Anda di halaman 1dari 3

TV One Ditolak Korban Banjir untuk Wawancara

OPINI | 13 January 2014 | 10:44 Dibaca: 4208 Komentar: 120 70

Acara AKI Pagi TV One pagi ini menyuguhkan liputan langsung dari lokasi banjir di Ciledug Tangerang, dengan reporter Andromeda Mercury. Kamera menyorot aktivitas warga melawan banjir yang sudah setinggi paha bahkan pinggang orang dewasa. Tak ada kendaraan yang bisa melintas, sepeda motor dituntun atau dinaikkan ke atas gerobak, sepeda onthel dipanggul pemiliknya, beberapa warga mengevakuasi benda-benda miliknya menggunakan jasa gerobak dorong yang diseret dan didorong tukang gerobak. Pokoknya semua sedang serius berjibaku di tengah banjir. Dalam kondisi seperti itu, reporter TV One memaksakan diri untuk mewawancarai warga di jalanan. Akibatnya, banyak warga yang tegas menolak diwawancara. Ketika satu calon responden menolak, Andromeda mencoba mewawancara korban banjir lainnya. Memang ada juga yang bersedia meski dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Bayangkan, itu dilakukan di tengah jalan dimana lalu lalang orang dan sedang tergesa-gesa, sementara air bah masih tinggi merendam tubuh dan pakaian mereka. Seandainya itu dilakukan di lokasi pengungsian dimana korban yang diwawancara tidak sedang terendam banjir, mungkin masih bisa dimaklumi. Seorang bapak menggendong putri kecilnya di bagian depan, anaknya mengenakan seragam sekolah dilapisi jaket, tas sekolahnya digendong di punggung bapaknya, sebuah pemandangan yang jelas tak menyenangkan. Andromeda berusaha mencegat si bapak untuk sekedar diwawancara. Tentu saja si bapak tak meladeni bahkan wajahnya tampak tidak suka. Oh, buru-buru mau ke sekolah ya Pak kurang lebih begitu kata Andro. Menggendong anak di depan dan tas di belakang, belum lagi kaki terendam air banjir yang keruh, tentu berat bagi si bapak. Masa iya tega diminta berhenti dulu untuk diwawancara, ini kan menambah beban si bapak. Lewatlah sebuah gerobak yang penuh berisi barang-barang dan ada penumpangnya. Andro coba menghentikan gerobak itu Pak, bisa minta waktunya sebentar pak, sebelum antrian di belakang tambah panjang, pintanya yang tak digubris lelaki penarik gerobak. Bayangkan, menarik gerobak kosong saja sudah berat, apalagi itu gerobak penuh berisi dan harus melewati banjir pula. Warga yang lalu lalang di jalanan yang terendam banjir itu tak ada yang diam, semuanya bergerak ke arah yang sama. Kalau ada yang berhenti, tentu akan membuat antrian warga di belakangnya akan macet. Jika ada satu yang dihentikan reporter TV One untuk wawancara meski hanya 3 menit, tentu akan menyebabkan kemacetan. Jadi kalimat Andro sebelum antrian di belakang tambah panjang sebetulnya ditujukan pada siapa? Bukankah kalau dia memaksakan wawancara, justru akan terjadi antrian. Untung saja bapak penarik gerobak menolaknya, jadi tak sampai ada antrian. Upaya mencari korban yang bersedia diwawancara masih terus dilakukan. Bapak bisa kesini sebentar pak. Lha, itu jalanan semuanya terendam banjir. Mau menepi sekalipun tetap tak membuat keadaan lebih baik. Herannya, reporter TV One tampak tidak peka dengan kondisi ini dan terus berusaha mewawancara. Padahal, pertanyaannya hanya seputar : sudah berapa lama bapak jalan kaki? Tadi dari mana, Pak? Kira-kira sudah berapa kilo meter jalan, Pak? Barang-barangnya sudah berhasil dievakuasi, Pak? Pertanyaan tak terlalu penting yang tidak memberikan solusi.

