Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN KASUS III

TETANUS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr. R Goeteng Taroenadibrata

Disusun Oleh: Ninda Devita (08711236)

Dokter Pembimbing Klinik : Dr. H. Wuryanto. Sp.PD M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2013

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN Nama Dokter Muda NIM Tanggal Presentasi Rumah Sakit Gelombang Periode

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM STATUS PASIEN UNTUK UJIAN Untuk Dokter Muda Ninda Devita 08711236 Oktober 2013 RSUD Purbalingga Tanda Tangan

I. IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pekerjaan Agama No. CM Bangsal Tanggal masuk Tanggal Diperiksa : Tn.A : Laki-laki : 45 tahun : Kalimanah : Buruh bangunan : Islam : 570984 : Kenanga : 31 Oktober 2013 : 1 November 2013

II. ANAMNESIS Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 1 November 2013 Keluhan Utama Riwayat Penyakit Sekarang : Kaku-kaku di seluruh tubuh :

Sejak 3 HSMRS OS mengeluh pegal-pegal di seluruh tubuh. Pegal-pegal dirasakan mendadak, saat pasien tidak terlalu banyak beraktivitas, terus-menerus, tidak membaik dengan pemberian koyo ataupun beristirahat. Keluhan disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi. 2 HSMRS leher dirasakan kaku. OS tidak bebas untuk menengok. Pasien kemudian berobat ke RS Harapan Ibu. Namun, keluhan tidak membaik. 1 HSMRS keluhan dirasakan semakin memberat. 2

Leher bertambah kaku. Mulut, punggung, perut juga kaku. Pasien menjadi sulit untuk membuka mulut. Pasien juga sulit untuk menelan makanan yang padat seperti nasi. Keluhan disertai nyeri jika pasien berpindah posisi atau disentuh, keluar keringat banyak, merasa berdebar-debar. Keluhan tidak disertai dengan kejang.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Hipertensi (-) Riwayat DM (-) Riwayat keluhan serupa (-) Riwayat ada luka sebelum keluhan timbul tidak jelas. Pasien tidak merasa ada luka di tubuhnya. Riwayat sakit gigi disangkal. Riwayat vaksin tidak jelas. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. Riwayat Diabetes Mellitus disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi disangkal. Riwayat alergi dikeluarga disangkal. Lingkungan dan Kebiasaan serta Sosial Ekonomi: Pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Pasien memang sedang bekerja dalam proyek pembangunan rumah. Saat bekerja pasien jarang menggunakan alas kaki. Pasien juga tidak pernah menggunakan sarung tangan saat bekerja. Pola makan pasien teratur, sehari 3 kali dengan lauk seadanya. Biaya pengobatan pasien ditanggung dengan menggunakan SKTM. Anamnesis Sistem : Sistem serebrovaskular Sistem kardiovaskuler Sistem respirasi Sistem digestive : nyeri kepala (-), kejang (-), demam (+) : berdebar-debar (+), keringat berlebih (+) : sesak nafas (-), batuk(-) : mual (-), muntah (-), BAB (-) selama 2 hari, lemas (+), nafsu makan (), sulit untuk menelan (+) 3

Sistem Urogenital Sistem intergumentum Sistem endokrin Sistem muskuloskeletal

: kesulitan BAK (-) : warna biru pada kuku (-), gatal pada kulit (-) : tremor (-), pertumbuhan rambut tidak wajar (-) : kaku(+) pada leher, mulut, perut, punggung, nyeri otot (+)

PEMERIKSAAN TANDA VITAL Dilakukan pada tanggal : 1 November 2013 Tekanan darah Suhu tubuh :110/70 mmHg :37 C (axillar)

Frekuensi Denyut Nadi: 88x /menit (reguler, isi dan tekanan cukup, equal) Frekuensi Napas : 19 x/menit reguler

