Anda di halaman 1dari 15

Pengalaman dengan Molluscum Contagiosum dan Reaksi Inflamasi yang Berhubungan pada Praktek Dermatologi Pediatrik

Tujuan: Mengetahui frekuensi, epidemiologim gambaran klinis dan prognosis dari lesi molluscum contagiosum yang mengalami inflamasi, dermatitis molluscum, erupsi papula reaksi sindrom Gianotti Crosti, dan dermatitis atopic pada pasien dengan Moluscum contagioasum. Desain: Review grafik medical restrospektif Setting: Praktek dermatologis pediatric berbasis universitas. Pasien: Total pasien sebanyak 696 pasien (usia rata-rata 5,5 tahun)dengan

molluscum Ukuran Outcome: Frekuensi, karakteristik, dan gambaran klinis yang berhubungan dengan reaksi inflamasi molluscum contagiosum pada pasien dengan atau tanpa dermatitis atopic. Hasil :dermatitis Molluscum, lesi MC terinflamasi, dan Gianotti-Crosti syndromelike reactions (GCLRs) terjadi pada 270 (38.8%), 155 (22.3%), dan 34 (4.9%) pasien. Total 259 pasien (37,2%) empunyai riwayat dermatitis atopic. Individu dengan dermatitis atopi mempunyai jumlah lesi MC yang lebih banyak (P <0,01) dan meningkatkan kecenderungan terjadinya dermatitis molluscum (50.6% vs 31.8%; P<001). Pada pasien dengan dermatitis moluscum, jumlah lesi MC meningkat selama 3 bulan pertama pada 23,4% pasien yang diberikan terapi kortikosteroid topikal, dan 33,3% pada pasien yang tidak diberikan kortikosteroid topikal, berbanding dengan 16,8% pasien tanpa dermatitis. Pasien dengan lesi MC terinflamasi lebih jarang mengalami peningkatan lesi MC selama lebih dari 3 bulan pertama dibandingkan dengan pasien tanpa lesi MC atau dermatitis (5.2% vs 18.4%; P< 03). GCLR berhubungan dengan lesi MC terinflamasi (P<0,01), sering ditemukan pada daerah siku dan lutut, cenderung

gatal dan sering dianggap sebagai fase penyembuhan MC. Pada dua orang pasien timbul erupsi mirip exanthema laterothoracic. Kesimpulan: Reaksi inflamasi terhadap MC, sering terjadi GCLR yang tidak disadari. Terapi dermatitis molusum dapat menurunkan penyebaran MC melalui

autoinokulasi akibat garukan, dimana lesi MC inflamasi dan GCLR merefleksikan respons imun mediasi sel yang mengakibatkan clearens virus.

MOLLUSCUM CONTAGIOSUM Molluscum Contagiosum (MC) adalah infeksi kulit akibat virus swasirna dan muncul berupa papul berkelompok dan terjadi terutama pada anak-anak. Penelitian berbasis populasi yang baru saja dilakukan menemukan bahwa 20% anak anak Jepang menderita MC pada usia 6 tahun. Salah satu survey yang dilakukan oleh dokter umum Survei yang dilakukan oleh dokter umum di Belanda (1987 dan 2001) dan di UK (1994-2003) menunjukkan bahwa insiden kumulatif molloscum contagiosum pada usia 15 tahun adalah sebesar 17%, dengan sedikit peningkatan insidens dalam tahun-tahun terakhir. Hanya 5% sampai dengan 10% kasus MC pada penelitian ini terjadi pada individu dengan usia beberapa bulan sampai dengan 14 tahun. Pada mayoritas anak-anak yang menderita, MC akan sembuh spontan dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun. Berbagai macam terapi telah digunakan untuk mempercepat penyembuhannya dengan berbagai macam gejala ataupun pertimbangan kosmetik.Sapai dengan 39% orang dewasa dalam populasi umum telah mempunyai antibodi terhadap virus MC, yang menunjukkan adanya infeksi subklinis ringan atau subklinis.Beberapa jenis reaksi inflamasi dapat terjadi dan

