Anda di halaman 1dari 28

Case Report

PARAPARESE INFERIOR

Oleh DWI PERMATASARI 0818011016

PRECEPTOR dr. Sanjoto S, Sp.KFR

SMF REHABILITASI MEDIK RSUD Dr. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG SEPTEMBER 2012

STATUS NEUROLOGIS

Tanggal Pemeriksaan : 10 september 2012 Pemeriksa : Dwi Permatasari

I. Identitas Pasien Nama Pasien Umur Agama Suku Alamat Pekerjaan Status : Ny. Z : 64 tahun : Islam : Bengkulu : Teluk betung : Ibu Rumah Tangga : sudah menikah

Tanggal Kunjungan: 10 september 2012

II. Riwayat Penyakit Auto Anamnesa Keluhan Utama Tambahan : kaki kanan dan kiri terasa lemah saat digerakkan : dada terasa sesak

III. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien datang ke RSUAM dengan keluhan kaki kanan dan kiri terasa lemah dan nyeri saat digerakkan, pasien mengaku 1tahun yang lalu pasien jatuh terduduk ketika sedang berjalan. Keluhan rasa kesemutan dan baal disangkal pasien. Pasien lalu pergi berobat ke tukang urut namun keluhan ini tidak hilang, lalu pasien pergi berobat ke dokter, dan pasien disarankan untuk menjalankan fisioterapi. Pasien mengeluhkan sulit buang air besar namun,buang air kecil tidak ada gangguan. Tidak terdapat gangguan kesadaran, orientasi, bahasa dan daya ingat pasien masih baik.

IV. Riwayat penyakit dahulu Pasien pernah mengalami keluhan nyeri di kakai kanan dan kiri yang hilang timbul sejak 10 tahun yang lalu. Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi dan penyakit jantung. V. Riwayat penyakit keluarga Ibu pasien memiliki riwayat darah tinggi VI. Riwayat Sosio Ekonomi Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan memiliki 8 orang anak, pasien tinggal bersama suaminya.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Kesadaran GCS : Tampak sakit ringan : Compos mentis : E4V5M6 (15)

Vital sign Suhu Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi nafas : 36,2C : 120/90 mmHg : 80x/menit : 20x/menit (Reguler)

KEPALA Bentuk Rambut Mata : Bulat, simetris : Hitam, sedikit putih, lurus, tidak mudah dicabut : Palpebra oedem -/-, Konjungtiva ananemis, sklera

anikterik, pupil

isokor, refleks cahaya (+/+) Telinga Hidung Mulut : Simetris, serumen (-) : Simetris, deviasi septum (-) : Bibir kering, bibir sianosis (-), lidah tidak kotor

LEHER meningkat.

Trakhea di tengah, KGB tidak membesar,

JVP tak

TORAKS Inspeksi Palpasi Perkusi kanan Batas jantung kanan sela iga IV kanan garis sternal kanan Batas jantung kiri sela iga V kiri garis midklavikula kiri Auskultasi ronkhi (-) : Bunyi jantung I-II murni, murmur (-), wheezing (-), : Bentuk dada dan gerakan nafas kanan = kiri : Fremitus taktil simetris kanan-kiri : Batas paru-hepar sela iga VI kanan garis midklavikula

ABDOMEN Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : datar dan simetris : turgor baik, hepar dan len tidak teraba : tymphani : BU (+)

EKSTREMITAS Superior Inferior : oedem (-), sianosis (-) : oedem (-), sianosis (-)

IV.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Saraf Cranialis (Kanan/kiri) N.Olfactorius ( N.I ) Daya penciuman hidung N.Opticus ( N.II ) Tajam penglihatan Lapang penglihatan Tes warna Fundus oculi : : : : OD > 3/60 , OS > 3/60 OD normal, OS normal Normal Tidak dilakukan : Baik

N. Occulomotorius, N. Trochlearis, N. Abdusen (N.III N.IV N.VI) Kelopak Mata Ptosis Endophtalmus Exopthalmus Pupil Diameter Bentuk Isokor / anisokor Posisi Refleks cahaya langsung : : : : : (3 mm / 3 mm) (Bulat / Bulat) (Isokor / Isokor) (Sentral / Sentral) (+/+) : : : (-/-) (-/-) (-/-)

Refleks cahaya tidak langsung :

(+/+)

Gerakan Bola Mata Medial Lateral Superior Inferior Obliqus, superior Obliqus, inferior Refleks pupil akomodasi Refleks pupil konvergensi : : : : : : : : (+/+) (+/+) (+/+) (+/+) (+/+) (+/+) (+/+) (+/+)

N. Trigeminus (N.V) Sensibilitas Ramus oftalmikus Ramus maksilaris Ramus mandibularis : : : (Normal / Normal) (Normal / Normal) (Normal / Normal)