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSIS A. KEADAAN UMUM Kesadaraan Tinggi badan Berat badan Status gizi : compos mentis, GCS 15 : 170 cm : 60 kg : BMI= BB: (TB) = 60 : (1,7)2 = 20,8 (cukup) B. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum : pasien sadar tampak lemas dan kesakitan Kepala : bentuk mesochepal, rambut hitam, uban (-), lurus (+), distribusi merata (+), alopesia(-), mudah dicabut(-) Mata : supersilia rata(-/-), palpebra superior oedem(-/-), hordeolum(-/-), sclera ikterik(-/-); konjungtiva palpebra pucat (-/-), hiperemis(-/-); pupil isokor,diameter pupil(2/2) mm; reflek cahaya(+/+); lensa(jernih) Hidung : nafas cuping hidung(-); hidung sianosis(-); deviasi septum(-); secret (-/-); perdarahan(-/-); mukosa hidung hiperemis/pucat (-/-). Telinga : deformitas daun telinga (-/-), nyeri tekan tragus(-/-), nyeri tekan mastoid(-/-), sekret(-/-), tuli (-/-). 4

Mulut

: bibir kering(+), pucat(-), sianosis(-), lidah kotor dan tremor(-), tepi ujung hiperemis(-), gusi berdarah (-); stomatitis (-), faring hiperemis(-); tonsil tenang, ukuran(T1/T1), rhisus sardonicus (+), trismus (+) 3-4 cm

Leher

: JVP 5+2 cm H2O, deviasi trachea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfonodi(-/-), kaku kuduk (+)

Thoraks Inspeksi : Dinding dada kanan kiri simetris, retraksi supra sternal (-/-), retraksi intercosta(-/-), Paru Anterior dextra Inspeksi Palpasi Perkusi simetris statis dan dinamis(-) = vocal fremitus N sonor pada seluruh lapangan paru Auskultasi Suara Dasar Suara tambahan vesikuler ronkhi basah basal (+) Wheezing (-) Posterior dextra Inspeksi Palpasi Perkusi simetris statis dan dinamis(-) = vocal fremitus N sonor pada seluruh lapangan paru Auskultasi Suara Dasar Suara tambahan vesikuler ronkhi basah basal (+) Wheezing (-) Jantung Inspeksi : Ictus cordis tampak pada SIC V, 1cm medial dari linea midclavikularis sinistra 5 = vesikuler ronkhi basah basal (+) Wheezing (-) sinistra simetris statis dan dinamis(-) = vesikuler ronkhi basah basal (+) Wheezing (-) = = sinistra simetris statis dan dinamis(-) vocal fremitus N sonor pada seluruh lapangan paru :

= vocal fremitus N = sonor pada seluruh lapangan paru

Palpasi

: Ictus cordis teraba pada SIC V, 1cm medial dari lnea midclavikularis sinistra, diameter ictus 2cm, kuat angkat(-), trill(-).

Perkusi -

: : SIC IV, Linea midsternalis dextra : SIC V, Linea midclavikularis sinistra : SIC II, Linea sternalis sinistra

Batas kanan Batas kiri Batas atas

Auskultasi: Suara dasar Mitral Trikuspid Aorta : S1 S2 murni, regular : M1>M2, ireguler : T1>T2, ireguler : A1<A2, ireguler

Arteri Pulmonalis : P1<P2, ireguler Suara tambahan :-

Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi Integumentum Genitalia Ekstremitas Ekstrimitas: superior Dex/sin Sianosis Oedem Refleks Fisiologis Refleks Patologis Tonus IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 31 November 2013 Pemeriksaan Darah Rutin 6 -/-/+ N/N -/N/N inferior dex/sin -/+/+ N/N -/N/N : dinding perut rata , jaringan parut(-), masa(-), spider nevi(-) : bunyi peristaltik (+), frekuensi 15 x/menit : perut papan (+), nyeri tekan (+) di seluruh lapang perut , : timpani di keempat kuadran abdomen (+), : diaphoresis (+) : tidak dilakukan pemeriksaan

