KRITIS:

1. HUMANISASI TEKS AL-QURAN;
BERTUJUAN MENGHAPUS HAMBATAN SAKRALITAS ATAU DESAKRALISASI AL-QURAN; MENOLAK
KEYAKINAN BAHWA AL-QURAN ADALAH FIRMAN ALLAH YG SAKRAL/SUCI.

MEKANISMENYA: MENGALIHKAN STATUS AL-QURAN DARI BERSIFAT ILAHI MENJADI MANUSIAWI,
MELALUI LANGKAH-LANGKAH SPT: MENYAMAKAN AL-QURAN DENGAN STATUS NABI ISA,
KEDUANYA ADALAH KALIMAT ALLAH, JIKA MUSLIM MENAFIKAN STATUS KETUHANAN BAGI ISA
DAN MENETAPKAN BAGINYA STATUS MANUSIAWI, MAKA MEREKA WAJIB MENAFIKAN PULA
STATUS KETUHANAN BAGI AL-QURAN DAN MENETAPKAN UNTUKNYA STATUS MANUSIAWI!

HASIL UMUM: MENJADIKAN AL-QURAN SEBAGAI TEKS MANUSIAWI SAMA DENGAN TEKS BAHASA
LAINNYA., SEHINGGA MENGAKIBATKAN ADANYA:
- AL-QURAN DILINGKUPI DAN TAK LEPAS DARI KONTEKS BUDAYA YANG KHAS YANG
MENGITARINYA. KARENA MEMILIKI KONTEKS SOSIO-CULTUR MAKA IA HARUS DIPANDANG
RELATIF DAN TIDAK LAGI MENJADI ABSOLUT.
- TEKS ALQURAN MENJADI PROBLEMATIS; TERBUKA ATAS SEGALA KEMUNGKINAN MAKNA DAN
MENERIMA PELBAGAI TAKWIL, JUGA TIDAK BOLEH ADA KLAIM HANYA ADA SATU
PEMAKNAAN SAJA YANG BENAR DAN ORISINIL DARI SUATU AYAT.
- TEKS ALQURAN SEPENUHNYA DIIKAT OLEH KONDISI MANUSIA SELAKU PEMBACA, IA LAH YANG
MEMINTA ALQURAN BERBICARA MELALUI LATAR KEILMUAN, SOSIO KULTUR DAN POLITIS
YANG DIMILIKINYA.
- TEKS ALQURAN TIDAK SEMPURNA, ADA YANG TERCECER DISEBABKAN PROSES KODIFIKASINYA
SARAT DENGAN KEPENTINGAN POLITIK DAN HEGEMONI QURAISY. KONSENSUS BAHWA
ALQURAN MUTAWATIR DIPERSOALKAN KEMBALI.

2. RASIONALISASI TEKS
BERTUJUAN MENGHAPUS HAMBATAN TRANSENDENSI; KEYAKINAN BAHWA ALQURAN ADALAH
WAHYU YANG OTENTIK DAN FINAL DARI ALLAH YANG MAHA GAIB. DEKONSTRUKSI KONSEP AL-
QURAN; dari Teosentris ke Humanis-Antroposentris.

MEKANISMENYA DENGAN CARA MENGANALISIS KITAB SUCI DENGAN METODE-METODE RISET
HUMANIORA DAN CULTURAL STUDIES. MELALUI LANGKAH-LANGKAH METODOLOGIS BERUPA:
- MENGKRITIK ULUMUL QURAN; SEBAGAI PRODUK PEMIKIRAN ULAMA KLASIK YG
BERORIENTASI TEOSENTRIS YANG ADA SEKARANG INI SUDAH TAK BERLAKU LAGI KARENA
MENGHALANGI PEMBACAAN ALQURAN SECARA ILMIAH DAN DIALEKTIS, KRITIS-
KONSTRUKTIF DAN HUMANIS. ORIENTASI ULUMUL QURAN DIUBAH HALUANNYA MENJADI
ANTROPOSENTRIS.