berhubungan dengan MC. Lesi lesi MC dapat mengalami peradangan dan sering dikelilingi oleh dermatitis eksematosa (dermatitis molluscum).Gianotti-Crosti syndromelike reactions (GCLRs) juga dilaporkan terdapat pada beberapa pasien yang dikenali dengan baik sebagai manifestasi infeksi MC, terapat beberapa data yang dipublikasikan mengenai frekuensi, epidemiologi, spectrum klinis, dan prognosis.Lebih lanjut, efek dari dermatitis atopic berulang dan adanya riwayat dermatitis atopi (AD) terhadap insidens, penyebaran dan respons terhadap terapi MC sangat bervariasi pada berbagai penelitian. Untuk mengetahui karakteristik demografi dan gambaran klinis terhadap respons inflamasi MC, kami melakukan penelitian retrospektif pada 696 pasien dengan MC yang terdapat pada praktek dokter kulit berbasis pediatric di universitas kami dengan periode selama 5 tahun. MC berhubungan dengan GCLR terjadi pada 34 pasien, dan relevansinya terhadap lokasi infeksi telah dicatat. Data mengenai jumlah, lokasi, dan durasi MC pada pasien dengan atau tanpa AD dan reaksi inflamasi juga dikumpulkan.Sebagai tambahan, terapi yang digunakan untuk MC dan dermatitis yang berhubungan juga didokumentasikan. Review retrospektif dilakukan terhadap grafik medis pasien pada New York University Pediatric Dermatology FacultyPractice yang terdiagnosis MC sejak 1 Januari 2005 sampai dengan 31 desember 2010, berdasarkanInternational

Classification of Diseases, Ninth Revision,Clinical Modification. Data yang kami dapatkan dari demografi pasien ini (usia, jenis kelamin), riwayat medis dan keluarga, jumlah dan distribusi MC, ada nya AD aktif, dan reaksi inflamasi kulit lainnya, pemeriksaan laboratorium, terapi, dan terjadinya MC serta durasi. Estimasi kualitatif dari jumlah lesi MC di konversikan menjadi range kuantitatif sebagai berikut: 5 atau kurang = sedikit; 6 sampai dengan 15 lesi = multiple; 31 sampai dengan 50 lesi = banyak; dan lebih dari 50 lesi = sangat banyak atau tak terhitung (tidak ada estimasi kuantitatif untuk kategori 16-30). Pada kurang dari 10 pasien yang mendapatkan

cimetidine dan jumlah lesi tidak spesifik, maka diperkirakan jumlah lesi adalah 31 sampai dengan 50; karena dalam prakteknya kami hanya memberikan cimetidine kepada pasien dengan lesi lebih dari 30 lesi MC. Periode waktu dicatat menjadi beberapa minggu atau bulan dan dikonversikan menjadi 3 minggu atau bulan. Persetujuan dari the New York University Medical Center institutionalreview board didapatkan sebelum memulai review grafik medis tersebut. Analisis statistic dilakukan melalui perhitungan frekuensi deskriptif, dan menggunakan table 2 kali 2 (menggunakan software komersial) untuk perbandingan antar grup.

KARAKTERISTIK PASIEN Total sejumlah 696 pasien (336 anak laki-laki, 360 anak perempuan) dengan MC diidentifikasi. Usia rata-rata pada saat timbulnya MC adalah 5,5 tahun (median 5 tahun dengan range 7 bulan sampai dengan 17 tahun( (gambar 1). 2 anak menderita gangguan imun (defisiensi IgA dan familial Mediterranean fever treated yang

diterapi menggunakan colchicine). Lima pasien lainnya mendapatkan setidaknya satu macam imunosupresan : prednisone (2 pasien), pasien), cyclosporine, dan 6-mercaptopurine. Tidak ada dari pasien ini yang diketahui menderita human immune deficiency virus (HIV). Sejumlah 307 anak (44.1%) mempunyai riwayat atopi.Pada kelompok ini termasuk 259 pasien (37.2%) dengan AD dan 138 pasien(19.8%) dengan asthma atau alergi (lingkungan maupun makanan). Diantara pasiendengan riwayat AD, 169 (65.3%) mempunyai dermatitis aktif dermatitis: 53.9% hanya pada tempat MC, 22.5% hanya di tempat lain, dan 23.7% pada kedua daerah MC dan tempat lainnya. mycophenolatemofetil (2

Total 293 pasien (42.1%) mempunyai riwayat keluarga atopi (AD, asthma, atau alergi lingkungan), dan 179 pasien (25.7%) mempunyai satu atau lebih anggota keluarga dengan MC (176 saudara kandung, 2 orang tua, dan 1 kakek/nenek).

