Anda di halaman 1dari 48

PERLINDUNGAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DI YOGYAKARTA DITINJAU DARI PERDA DIY NOMOR 3 TAHUN 2012 KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DI YOGYAKARTA BERDASARKAN PERDA DIY NOMOR 3 TAHUN 2012 IMPLEMENTASI PERDA DIY NOMOR 3 TAHUN 2012 TERHADAP PERLINDUNGAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DI YOGYAKARTA

Disusun oleh : Erina Qurrota Ainy NIM 10340029

PEMBIMBING UDIYO BASUKI

PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2012

A. Latar Belakang Masalah Pemerintah daerah bersama segenap pemangku kebijakan harus serius melaksanakan amanat Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Mereka tidak hanya mengalami kekerasan secara fisik, tetapi juga kekerasan psikologis, ekonomi, sosial, dan seksual. Keberadaan peraturan daerah, menurut sejumlah pihak, tidak akan banyak bermanfaat apabila tidak diikuti dengan penegakan hukum dan pemberlakuan sanksi tegas bagi pelaku. Hal ini juga menjadi poin penting yang disorot oleh kalangan akademisi dan aktivis sosial, sesaat sebelum peraturan daerah itu disahkan.

Dalam diskusi dan bedah rancangan peraturan daerah tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang berlangsung di Gedung Masri Singarimbun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM), Sabtu (28/4), sejumlah pihak sebenarnya masih menganggap rancangan peraturan daerah itu belum layak disahkan. Direktur Eksekutif Rifka Annisa, Mei Sofia Romas, menyebutkan sejumlah kelemahan yakni sifat peraturan masih general dan masih belum menjelaskan tata cara detail implementasi pasal dan ayat bagi korban kekerasan.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dr. Sari Murti, mengkritisi belum lengkapnya instrumen pelaksana peraturan daerah.

Jangan sampai peraturan daerah nanti hanya jadi formalitas saja, sehingga seolah-olah Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta telah berkomitmen untuk melindungi perempuan dan anak korban kekerasan, namun kenyataannya tidak demikian, tegasnya.

Sosialisasi peraturan daerah ini juga sebaiknya tidak hanya ditujukan kepada perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Hal ini karena, mayoritas pelaku kekerasan adalah laki-laki, sehingga apabila sosialisasi tidak menyentuh kelompok ini, diyakini siklus kekerasan tidak akan pernah putus.

Lebih lanjut, para peserta diskusi juga mengimbau masyarakat dan lembagalembaga sosial untuk turut aktif mengawasi pelaksanaan peraturan daerah tersebut. Dengan pengawalan ketat pemerintah dan masyarakat, diharapkan jumlah perempuan dan anak korban kekerasan di Yogyakarta dan sekitarnya dapat terus berkurang. (*)

program-program

perlindungan

yang

menjadi

tanggung

jawab

Komnas

Perempuan begitu luas mencakup advokasi kebijakan, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, pengaduan dan dokumentasi aduan kekerasan, hingga pemberian konseling bagi perempuan korban kekerasan.

Pemkab Kulonprogo membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Pembentukan ini dalam rangka mewujudkan pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dan anak secara komprehensif dan terpadu, sebagai upaya mencegah dan merespon segala hal yang

membahayakan (segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakan salah) terhadap perempuan dan anak. Pembentukan P2TP2A ini juga merupakan upaya strategis dalam memberikan pelayanan dan advokasi kebijakan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, terutama yang menjadi korban kekerasan dan upaya bersama untuk pencegahan kekerasan terhadap mereka.

Berdasarkan hal tersebut, agar tidak terjadi keberulangan kriminalisi dan/atau diskriminasi terhadap perempuan dan anak korban KDRT, maka Komnas Perempuan dan KPAI mendesak:

I. Institusi Penegak Hukum :

a.Kepolisian

Pentingnya meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan serta membangun mekanisme dalam penelitian perkara menggunakan analisis sosial dan analisis gender dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus KDRT. Petugas Kepolisian yang sedang menangani perkara perempuan dan anak berhadapan dengan hukum mampu menentukan korban dan pelaku sehingga dalam penanganannya tidak memposisikan korban sebagai pelaku.

b. Kejaksaan

Kejaksaan Agung melakukan pengawalan pelaksanaan Surat Edaran (SE) Jaksa Agung RI nomor SE-007/A/JA/11/2011 tentang penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan. SE tersebut menjadi pedoman bagi bagi Kepala Kejaksaan Negeri dalam menugaskan Jaksa Penuntut Umum yang memiliki pemahaman dan keterampilan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya terkait korban KDRT yang menjadi Tersangka/Terdakwa.

c. Pengadilan

Hakim memiliki peran yang sangat strategis untuk lebih mendekatkan akses keadilan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kasus KDRT, sangat besar dilatarbelakangi diskriminasi gender dalam kehidupan perempuan dalam perkawinan. Hakim diharapkan dalam memeriksa dan memutus perkara, terus menggali kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan korban secara kontekstual dan menjadikannya sebagai dasar utama dalam mempertimbangkan hak perempuan korban dan perlindungan khusus bagi anak.

Selain itu, ketiga institusi penegak hukum hendaknya melakukan koordinasi dalam memutuskan penahanan dan mereformulasi bentuk penahanan bagi perempuan korban yang menjadi Terdakwa. Khususnya ibu rumah tangga yang memiliki anak dibawah umur dan memerlukan perawatan sehingga penahanan tidak menelantarkan anak-anak.

II. Komisi Yudisial

Melakukan pemantauan secara terus menerus perilaku hakim dalam memeriksa korban KDRT yang diproses sebagai Terdakwa dalam rangka memastikan Pengadilan Nasional memberikan perlindungan hukum dalam menghapuskan diskriminasi.

III. Kementerian Pemberdayaan Petempuan dan Perlindungan Anak RI

Memastikan para pihak, khususnya Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung RI mengimplementasikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penanganan Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam penanganan korban sebagai Terdakwa.

telah bertahun-tahun perempuan korban tindak kekerasan mengalami kesulitan dalam mengakses keadilan. Hal ini disebabkan sejumlah faktor, yakni aspek Budaya Hukum: perempuan korban merasa tidak ingin melaporkan kasusnya ke institusi yang berwenang karena secara budaya dianggap akan membuka aib keluarga/ masyarakat, dukungan kepada perempuan korban kekerasan masih minim, serta kurangnya informasi dan pelayanan hukum yang dapat diakses oleh perempuan, khususnya perempuan korban. Dari

aspek Substansi Hukum, masih ada ketentuan hukum yang kurang berperspektif perempuan korban, sehingga berakibat mekanisme penanganan kasus jauh dari perspektif korban. Dan aspek Struktur Hukum seperti masih lemahnya para aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan

karena kurang didukung dengan perspektif HAM dan Gender, sehingga semakin membuat perempuan korban sulit dalam mengakses keadilan.