12

MENGGUNAKAN METODOLOGI ILMU PERBANDINGAN AGAMA YG TELAH LAMA DIGUNAKAN


UNTUK MENGANALISIS DAN MENGKRITIK TAURAT DAN INJIL, UNTUK DITERAPKAN KEPADA
ALQURAN. SEMUA ALAT ANALISA ITU SAMA KUAT DAN BERFUNGSI UNTUK DITERAPKAN
KEPADA SEMUA AGAMA DAN SEMUA KITAB SUCI TANPA KECUALI.
MEMAKAI SEMUA TEORI-TEORI KAJIAN KRITIK SASTRA YANG MUNCUL PADA PARUH KEDUA
ABAD 20 TANPA MEMPERDULIKAN DAMPAKNYA SEPERTI STRUKTURALISME,
HERMENEUTIKA, DEKONSTRUKSI DLL.


HASILNYA ADALAH: ALQURAN SAMA DENGAN TEKS KITAB SUCI AGAMA LAIN BAIK YANG
MONOTEIS, POLITEIS, DAN ATEIS SEKALIPUN. BERIKUT BEBERAPA TURUNANNYA:
- MENGUBAH KONSEP WAHYU, MELALUI KAJIAN INI, KAMI INGIN MENDEKONSTRUKSI DAN
MELAMPAUI KONSEP WAHYU YANG TRADISIONAL SEPERTI YANG DIAJUKAN SISTEM TEOLOGI
KLASIK ISLAM (M. ARKOUN)
- ALQURAN TIDAK UNGGUL DAN ISTIMEWA DIBANDINGKAN KITAB-KITAB SUCI AGAMA
LAIN. PERUBAHAN DAN DISTORSI TEKS DAN SEJARAH KITAB SUCI SPT DALAM KASUS BIBLE
JUGA AMAT MUNGKIN TERJADI PADA ALQURAN.
- KETIDAKHARMONISAN SUSUNAN TEKS ALQURAN; BERDAMPAK KEPADA KONTRADIKSI
DALAM MEMAHAMI MAKSUD DAN JUGA KERUWETAN DALAM ALUR CERITA KISAHNYA.

3. HISTORISITASI TEKS ALQURAN
BERTUJUAN MENGHAPUS KEYAKINAN BAHWA ALQURAN MEMBAWA ATURAN-ATURAN HUKUM YANG
PASTI DAN UNIVERSAL. DEFORMALISASI SYARIAH AL-QURAN
MEKANISMENYA DENGAN CARA MENGAITKAN AYAT ALQURAN DENGAN SITUASI LINGKUNGAN
DAN ZAMANNYA, SERTA KONTEKS-KONTEKS SOSIO KULTUR YANG BERBEDA. MELALUI LANGKAH
BERIKUT:
- MENGEKSPLOITASI TEMA-TEMA ULUMUL QURAN YG ADA KAITANNYA DENGAN KONTEKS
TEMPAT DAN WAKTU SEPERTI KONSEP ASBAB NUZUL, NASIKH-MANSUKH, MUHKAM-
MUTASYABIH, MAKKI-MADANI, GRADUALISASI PENURUNAN ALQURAN. MENJADI
PEMBENARAN BAGI STRUKTUR DIALEKTIS MATERIAL-HISTORIS, DAN PEMBENARAN
UNTUK STUDI KRITIS HISTORIS. MENCIPTAKAN KESAN KONTRADIKSI ANTARA ASPEK
NORMATIFITAS DAN HISTORISITAS DALAM ALQURAN.
- MENGABURKAN KONSEP HUKUM
- MENGECILKAN JUMLAH AYAT-AYAT HUKUM DALAM ALQURAN
- RELATIFITAS AYAT-AYAT HUKUM
- LEBIH DARI ITU ADALAH UPAYA MENGGENERALISIR HISTORISITAS MENCAKUP AYAT AQIDAH.

HASILNYA: ALQURAN MENJADI TEKS HISTORIS SEPERTI TEKS SEJARAH LAINNYA, YANG
BERDAMPAK KEPADA:
- PEMBATALAN AKIDAH BAHWA ALQURAN BERISI PENJELASAN YANG LENGKAP ATAS SEGALA
HAL
- MENGANGGAP AYAT-AYAT HUKUM HANYA SEBATAS HIMBAUAN (PERSUASIF) BUKAN
BERSIFAT IMPERATIF (ILZAM)
- FUNGSI ALQURAN HANYA MENGARAHKAN ETOS, NILAI-NILAI ETIS (BERSIFAT SUKARELA) SAJA
TIDAK MASUK KEPADA FORMALISASI SYARIAT ISLAM.
- SERUAN UNTUK KEBERAGAMAAN YANG LENTUR DI TATARAN PRIVAT, TIDAK MASUK KE
WILAYAH PUBLIK APALAGI MENGIKAT DAN MENGATUR SECARA KAKU. KEIMANAN BERSIFAT
PERSONAL DAN TIDAK BOLEH DIBAWA KE RANAH PUBLIK.