LOKASI DAN JUMLAH LESI MC Distribusi lesi MC pasien terdapat pada table 1. Lesi molluscum contagiosum terbatas hanya satu lokasi pada 213 pasien (30.6%), lebih sering pada ekstremitas (125 pasien [18.0%]) ataupunggung (39 pasien [5.6%]). Lesi molluscum contagiosum terdapat di ekstremitas dan punggung pada 302 pasien (43.4%).Jumlah terbanyak lesi MC pada mayoritas pasien adalah kurang dari 50 (gambar 3). Beberapa pola inflamasi berhubungan dengan adanya lebih dari 50 lesi MC. 51 dari 259 pasien (19.7%) dengan AD (aktif maupun tidak aktif) mempunyai lebih dari 50 lesi MC berbanding 22 dari 437 pasien (5.0%)tanpa AD (P <0, 001). Hal yang serupa, 46 dari 270 pasien (17.0%) dengan molluscum dermatitis mempunyai lebih dari 50 lesi MC berbanding 27 dari 426 pasien (6.3%) tanpa molluscumdermatitis (P <0 .001). 25 dari 155 pasien (16.1%) dengan lesi MC inflamasi mempunyai lebih dari 50 lesi berbanding 48 dari 541 pasien (8.8%) tanpa lesi MC inflamasi P <0 .02).

Sebaliknya, pasiendengan GCLR jarang yang mempunyai lesi lebih dari 50 lesi MC (3 dari 34[8.8%] vs 70 dari 662 [10.6%]; P <0.99).

LESI MC TERINFLAMASI Total 155 pasien (22.3%) mempunyai setidaknya satu buah lesi MC terinflamasi, dan 102 pasien (14.7%) mempunyai setidaknya 2 lesi MC terinflamasi. Lesi MC terinflamasi dikarakteristikan dengan eritema substansial dan pembengkakan, termasuk lesi pustular atau fluktuan. Lokasi lesi lesi ini terlihat pada table 1. Antibiotik sistemik diberikan kepada 24 anak anak dengan lesi MC terinflamasi dengan kecurigaan adanya infeksi (furunkulosis

[22 pasien] atau selulitis [2 pasien]). Organisme apatogenik (Staphylococcus aureus) dapat diisolasi pada 2 dari 10 contoh kultur yang diambil dari eksudat purulent lesi lesi tersebut. Lesi MC terinflamasi umumnya sama pada pasien dengan atau tanpa AD (57 dari 259 [22.0%] berbanding 98 dari 437 [22.4%], P = 0.93). Diantara 58 pasien yang dating untuk melakukan follow up dalam 3 bulan dan mempunyai lesi MC terinflamasi, jumlah keseluruhan lesi MC meningkat pada 3 pasien (5.2%), tetap pada 12 pasien (20.7%), dan

menurun pada 43 pasien (74.1%). Rata-rata, jumlah lesi MC menurun sebanyak 65.0% pada grup terkahir, dan resolusi lengkap terjadi pada 12.1% pasien ini. Jumlah lesi MC umumnya meningkat selama 3 bulan pada pasien dengan lesi MC terinflamasi (3 dari 58 pasien [5.2%]) dibandingkan pada pasien tanpa lesi MC terinflamasi atau dermatitis (16 dari 87 pasien[18.4%]; P<0 .03) (Table 2).

MOLLUSCUM DERMATITIS Molluscum dermatitis (dermatitis eksematosa yang mengelilingi lesi MC) terdapat pada 270 pasien (38.8%).Pasien dengan riwayat AD, saat dibandingkand engan pasien tanpa riwayat AD, mempunyai kecenderungan mempunyai dermatitis yang berhubungan dengan lesi MC mereka (50.6% berbanding 31.8%; P<0 .001). Lokasi dermatitis molluscum terlihat pada table 1. Total 249 pasien dengan molluscum dermatitis (92.2%) diterapi dengan kortikosteroid topical ( agen dengan potensi tomid yang rendah). Diantara 146 pasien dengan molluscum dermatitis yang melakukan follow up dalam waktu 3 bulan (table 2), jumlah lesi MC meningkat pada 32 dari 137 pasien (23.4%) yang mendapatkan terapi kortikosteroid topical dan 3 dari 9 pasien (33.3%) yang tidak diterapi dengan kortikosteroid topical (P = 0.44). Walaupun proporsi pasientanpa dermatitis lebih sedikit (19 dari 113 [16.8%]) yang mengalami peningkatan jumlah lesi MC setelah 3 bulan follow upu dibandingkan

dengan pasien yang menderita dermatitis (35 dari 146 [24.0%]), perbedaan ini tidak bermakna (P =0 .16).