- WBC - RBC - HGB - HCT - PLT - MCV - MCH - MCHC - LED

: 9,2 : 5,0 : 14,2 : 41 : 237 : 83 : 27 : 32 : 1 jam : 15 2 jam : 18

(3,6-11 103/uL) (3,0-5,2 106/uL) (11,7-15,5 g/dl) (35-42%) (150-450 103/ul) (80-100 fl) (26-34 pg) (22-36g/dl) (0-20 mm/jam) (0-20 mm/jam) (50-70 103/uL) (25-40 103/uL) (2-6 103/uL) (1-2 10 /uL) (0-1 10 /uL)
3 3

(N) (N) (N) (N) (N) (N) (N) (N) (N) (N)

- Hitung jenis Neutrofil Lymphsit Monosit Eosinofil Basofil : 65 : 17 :3 :0 :0 (N) (N) (N) (N) (N)

Pemeriksaan kimia klinik Ureum Kreatinin Glukosa sewaktu Asam Urat Kolesterol Trigliserida SGOT SGPT : : : : : : : : 36,6 mg/dl 0,9 mg/dl 110 mg/dl 3,3 mg/dl 243 mg/dl 13,5 mg/dl 24 mg/dl 36 mg/dl (10-50 mg/dl) (0.4-0,9 mg/dl) (100-150 mg/dl) (<6,8 mg/dl) (< 200 mg/dl) (N) (N) (N) (N) ()

DAFTAR MASALAH (DAFTAR PROBLEM) DAFTAR MASALAH AKTIF Tetanus Pneumonia Dislipidemia

Planning terapi Farmakologis

a. Stabilisasi ABC Bebaskan jalan nafas O2 3l/menit IVFD D5% 20 tpm

b. Netralisir toksin tetanus bebas Injeksi Tetagam 3000 IU (1500 IU bokong kanan I.M dan 1500 IU bokong kiri IM) b. Singkirkan sumber infeksi tetanus - Injeksi Ceftriaxon 2x1 gram - Infus Metronidazol 3x500 mg c. Relaksasi otot - Drip Diazepam 5 ampul dalam D5% 20 tpm d. Simptomatik - Injeksi Ranitidin 2x1 amp - Injeksi Ketorolax 2x1 amp - Paracetamol tablet 3x500 mg jika demam - Injeksi Diazepam 10 mg (1 ampul) jika kejang e. Kendalikan pneumonia - Antibiotik sudah diberikan - Injeksi Metilprednisolon 3x62,5 mg f. Kendalikan dislipidemia - Simvastatin tablet 10 mg 0-0-0-1 Non Farmakologis 8

a. Isolasi. Tempatkan pasien di ruang tenang, gelap, stimulan minimal. Termasuk batasi jumlah penunggu dan pengunjung pasien. b. Pemeriksaan Rotgen Thoraks jika pasien sudah stabil c. Kultur Clostridium tetani jika memungkinkan. d. Diet lunak, tinggi karbohidrat, tinggi protein. Prognosis : dubia ad bonam