13

KESIMPULAN
PADA HAKIKATNYA GRAND STRATEGI LIBERALISASI ALQURAN ITU ADALAH COPY PASTE PRINSIP-
PRINSIP ABAD PENCERAHAN BARAT YANG MENENTANG OTORITAS AGAMA (KRISTEN), INSTITUSI
AGAMA (GEREJA) DAN KAUM AGAMAWAN (PAUS SEBAGAI PENGUASA TAFSIR TUNGGAL).
AKIBATNYA PERADABAN BARAT KRISTEN BERUBAH HALUAN:
- DARI BERORIENTASI TUHAN DAN AGAMA MENJADI ORIENTASI MANUSIA DAN NILAI-NILAI
KEMANUSIAAN; PEMICU FILSAFAT HUMANISME UNTUK MENCABUT OTORITARIANISME
GEREJA DI BIDANG SPIRITUAL MANUSIA.
[OLEH KAUM LIBERAL ISLAM DITERJEMAHKAN DALAM PROYEK HUMANISASI TEKS
DESAKRALISASI AL-QURAN KEHANCURAN SPIRITUALITAS MUSLIM].

- DARI BERSANDAR KEPADA SKRIPTURE/TEKS BIBLE MENJADI BERORIENTASI AKLIAH DAN
OBSERVASI SAINS; PEMICU RASIONALISME (PERCAYA THD KEKUATAN AKAL DAN INDRA
MANUSIA) UNTUK MENCABUT OTORITARIANISME GEREJA DI BIDANG KEILMUAN DAN
SAINS. [OLEH KAUM LIBERAL ISLAM DIWUJUDKAN DALAM PROYEK RASIONALISASI TEKS
DEKONSTRUKSI AL-QURAN DIKOTOMI AGAMA DAN SAINS].

- DARI BERORIENTASI AKHIRAT MENJADI ORIENTASI KEHIDUPAN DUNIA/JANGKA PENDEK DI
BIDANG POLITIK KEMASYARAKATAN. MEMICU FAHAM SEKULARISME UNTUK MENCABUT
OTORITARIANISME GEREJA DI BIDANG SOSIO KULTUR DAN POLITIK, DAN MENOLAK
ATURAN AGAMA DI RANAH PUBLIK.
[OLEH KAUM LIBERAL ISLAM DIWUJUDKAN DALAM PROYEK HISTORISITASI TEKS
DEFORMALISASI ISLAM POLITIK SEKULARISASI UMAT ISLAM].

Wallahu Alam bis-Shawab.




*penulis dapat dihubungi via email: fahmi_lc@yahoo.com, http://fahmi-salim.blogspot.com, pin BB:
27FBD3DB, Hp: 0815-84306333