Pada tahun 2011, Komnas Perempuan bersama mitra Aparat Penegak Hukum (APH) menyusun kesepakatan bersama yang bersifat formal dan melembaga dengan Mahkamah Agung RI, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI (Polri), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Kesepakatan bersama ini bertujuan agar tercapainya persamaan persepsi dalam penanganan korban tindak kekerasan; tercapainya penguatan kelembagaan dalam penanganan korban tindak kekerasan; tercapainya peningkatan kemampuan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan dan bantuan hukum kepada korban tindak kekerasan; terjalinnya koordinasi dan kerjasama para pihak guna mempercepat proses penanganan korban tindak kekerasan secara cepat, murah dan transparan. Tujuan ini disusun berdasarkan ruang lingkup Kesepakatan Bersama yang meliputi:

menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dalam penanganan korban tindak kekerasan berperspektif Hak Asasi Manusia dan Gender bagi Aparat Penegak Hukum; mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP); dan membuat instrumen pemantauan dan evaluasi penanganan korban tindak kekerasan. Kesepakatan Bersama ini dibangun menuju Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi pada istri dan anak-anak serta mereka yang berada dalam lingkup rumah tangga merupakan masalah yang sulit diatasi. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa anggota keluarga itu merupakan milik laki-laki dan masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sementara itu, sistim hukum dan sosial budaya yang ada bukan menjamin perlindungan terhada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya mempunyai hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia berdasarkan azas-azas penghormatan terhadap perempuan, keadilan dan kesetaraan jender serta anti diskriminasi, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 29 tahun 1999 tentang HAM.

Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap eksistensi kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi yang harus dihapus karena tidak sesuai dengan deklarasi PBB tentang HAM dan Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dra. Suadah, M. Si dalam bukunya Sosiologi Keluarga dengan mengutip pendapat Newman menjelaskan konsep kekersan pada istri sebagai sebuah

pukulan dengan tangan terkepal (bukan tamparan) yang dilakukan oleh suami pada istrinya setiap waktu dan berulang-ulang. Bentuk lain dari kekerasan seperti tendangan, menendang hingga terjatuh dari lantai dan memukul sesuatu.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah segala sesuatu perilaku, sikap dan konteks yang menyebabkan sorang anggota keluarga cedera fisik dan atau psikis karena perbuatan dan perlakuan anggota rumah tangga yang lainnya (Damsar).

Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikologis, seksual dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (UU No. 23 tahun 2004 pasal 1 ayat 1). Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. suami, istri, dan anak-anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebgaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga tersebut (pekerja rumah tangga).

Kekerasan fisik adalah perbutan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menuru hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Rumah tangga menunjuk suatu kelompok yang hidup satu rumah dengan satu dapur. Kelompok orang tersebut biasanya terdiri dari orang tua (ayah/suami dan ibu/istri) ditambah dengan anak-anak, disamping itu, tidak jarang ditambah dengan satu atau lebih pembantu rumah tangga dan atau juga bersama kerabat mereka (Damsar).

Rumah tangga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Terciptanya rumah tangga yang bahagia, kekal dan rukun merupakan dambaan semua orang, namun pada tataran aplikatif tidak mudah mewujudkannya. Hal ini terbukti karena sampai saat ini masih banyak ditemui kasus tindak kekerasan dalam rumah

tangga. Tindak kekerasan tersebut bisa terjadi terhadap fisik, psikis dan dalam hubungan seksual.

Lahirnya Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga merupakan terobosan baru dalam peraturan perundangundangan Indonesia guna melindungi hak azasi manusia khusunya dalam rumah tangga.

Perkawinan merupakan bagian hidup dan dan kehidupan yang dilalui serta dianggap penting oleh baik individu maupun oleh masyarakat. Dengan perkawinan, individu akan dapat hidup bersama lawan jenisnya, membentuk rumah tangga dan melahirkan anak-anak untuk melanjtukan keturunan. Sementara bagi masyarakat, perkawinan merupakan suatu lembaga dimana individu akan memperoleh status dan peran yang baru, pengakuan serta penghargaan dari masyarakat atas ststus dan peranan barunya tersebut.

Kehidupan perkawinan itu sendiri jelas bukan merupakan persoalan sehari, namun merupakan persoalan sejarah kehidupan individu. Didalamnya ke dua orang yang telah saling terikat dan menamakan diri mereka sebagai suami istri berusaha untuk melaksanakan hak dan kewajubannya masing-masing, saling berusaha untuk menyatukan dua pribadi yang saling mendukung.

Diakui bahwa hal-hal yang seharusnya ada dalam suatu perkawinan bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Pada kenyataannya, dalam suatu perkawinan seringkali muncul berbagai masalah yang tidak dikehendaki, namun tidak dapat

dihindari. Masalah yang timbul dalam suatu perkawinan dapat menyebabkan terjadinya perselisihan, pertengkaran atau ketegangan dalam rumah tangga sehingga memunculkan apa yang disebut dengan kekeacauan keluarga (Disorganisasi keluarga).

Disorganisasi keluarga ini dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputus atau retaknya peran sosial jika satu atau beberapa orang anggotanya gagal menjalankan kewajiban dan peran mereka. Disorganisasi keluarga dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara suami istri dalam berbagai hal.

Perceraian adalah pemutusan hubungan perkawinan secara sah sesuai dengan hukum agama dan hukum negara. Secara religius, Agama Islam membolehkan perceraian sebagai jalan terakhir bagi mereka yang telah gagal dalam mebina rumah tangga. Secara hukum negara, perceraian diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 bahwa perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian ini.

2. Permasalahan

Rumah tangga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Terciptanya rumah tangga yang bahagia, kekal dan rukun merupakan dambaan semua orang, namun pada tataran aplikatif tidak mudah mewujudkannya. Hal ini terbukti karena sampai saat ini masih banyak ditemui kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan tersebut bisa terjadi terhadap fisik, psikis dan dalam hubungan seksual.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya mempunyai hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia berdasarkan azas-azas penghormatan terhadap perempuan, keadilan dan kesetaraan jender serta anti diskriminasi, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 29 tahun 1999 tentang HAM.