PEMBAHASAN TETANUS DEFINISI Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh toksin tetanospasmin yang dihasilkan Clostridium tetani (Ismanoe, 2006). ETIOLOGI Tetanus disebabkan infeksi Clostridium tetani (Abrutyn, 2005). Clostridium tetani adalah bakteri basil gram positif dan anaerob obligat (Abrutyn, 2005). Organisme ini dapat ditemukan di tanah, kotoran hewan maupun kotoran manusia (Abrutyn, 2005). Clostridium tetani membentuk spora yang berbentuk seperti raket tenis atau paha ayam (Abrutyn, 2005). Spora bakteri ini bisa tahan bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, resisten terhadap beberapa disenfektan, ataupun pemanasan selama 20 menit (Abrutyn, 2005). Namun dapat dihancurkan dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfer dan 120o C selama 15 menit (Ismanoe, 2006). Spora ini noninvasif dan membutuhkan kulit yang tidak intak untuk masuk (Rhee, 2005). Spora ini dapat masuk daru trauma akut, luka bakar, OMA, pemebedahan, tindik, pemakaian narkoba suntik, dan penyakit kronis (ulkus, abses, dan gangren) (Abrutyn, 2005). Sedangkan bentuk vegetatifnya mudah diaktivasi dan sensitif terhadap antibiotik tertentu (Ismanoe, 2006). Bentuk vegetatif Clostridium tetani akan menghasilkan eksotoksin berupa tetanospasmin dan tetanolisin (Ismanoe, 2006). Tetanospasmin, sebagai toksin utama, terdiri dari rantai ringan dan berat (Ismanoe, 2006). Rantai ringan ini berperan untuk memblok pelepasan neurotransmiter (Ismanoe, 2006). Masa inkubasinya 1-2 hari sampai bulanan, biasanya gejala timbul setelah 7-14 hari dari trauma (Rhee, 2005). PATOFISIOLOGI Saat kuman ini masuk ke dalam tubuh, Clostridium tetani akan menghasilkan toksin jika keadaan anaerob. Sedangkan port dentre sendiri dalam keadaan tenang. Toksin yang dihasilkan berupa tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin akan merusak jaringan hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri (Ismanoe, 2006).

10

Sedangkan tetanospasmin terdiri dari rantai berat dan ringan. Rantai berat berfungsi membantu rantai ringan masuk ke dalam sel dengan berikatan dengan membran sel. Rantai ringan (metaloproteinase zink) ini yang akan mencegah pelepasan neorotransmiter inhibitor (GABA, glisin) dengan mengikat sinaptobrevin (protein untuk membantu pelepasan vesikel) (Ismanoe, 2006). Toksin ini akan ditansfer secara retrograd ke dalam badan sel di batang otak dan saraf spinal. Transpor pertama pada neuron motorik. Interneuron yang manghambat neuron motorik terminal alfa yang bpertama kali dipengaruhi sehingg timbul kekakuan. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot antagonis dan agonis kontraksi bersamaan dan timbullah spasme. Tetanospasmin juga memiliki efek konvulsan pada kortikal. Neurin motorik juga dipengaruhi dengan mengurangi pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskular sehingga timbul paralisis (Ismanoe, 2006). Saraf sensorik dan otonomik juga dipengaruhi. Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatis dan kadar katekolamin plasma yang berlebih. Toksin juga dapat tersebar melalui darah atau sistem limfatik. Toksin bersifat ireversibel. Pemulihannya membutuhkan tumbuhnya ujung saraf baru (Ismanoe, 2006). Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi jika toksin yang dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal karena sawar darah otak tidak bisa ditembus toksin. Panjang serabut saraf berbanding lurus dengan waktu transport sehingga urutan serabut saraf pertama dari kepala, lalu tubuh, kemudian ekstremitas (Ismanoe, 2006). Pada sistem kardiovaskular, tetanus menyebabkan sirkulasi hiperkinetik berupa takikardi dan hipertensi. Hal ini dikarenakan peningkatan aktivitas simpatik basal dan peningkatan aktivitas otot. Namun, terdapat keadaan yang mengancam jiwa berupa badai otonomik dengan gejala hipotensi dan bradikardi mendadak. Keadaan ini disebabkan berkurangnya stimulasi katekolamin secara mendadak atau efek langsung toksin tetanus terhadap miokardium (Ismanoe, 2006). Pada sistem respirasi, tetanus menyababkan ketidakmampuan untuk batuk, menelan, sekresi bronkial yang profus, spasme faringeal, peningkatan tekanan intraabdominal dan statis gaster. Keadaan tersebut menyebabkan pasien tetanus lebih mudah terjadi aspirasi dan terkena 11

pneumonia. Rigiditas dan spasme muskular dari dinding dada, diafragma dan abdomen dan spasme jalan nafas mengakibatkan ventilasi/perfusi terganggu. Sindrom distres nafas akut sangat mungkin ada sebagai komplikasi tetanus. Sedasi, kelelahan, dan perubahan fungsi batang otak juga berkontribusi terhadap distres nafas (Ismanoe, 2006).