Motorik M. masseter M. temporalis M. pterygoideus : : : (Normal / Normal) (Normal / Normal) (Normal / Normal)

Refleks Refleks kornea Refleks bersin : : Normal Normal

N. Fascialis (N.VII) Inspeksi Wajah Sewaktu Diam Tertawa Meringis : : : simetris simetris simetris

Bersiul Menutup mata

: :

simetris simetris

Pasien Disuruh Untuk Mengerutkan dahi Menutup mata kuat-kuat Mengembungkan pipi : : : simetris simetris simetris

Sensoris Pengecapan 2/3 depan lidah : Baik

N. Vestibulo-coclearis (N.VIII) N. Cochlearis Ketajaman pendengaran Tinitus : (+/-) : (- / -)

N. Vestibularis Test vertigo Nistagmus : : (-/-)

N. Glossopharingeus dan N. Vagus (N.IX dan N.X) Suara bindeng / nasal Posisi uvula Palatum mole Arcus palatoglossus : : : : (-) Ditengah Tidak ada kelainan Istirahat Bersuara Arcus pharingeus : Istirahat Bersuara Refleks batuk Refleks muntah Peristaltik usus Bradikardi Takikardi : : : : : (+) (+) Bising usus (+) normal (-) (-) : : : : Simetris terangkat Simetris terangkat

N. Accesorius (N. XI) M. Sternocleidomastoideus M. Trapezius : : (+/+) (+/+)

N. Hipoglossus (N. XII) Atropi Fasikulasi Deviasi : : : (-) (-) (-)

Tanda Perangsangan Selaput Otak Kaku kuduk Kernig test Lasseque test Brudzinsky I Brudzinsky II : : : : : (-) (-) (-) (-) (-)

Status Motorik Gerak Kekuatan otot Tonus Klonus Trophi Reflek fisiologis

Superior ka / ki +/+ 5/5 Normal / Normal -/Normal / Normal Bicep (+ / +) Tricep (+ / +)

Inferior ka / ki + /+ 4/4 Hiotonus / hipotonus -/Normal / Normal Pattela (+ / +) Achiles (+/+) Babinsky (- / -) Chaddock (- / -) Oppenheim (- / -) Schaefer (- / -) Gordon (- / -) Gonda (-/-)

Reflek patologi

Hoffman trommer (- / -)

Sensibilitas Eksteroseptif / Rasa Permukaan Rasa raba : Baik

Rasa nyeri Rasa suhu panas Rasa suhu dingin Proprioseptif / Rasa Dalam Rasa sikap Rasa getar Rasa nyeri dalam

: : :

Baik Baik Baik

: : :

Baik Baik Tidak dilakukan

Fungsi Kortikal Untuk Sensibilitas Astereognosis Agnosa taktil : : baik baik

Koordinasi Tes tunjuk hidung Tes pronasi supinasi : : (Normal/Normal) (Normal/Normal)

Susunan Saraf Otonom Miksi Defekasi Salivasi : : : Normal Sulit Buang air besar (+)

Fungsi Luhur Fungsi bahasa Fungsi orientasi Fungsi memori Fungsi emosi : : : : Baik Baik Baik Baik

RESUME

ANAMNESIS Pasien datang ke RSUAM dengan keluhan kaki kanan dan kiri terasa lemah dan nyeri saat digerakkan, pasien mengaku 1tahun yang lalu pasien jatuh terduduk ketika sedang berjalan menuju kamar mandi. Keluhan rasa kesemutan dan baal disangkal pasien. Pasien lalu pergi berobat ke tukang urut namun keluhan ini tidak hilang, lalu pasien pergi berobat ke dokter, dan pasien disarankan untuk menjalankan fisioterapi. Tidak terdapat gangguan kesadaran, orientasi, bahasa dan daya ingat pasien masih baik. Selain itu pasien juga mengeluh sulit BAB dan dada sering terasa sesak. Pada pemeriksaan keadaan umum tampak sakit ringan kesadaran kompos mentis GCS 15. Suhu 36,2C, Tekanan darah 120/90 mmHg , Frekuensi nadi 80x/menit, frekuensi nafas 20x/menit. Kekuatan otot inferior

(4/4), tonus inferior hipotonus. Refleks patologis tidak ada.