14

Lampiran.2

BUKTI-BUKTI KESESATAN PAHAM ISLAM LIBERAL DI INDONESIA


Oleh: Fahmi Salim, Lc., M.A.
1. KAMPANYE PAHAM SE(kularisme)-P(lural)I(sme)-LI(berali)S(me)
Budhy Munawar Rahman:
Kebebasan beragama itu hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia kalau ide
sekularisme, liberalisme dan pluralisme itu berkembang dengan baik juga di Indonesia. Trilogy itu
memang merupakan prasyarat-prasyarat konseptual yang akan menentukan arah perkembangan
kebebasan beragama di Indonesia. kalau sekularismenya itu berjalan buruk, misalnya Negara terlalu
ikut campur dalam urusan agama dan ikut teribat dalam menilai suatu agama itu sesat atau
menyimpang, dan atau melakukan diskriminasi agama, pada saat itulah Negara tidak melindungi
kebebasan beragama warga negaranya. Karena itu Negara harusnya netral agama. (Membela
Kebebasan Beragama, hlm.xiii)
2. KESESATAN UMUM PAHAM LIBERAL:
Kaum liberal di seluruh dunia dengan aneka sektenya memiliki karakter pemikiran yang sama,
sehingga semua kelompok liberal sepakat dan bersatu dalam aneka kesesatan, antara lain:
Tuhan hanya mitos (takhayul), semua masalah ghaib adala mitos, agama hanya produk budaya dan
sejarah, semua kitab suci adalah buatan manusia, semua agama sama dan benar, iman dan kafir
hanya soal pilihan, taat dan maksiat harus sama diberi ruang, manusia memiliki kebebasan mutlak,
Hak Asasi Manusia di atas segalanya, aliran sesat hanya perbedaan penafsiran, murtad adalah
kebebasan beragama, atheis adalah kebebasan berkeyakinan, setiap orang bebas untuk mengaku
nabi, poligami haram karena syariat syahwat, homo-lesbi hanya orientasi seksual biasa, perkawinan
sejenis harus dilegalkan, pria dan wanita sama dalam segala hal, syariat Islam bias gender, syariat
Islam pemasung kebebasan, syariat Islam diskriminatif, syariat Islam tidak relevan, syariat Islam
sudah kadaluwarsa, penerapan syariat adalam ancaman dan penyebab disintegrasi bangsa, agama
harus dipisah dari urusan agama.
2.1. BUKU FIQIH LINTAS AGAMA (TIM PARAMADINA):
-

Menghina fiqih sebagai belenggu kehidupan dan memfitnahnya sebagai ajaran yang
mendiskreditkan agama lain, penyebar kebencian dan kecurigaan terhadap agama lain.
(hal.ix dan 2)
Menghina periode dan generasi salaf salaeh sebagai penyebab kebekuan pemahaman dan
memfitnah imam Syafii sebagai penyebab tidak berkembangnya pemikiran Islam lebih dari 12
abad. (hal.4-5)
Menuding ayat-ayat madinah adalah diskriminatif, eksklusif dan fundamentalistik (hal.142),
menegaskan bahwa umat beragama apa pun tidak kafir karena semua agama sama dan
15

benar, sehingga tidak boleh ada yang mengklaim bahwa agamanya yang paling benar.
(hal.133, 167, 206, 207)
Atas dasar hikmah dan kemaslahatan persaudaraan, persahabatan, kerukunan dan
persatuan, telah memfatwakan hal-hal berikut: boleh mengucapkan salam kepada non-
muslim bahkan wajib menjawab salam mereka (hal.72, 77, 78), boleh mengucapkan selamat
natal atau selamat hari besar agama apa pun, bahkan boleh ikut merayakannya (hal.84-85),
boleh mendoakan dan minta doa dari non-muslim, termasuk doa bersama lintas agama,
semua itu dianjurkan (hal.110-118), hukum jizyah melecehkan non-muslim sehingga harus
dinasakh (hal.151-152), boleh kawin beda agama dan harus ada waris beda agama (hal.164-
167)

2.2. BUKU LUBANG HITAM AGAMA (SUMANTO AL-QURTHUBY):


1. Penistaan terhadap Agama, mengandung tulisan:
- agama bukan produk Tuhan, agama adalah penjajah budaya dan pemasung intelektual, agama
mematikan akal dan nalar, agama adalah sumber konflik dan pembawa bencana, Islam adalah
strategi budaya muhammad dan merupakan sinkretik campuran budaya Judaisme, Kristianisme, dan
Arabisme, penulisan bahasa Arab adalah Arabisme.
2. Penistaan terhadap Al-Quran, mengandung hal-hal berikut:
- kemaslahatan lebih diutamakan daripada ayat-ayat Tuhan, umar ikut menciptakan Al-Quran, teks
Al-Quran tidak autentik, nabi dan para sahabat adalah para pencipta Al-Quran, Al-Quran angker dan
perangkap bangsa Quraisy, dibuat oleh manusia dan bukan kitab suci, Al-Quran membelenggu
kebebasan dan menciptakan tragedy kemanusiaan, Muhammad, Islam dan Al-Quran tidak lepas dari
distorsi, kandungan Al-Quran kontroversi, Al-Quran saja bermasalah apalagi kitab kuning.
3. Penistaan terhadap Nabi, Sahabat dan Ulama, mengandung tulisan:
- Utsman pelaku nepotisme dan keliru membuat mushaf Al-Quran, nabi dan para tokoh non-muslim
seperti Gandhi, Luther, Bunda Terresa dan Romo Mangun bersama-sama menunggu di sorga, kisah
heroic para nabi dan mukjizatnya hanya dongeng, nalar politik tirani dibentuk oleh Khulafa Rasyidin,
para sahabat nabi telah memperagakan politik Islam dengan sangat sempurna mengerikannya, Imam
al-Mawardi mengkhianati hak-hak rakyat dan seorang rasis Arabisme, doktrin politik Sunni ambigu
dan kadaluarsa, al-Asyari dan al-Maturidi menjalin persekongkolan politik, Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah sekte yang telah memanipulasi teks-teks agama.
4. Penistaan terhadap Syariat Islam, diantaranya:
-Syariat Islam menciptakan gerombolan mafia dan anjing-anjing penjilat kekuasaan, syariat Islam
diskriminatif terhadap perempuan dan non-muslim, formalisasi syariat Islam bukan hanya utopis tapi
juga tirani.