DIAGNOSIS Diagnosis tetanus mutlak berdasarkan pada gejala klinis. Selain gejala klinis yang khas, ada riwayat luka yang mendahului, dan riwayat serial vaksinasi yang tidak lengkap. Gejala Klinis (Ismanoe, 2006) a. Tetanus Generalisata Trias tetanus: rigiditas, spasme otot, dan disfungsi otonomik Otot-otot kepala dan leher pada fase awal diiukuti penyebaran kaudal yang progresif ke seluruh tubuh. Rigiditas: rigiditas pada otot leher menyebabkan kaku kuduk, rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi, rigiditas otot perut menyebabkan perut papan Spasme otot: spasme otot maseter menyebabkan trismus, spasme otot wajah menyebabkan risus sardonicus, pada otot-otot menelan mengakibatkan disfagia Spasme otot dapat bersifat episodik. Kontraksi ini bersifat spontan atau dipicu stimulus berupa sentuhan, visual, auditori, dan emosional. Manifestasi klinis yang timbul berupa nyeri. Gangguan otonomik berupa hipertensi, takikardi, badai otonomik (hipotensi dan bradikardi mendadak), hiperpireksia, keringat berlebih, salivasi bronkus, stasis gaster, ileus, meningkatnya sekresi bronkial, diare, dan gagal ginjal curah tinggi. Minggu pertama berupa rigiditas dan spasme. Gangguan otonomik dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan bertahan lebih lama. Pemulihan sempurna bisa memakan waktu sampai 4 minggu. b. Tetanus Neonatorum Generalisata dengan gejala khas berupa rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, dan spasme. Onset dalam 2 minggu pertama kehidupan. Faktor resiko adalah 12

anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi dan perawatan tali pusat yang tidak steril. c. Tetanus Lokal Pada otot-otot sekitar luka, ringan, dan dapat bertahan berbulan-bulan.

d. Tetanus sefalik Akibat trauma kepala atau infeksi telinga. Trismus dan disfungsi satu atau lebuh saraf kranial yang tersering adalah saraf ke-7. Pemeriksaan Penunjang (Ismanoe, 2006) a. Pemeriksaan laboraturium Leukosit dapat normal atau meningkat. Enzim otot dapat meningkat. b. Pemeriksaan kultur Kultur dari sekret luka. Bisa ditemukan atau tidak. Kultur yang positif bukan berarti kuman tersebut tekah menghasilkan toksin. c. Serologi Kadar antitoksin jika 0,15 U/ml dianggap mempunyai efek protektif. d. Elektromiografi Tidak ada interval tenang antara potensial aksi. Diagnosis Banding

13

Pada pasien ini, dari klinis sudah dapat didiagnosis sebagai tetanus karena ada gejala rigiditas (kaku kuduk, opistotonus, dan perut papan), spasme (trismus, disfagia, spasme karena stimuli sentuhan dan risus sardonicus), dan gejala otonomik (keringat berlebih dan berdebardebar). DERAJAT KEPARAHAN Derajat keparahan ini berfungsi untuk menentukan prognosis. Ada beberapa macam sistem pembagian derajat keparahan tetanus. Menurut Abblet (Ismanoe, 2006): a. Derajat I (ringan): trismus ringan sampai sedang, rigiditas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau sedang disfagia b. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas tampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi nafas lebih dari 30, disfagia ringan. c. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, nafas lebih dari 40 dan takikardi lebih dari 120 d. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Jika memakai kriteria Ablett, pasien ini termasuk derajat I (ringan) Menurut Dakar (Farrar et al., 2000):

Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10% Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20% 14

Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40% Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50% Jika memakai skor Dakar, pasien ini termasuk tetanus ringan (skor 1 yaitu spasme) sehingga tingkat mortlitasnya <10%. Menurut Phillips (Farrar et al., 2000):