5. Kerangka Pemikiran

5.1. Pendekatan Sosiologis

Sosiologi konflik merupakan suatu aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran sosiologi fungsionalisme. Mereka percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang

merupakan pusat dari setiap hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya dapat dilihat dari konflik antar dua kepentingan.

Menurut perspektif sosial konflik, hubungan yang penuh dengan konflik juga terjadi dalam keluarga. Hubungan suami istri dalam keluarga dianalogikan oleh Engels sebagai hubungan antara kelas kapitalis (borjuis) dan kelas proletar, hamba dan tuan, pemeras dan yang diperas. Terjadinya penindasan terhadap perempuan di dalam keluarga merupakan suatu persoalan yang parah. Penindasan tersebut berbentuk penindasan ekonomi, seksual dan pembagian properti di dalam keluarga.

Dalam masyarakat telah melembaga anggapan bahawa istri yang baik adalah istri yang dapat melayani semua kebutuhan rumah tangga, seperti melayani suami dan anak-anak. Padahal seorang istri juga mempunyai hak atas pengembangan potensi dirinya. Tidak jarang seorang istri yang telah bekerja lalu disuruh suami untuk berhenti dan harus mengurusi anak-anak dalam rumah tangga. Kalau sudah demikian, maka secara ekonomi istri menjadi tergantung pada suami selamanya. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena faktor biologis atau pemberian Tuhan, tetapi konstruksi masyarakat.

Menurut teori konflik, situasi konflik dalam kehidupan sosial tidak dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau disfungsoinal, tetapi bahkan dianggap sesuatu yang alami dalam setiap proses sosial. Adanya konflik bersumber pada struktur dan fungsi keluarga itu sendiri. Seorang suami dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga akan menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya yang mempunyai kedudukan ibu rumah tangga. Pada asumsi dasarnya adalah siapa yang mempunyai kekuasaan akan selalu dianggap menindas yang dibawahnya.

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk penindasan karena suami adalah pemegang kekuasaan dalam rumah tangga sehingga suami dapat saja menindas istri yang kedudukannya berada di bawah suami. Perempuan terkondisi untuk bekerja di sektor domestik dan laki-laki bekerja dan mengontrol sektor publik. Di samping itu, rumah tangga berada di bawah otoritas dan kewenangan suami.

Gerakan feminis di Barat pada tahun 1960-an adalah merupakan periode timbulnya kesadaran perempuan secara kolektif bahwa mereka adalah golongan yang tertindas. Filsafat feminis Marxis misalnya menganggap bahwa segala pemilikan pribadi, dalam hal ini pria memiliki wanita, adalah sumber penindasan.

Oleh karena itu, model konflik ini menuduh institusi keluarga sebagai institusi yang melestarikan pola relasi hierarkis yang dianggap menindas, sebagai superstruktur institusi keluarga adalah agama, nilai-nilai dan budaya. Superstriktur dianggap memberikan legitimasi pada pola relasi dan struktur yang hierarkis dalam keluarga.

Perceraian yang disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga dapat merugikan salah satu ataupun kedua belah pihak. Terjadinya kekerasan yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian terjadi karena konsep kemitraan antara lakilaki dan perempuan harus saling menyempurnakan tersebut telah diabaikan. Suami beranggapan bahwa dia adalah kepala rumah tangga sekaligus berkuasa terhadap rumah tangga yang dipimpinnya. Terjadinya suatu permasalahan dalam rumah tangga tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang harus disempurnakan,

tetapi dianggap menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan terjadinya pertengkaran.

Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber dan salah satunya adalah kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh bias gender dimana seorang suami berhak untuk memperlakukan istrinya sesuka hati sebab di dalam masyarakat telah melembaga anggapan seperti itu.

Kalau kita hubungkan dengan masalah sosial, kekerasan dalam rumah tangga ini termasuk masalah sosial sebab hal ini menyangkut nilai-nilai sosial budaya dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Perceraian yang terjadi disebabkan oleh berbagai hal dan salah satunya adalah karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami dalam rumah tangga. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan tindakan yang berlawanan dengan hukum karena bersifar merusak, baik fisik maupun psikis.

Salah satu bentuk masalah sosial adalah disorganisasi keluarga, yaitu perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena angota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuali dengan peran sosialnya. Perceraian yang terjadi merupakan suatu bentuk disorganisasi keluarga dimana terjadinya perpecahan dalam suatu keluarga, dan disini anak-anak yang akan menjadi korbannya karena harus ikut salah satu orang tua mereka. Padahal anak-anak sangat membutuhkan kehadiran orang tuanya, berarti disini orang tua telah gagal dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai orang tua.

5.2. Konsep perceraian

Keluarga bahagia merupakan dambaan individu yang akan membentuk suatau keluarga melalui perkawinan. Namun kenyataannya, dalam suatu perkawinan terkadang terjadi ketegangan, tekanan dan kekecewaan. Menurut Blau (dalam Poloma, 1978), pola hubungan suami istri dalam suatu perkawinan yang berbentuk pertukaran itu hanya mungkin dipertahankan sejauh hubungan itu saling menguntungkan anggotanya. Namun apabila hubungan yang terjadi sudah tidak lagi saling menguntungkan para anggotanya, maka akan timbul kekacauan di dalam keluarga.

Goode mendefinisikan kekacauan keluarga sebagai berikut:

1. Ketidaksahan. Ini merupakan unit keluaraga yang tidak lengkap. Dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga karena suami tidak ada dan karenanya tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang ditentukan oleh sang ibu. Tambahan pula, setidaknya ada satu sumber ketidaksahan dalam kegagalan anggotaanggota keluarga, baik ibu maupun bapak untuk menjalankan

kewajibannya. 2. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan. Putusnya keluarga disini dikarenakan salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya.

3. Keluarga selaput kosong. Disini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerja sama dan terutama kegagalan dalam saling memberikan dukungan emosional. 4. Ketiadaan seorang dari pasangan kareana hal yang tidak diinginkan. Beberapa keluarga terpecah karena suami atau istri meninggal, dipenjarakan atau berpisah karena peperangan, depresi atau malapetaka lain. 5. Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental atau badaniah yang parah.