16

3. KAMPANYE DESAKRALISASI AL-QURAN = KRITIK AL-QURAN


3.1. Aksin Wijaya:
Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, Al-Quran dan mushaf Utsmani. Ketiganya adalah
tiga nama yang mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu
sebagai pesan otentik Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; Al-Quran sebagai wujud
konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat sekitar lima puluh persen pesan Tuhan;
dan mushaf sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-
kira tiga puluh persen pesan Tuhan hal itu terjadi bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin
keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan
Tuhan yang tak terbatas itu. (Arah Baru Studi Ulum Al-Quran, hlm.vii)
Lebih-lebih khalifah Utsman juga telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus
Al-Quran individu, seperti milik Ibnu Masud dan Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan
pembacaan hanya pada mushaf Utsman. Mushaf Utsmani ini telah menjadi penjara bagi pesan
rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan
antara Quraisy dan Al-Quran mushaf Utsmani merupakan dua anak kembar yang bersanding dan dua
cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.
(hlm.172)
Pemikiran Islam selalu berorientasi pada bagaimana memahami pesan Tuhan secara objektif dengan
menggunakan model romantisis, sehingga akhirnya yang ditemukan bukanlah apa yang dimaksudkan
oleh Tuhan sebagai pengirim pesan, melainkan apa yang dimaskudkan oleh pemilik bahasa Arab,
karena Tuhan pada dirinya berada di luar jangkauan akal teori romantisis. Serentak makna yg
ditemukan melalui teori itu diyakini sebagai makna yang dimaksud Tuhan, sehingga makna itu
dimutlakkan kebenarannya dan dijalankan sebagai kendaraan dalam menjalani hidup di dunia menuju
akhirat. Padahal pemahaman seperti itulah yang justru telah menyuburkan adanya peluang
penjajahan budaya oleh pemilik bahasa Arab. Karena itu, kita harus hati-hati. Kita harus mlepaskan
diri dari asumsi umum yang seolah telah menjadi kebenaran mutlak dari Tuhan. (hlm.173)
3.2. JURNAL JUSTISIA FAK. SYARIAH IAIN WALISONGO
Imbas dari sikap Utsman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk
tunduk mensakralkan Al-Quran produksi Quraisy. Karenanya wajar jika muncul asumsi bahwa
pembukuan Al-Quran hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Utsman, untuk mempertahankan
hegemoninya atas masyarakat Arab dan Islam. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah
kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan quran lah yang berhasil
terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut. (Pengantar Redaksi Jurnal justisia IAIN Wali Songo Fak.
Syariah edisi 23 tahun XI 2003, hlm.1)
Stabilitas nalar Islam di bawah payung Quran dialek Quraisy tersebut semakin menampakkan
kekuatannya ketiak imam Syafii (150-204 H) menjadikan quran sebagai otoritas mutlak. Syafii
seorang ulama keturunan Quraisy, dalam hal ini menyusun disiplin ilmu baru untuk memperkuat
17