Skor < 9: tetanus ringan Skor 9-18: tetanus sedang Skor > 18: tetanus berat Jika memakai kriteria Phillips, pasien ini memiliki skor 10 sehingga termasuk tetanus sedang. Hal ini dikarenakan status imunisasi pasien tidak jelas. Dalam perawatan, juga terdapat skor Phillips untuk menentukan kemajuan terapi dengan klasifikasi skor sama dengan skor Phillips biasa (Ritarwan, 2004). 15

PENATALAKSANAAN Tujuan terapi tetanus adalah menghilang sumber toksin, netralisir toksin bebas, mencegah spasme otot, dan monitor kondisi, terutama respirasi pasien (Abrutyn, 2005). a. Menghilangkan sumber toksin Antibiotik diberikan untuk mengeridikasi sel-sel vegetatif sebagai sumber toksin. Terdapat dua pilihan antibiotik yaitu pencilin atau metronidazol, tidak ada yang lebih superior dibanding yang lain (Lisboa et al, 2011). - Penicilin G (10-12 juta unit terbagi 4 selama 10 hari) Mekanisme kerja dengan mengganggu pembentukan dinding bakteri. Sensitif terhadap bakteri gram positif dan negatif. Namun, penicilin mempunyai struktur yang mirip dengan GABA sebagai neurotransmiter inhibisi sehingga bersifat kompetitif terhadap reseptor GABA, berkaitan dengan konvulsi, dan meningkatkan efek eksitasi dari tetanospasmin (Lisboa et al, 2011; Ismanoe, 2006) - Metronidazol (500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g i.v tiap 12 jam selama 10-14 hari)

16

Mekanisme kerja dengan mengikat DNA dan menghambat sintesis protein. Aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Metronidazol dianggap lebih aman, bioavailabilitas tinggi, dan absorpsi gaster dan rektal baik (Lisboa et al, 2011). - Alternatif lain yang dapat digunakan jika alergi keduanya adalah eritromisin, tetrasiklin, doksisiklin (100 mg per oral/ i.v tiap 12 jam), ceftazidim, vankomisin, clindamisin, dan kloramfenikol (Lisboa et al, 2011). b. Netralisisr toksin bebas

Antitoksin berfungsi untuk netralisir tetanospasmin yang bebas bersirkulasi. Imunisasi pasif dengan imunoglobulin antitetanus manusia (TIG) atau imunoglobulin dari kuda (ATS) harus segera diberikan. TIG lebih direkomendasikan karena ATS memiliki efek samping berupa hipersensitivitas. Reaksi bisa ringan (gatal/kemerahan, urtikaria), sedang (batuk kering, suara serak, bronkospasme, nausea, muntah), dan berat (syok anafilaksis). Reaksi lambat juga pdat terjadi 5-12 hari setelah penyuntikan (Lisboa et al, 2011; Farrar et al, 2000). TIG diberikan secara intramuskular karena ada efek alergi. Dosis TIG adalah 30006000 unit. Sedangkan Lisboa et al. (2011) menyarankan TIG diberikan 500-500 unit. ATS diberikan dengan dosis 500-1000 IU/kg atau 50.000-100.000 IU setengahnya lewat intravena dan setengahnya intramuskular. Sebelumnya harus dengan skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan. Untuk mengurangi efek samping pada pasien alergi dapat menggunakan metode Besredka ataupun pemberian antihistamin bersamaan atau 15 menit sebelum injeksi (lebih efektif) (Lisboa et al, 2011; Farrar et al, 2000). Lisboa et al. (2011) merekomendasikan pemberian imunisasi aktif diberikan bersamaan dengan imunisasi pasif. Hal ini dikarenakan imunisasi pasif hanya memberikan imunitas jangka pendek. Imunisasi aktif diberikan di bagian tubuh yang berbeda. Pembersihan luka dpaat dilakukan setelahnya sekitar 1-6 jam post pemberian antitoksin (Lisboa et al, 2011; Farrar et al, 2000). c. Mencegah spasme dan rigiditas