DIAGNOSIS Klinis Topis Etiologi = paraparese inferior susp. Sindrom Gullain barre

= medula Spinalis pars lumbal = Sindrom Gullain Barre

DIAGNOSIS BANDING HNP

PENATALAKSANAAN 1. Dietetik peroral (nasi biasa) 2. Medikamentosa Tirah baring IVFD RL gtt XV/menit

Ciprofloksasin 2x500mg Neurodex 2x1 tab

3. Rehabilitasi Fisiotherapy Nursing rehabilitation : pindah posisi tiap 2 jam Occupation therapy Social worker Psikologi

PEMERIKSAAN ANJURAN CT SCAN Mielografi

PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad Fungsionam Quo ad Sanationam = = = Dubia ad bonam Dubia ad bonam Dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 53,4 kasus per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Belum termasuk dalam data tersebut jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera akut (Islam, 2006). Sedangkan 40% traumaspinal ini disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja. Cedera pada medulla spinalis ditandai dengan perubahan gangguan motorik sensorik atau fungsi otonom, kadang-kadang disertai nyeri dan deformitas pada vertebra. Akibat suatu trauma pada medulla spinalis dan kauda ekuina pada manusia yang paling dini adalah paraplegia dan kuadriplegia.

II. ETIOLOGI Penyebab trauma medula spinalis yang tersering dikemukakan adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, tembakan senapan, serta bencana alam, misalnya gempa bumi. Semua penyebab tadi dapat mengakibatkan destruksi secara langsung pada medulla spinalis; kompresi oleh pecahan tulang, hematom, diskus atau komponen vertebrae lainnya; atau dapat juga mengakibatkan iskemia akibat kerusakan atau penjepitan arteri. III. EPIDEMIOLOGI Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam setahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Dari jumlah di atas, penyebab terbanyak karena kecelakaan mobil. Diikuti karena terjatuh, luka tembak dan cedera olah raga.

IV. PENYEBAB Penyebab yang paling umum dari kerusakan medulla spinalis adalah : 1. Trauma Seperti kecelakaan motor, jatuh, luka ketika berolahraga (khususnya menyelam ke perairan dangkal), luka tembakan dan juga bisa karena kecelakaan rumah tangga. 2. Penyakit

Motorneuron disease : keluhan berupa kelemahan otot, seperti pada otot yang cepat letih dan lelah, yaitu pada jari-jari tangan. Polimiositosis bilateral : keluhan berupa kelemahan / keletihan pada otot otot disertai mialgia ataupun sama sekali bebas nyeri atau rasa pegal/ linu / ngilu. Polimiositosis juga dapat menyebabkan kelemahan keempat anggota gerak.

Poliradikulopatia / polineuropatia bilateral : keluhan berupa kelemahan otot otot tungkai.

Miopatia bilateral : keluhan berupa tidak dapat mengangkat badannya untuk berdiri dari sikap duduk taupun sikap sujud.

Distropia bilateral : kelemahan otot sesuai dengan penyakit herediter umumnya, yaitu sejak kecil.

Sindroma Miastenia Gravis : dimulai dengan adanya ptosis unilateral atau bilateral.

V. ANATOMI Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang dikelompokkan menjadi :


7 vertebra cervical atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk. 12 vertebra thorakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang thoraks atau dada.

5 vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.

5 vertebra sacralis atau ruas tulang selangkang membentuk sacrum. 4 vertebra koksigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus.

Gambar 2.1 Segmen Corda Spinalis

VI. PATOFISIOLOGI

Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung. Selain itu, trauma dapat pula menimbulkan fraktur dan instabilitas tulang belakang sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Cedera sekunder berupa iskemia muncul karena gangguan pembuluh darah yang terjadi beberapa saat setelah trauma. Iskemia mengakibatkan pelepasan eksitotoksin, terutama glutamat, yang diikuti influks kalsium dan pembentukan radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis. Semua ini mengakibatkan kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula spinalis yang terkena. Deplesi ATP (adenosin trifosfat) akibat iskemia akan

menimbulkan kerusakan mitokondria. Selanjutnya, pelepasan sitokrom c akan mengaktivasi ensim kaspase yang dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat) sehingga mengakibatkan kematian sel neuron karena apoptosis. Edema yang terjadi pada daerah iskemik akan memperparah kerusakan sel neuron. Beberapa minggu setelah itu, pada daerah lesi akan terbentuk jaringan parut yang terutama terdiri dari sel glia. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia. Kondisi demikian ini diduga sebagai penyebab terjadinya kecacatan permanen pada trauma medulla spinalis. PEMERIKSAAN a. Inspeksi Pasien dalam kondisi berbaring b. Palpasi

Sistem Motorik

Penilaian kekuatan otot merupakan salah satu pemeriksaan yang harus dilakukan pada pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa baik pada waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada waktu menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan serentetan gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan pemeriksaan kekuatan otot harus diketahui fungsi masing masing otot yang diperiksa. Pada paraparese didapatkan kekuatan otot yang menurun pada kedua tungkai.