sangga ortodoksi yakni ilmu ushul fiqih. Adanya teori ushul fiqih Syafii yang menyandarkan konstruk
nalar Islam pada kitab, sunnah, ijma dan qiyas secara hirarkis menunjukkan bahwa ilmu ushul fiqih
Syafii adalah upaya memperkuat sangga otoritas nalar Islam Arab-Quraisy. Kita tidak menutup mata
bahwa hingga saat ini, nalar Islam konstruk Syafii tersebut masih kuat mencengkeram nalar Islam.
Generasi pasca Syafii tidak kreatif dan hanya membeo pemikiran Syafii. Teori ushul fiqih ala Syafii
yang ke-Arab-an inilah yang harus kita amandemen. Itulah tanggung jawab kita sebagai generasi masa
kini untuk menyusun teori ushul fiqih baru dengan lebih mengedepankan aspek demokrasi, rasionalitas,
dan pro tradisi lokal. (hlm.4)
Adanya studi kritik Quran juga ditujukan untuk menjawab tantangan realitas kekinian. Sebab, dalam
kehidupan modern sekarang ini, dimana dunia tidak punya sekat, interaksi antar manusia terjadi
setiap saat. Dalam masyarakat modern, wajib adanya penghormatan kebebasan sipil, HAM, kebebasan
beragama dan kesetaraan gender. Tak hanya itu, umat beragama mesti menguatkan demokrasi, civil
society, mengentaskan kemiskinan, memerangi terorisme, melawan hegemoni Barat, agar tercipta
system dunia yang adil dan setara. (hlm.4)
4. LEGALITAS HOMOSEKSUAL; GAY DAN LESBI, BISEKSUAL DAN TRANS GENDER
4.1. Musdah Mulia:
Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Quran soal hidup berpasangan (ar-Rum 21; az-Zariyat
49; Yasin 36) disana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis
kelamin social). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo,
dan bisa lesbian. Mahas suci Allah yang menciptakan manusia dengna orientasi seksual yang beragam.
Sayangnya tidak banyak manusia mau memahami ciptaan-Nya.
Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya.
Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status social dan orientasi seksualnya.
Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. (Jurnal Perempuan58, Wawancara hlm.126)
Agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal
orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual,
dan orientasi seksual lainnya dinilai menimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya
dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan
jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang
perkawinan sejenis walaupun penuh cinta, kasih sayang dan kebahagiaan.
Tuhan melihat manusia semata-mata berdasarkan takwa, bukan pada suku, agama dan orientasi
seksualnya. Bicara soal takwa, hanya than yang punya hak prerogative menilai, bukan manusia.
Manusia Cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khayrat).
Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi
orang yang saleh atau takwa selama da menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak syirik,
meyakini kerasulan Muhammad, serta menjalankan ibadah yang diperintahkan, tidak menyakiti

18

pasangannya, dan berbuat baik kepada sesame makhluk dna peduli lingkungan. Seorang lesbian yang
bertakwa akan mulia di sisi Allah. Saya yakin ini! (hlm.127)
4.2. INDAHNYA KAWIN SESAMA JENIS; JURNAL JUSTISIA IAIN WALISONGO
Kami justru melihat perkawinan sejenis (disamping aspek nurani dan hasrat si homo) juga bisa
menjadi solusi alternatif bagi upaya penanggulangan ledakan penduduk dunia. Ketika dunia sekarang
ini menghadapi problem membanjirnya manusia, maka perkawinan sejenis bisa menjadi solusi
memperkecil pertumbuhan penduduk mengingat kawin sejenis tidak menghasilkan keturunan.
Lantas kenapa pernikahan homoseksual mesti dialarang padahal justru ada unsur kemaslahatan,
khususnya bagi diri si homoseks dan umumnya bagi umat manusia yang kini dilanda krisis? Hanya
orang primitife saja yang melihat perkawinan sejeis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya.
Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis.
Sebab Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan
kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa
menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu populasi manusia masih
sedikit) maka sekarang Tuhan perlu mengutus nabi untuk membolehkan kawin sejenis supaya
mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami,
jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar! (Jurnal Justisia Fak. Syariah IAIN Wali Songo
edisi 25 tahun XI 2004 hlm.1)
Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang kerena ia hanya
memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara
kritis atas doktrin tersebut. Pembacaan yang dilakukan hanya sebatas membaca narasi permukaan
atas kisah kaum Luth, tapi tidak membaca narasi yang tak tampak. Boleh jadi cerita kaum Luth itu
(kalaupun benar adanya, jangan-jangan malah Cuma mitos..!) terdapat kepentingan politik Luth
terhadap seseorang yang kebetulan homoseks. Di sinilah kewajiban umat Islam untuk membaca
narasi yang tak tampak dalam kisah Luth yang selama ini menjadi justifikasi teologis pengharaman
nikah sesama jenis. Selain membangun nalar Islam yang emansipatif, kita juga harus melakukan
advokasi terhadap mreka yang tertindas oleh agama, dalam konteks ini adalah komunitas homoseks.
Aksi pembebasan adalah tugas suci yang harus kita lakukan (hlm.4)
4.3. SUMANTO AL-QURTHUBY:
Dasar bahwa gay dan lesbian adalah menyalahi kodrat kemanusiaan adalah alasan yang ganjil, sebab
fitrah Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan saja. Gay, lesbian dan waria juga bagian dari fitrah atau
kodrat kemanusiaan itu. Saya rasa tidak ada kaum gay atau lesbian yang menghendaki untuk menjadi
gay atau lesbian. Dengan kata lain, status seksual mereka sebagai seorang gay atau lesbian juga
merupakan anugerah Tuhan, meskipun tentu saja tetap ada factor lingkungan, sosiologi dan psikologis.
Karena itu atas dasar apa menganggap mereka menyalahi kodrat? Fenomena gay-lesbian bukanlah
sebuah kecelakaan sejarah penciptaan manusia, melainkan sesuatu yang wajar, natural dan given
adanya. (Banyak Jalan Menuju Islam; Kritik Atas Fundamentalisme Agama)