Relaksaasi otot digunakan untuk mengurangi nyeri, membantu ventilasi, dan mencegah hipertonia dan spasme (Lisboa et al., 2011). Ada beberapa pilihan obat yang dapat digunakan dengan diazepam sebagai pilihan utama (Lisboa et al., 2011). 17

Nama obat Diazepam

Mekanisme kerja Agonis GABA

Dosis 1-10 mg/kg/hari tergantung derajat kekakuan. Bisa diberikan secara bolus (10-30 mg/jam) atau drip dengan ekstra 10 mg jika perlu. Drip menggunakan NaCl 0,9% atau glukosa 5% dengan 4 ml/gram diazepam habis dalam 8 jam (Lisboa et al., 2011). Menurut Ismanoe (2006) bergantung derajat keparahan Ablett: - Ringan: 5 10 mg p.o. per 4-6 jam - Sedang: 5 10 mg i.v. - Berat50 100 mg dlm 500cc D5% infus 40 mg/jam

Baklofen

Agonis GABA

Secara intatekal per drip atau bolus. Dosis dimulai dengan 20 g/jam dinaikkan tiap 4 atau 8 jam, maksimal 2 mg/hari (Lisboa et al., 2011). Atau < 55 tahun: 100 g dan >55 tahun: 800 g (Ismanoe, 2006).

Fenobarbital

Antikonvulsan

1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam maksimal 400 mg/hari (Ismanoe, 2006)

Dantrolen

Relaksasi langsung pada 1 mg/kg i.v selama 3 jam, diulang tiap 4-6 jam otot jika perlu (Ismanoe, 2006). Awal: 0,08-0,1 mg/kg i.v dilanjut 0,025-0,1 mg/kg/hari i.v (Ismanoe, 2006)

Vekoronium

Blok neuromuskular

d. Monitor kondisi Intubasi dan trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik dibutuhkan pada hipoventilasi berkaitan dengan sedasi berlebih, mencegah aspirasi (Ismanoe, 2006). Komplikasi respirasi berupa aspirasi dapat dicegah selain dengan trakeostomi dini juga dengan mencegah penggunaan pipa nasogastrik, dan posisi pasien setengah duduk 1530(Lisboa et al., 2011).. Energi pasien banyak hilang karena kontaksi otot, keringat berlebih, dan sepsis. Penurunan berat badan sering ditemukan sehingga nutrisi sangat penting. Pemberian 18

secaraenteral lebih diutamakan untuk menjaga integritas usus dan mencegah kompliasi gastrointertinal atau respirasi. Jika ada, gastristomi endoskopi dipilih untuk mencegah refleks karena pemasangan pipa NGT. Pemberian ranitidin atau sukralfat juga dianjurkan (Lisboa et al., 2011). Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik. Benzodiazepin dan antikonvulsan terutama menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Morfin diberikan dengan dosis awal 5 mg kemudian diberikan per drip kontinyu 0,05-0,1 mcg/kg/menit atau 5 mg per 3 jam (Lisboa et al., 2011). Clonidin, alfa agonis kerja sentral, juga dapat digunakan untuk mengendalikikan instabilitas autonomik. Clonidin bekerja secara sentral mengurangi kerja simpatis sehingga mengurangi tekanan darah, denyut jantung, dan menghambat pelepasan katekolamin di perifer. Di perifer, Clonidin juga menghambat pelepasan norepinefrin di ujung saraf. Dosis Clonidin 3 mcg/kg/hari. Obat lain yang dapat digunakan adalah magnesium sulfat dengan dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Beta bloker tidak dianjurkan karena adanya kejadian kematian mendadak akibat henti jantung (Lisboa et al., 2011; Ismanoe, 2006).