GIANOTTI-CROSTI SYNDROMELIKE REACTIONS 34pasien (12 anak perempuandan 22 anak laki-laki) mengalami GCLRselama

terjadinya MC. GCLR dikarakteristikkan dengan erupsi sejumlah monomorfi, edema, eritematosa papul atau papulovesikel yang terpisah dari lesi MC (gambar 4). Usia rata-rata pasien adalah 5,6 tahum (usia median 5,5 tahun dengan range 11 bulan sampai dengan 12 tahun). Pruritus merupakan gambaran yang jelas dari GCLR pada 27pasien (79.4%). Erupsi terdapat pada kunjungan awal 17 pasien (50.0%), dan pada yang lain terjadi pada 1,7 bulan setelah kunjungan pertama. Terapi MC dimulai dalam bulan pertama onset GCLR pada 13 pasien (38.2%). GCLR mencakup ekstremitas pada 32 pasien(94.1%), mengenai tangan pada30 pasien dan kaki pada 29 pasien. Erupsi terjadi bilateral pada semua pasien.Duapuluh tiga pasien (67.6%) dengan GCLR terjadi pada ekstensor ekstremitas, dan lesi

terbatas pada lutut dan atau siku pada 12 pasien(35.3%).Lesi Palmoplantar terjadi hanya pada 1 pasien.Area lain yang terkenaGCLR adalah wajah (7 pasien), punggung (5 pasien), dan bokong (4 pasien). Duapasien (anak laki-laki berusia 1 dan 4 tahun) awalnya hanya mengalami GVLR pada satu sisi punggung yang menyerupai exantema laterothoracic unilateral = unilateral laterothoracic exanthem (ULTE). Pada satu dari anak-anak tersebut, lesi MC terbatas pada region punggung yang sama, dan GCLR yang lebih klasik mengenai aspek ekstensor ekstremitas timbul kemudian. Lokasi lesi MC padapasien tanpa a GCLR (Table 1) sama pada keseluruhan populasi penelitian. Pada pasientanpaGCLR, jumlah lesi MC adalah 5 lesi atau kurang pada 23.5%, 6 sampai dengan 15 pada 11.8%, 16 sampai dengan 30 pada 35.3%, 31 sampai dengan 50 pada 14.7%, dan lebih dari 50 pada 8.8%. GCLR biasanya serupa

pada pasiendengan atau tanpa AD (13 dari 259 [5.0%] vs 21 dari 437 [4.8%]; P <0 .99). Biopsi dilakukan terhadap GCLR pada satu pasien.Evaluasi histologis menunjukkan infiltrar perivaskuler superficial dan mid-dermal tercampur dengan limfosit, histiosit, dan serbuk eosinophil (gambar 5).Beberapa limfosit meluas sampai kedalam epidermis. Spongiosis, vesikulasi intraepidermal, dan scale crust fokal merupakan bukti dari hal tersebut. Durasi rata-rata dari GCLR adalah 6 minggu pada 13 pasien. Erupsi berlangsung kurang dari satu bulan pada 5 pasien dan rata-rata 2 bulan pada 8 pasien lainnya.GCLR umunya diterapi dengan kortikosteroid topical dengan potensi sedang atau lebih tinggi dan biasanya memberikan respon dengan perbaikan yang nyata dalam waktu satu minggu.Waktu rata-rata onset GCLR dan resolusi lesi MC adalah 2 bulan (median 5 minggu dengan range 1-8 bulan) pada 12 pasien. Umumnya, penurunan substansial (50%-95%) jumlah lesi MC terjadi pada 9 pasien dengan GCLR yang di follow up selama sekurangnya 2 bulan setelah onset, tetapi kemudian tidak melakukan follow up lagi sebelum mengalami resolusi lengkap dari lesi MC.