TV adalah media massa yang punya keunggulan dibanding media cetak. Sebab TV bisa melakukan liputan langsung secara audio visual. Apa yang dilakukan TV One dengan reporternya, bisa disiati tanpa harus membebani warga yang sedang berjibaku melawan banjir dan buru-buru mencapai tujuan entah untuk mengungsi atau keperluan lain. Kalau tujuannya hanya untuk mencari tahu daerah mana saja yang banjir, dibutuhkan berapa lama waktu tempuh dari titik A ke titik B, bukankah itu bisa dilakukan sendiri oleh sang reporter? Tayangan gambar-gambar kondisi banjir dari berbagai titik yang sudah diambil kameraman, bisa disunting dan ditayangkan, itu sudah cukup memberikan gambaran bagi pemirsa. Misalnya begini : Pemirsa, saat ini kami berada di Ciledug, Tangerang. Saat ini kedalaman banjir mencapai sekitar 1 meter atau setinggi pinggang orang dewasa, blablabla. Sorot kamera bisa diarahkan pada warga yang sedang berjibaku. Lalu informasi komprehensifnya bisa dirangkum oleh si reporter, misalnya : Kami sudah berada di lokasi yang tergenang banjir sejak jam 5 pagi tadi, Kampung X terendam air setinggi sekian meter, blablabla Kompleks Perumahan Y yang berjarak sekitar sekian ratus meter dari Kampung X, sampai jam 5.30 tadi juga terendam air sampai setingi ., blablabla Jalanan di daerah Z yang jadi pusat aktivitas warga, terendam banjir setinggi blablabla, kondisi ini terjadi sekitar jam 6 pagi tadi. Dibutuhkan waktu sekian puluh menit atau sekian jam untuk berjalan kaki dari daerah A menuju daerah B, karena jalanan tak bisa dilewati kendaraan. Bukankah pemirsa lebih baik disuguhi reportase komplit seperti itu, yang dikuatkan dengan rangkuman gambar-gambar yang telah diambil dari beberapa titik lokasi banjir, ketimbang memaksakan wawancara dengan korban hanya sekedar mau tahu sudah berapa jauh dan berapa lama ia berjalan kaki. Sedikit konyol bukan? Sama sekali tidak peka dengan kondisi yang dihadapi warga korban banjir. Sekedar pembanding, Metro TV juga menyajikan liputan yang sama di daerah lain. Kamera hanya sebentar saja menyorot wajah sang reporter, hanya saat reporter menyapa pemirsa dan menyampaikan di lokasi mana ia berada. Selebihnya, sorot kamera diarahkan pada lokasi sekitar dan beragam aktivitas warga. Sambil terus menayangkan gambar, reporter cuapcuap menerangkan apa yang terjadi pada gambar yang ditayangkan. Pemirsa mendapatkan gambaran kondisi banjir dari sang reporter secara komprehensif, tanpa harus mengganggu warga dan menginterupsi aktivitas mereka. Memangnya kalau meliput perang, perlu menghentikan tentaranya dulu untuk ditanya-tanya sudah berapa lama mengintip sasaran di tempat itu dan sudah peluru yang ia hamburkan? Saya pribadi kerap melihat TV One memaksakan mewawancara korban atau keluarga korban yang sedang dirundung duka. Semisal ketika pesawat jatuh saat menjalani joy flight, lalu menabrak gunung dan body pesawat hancur lebur. Saat itu ada reporter Trans TV yang ikut jadi korban, seorang gadis muda yang baru beberapa bulan menjadi reporter. Kebetulan dia warga Serang, Banten. Saat itu saya menonton bagaimana Indi Rahmawati mewawancara Ibunda dan ayah korban yang siang harinya diberi kesempatan melihat kondisi jasad putri mereka, setelah berhari-hari Tim SAR mencoba mengevakuasi korban. Pertanyaannya sangat tidak penting bahkan terkesan tak mempedulikan perasaan keluarga tedekat korban. Misalnya : kenapa si Ibu terus mendekap tas putrinya, tas itu ada dimana kok kondisinya masih bagus (kebetulan tas tersebut ditinggalkan di kantor dan tidak dibawa naik pesawat naas itu), lalu bagaimana perasaan ibu dan ayah korban saat melihat jasad putrinya, seperti apa kondisinya, berapa menit waktu yang diberikan, ketika dijawab 30 menit, lalu ditanyakan apa saja yang dilakukan selama 30 menit, ketika dijawab berdoa, ditanyakan doa apa saja yang

dipanjatkan. Penting banget enggak sih? Rasanya bukan jurnalisme berkualitas, kalau targetnya hanya sebatas bisa melakukan wawancara langsung dengan korban. Sudah terlalu sering TV One mendapat kritikan soal etika para reporter dan host mereka. Entah bagaimana Pak Karni Ilyas membekali reporter-reporternya. Atau memang semua ditarget harus bisa mewawancara korban secara langsung? Meski itu agak maksa dan mengganggu situasi dan kondisi sekitar? TV One, berbenahlah. Kedepankan etika, tanpa harus mengurangi aktualitas liputan. Reporter yang handal bisa menyuguhkan liputan suatu peristiwa, didukung kameraman yang lihai membidik sudut yang tepat, akan bisa menyuguhkan liputan yang aktual, tanpa terkesan tak punya kepekaan atas kesusahan warga.

Anda mungkin juga menyukai