KOMPLIKASI Komplikasi yang bisa timbul berupa (Ismanoe, 2006).:

19

Sistem Jalan nafas

Komplikasi Aspirasi, laringospasme obstruksi, obstruksi karena sedasi

Respirasi

Apnea, gaga; nafas, pneumonia, ARDS, hipoksia, komplikasi trakeostomi (stenosis stakea), komplikasi bantuan ventilasi jangka panjang

Kardiovaskuler

Takikardi, hipertensi, hipotensi, bradikardi, aritmia, asistole, gagal jantung

Ginjal Gastrointestinal Lain-lain

Gagal ginjal, statis urin, infeksi Statis gastes, ileus, diare, perdarahan Penurunan berat badan, tromboemboli, sepsis, fraktur vertebra selama spasme, ruptur tendon

PENCEGAHAN Imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan pencegahan yang paling efektif. Titer protektif dari antibodi tetanus adalah 0,1 U/ml. Kegagalan imunisasi dapat terjad karena beban toksin yang melebihi kemampuan antibodi, variabilitas antigenik toksin, supresi selektif dari respon imun. Pada individu dengan umur 7 tahun toksoid kombinasi tetanus dengan difteri (Td) lebih dipilih (Ismanoe, 2006). Serial vaksin yang dapat diberikan terdiri dari 3 dosis: dosis pertama dan kedua dengan jarak 4-8 minggu dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia pertengan seperti 35 atau 45 tahun. Pemberian lebih dari 5 kali tidak diperlukan. Konsentasi antibodi protektif sudah dapat dicapai dengan dosis kedua. Dosis ketiga berfungsi untuk imunitas jangka panjang. Untuk menjaga konsentasi

protektif maka diberikan dosis ulangan setiap 10 tahun (Ismanoe, 2006; Farrar et al, 2000). Sedangkan tetanus neonatorum dapat dicegah dengan imunisasi pada ibu hamil. Tiga dosis harus diberikan dengan dosis terakhir minimal 1 bulan sebelum persalinan. Imunitas pasif akan ditransmisikan kepada janin. Reaksi vaksin toksoid tetanus berupa bengkak lokal, u-like illnes, demam, maupun Guillian-Barr syndrome (Farrar et al, 2000).

20

Jadwal imunisasi tetanus (Farrar et al, 2000) Imunisasi juga diperlukan pada saat perawatan luka. Menurut American College of Surgeon Committee on Trauma, luka dibagi menjadi dua yaitu luka yang rentan tetanus (kotor) dan yang tidak rentan tetanus (bersih) (CDC, 2011).

21

Klasifikasi luka (CDC, 2011)

Perawatan luka yang bak membutuhkan imunisasi pasif dengan TIG dan imunisasi aktif dengan vaksin, terutama Td untuk individu di atas usia 7 tahun. Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis TIG sebagai profilaksis luka adalah 250 unit/ i.m. Jika menggunakan ATS dosisnya 3000-6000 unit. Vaksin dan imunisasi pasif sebaiknya diberikan di tempat yang berbeda (Ismanoe, 2006).

Pemberian vaksin dan imunisasi berdasar klasifikasi luka (Abrutyn, 2005)

22

DAFTAR PUSTAKA Abrutyn, E. 2005. Tetanus, Harrisons Principal Internal Medicine, 16th edition, McGraw Hill, New York. CDC, 2011. Guideline for Prevention of Surgical Site Infection. http://www.cdc.gov/, diakses 8 November 2013. Farrar,J.J, et al. 2000. Tetanus, J Neurol Neurosurg Psychiatry, 69: 292-301. Ismanoe, G. 2006. Tetanus, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi IV, PAPDI, Jakarta, 2006. Lisboa, T. 2011. Guidelines for the management of accidental tetanus in adult patients, Rev Bras Ter Intensiva, 23(4):394-409. Ritarwan K. 2004. Tetanus. (Online). http://repository.usu.ac.id/, diakses 6 November 2013. Rhee, P., 2005. Tetanus and Trauma: A Review and Recommendations, The Journal of Trauma Injury, Infection, and Critical Care, 58:10821088

23

Anda mungkin juga menyukai