HUBUNGAN ANTARA BERBAGAI JENIS REAKSI INFLAMASI Lesi MC terinflamasi diobservasi ada 22 dari34 pasien(64.7%) dengan

GCLR,dibandingkan hanya 133 dari 662 pasien (20.1%) dengan GCLR (P <0 .001). Sebaliknya, pasien dengan atau tanpa GCLR umumnya mempunyai molluscum dermatitis (12 dari 34 [35.3%] berbanding 258 dari 662 [39.0%]; P =0 .67). Proporsi yang serupa terjadi pada pasien dengan dan tanpa molluscum dermatitis dan mempunyai molluscum terinflamasi(70 dari 270 [25.9%] berbanding 85 dari 426 [20.0%]; P = 0.08).

TERAPI dan TATALAKSANA Data tentang pemberian terapi tercantum pada gambar 6. Cantharidin (0.7% dalam collodion based) diberikan pada 475 pasien (nilai rata-rata 1.9 sesi terapi, dengan range 1-10; area terapi dicuci dengan air dan sabun 2-3 jam setelah pemberian), dan curretage dilakukan pada 100 pasien (nilai rata-rata 1.4 sesi terapi per pasien [range, 1-5 sesi]). Agen kedua kemudian diberikan pada beberapa pasien yang awalnya diterapi dengan cantharidin atau curretage, termasuk krim imiquimod cream pada 35 pasien, retinoid topikal pada 17 pasien, dan cimetidine oral (kurang lebih 40 mg/kg perhari terbagi menjadi 2 dosis, maksimum 1600 mg perhari) pada 111 pasien. Tidak ada satupun pasien yang mengalami efek lanjut serius berhubungan dengan terapi yang diberika. Pada 42 pasien (diterapi dengan berbagai macam obat) data onset dan penyembuhan MC tersedia, nilai rata rata terdapatnya lesi MC adalah 8,0 bulan (nilai median 6,6 bulan [range, 1.5-29.0 bulan). COMMENT Penelitian ini lebih lanjut mengkarakteristikan jenis reaksi inflamasi yang berhubungan dengan MC baik jenis klasik dan jenis lain yang baru diketahui. Data dari penelitian serial berskala besar lainnya pada pasien pediatrik dengan MC yang menggambarkan frekuensi lesi inflamasi MC, dermatitis molluscum, dan AD teringkas padaTable 3. Lesi MC terinflamasi umumnya muncul berupa papul edema eritematosa, dan papulonodul yang menjadi pustular atau fluktuan. Pada penelitian ini dan 2 penelitian serial mengenai MC dalam skala besar lainnya memberikan data mengenai pola reaksi ini (tabel3), 20.8% keseluruhan pasien (343 dari 1646) diketahui mempunyai lesi MC inflamasi. Selain bentuk lesi inflamasi yang seperti bisul, hasil dari penelitian ini memastikan bahwa eksudat purulen dari lesi inflamasi MC biasanya steril. from inflamedMClesions is usually sterile. Tetapi, sering terjadi superinfeksi dengan Saureus, dan pemberian antibiotik (dan drainase bila perlu)