Penilaian kekuatan otot : Nilai Kontraksi 0 1 2 Tidak ada Ada, tanpa gerakan yang nyata 0 10 % Persentase

Dapat menggeser / menggerakkan lengan tanpa 11 25 % beban dan tahanan Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dan 26 50 % tanpa tahanan 51 75 %

4 5

Dapat mengangkat lengan dengan tahanan ringan

Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat 76 100 % dengan beban tahanan berat

Refleks

Pada kelumpuhan lower motor neuron (LMN) tidak menunjukkan reflek patologis sedangkan pada kelumpuhan Upper Motor Neuron menunjukkan refleks patologis.
SINDROMA GUILLAIN-BARRE A. Pendahuluan

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu

Idiopathicpolyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain BarreSyndrome.

B. Definisi

Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut dan yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari ekstremitas inferior dan meluas keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa yaitu berupa kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat merambat ke proximal. C. Epidemiologi

Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugurdimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. D. Etiologi

Pada umumnya penyakit ini sering didahului penyakit infeksi traktus respiratorius atas seperti influenza, atau dapat juga didahului oleh infeksi bakteri, vaksinasi, tindakan bedah

dan lain-lain. Dengan melihat keadaan klinis yang mendahuluinya, banyak teori dicoba untuk dikaitkan dengan penyakit ini. 1. Infeksi 50% penderita mengalami infeksi dalam waktu 2 minggu sebelum gejala, umumnya infeksi virus terutama influenza. 2. Tindakan Bedah 5-10% kasus terjadi setelah tindakan bedah. 3. Penyakit Keganasan. Beberapa kasus penyakit ini dikaitkan dengan penyakit Hodgkins dan limfoma. 4. Vaksinasi 3% penderita dengan sindroma ini 8 minggu sebelumnya mengalami vaksinasi yang dilaporkan sebagian besar vaksinasi influenza. E. Patologi

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun.

Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang

tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat

ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana derah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada

daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin.

Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.

Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.

Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

F.

Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillain Barre dapat diklasifikasikan yaitu ; 1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tie AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C. Jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi. 2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN) Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C.Jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan ascending dan paralisis simteris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana

didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukan degenerasi wallerian like tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun. 3. Miller Fisher Syndrome Variasi dari GBS yang umum dan merupakan 5% dari semua kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, opthalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan. 4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP) CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya besifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.

G. Gambaran Klinik

Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala. 2. Fase plateau.

Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

H. TATALAKSANA

Terapi pada cidera medulla spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan funsi sensorik dan mototrik. Pasien dengan cidera medulla

spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medulla spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medulla spinalis inkomplet cenderung memiliki prognosis yg lebih baik. Apabila fungsi sensorik di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cidera medulla spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Sesegera mungkin (sebelum 8 jam) diberikan methylprednisolone 30 mg/kgbb bolus intravena sebagai loading dose, diikuti 5,4 mg/kgbb/jam. dosis diturunkan (tapper) setelah 72 jam. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika. Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan profesi dan harapan pasien. Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi, elektroterapi, psikoterapi,

penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna) meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada penderita cedera medula spinalis. 1. Fisioterapi :

a) Stretching exercise sendi yang kaku untuk mencegah kontraktur b) Strengthening exercise untuk melatih kekuatan otot dan mencegah atropi otot-otot c) Positioning dan turning (rubah posisi tiap 2 jam) untuk cegah ulkus dekubitus d) ROM exercise aktif dan pasif 2. Terapi wicara : tidak ada 3. Okupasi terapi : melatih keterampilan dalam melakukan aktivitas seharihari 4. Sosiomedik a) :

Motivasi dan edukasi keluarga tentang penyakit penderita

b) Motivasi dan edukasi keluarga untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha menjalankan program di RS dan Home program 5. Psikologi : Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan keluarga

I. PROGNOSIS Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal. Penelitian Muslumanoglu dkk terhadap 55 pasien cedera medula spinalis traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12 bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional yang bermakna dalam 12 bulan pertama. Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis tanpa kelainan radiologik (5 menderita Central Cord Syndrome). Sebagian besar menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2, mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara konservatif, dengan hasil: 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami perbaikan, dan 1 orang tetraplegia.

DAFTAR PUSTAKA

Baskin DS. Spinal Cord Injury : Neurology Trauma.WB Saunders : Philadelphia. 1996. P. 276-296 Mardjono, Mahar DR.Prof., Sidharta, Priguna DR.Prof. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. Hal : 20 27, 35, 85. Price SA,Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. vol.2. ed.6. cet.1. Jakarta : EGC; 2006. p.1177-1180 Pinzon S. Mielopati Servikal Traumatika : Telaah Pustaka Terkini. Cermin Dunia Kedokteran.2006. Ed. 154. h.39-42 Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam

Neurologi. Hal : 115 131, 434 443.

Anda mungkin juga menyukai