Sebuah keluarga, idealnya menjalankan beberapa fungsi, yang diantaranya adalah fungsi pemeliharaan. Namun dengan adanya perceraian, pola hubungan antara anak dengan salah satu atau kedua orang tuanya serta pola keluarga akan mengalami pergeseran. Hal ini terungkap dalam penelitian sebelumnya mengenai perceraian.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME yang wajib dirawat dan dilindungi. Menurut KHA (Konvensi Hak Anak ), anak adalah mereka yang berumur dibawah 18 tahun. Didalam diri anak terdapat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,oleh karena itu anak memilki hak asasi yang diakui. Seorang anak pada dasarnya membutuhkan perawatan, perlindungan yang khusus,

perlindungan hukum baik sebelum ataupun sesudah lahir dalam masa tumbuh kembang secara fisik dan mental. Keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian akan menjadi faktor utama dalam perkembangan kepribadian anak secara utuh. Jika kita lihat sekarang ini baik melalui surat kabar,televisi, radio atau kejadian disekiling kita, kekerasan terhadap anak makin marak terjadi, bahkan pelakunya berasal dari keluarganya sendiri. Hal ini menyebabkan anak-anak tersebut menjadi terlantar dan terisolasi dari kehidupan sosialnya. LPA (Lembaga Perlindungan Anak) merupakan lembaga sosial yang berkiprah menangani, melindungi anak dari segala permasalahan yang menimpa mereka. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian di LPA Prov. DIY. Dalam penelitian ini sesuai dengan judul Perlindungan Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga (Studi Kasus Terhadap Penanganan Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi DIY, penulis mendapatkan banyak pelajaran mengenai karakteristik kekerasan, faktor penyebab kekerasan dan juga penanganan LPA terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga. Penanganan yang dilakukan LPA lebih ditekankan pada pendampingan klien itu sendiri, diantaranya pendampingan yuridis, pendampingan psikologis dan pendampingan medis. Penelitian ini juga bukan hanya sebatas penelitian hanya untuk syarat sebagai kelulusan, namun dalam diri penulis terkesan sebab banyak pengalaman yang didapatkan selama terjun di lapangan, adanya bimbingan dan arahan menjadikan penulis tau apa yang sebelumnya tidak diketahui terlebih bagi sumbangan khasanah keilmuan untuk Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam

Prodi Kesejahteraan Sosial. Selanjutnya sebagai pengetahuan masyarakat dan pemerintah agar mengetahui pentingnya Perlindungan Anak khususnya sebagai usaha preventif agar angka kekerasan tidak semakin bertambah.

Kekerasan terhadap perempuan (kekerasan fisik, psikologis, sesksual, sosial, dan ekonomi) akan memberikan dampak psikologis ini tidak di tanggulangi dengan baik akan merugikan berbagai pihak yaitu individunya sendiri, keluarga dan masyarakat. Berbagai kekerasan terhadap perempuan seingkali di sembunyikan dan di tutuptutupi karena berbagai alasan karena merasa aib atau mendapat tekanan atau ancaman dari pihak pelaku. Kekerasan terhadap perempuan biasanya berkaitan dengan masalah kesehatan dan hak asasi manusia.

PENGERTIAN Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang berkaitan atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kebebasan baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan rumah tangga (Depkes RI, 2006). Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Depkes. RI, 2006)

Adapun yang termasuk lingkup rumah tangga adalah : Suami, Istri dan anak. Orang orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak, kanrea hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, dan atau. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

BENTUK BENTUK KEKERASAN 1. Bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkungan masyarakat. Perdagangan perempuan (Trafficking) Pelecehan seksual di tempat kerja / umum. Pelanggaran hak-hak repdoduksi. Perkosaan, pencabulan. Kebijakan / Perda yang diskriminatif / represif. Aturan dan praktek yang merampas kemerdekaan perempuan di lingkungan masyarakat. 2. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dilingkungan rumah tangga. Kekerasan fisik, psikis dan seksual (KDRT) Pelanggaran hak-hak reproduksi. Penelantaran ekonomi kekeluarga (KDRT)

Inses (KDRT) Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (KDRT) Ingkar janji / kekerasan dalam pacaran. Pemaksaan aborsi oleh pasangan. Kejahatan perkawinan (Poligami tanpa izin) atau kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Jenis - jenis Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam bentuk : 3. Tindak kekerasan fisik: yaitu tindakan yang bertujuan untuk melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain, dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lain. Bentuk kekerasan fisik yang dialami perempuan, antara lain: tamparan, pemukulan, penjambakan, mendorong secara kasar, penginjakan, penendangan, pencekikan, pelemparan benda keras, penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti : pisau, gunting, setrika serta pembakaran. Tindakan tersebut mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat bahkan sampai meninggat dunia. 4. Tindak kekerasan psikologis: yaitu tindakan yang bertujuan merendahkan citra seorang perempuan, baik metalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman) yang menekan emosi perempuan. Tindakan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kernampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitAan psikis berat pada seseorang.

5. Tindak kekerasan seksual: yaitu kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang disebut pelecehan seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seksuat yang disebut sebagai perkosaan. Tindakan kekerasan ini bisa diklasifikasikan dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikotogis.

Tindak kekerasan seksual meliputi: a) Pernaksaan hubungan seksual (perkosaan) yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut : Perkosaan ialah hubungan seksual yang terjadi tanpa dikehendaki oleh korban. Seseorang laki-laki menaruh penis, jari atau benda apapun kedalam vagina, anus, atau mulut atau tubuh perempuan tanpa sekendak perempuan itu. b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang anggota dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / atau tujuan tertentu. c) Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaran. Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, seperti di tempat kerja, dikampus/ sekolah, di pesta, tempat rapat, dan tempat urnum lainnya. Pelaku pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja. 6. Tindak kekerasan ekonomi: yaitu dalam bentuk penelantaran ekonomi dimana tidak diberi nafkah secara rutin atau dalarn jumlah yang cukup, membatasi dan/

atau metarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendati orang tersebut.