harus dipertimbangkan bila terdapat lymphangitic atau penyebaran eritema yang mencurigakan terjadinya selulitis. Inflamasi biasanya menyebabkan regrsi lesi MC yang terkena dan terkadang menghambat penyembuhan erupsi secara keseluruhan, termasuk lesi yang tidak berkembang menjadi inflamasi secara klinis. Pada penelitian ini, pasientanpalesi inflamasi MC lebih jarang mengalami peningkatan jumlah lesi MC selama beberapa bulan kedepan dibandingkan pasien yang mempunyai lesi inflamasi MC. Imunitas cell-mediated mungkin memainkan peranan dalam penyembuhan MC, hal ini menjelaskan kecenderungan peningkatan penyebaran, keparahan, dan persistensi MC pada pasien tanpa infeksi HIV.Secara histologis, lesi inflamasi MC menunjukkan infiltrar inflamasi campuran (yaitu limfosit histiosit, dan neutrophil). Pada penelitian ini, adanya lesi inflamasi MC berhubungan dengan berkembangnya GCLR, yang akan merupakan penghambat bagi penyembuhan MC dan umumnya juga berdasarkan imunitas cell mediated tetapi bukan dermatitis molluscum. Sayangnya, terbatasnya data follow up pada penelitian retrospektif ini dan penelitian serial sebelumnya menghambat analisis lebih lanjut mengenai durasi MC pada pasien dengan dan tanpa lesi inflamasi, terutama pasien pasien yang sudah mulai sembuh tidak kembali untuk melakukan follow up. Dermatitis molluscum merupakan erupsi eksematosa pruritic pada kulit di sekitar lesi MC. Dermatitis dapat berupa difus atau nummular dan mungkin lebih menonjol daripada lesi MC nya sendiri, dengan lesi MC yang tersamarkan oleh pola dermatitis dan plak. Dermatitis moluscum terdapat pada 38,8% pasien pada penelitian ini dan pada 9% sampai dengan 47% pada penelitian serial MC sebelumnya, dengan keseluruhan insidens sebesar 27% (505 dari 1896; Table 3). Seperti penelitian yang dilakuakn oleh Osio dan lain lain, penelitian ini menemukan bahwa dermatitis moluscum lebih sering terjadi pada anak anak dengan riwayat AD, dan paling banyak terdapat pada pasien dalam penelitian ini (50.6%). Tetapi,

hubungan antara dermatitis moluscum dan perkembangan lesi inflamasi MC atau GCLR tidak diobservasi, sehingga diperkirakan adanya jalur inflamasi yang berbeda pada reaksi noneksematosa ini. Pasien dengan dermatitis moluscum lebih sering mempunyai lesi MC dalam jumlah besar, tampaknya disebabkan karena penyebaran lesi MC akibat garukan karena meningkatnya rasa gatal.Terdapat bukti bahwa MC lebih sering pada anak anak dengan AD dibadingkan pada anak anak tanpa AD. Prevalensi tingkat AD pada penelitian ini dan serial MC ediatrik lainnya di Amerika Serikat Amerika Selatan, Eropa, Australia, dan Jepang mempunyai range dari 18% sampai dengan 45% (table 3), dengan nilai rata rata keseluruhan sebesar 36% (944 dari 2656). Angka ini lebih tinggi daripada prevalensi estimasi AD sebesar 10% sampai dengan 20%pada populasi pediatric. Bagaimanapun juga, anak anak yang terinfeksi MC dengan riwayat AD lebih sering berobat karena masalah kulit, yang mempunyai potensi mempengaruhi hasil serial MC berdasarkan medical record. Sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2010 pada sekolah perawatan anak-anak di Jepang menemukan bahwa eadanya peningkatan sebesar 1,6 kali lipat pada anak anak dengan AD (95% CI, 1.00-2.68). Pada serial saat ini, anak anak dengan riwayat AD mempunyai kecenderungan mempunyai lesi MC yang lebih banyak daripada yang tanpa AD. Sama dengan pada penelitian terbaru mengenai terapi curettage pada MC, pasien dengan AD mempunyai lesi yang lebih banyak dan lebih sering mengalami frekuensi daripada yang tanpa AD.Sebaliknya, riwayat AD tidak berhubungan dengan jumlah lesi MC atau rekurensi MC pada penelitian serial yang dilakukan di Perancis. PAda penelitian ini, riwayat AD berhubungan dengan adanya dermatitis yang mengelilingi lesi MC (seperti yang telah dibicarakan sebelumnya) tetapi tanpa berkembangnya lesi inflamasi MC atau GCLR. Gianotti-Crosti syndrome (papular acrodermatitis pada anak-anak), merupakan eksantema yang dipicu oleh infeksi berbagai jenis virus, termasuk Epstein-Barr virus