19

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan
agama atau keyakinan yang sangat fundamental saja, Tuhan telah membebaskan manusia untuk
memilih; menjadi mukmin atau kafir, maka jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak peduli, apalagi
masalah seksual? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek seks bebas atau
prakteks seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti dalam dictum agama, maka sesungguhnya
kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan iu sendiri. Jika agama masih mengurusi masalah
seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu. (Jihad Melawan
Ekstrimitas Agama; Membangkitkan Islam Progresif, hlm. 182-183)
Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, demokratis dan
tidak ada pihak yang disubordinasikan dan diintimidasi?.... Jika seorang dosen atau penulis boleh
menjual otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai pengkhotbah boleh menjual mulutnya
untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual pantat dan pinggulnya untuk mendapat
uang, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan menjual alat kelaminnya untuk
menghidupi anak-istri/suami mereka?? (hlm.184)
5. ARGUMEN PLURALISME AGAMA; ABDUL MOQSITH GHAZALI
Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat it tak ada ungkapan agar orang Yahudi,
Nashrani dan orang-orang Shabiah beriman kepada nabi Muhammad saw. Dengan mengikuti
pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya,
orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta
melakukan amal saleh---sekalipun ia tidak beriman kepada nabi Muhammad, maka mereka akan
memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang Yahudi, Nashrani dan Shabiah beriman
kepada nabi Muhammad adalah pernyataan para mufassir, dan bukan ungkapan Al-Quran.
Muhammad Rasyid Ridha berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah
untuk beriman kepada nabi Muhammad. Ia berkata:
Tidak ada kesangsian tentang tidak disyaratkannya beriman kepada nabi Muhammad saw. Ini
karena komunikasi Allah dengan setiap kelompok atau beragam umat beriman (selalu dengan
menghadirkan) seorang nabi dan wahyu yang khusus (Tafsir Al-Manar, juz 1, hlm.275) dalam buku -
Argumen Pluralisme Agama hlm.249-
6. NIKAH BEDA AGAMA (NBA)
Argumentasi kebolehan NBA bila calon pasangan laki-lakinya berasal dari ahli kitab dilandaskan pada:
Pertama, tujuan pokok kehadiran agama untuk menjadi landasan system dan norma-norma kebaikan.
Kedua, menikah adalah fitrah dan kebuTuhan asasi semua manusia. Ketiga, cinta merupakan
dorongan suci yang diciptakan Allah dalam diri setiap manusia. Keempat, NBA merupakan syariat
suci, solusi, dan alternative yang lebih baik, serta lebih membawa kebaikan bagi kedua pasangan
daripada memilih jalan non-syariat. Adapun rukun nikah bagi pasangan NBA bila calon laki-lakinya
non-muslim sama degan NBA yang pasangan perempuannya berasal dari ahli kitab. (Kado Cinta Bagi
Pasangan Nikah Beda Agama, karya Moh. Monib dan Ahmad Nurcholish, penerbit Gramedia Pustaka
Utama, hlm.174-175)
20

Anda mungkin juga menyukai