Penyebab Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Ada beberapa penyebab terjadinya tindak kekerasan dipandang dari berbagai aspek yaitu : 7. Terkait dengan struktur sosial-budaya/politik/ekonomi/ hukum/agama, yaitu pada sistim masyarakat yang menganut patriarki, dimana garis ayah dianggap dominan, laki-laki ditempatkan pada kedudukan yang tebih tinggi dari wanita, dianggap sebagai pihak yang lebih berkuasa. Keadaan ini menyebabkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi, seperti: sering tidak diberi hak atas warisan, dibatasi peluang bersekolah, direnggut hak untuk kerja di luar rumah, dipaksa kawin muda, kelemahan aturan hukum yang ada yang seringkali merugikan perempuan. Terkait dengan nilai budaya, yaitu keyakinan, stereotipe tentang posisi, peran dan nilai laki-laki dan perempuan, seperti adanya perjodohan paksa, poligami, perceraian sewenang-wenang. 8. Terkait dengan kondisi situasional yang memudahkan, seperti terisotasi, kondisi konflik dan perang. Dalam situasi semacam ini sering terjadi perempuan sebagai korban, misaInya dalam lokasi pengungsian rentan kekerasan seksual, perkosaan. Dalam kondisi kemiskinan perempuan mudah terjebak pada pelacuran. Sebagai imptikasi maraknya teknologi informasi, perempuan terjebak pada kasus pelecehan seksual, pornografi dan perdagangan.

Realitas Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)

Fenomena yang terjadi di sekitar kita kerap dijumpai terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan. Tindak kekerasan ini dapat saja terjadi di tingkat domestic ataupun public. Di tingkat domestik kerap terjadi antara suami-Istri, majikan kepada PRT, orang tua kepada anak dll. Sedangkan di ranah public kekerasan dapat terjadi di tempat kerja, di jalanan, institusi pendidikan, kekerasan dalam berpacaran dll. Ironisnya, tindak kekerasan ini terus terjadi dan semakin meningkat. Tindak kekerasan yang paling retan adalah terhadap perempuan dan anak. Hal ini, cenderung dianggap sebagai peristiwa yang umum, akan tetapi justru inilah yang dapat menimbulkan masalah baru berupa ketidak terjangkauannya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam keluarga maupun masyarakat. Karena sudah diangggap umum dan sudah menjadi hal biasa inilah, berbagai kasus kekerasan ini terus terjadi dan penanganannyapun tidak maksimal. Dengan banyaknya kasus kekerasan ini dan berbagai macm bentuk kekerasan yang menimpa banyak perempuan dan anak di berbagai area, diperlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri. Selain itu, juga dibutuhkan kebijakan dan payung hukum yang menjadi dasar untuk penanganan kasus kekerasan tersebut. Penanganan terhadap kekerasan terhadap perempuan tidak hanya cukup dengan hadirnya undang-undang, akan tetapi komitmen, kerjasama dan bukti nyata dari institusi penegak hukum.

Kekerasan bagian dari pelanggaran HAM

Berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia ini menimbulkan banyak dampak yang sangat berpengaruh dalam pembangunan. Pembangunan yang tidak berkelanjutan tidak terlepas dari tidak merdekanya seorang atau kelompok yang menjadi warga Negara. Misalnya kekerasan terhadap perempuan yang menimbulkan dampak fisik maupun psikologi ini secara langsung berpengaruh terhadap hak yang paling dasar sebagai manusia yaitu pelanggaran HAM. Misalnya dalam prinsip HAM yang didasarkan pada prinsip dasar bahwa semua orang mempunyai martabat kemanusiaan hakiki dan bahwa tanpa memandang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, asal usul kebangsaan, umur, kelas, agama, atau keyakinan politik.

Setiap manusia berhak untuk menikmati hak mereka. Kebijakan tentang perlunya perlindungan HAM dari berbagai pelanggaran telah diatur oleh ketentuan umum yang menjadi kesepakatan bangsa-bangsa di dunia, seperti juga Indonesia yang sudah merativikasi hasil-hasil konvenan tersebut. Misalnya dalam konferensi dunia pada tahun 1993 secara khusus juga mengakui hak asasi manusia kaum perempuan dan kewajiban Negara untuk melindungi dan memajukan hak-hak tersebut, termasuk hak untuk bebas dari kekerasan. Dalam hal ini, pemerintah sangat dituntut perannya untuk dapat melindungi warganya yang sangat rentan terhadap perilaku kekerasan. Perhatian Negara terkait dengan kasus kekerasan ini

meliputi pada kebijakan perundangan, kebijakan program antisipasi, penanganan kasus, komitmen penuh dari pihak terkait dan partisipasi masyarakat. Peran Polwan dalam penanganan kasus KtP

Sebagai komitmen dari pemerintah, dalam hal ini adalah para penegak hukum yang meliputi elemen kepolisian dan pengadilan adalah dengan adanya RPK. RPK mempunyai kepanjangan dari Ruang Pelayanan Khusus. RPK merupakan ruang khusus yang tertutup dan aman, yang berada di kesatuan Polri dimana perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan atau pelecehan sexual dapat melaporkan kasusnya dengan aman kepada polwan yang empatik, penuh pengertian dan professional. Perlunya RPK menjadi penting ketika seorang perempuan mengalami kekerasan, karena secara fisik maupuin secara psikologi, korban memerlukan tindakan pendampingan dan pengamanan. Maka di RPK tersebut diharapkan korban dapat mendapatkan ketenangan dan keamanan.

Terkait dengan berbagai kasus yang terjadi, hal tersebut memerlukan penanganan dan implementasi kebijakan untuk penanganan dan pengurangan tindak kekerasan. Dalam implementasi tentunya pihak-pihak terkait dan masyarakat harus sinergis dan aplikatif, karena banyak kasus yang terjadi. Ketidaktahuan masyarakat akan pelayanan yang disediakan tersebut atau dari pihak penegak hukum yang tidak komitmen terhadap tindak kekerasan ini, menjadi tidak efektif. Hal ini juga tidak terlepas dari usaha pemerintah untuk melakukan sosialisasi, baik dalam bentuk penyuluhan hukum, diskusi, tanya jawab dan mas media.

Sosialisasi tentang masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak ini banyak memberikan manfaat bagi personil Ruang Pelayanan Khusus. Dalam penanganan kasus inilah peran Polwan sangat diharapkan, bukan hanya sekedar Polwan, akan tetapi Polwan yang memiliki pola pelayanan yang simpatik dan berperspektif korban. Hal ini terjadi karena berbagai dampak muncul dari bentuk kekerasan ini baik yang tampak secara fisik maupun psikologis. Masyarakat juga menganggap ketika suatu kasus di munculkan akan menimbulkan anggapan negatif dan malah akan merugikan pihak korban. Maka dari itu perlu dilakukan langkah strategis agar korban merasa nyaman, terbuka dan tidak di diskriminasikan sesuai dengan prinsip HAM. Dalam setiap kasus perkosaan, korban selalu mengalami stress dan trauma, sehingga besar kemungkinan mereka akan memproyeksikan sikap dan emosi negatifnya kepada kaum laki-laki.

Dalam penegakan pelayanan kekerasan ini masih mengalami kendala yang besar, sebagai contoh keberadaan RPK di wilayah POLDA DIY masih terbatas hanya di tingkat Polres dan belum tersedia sampai ke Polsek-Polsek. Dalam kasus, dimana korban melapor ke Polsek, kemudian proses pelaporan kekerasan tersebut dilakukan di ruang jaga POLSEK yang tentunya sangat tidak kondusif. Ketimpangan Internal Polwan sebagai Polisi

Suksesnya suatu kebijakan untuk menanggulangi suatu hal, akan sangat didukung oleh perangkat, mekanisme dan komitmen stakeholder yang ada. Termasuk dalam

hal ini, elemen penegak hukum dituntut secara professional, kapasitas dan sumberdaya. Secara kultur kelembagaan penegak hukum, lembaga kepolisian adalah instansi yang didominasi dengan nuansa maskulin, dimana lebih banyak anggotanya laki-laki dan system yang dijalankan sangat khas laki-laki. Sementara para perempuan korban untuk mengungkapkan kasusnya menjadi sulit, dengan pertimbangan karena ketidaksiapan terhadap resiko yang nantinya akan dihadapi. Dalam hal ini, korban justru disalahkan atau dihakimi. Hal ini muncul mengingat banyaknya stereotype negative terhadap perempuan yang menjadi sumber dari masalah itu adalah perempuan sendiri.

Selain yang terkait dengan penanganan yang menyentuh korban, kultur dan kebijakan lembaga kepolisian di tingkat internal mereka pun masih sangat patriarki. Kebanyakan POLWAN yang bertugas lebih bertanggungjawab pada masalah administatif. Polisi laki-laki tidak terlalu suka dengan pekerjaan administrasi, untuk itu setiap ada polwan pasti ditugaskan untuk mengurus masalah administrasi. Padahal tugas polwan adalah ujung tombak dari penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia. Pelayanan terpadu RPK sebagai peran Polwan dalam memaksimalkan Polmas.

Karena kompleksnya persoalan tindak kekerasan terhadap perempuan, tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab penegak hukum, akan tetapi masyarakat juga memegang peranan penting dalam penegakannya. Seperti yang telah di gagas tentang kerjasama yang sinergis antara masyarakat dan polisi untuk mewujudkan

keamanan dan ketertiban yang berbasis pada penghargaan kepada HAM. Kebijakan in dikenal dengan adanya istilah Polmas. Polmas adalah sebuah filosofi dan strategi operasional dan organisasional yang mendorong terciptanya suatu kemitraan baru antara anggota masyarakat dengan anggota polisi dalam memecahkan masalah dan tindakan-tindakan proaktif sebagai landasan terciptanya kemitraan.

Ketika dihubungkan dengan peran Polwan sebagai bagian dari Polisi, maka RPK sebagai pusat layanan yang langsung dapat diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan, membantu pelayanan dan aktualisasi secara langsung anggota polisi atau Polwan terhadap masyarakat. RPK tidak akan dapat berjalan maksimal apabila hanya dilakukan oleh organisasi polri saja tanpa ada dukungan dari masyarakat. Perlunya keterlibatan masyarakat secara partisipatif ini juga akan memaksimalkan layanan yang memang selayaknya didapat oleh korban kekerasan. Hal ini juga untuk menghindari kasus diskriminasi penegak hukum untuk menyelesaikan kasus yang dilaporkan. Dalam kasus tersangka yang tidak ditahan dan melarikan diri, polisi tidak mengambil tindakan apapun , malahan saling melempar tanggungjawab satu sama lain dengan mengatakan, Kasus ini bukan saya yang menangani.(***)

Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa menganut sistem kekerabatan bilineal. Walau sistem kekerabatan dirunut dari kedua garis keturunan, namun

bukan berarti hak-hak perempuan telah sebanding dengan hak-hak laki-laki. Masyarakat Jawa pada kenyataannya masih didominasi oleh sistem patriarkhi yang cenderung meminggirkan posisi perempuan. Di dalam masyarakat tersebut perbedaan norma-norma yang diberlakukan bagi laki-laki dan bagi perempuan juga terlihat jelas. Perempuan umumnya memperoleh rambu-rambu yang jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Akibatnya, kedudukan dan peran laki-laki cenderung lebih dominan.

Di sisi lain, Yogyakarta telah lama menyandang predikat kota pelajar yang menjadi barometer perkembangan pendidikan di Indonesia. Jikalau pendidikan dianggap sebagai salah satu faktor determinan modernitas maka dapat dikatakan bahwa rigiditas budaya, utamanya yang tidak kondusif terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan egaliter, akan terkikis. Asumsinya, semakin terpelajar suatu masyarakat makin tinggi kesadaran dan penghargaan terhadap orang lain, termasuk terhadap kaum perempuan. Berangkat dari kompleksitas dari kondisi di atas, maka dilakukan suatu penelitian untuk mempetakan serta mengidentifikasi masalah kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kepedulian Masyarakat

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam berbagai kasus tindak kekerasan, kepedulian masyarakat terhadap masalah tersebut sangatlah kurang. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghindarkan perempuan dari berbagai tindak kekerasan mengakibatkan makin suburnya tindak kekerasan yang terjadi. Berbagai faktor menjadi penyebab ketidakpedulian masyarakat, di antaranya

adalah adanya anggapan bahwa tindak kekerasan (khususnya kekerasan seksual) merupakan masalah biasa dan bukan suatu hal yang melanggar norma. Selain itu ada anggapan bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu manifestasi dari sifat laki-laki yang memang suka iseng dan bentuk ekspresi yang wajar dari ketertarikan laki-laki terhadap perempuan. Adanya anggapan tersebut mengakibatkan munculnya kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu kasus kekerasan terhadap perempuan perlu segera dicari cara penanganannya mengingat makin meningkatnya intensitas dan levelnya.

Membawa kasus kekerasan non-seksual, terutama kekerasan yang menyangkut masalah finansial seperti penipuan uang dan perampokan kepada pihak yang berwajib telah banyak dilakukan. Namun upaya untuk membawa kasus kekerasan seksual, baik kekerasan ringan, sedang, maupun berat kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini ke aparat hukum belumlah ada. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab perempuan korban tindak kekerasan tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib,pertama, adanya kekawatiran bahwa selain korban akan mendapat aib (karena telah mengalami tindak kekerasan), juga adanya kekawatiran bahwa akan terjadi ketidakharmonisan antara korban dengan keluarga (terutama suami), antara korban dengan keluarga pelaku, atau antara pelaku dengan keluarganya, ke dua, tidak diketahuinya saluran ataupun proses yang mesti ditempuh, dan ke tiga, tidak adanya keyakinan dalam diri korban bahwa kasus kekerasan akan tertangani secara adil.

Kekerasan terhadap Perempuan (Violence Againts Women)

Definisi

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (pasal 1, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993) Kekerasan terhadap perempuan, yaitu setiap tindakan kekerasan berdasarkan jender yang menyebabkan, atau dapat menyebabkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual, atau psikologis terhadap perempuan, termasuk ancaman untuk melaksanakan tindakan tersebut dalam kehidupan masyarakat dan pribadi (Beijing Platform of Action no. 113 dalam Herlina, Apong: 1998)

Jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan

Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mengidentifikasi 3 wilayah di mana kekerasan biasanya terjadi (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 1994):

1. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanakkanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami-istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi 2. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa 3. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, di manapun terjadinya

Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya didalam rumah (domestik) tetapi juga terjadi diluar rumah. Relasi yang berpotensi membuat kekerasan tersebut adalah relasi personal, relasi kerja, relasi masyarakat, bahkan situasi konflik. Bentuk-bentuk kekerasan adalah seperti perkosaan, penganiayaan terhadap perempuan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi dimana saja di belahan dunia, tidak membedakan kultur, agama, ras dan latar belakang pendidikan dan sebagainya.

Kekerasan sepertinya tidak akan pernah dapat dipisahkan dari sejarah perjalanan hidup manusia. Kekerasan sudah membudaya. Kekerasan sudah mendarah daging. Sehingga dalam mengarungi kehidupan yang teramat singkat ini, manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini, akan selalu mengalami (bisa sebagai pelaku ataupun korban) kekerasan. Kekerasan bisa terjadi di mana saja, kapan saja, menimpa siapa saja dan bisa juga dilakukan oleh siapa saja. Dalam hal ini, kekerasan dapat terjadi di rumah, lingkungan tetangga, sekolah, kantor, lapangan sepak bola, kampus, dan lain sebagainya. Kejadiannya dapat berlangsung pada pagi, siang ataupun malam hari. Ia bisa menimpa laki-laki maupun perempuan. Sasaran atau korbannya juga tidak mengenal batas usia. Anak-anak, remaja serta orang tua bisa menjadi obyek kekerasan. Pelakunya juga beragam. Ia dapat dilakukan oleh pelajar, mahasiswa, dosen, pegawai (pemerintah/ swasta), istri, suami, dengan beragam usia baik anak-anak, remaja dan juga para orang tua. Dari berbagai kekerasan yang ada, yang sering menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak. Contohnya adalah kasus yang menimpa ibu

Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai manusia, perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dimuka bumi ini, yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak ia

dilahirkan, dan tanpa itu manusia (perempuan dan anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Atas pengakuan ini, tampak pelbagai pernyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan rintangan terhadap keberhasilan pembangunan. Bagaimanapun juga tindak kekerasan akan berdampak pada kurangnya rasa percaya diri, menghambat kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatannya, mengurangi otonomi, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya serta fisik.

Perlindungan perempuan merupakan upaya strategis untuk memberikan dukungan peningkatan kualitas hidup perempuan. Perlindungan dalam hal ini merupakan action program yang dilaksanakan pemerintah dalam melindungi perempuan dan anak khususnya dari tindak kekerasan. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan di Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh Penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan di Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian akan sangat berguna bila hasilnya memberikan manfaat, tidak hanya bagi Penulis, tetapi juga bermanfaat bagi setiap orang yang

menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, terutama dalam bagian Hukum Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum pidana tentang perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistemis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku kuliah. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum bagi setiap pihak yang terkait seperti pemerintah, praktisi hukum, dan akademisi. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan maupun pola pikir kritis dan dinamis bagi Penulis serta semua pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum dalam kehidupan. E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:41). Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat

signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28). Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif atau terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22) Oleh sebab itu, dalam laporan penelitian ini Penulis memberikan gambaran atau pemaparan tentang perlindungan hukum terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah 4. Jenis Data Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam penulisan hukum ini yakni Perda DIY Nomor 3 Tahun 2012.

b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundangundangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu Perda DIY Nomor 3 Tahun 2012. 6. Pengolahan Hasil dan Analisis Data Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Setelah diperoleh data yang akan diteliti, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan dan mengkategorisasikan, kemudian proses pengorganisasian dan

pengelompokkan data (Lexi J.Moleong, 2009:280-281). Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan di Yogyakarta serta .. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini meliputi : BAB I : Pendahuluan Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah,perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini. BAB II : Tinjauan Pustaka Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai tinjauan tentang korban kekerasan terhadap perempuan. BAB III : Pembahasan Dan Hasil Penelitian Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti,

terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan di Yogyakarta dan. BAB IV : Penutup Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan Daftar Pustaka bahasan penulisan hukum ini.

TINJAUAN PUSTAKA dalam penelitian ini dapat diambil suatu pengertian mengenai: 1. Perlindungan hukum (Menurut Riduan Syahrani,), yaitu aturan hidup yang memberikan perlindungan dan jaminan kepada seseorang dengan rasa aman, nyaman, tanpa ada gangguan dari pihak lain sehingga benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya,1 sehingga perlindungan hukum tersebut sebagai jaminan hukum terhadap seseorang dan jika hak-hak atas jaminan hukum tersebut dilanggar oleh pihak lain maka dapat dikenai sanksi hukum yang setimpal atas perbuatan tersebut. 2. Wanita (Menurut Kamus Hukum Bahasa Indonesia), yaitu seorang manusia yang diciptakan berjenis kelamin perempuan oleh sang pencipta yang diberikan indera yang dapat digunakan dalam melakukan segala hal sehingga dapat hidup sebagaimana mestinya sebagai manusia.2 Wanita diciptakan hidup sebagai manusia layaknya yang memiliki hak untuk hidup, bersosialisasi dan berkomunikasi sehingga ia dapat menjalankan segala hal yang diinginkan tanpa rasa takut atas itu. 3. Korban (Menurut Andi Hamzah,), adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat suatu tindakan tidak baik yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja yang dilakukan baik atas perbuatan seseorang. Sehingga korban tidak dapat melakukan aktifitas sebagaimana mestinya.3

Riduan Syahrani, Perlindungan Hukum Terhadap Korban dan Pelaku Kejahatan, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 18. 2 Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 673.

Korban tersebut ialah suatu akibat tindakan tertentu yang dilakukan padanya sehingga mengalami kerugian bagi dirinya sendiri baik fisik, mental ataupun sosial. Atas perbuatan tersebut maka hak-hak seseorang tersebut dilanggar. menurut Muladi, sebagaimana dikutip oleh Suryono Ekatama, et al, yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target / sasaran kejahatan.4 Mufidah 18juga menyatakan bahwa Penafsiran yang bias gender dan budaya patriarkhi terhadap perempuan menyebabkan lemahnya responsibilitas agama dalam menanggapi isu munculnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anakanak yang akhir-akhir ini semakin santer muncul dipermukaan. Oleh karena itu, harus dikembangkan semangat Islam sebagai suatu kekuatan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang lebih sensitive dan responsive terhadap kepentingan mereka.5

Andi Hamzah, Korban Kekerasan, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 23. 4 Suryono Ekatama, et.al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, UAJ, Yogyakarta, 2000, hal. 176.
5

Mufidah, dkk. Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan (2006:29) Yogyakarta:

Pilar Media.

Melihat fenomena kekerasan terhadap perempuan yang salah satunya disebabkan oleh adanya penafisaran yang kurang pas terhadap ayat al Quran di atas, lantas, apakah Islam mendukung kekerasan terhadap perempuan? Jawabnya , tentu saja tidak. Larangan berbuat kekerasan dalam Islam tidak hanya berlaku bagi perempuan saja tapi juga bagi semua insan dibumi ini. Hal ini senada dengan bunyi sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Dar al Quthi dan Ibnu Said al Khudri; Janganlah membuat aniaya dan jangan pula dianaiya. Dalam hadist yang lain yang diriwayatkan oleh al Turmudzi:Ingatlah aku berpesan agar kalian berbuat baik terhadapperempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu.6 Lebih jauh Mufidah7 menyatakan agama Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin memiliki nilai-nilai universal untuk menjawab kebutukan terhadap pembebasan bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami penindasan. Nilainilai itu diantaranya keadilan (al adalah), demokrasi (al dimokratiyah), kesetaraan (muwathanah), penegakan HAM (iqamat al huquq al insaniyyah), dan kemaslahatan (mashalih al ummah). Merujuk nilai-nilai Islam di atas, dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan suatu tindak penindasan, kesombongan, kerusakan, dan

menghilangkan hak-hak dasar manusia adalah bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam juga menentang adanya kekerasan terhadap perempuan. Bahkan bukan hanya pada perempuan, tapi pada semua mahkluk dimuka bumi. Menilik
6 7

Ibid hlm. 30 Ibid hlm. 32

nilai-nilai islam di atas dapat disimpulkan bahwa Islam itu adalah mulia, damai, bijak, adil, dan juga manusiawi. Namun melihat fenomena kekerasan terhadap perempuan yang tiada hentinya itu, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah atau kalau tidak meminimalisir kasus kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi di tanah air tercinta ini? Begitu pentingnya pendidikan itu, sehingga ia bisa merubah posisi perempuan dari hidup yang serba terjajah dan terpuruk kepada suatu kehidupan yang lebih bermartabat dan mulia. Hal ini senada dengan pendapat Roqib yang menyatakan bahwa pendidikan dapat menciptakan ruang agar bersifat kritis terhadap sistim dan struktur yang diskriminatif terhadap kaum tertindas dan kaum tersingkirkan, seperti kaum miskin, kaum buruh, para penyandang cacat, atau mereka yang memiliki kemampuan berbeda, kaum perempuan, anak-anak serta bagaimana melakukan proses dekonstruksi dan berbagai aksi praktis ataupun strategis menuju system social yang sensitive dan non diskriminatif. 8 Sementara itu, Djojonegoro9 menyatakan apabila kaum perempuan memiliki ilmu dan kemampuan yang tinggi, ia dapat bersikap lebih arif, dewasa dan terhormat sehingga tidak lepas dari mulut singa kemulut buayaUntuk perempuan dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki, diharapkan dapat berkiprah lebih proporsional sesuai dengan kewajiban, hak, kapasitas perempuan, dan ketrampilannya. Manifestasi peran semakin mudah apabila perempuan

(muslimah) dapat menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang.
8 9

Roqib, Pendidikan Perempuan 2003 Yogyakarta: Gama Media hlm. :xxv Ibid hlm 4

Dengan pendidikan tinggi tersebut, perempuan akan setara dengan laki-laki. Mereka tidak lagi tersubordinate. Mereka tidak akan menjadi warga kelas dua. Mereka dapat berperan dalam berbagai aspek kehidupan seiring sejalan dengan kaum pria. Athiyah juga menegaskan bahwa dengan ilmu dan pendidikan perbedaan kelas antara manusia dapat diperkecil dan sebaliknya persamaan dapat diwujudkan, kesempatan yang sama dapat diciptakan 10 Lebih jauh Athiah menjelaskan bahwa hanya dengan pendidikan perempuan dapat menjadi sosok yang berfikir kreatif. Adapun tanda-tanda orang berfikir kreatif antara lain (1) kemampuan kognitif, termasuk kecerdasan di atas rata-rata dan kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru; (2) sikap terbuka, yaitu siap menerima stimuli internal dan eksternal; ia juga memiliki sikap yang beragam dari luar; (3) sikap yang bebas, otonom dan percaya pada diri sendiri, yaitu memiliki gaya hidup tersendiri terbebas dari polusi lingkungannya.11

10 11

Ibid hlm 43 Ibid hlm. 77

Anda mungkin juga menyukai