(EBV) dan hepatitis B virus.Sindrom ini berupa erupsi monomorfik simetris, papul eritematosa edematous, atau papulovesikel yang berlokasi pada permukaan ekstensor ekstremitas, bokong, dan pipi. Menurut pengetahuan kami, sebelum 34 kasus yang telah diterangkan, hanya dua kasus yang dilaporkan dari pasien (anak anak berusia 5 dan 8 tahun) yang menderita GLCR dan berhubungan dengan MC. Salah satu dari anak ini mempunyai hasil negative dari pemeriksaan serologis terhadap berbagai macam virus (termasuk EBV dan hepatitis B), dan lainnya mempunyai dermatitis moluscum ko-eksisten dan terdiagnosis mempunyai id reaction Karakteristik morfologi, distribusi, dan pruritus GCLR pada MC mengingatkan akan id reactions (eksema diseminata berhubungan dengan dermatitis kontak alergika atau infeksi dermatofit). Dibandingkan dengan sindrom Gianotti-Crosti klasik,GCLRs dipicu oleh kecenderungan MC menghambat timbulnya pruritus yang lebih hebat, distribusinya lebih terlokalisir ( terbatas hanya pada lutut dan siku), dan respons terhadap terapi korikosteroid local yang lebih baik. Gambaran histologis yang ditemukan pada pasien dengan GCLR yang di-biopsi adalah spongiosis epidermal dan infiltrate limfohistiositik perivaskuler, yang hamper menyerupai syndrome atau id reaction. Observasi GCLR pada 5% pasien dengan MC dalam seial ini menunjukkan bahwa respons inflamasi terhadap MC lebih sering terjadi dibandingkan dengan laporan sebelumnya.Hubungan antara GCLR tanpa MC mungkin tidak diketahui bila lesi MC hanya berjumlah sedikit, pada daerah yang tersembunyi (misalnya ketiak atau lipat paha), tertutup oleh inflamasi, atau terkaburkan olrh dermatitis. Karena papul atau papulovesikel GCLR dapat mengaburkan lesi MC, maka GCLR dianggap (terutama oleh orang tua) sebagai peningkatan jumlah molluscum yang mengalami inflamasi. Dermoskopi dapat membantu mengidentifikasi lesi MC, yyang dikarakteristikkan Gianotti-Crosti

dengan lesi multilobulasi, berwarna putih sampai dengan kuning, struktur sentral amorfous yang dikelinlingi oleh mahkota pembuluh darah. Moluscum yang berkaitan dengan GCLR cenderung lebih singkat, berlangsung selama 6 minggu pada pasien dalam penelitian ini yang kembali melakukan follow up dan tiga minggu atau kurang (setelah pengangkatan lesi MC dengan curettage) pada 2 laporan terdahulu. Perkembangan GCLR pada pasien dengan MC tampaknya mempunyai prognostic yang baik.Semua pasien dengan GCLR yang datanya telah kami simpan mengalami penurunan jumlah lesi MC secara dramatis, dengan penyembuhan lesi MC secara lengkap yang terjadi dalam median 5 minggu setelah onset GCLR. Dua orang pasien dalam serial ini mempunyai erupsi popular reaktif yang awalnya mencakup 1 buah ketiak dan punggung ipsilateral, menyerupai ULTE.Seperti Gianotti-Crosti syndrome, ULTE dianggap terpicu oleh virus, tapi tidak ada agen etiologic yang terlihat secara konsisten. Anak anak yang terkena ULTE tanpa erupsi morbiliformis atau eksematosa biasanya hanya terkena pada satu buah ketiak dan punggunf dan atau lengan atas, biasanya akan menjadi bilateral. Osio dan kawan-kawan mencatat penggunaan kortikosteroid topikal dalam 3 bulan sebelumnya berhubungan dengan risiko rekurensi yang lebih tinggi setelah terapi MC. Diantara pasien dalam penelitian terhadap moluscum kontagiosum ini, jumlah lesi MC akan meningkat selama 3 bulan berikutnya pada 23,4% pasien yang diterapi dengan kortikosteroid topikal dan 33,3% pasien yang tidak diterapi dengan kortikosteroid topikal (table 2). Proporsi yang lebih kecil (16.8%) adalah pasien dengan dermatitis dan peningkatan lesi MC selama waktu penelitian. Hasil ini menyatakan bahwa dermatitis eksematosa lebih mempunyai peranan terhadap perkembangan lesi MC baru dibandingkan dengan efek imunomodulator dari kortikosteoroid yang digunakan.Hubungan antara penggunaan kortikosteroid topikal dan rekurensi MC yang diobservasi oleh Osio dan kawan-kawan dapat dijelaskan

dengan autoinokulasi virus MC yang berhubungan dengan pruritus dan resultansi garukan dermatitis yang telah diterapi. Penggunaan kortikosteroid topikal juga sebelumnya tersamarkan oleh lesi MC dengan dermatitis menjadi lebih terlihat, sehingga dapat dicari penjelasan mengenai rekurensi MC. Observasi penelitian saat ini dan pengalaman dari dermatologis pediatric lainnya menganjurkan control pada sekeliling dermatitis akan membantu untuk mencegah penyebaran MC yang sering terjadi sebagai akibat garukan. Pada serial penelitian yang meliputi anak anak dengan MC, proporsi pasien dengan kelainan imun yang diketahui (misalnya infeksi HIV, imunodefisiensi primer) atau menggunakan obat obatan imunosupresan sangatlah rendah. Contohnya, hanya 7 dari 696 pasien (1.0%; tidak satupun dengan infeksi HIV) dalam serial ini, dan tidak satupun dari 661 pasien pediatrik dengan MC yang menderita immunocompromised pada penelitian berskala besar yang dilakukan sebelumnya. Pada pusat perawatan tersier, pasiendenganriwayat medis yang sulit (termasuk kelainan imun dan pemberian terapi imunomodulator) umumnya mempunyai proporsi pasien MC yang lebih besar daripada komunitas umum. Pada penelitian berbasis populasi selama 5 tahun terhadap Native Americans dan Alaskan Natives, hanya 13 dari 13700 kunjungan (<0.1%) mengenai MC selama periode 5 tahun dan mengikut sertakan pasien dengan infeksi HIV. Tidak ada baku emas untuk terapi MC, seperti yang tergambarkan pada berbagai metde destrukti dan imunomdulator yang digunakan. Walaupun hanya dengan melihat sudah cukup tepat untuk panyakit swasirna seperti MC, terapi dapat membantu untuk menghilangkan pruritus dan rasa tidak nyaman, mencegah penyevaran melalui inokulasi atau transmisi terhadap anak lainnya, dan mengeleminasi stigma sosial terhadap lesi yang terlihat. Dalam penelitian terbaru pada anggota the Society for Pediatric Dermatology, metode terapi yang paling sering digunakan untuk MC adalah cantharidin, imiquimod, dan curettage

(digunakanoleh 95%, 85%, dan 72% of responden, kurang lebih). Tiap metode ini sering digunakan dalam penelitian yang sedang dilakukan (gambar 6), yang mana paling sering digunakan sampai saat ini adalah cantharidin (475 pasien). Penelitian ini dan serial lain, seperti laporan terapi cantharidin pada 300 pasientanpa MC oleh Silverberg dan kawan-kawantahun 2000, memberikan bukti mengenai keamananan dan efisiensi cantharidin. Tendendi penyembuhan spontan MC menyebabkan sulitnya menentukan efektivitas terapi dalam serial retrospektif dan penelitian tanpa kontrol. Salah satu penelitian retrospektif menemukan bahwa curretage (setelah penggunaan anestesi topikal dengan atau tanpa sedasi sistemik) memerlukan kunjungan pasien yang lebih sedikit untuk eliminasi MC dan tingkat efek samping yang lebih rendah dibandingkan aplikasi cantharidin topikal atau imiquimod. Salah satu penelitian randomisasi juga menunjukkan bahwa terapi Imiquimod MC mempunyai efektifitas serupa dengan cryoterapi atau aplikasi pottasiun hidrooksida topikal. Walaupun cryoterapi (saat dilakukan setiap minggu) mengakibatkan menghilangnya lesi MC yang lebih cepat dibandingkan imiquimod ( 3-6 minggu berbanding 6-12 minggu), jenis yang

sebelumnya lebih terasa tidak nyaman dan menyebabkan sekuel pigmentasi. Diperlukan penelitian terkontrol tambahan untuk mengevaluasi keuntungan dan toleransi pasien terhadap terapi MC yang berbeda. Kesimpulan, serial ini mencatat frekuensi dan gambaran klinis reaksi inflamasi MC, menggaris bawahi hubungannya satu dengan yang lain, AD, dan terjadinya infeksi MC. Insiden, gambaran klinis, dan implikasi prognostik dari mengetahui GCLR pada pasien MC pada saat awal. Mengerti dengan lebih baik tentang patogenesis reaksi ibflamasi ini dan efeknya terhadap riawayat MC sebelumnya membantu mengembangkan terapi yang lebih efektif untuk infeksi yang sering terdapat pada anak-anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai