Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan Perdarahan uterus disfungsional (PUD) merupakan salah satu dari problem klinik yang sering dijumpai pada

praktek ginekologi. Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterium. 1 Haid adalah sumber utama kehilangan besi dan bertambahnya kehilangan darah haid menyebabkan anemia defisiensi pada populasi. Berdasarkan konsentrasi hemoglobin dari mentruasi , rata rata wanita perbulan kehilangan darah haid 35 ml setiap siklus. Kehilangan darah haid lebih dari 80 cc setiap siklus diterima secara luas sebagai definisi objektif untuk menorrhagia. Perdarahan uterus yang abnormal didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi menstruasi, durasinya atau jumlah darah yang keluar. Didiagnosis sebagai perdarahan uterus disfungsional jika tidak didapatkan kelainan ginekologi atau tidak adanya sebab secara medis yang mendasari terjadinya perdarahan banyak. Dengan karateristik perdarahan banyak dan lama, sering, tidak teratur, periode menstruasi yang panjang, perdarahan diantara periode atau perdarahan yang banyak saat periode. Salah satu bentuk perdarahan uterus disfungsional yang sering terjadi adalah menorrhagia.1 Menorrhagia didefinisikan oleh American College of Obstetric and

Gynecologists (ACOG, 2000). Sebagai perdarahan menstruasi yang lama , banyak dengan interval yang teratur atau dapat disebutkan sebagai perdarahan menstruasi pada setiap siklus lebih dari 80 ml dan lebih dari 7 hari.1,2 Secara umum terapi menorrhagia adalah abat hormonal dan non hormonal kemudian diikuti dengan terapi lini kedua yaitu dilatasi dan kuretase dan akhirnya, pada banyak kasus adalah histerektomi.3

The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) melaporkan bahwa 42% histerektomi di Inggris dilakukan oleh karena perdarahan uterus disfungsional (RCOG, 1996). Histerektomi dapat dilakukan secara abdominal, vaginal atau laparoskopi. Histerektomi secara vaginal atau laparoskopi dilaporkan lebih sedikit komplikasinya dibandingkan dengan abdominal histerektomi. Tetapi histerektomi berhubungan dengan komplikasi perioperatif ataupun postoperative. Histerektomi memerlukan anestesi umum, waktu operasi yang lama dan masa penyembuhan di rumah sakit sampai beberapa hari. Tehnik ablasi endometrial merupakan terapi alternative dari histerektomi.1 Merupakan suatu prosedur yang secara permanen menghancurkan endometrium untuk menghentikan atau mengurangi perdarahan menstruasi. Definisi ablasi endometrium adalah tindakan melepaskan dan mengeluarkan (destruksi) seluruhn jaringan endometriumdan kadang-kadang sampai janringan dibawahnya (miometrium) dari kavum uteri. Prinsip tindakan ini adalah kuretase dan hemostasis dengan cara refleksi perhisteroskopi memakai kauterisasi. Laser atau termal. Ablasi endometrium tidak menjamin terjadinya amenorea sehinggak kadang kadang diperlukan therapy medis untuk menekan pertumbuhan endometrium karena ablasi endometrium akan lebih berhasil jika endometrium tipis. Beberapa tehnik ablasi endometrium digolongkan menjadi generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama diperkenalkan pertama kali pada awal tahun 1980, menggunakan energi listrik, suhu dan laser. Tehnil ablasi endometrium generasi pertama yang paling sering dan luas digunakan adalah trancervical resection of endometrium (TCRE) yang menggunakan loop diathermy electrode dan Roller-ball ablation (RB) menggunakan elektroda dengan bola yang bergerak atau silinder. Semua tehnik ini memerlukan tenaga yang sudah terlatih dan visualisasi dari endometrium dengan menggunakan hysteroscope dan keberhasilanya tergantung dari ketrampilan serta pengalaman operator.1 efek samping EA generasi pertama berupa electrosurgical burn , perforasi uterus, perdarahan, infeksi dan overload cairan .

terjadinya histerektomi emergensi akibat efek samping EA generasi pertama dilaporkan 6,6 per 1000 prosedur dan mortalitas 0,2 per 1000. Sejak tahun 1990, generasi kedua mulai dikembangkan dengan tujuan mendapatkan tehnik yang lebih mudah, cepat dan efektif dibandingkan generasi pertama untuk terapi menorrhagia.1 Yang termasuk generasi kedua adalah Thermal Balloon endometrial ablation (TBEA), Microwave endometrial ablation (MEA), Radiofrequency dan cryotherapy serta fotodinamik therapy .1,5 tehnik AE generasi kedua yang sering digunakan adalah TBEA dan MEA. Tehnik ini tidak memerlukan visualisasi kavum uteri secara langsung dan dapat dilakukan dengan anestesi local.

THE RMAL BALLOON ENDOMETRIAL ABLATION (TBEA) Tehnik ablasi endometrial terbaru adalah Thermal Balloon Endometrial Ablation (TBEA), menghancurkan lapisan dalam uterus dengan mentransfer panas dari cairan panas di dalam balon yang dimasukkan ke dalam uterus. TBEA tidak dapat digunakan pada wanita dengan bentuk uterus yang tidak rata (irregular) karena untuk ablasi balon harus dapat kontak langsung dengan dinding uterus, suatu prosedur yang tidak memerlukan hysteroscope dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal.1,6,7 Prosedur ablasi ini adalah dengan memasukkan balon melalui serviks ke dalam kavum uteri. Terdiri dari kateter fleksibel dengan suatu unit control yang memonitor proses ablasi. Disposibel kateter panjangnya 16 cm dan diameter 4,5 mm dengan balon silicon atau lateks pada ujungnya disertai elemen pemanas didalam balon yang berhubungan dengan suatu unit pengontrol untuk memonitor tekanan kateter, temperature dan control waktu. Seluruh prosedur dapat dilakukan kurang dari 1 jam.5,6,7,8,9,10

Gambar 1. Thermal Balloon Endometrial Ablation

Gambar 2. Setelah balon dimasukkan dan dipompa

Gambar 3. Setelah selesai prosedur dan balon akan dikeluarkan

Seleksi pasien Pasien yang memenuhi kriteria TBEA adalah wanita premenopause dengan menorrhagia yang berat yang tidak respon atau tidak ingin melanjutkan terapi obatobatan, tidak ada prekanker atau kanker endometrium, hasil sitologi serviks negative, ukuran uterus kurang dari 12 cm dan sudah tidak ingin hamil.6 Yang tidak memenuhi kriteria adalah ukuran uterus lebih dari 12 cm, terdapat prekanker atau kanker endometrium, mioma submukosa, polip endometrium, septum uterus, penyakit radang panggul (Pelvik inflammatory disease), infeksi genital, kehamilan atau masih menginginkan hamil dan alergi lateks.6

Prosedur Pasien dalam posisi litotomi, balon dimasukkan ke kavum uteri kemudian diisi dengan cairan 5% dextrose kurang lebih 10-15 ml sampai tekanan intrauterus stabil antara 150-170 mmHg. Pemanas diaktifkan dan dipertahankan sampai mencapai 87 0C. Terapi yang efektif adalah dengan durasi 8 menit, berdasarkan studi

secara in vitro maupun in vivo, dengan hasil koagulasi jaringan mencapai 4-6 mm (Neuwirth et al, 1994).8,9 Dengan menggunakan TBEA, kedalaman kerusakan jaringan mencapai 3-6 mm. Bila Ablasi dilakukan selama 6-12 menit, dengan tekanan pada balon antara 45165 mmHg dengan temperature 92 0C. Maksimum daerah yang dihancurkan adalah 10 mm dan dalam waktu 6 menit berkisar 5,07 mm. Pada pemanasan selama 6 menit temperature tertinggi yang tercatat pada lapisan serosa adalah 37 0C. Keamanan penggunaan ablasi ini telah diteliti secara in vitro maupun in vivo pada 23 pasien dengan melakukan pemeriksaan histology yang telah dilakukan histerektomi abdominal. Kerusakan paling dalam pada miometrium secara in vitro adalah 5,8 mm pada segmen bawah uterus anterior dan in vivo 3,88 mm pada garis tengahn anterior. Puncak temperature pada lapisan serosa masih dalam batas aman adalah (in vitro < 45 0C dan in vivo 36,1 1,6 0C).

Tekanan dan durasi Vilos et al melaporkan efek dari berbagai tekanan dan durasi penggunaan TBEA pada studi kohort secara retrospektif pada 66 pasien dengan menorrhagia. Dalam 12-24 bulan pemantauan, menorrhagia yang menetap dilaporkan terdapat pada 56% wanita yang menggunakan TBEA dengan tekanan 80-150 mmHg dibandingkan dengan 20% dengan tekanan 151-180 mmHg dalam waktu 8 menit dan 24% yang diterapi selama 12-16 menit pada tekanan 151-180 mmHg. Oleh karena itu, tekanan balon lebih dari 150 mmHg meningkatkan efektifitas terapi. Meningkatkan durasi terapi dari 8 menit menjadi 12 menit atau lebih tidak mempengaruhi keberhasilan terapi.

Penyembuhan Beberapa wanita dapat langsung pulang dalam waktu 4 jam setelah ablasi endometrium. Biasanya disertai dengan kram ringan yang dapat diobati dengan

pemberian ibuprofen. Selama 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah discharge sebagai akibat luruhnya endometrium. Pasien dapat kontrol dalam 4 minggu setelah ablasi.

Komplikasi Dilaporkan komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan TBEA adalah Kram uterus (5,6%-23,3%), kram abdomen (5%), Sistitis (0,3%), endometritis (2%2,3%), Hematometra (0,7%).6 Garside et al (2004) berdasarkan literature reviuw menyimpulkan bahwa TBEA mempunyai efek samping intraoperatif lebih sedikit dibandingkan dengan tehnik ablasi endometrium generasi pertama (perforasi uterus pada roller ball ablation 1%-5%, TBEA 0%, laserasi serviks pada roller ball ablation 2%, TBEA 0%).1 Efek samping yang umum terjadi post ablasi adalah kram, discharge vagina dan mual. Discharge vagina dapat berupa discharge yang cair bercampur dengan darah. Pasien akan mendapat discharge seperti ini berwarna merah muda selama 2-3 hari yang secara bertahap akan berkurang dan berhenti dalam 2-10 hari. Kram uterus dapat terjadi selama 24-72 jam post ablasi.8

TBEA pada pasien resiko tinggi Studi observasi pada 46 wanita dengan menorrhagia dan kandidat resiko tinggi untuk histerektomi atau histeroskopi ablasi endometrium, mereka aman dan efektif diterapi dengan TBEA. 40% pasien yang mengikutiprosedur ini dengan anestesi lokal baik dengan atau tidak dengan sedasi. Dilaporkan tidak didapatkan adanya komplikasi intraoperatif. Yang termasuk pasien resiko tinggi adalah obesitas, transplantasi jantung paru, alat pacu jantung, perdarahan dan kelainan pada usus besar dengan perlengketan berat dan ileostomi. Metode ini juga sesuai untuk wanita yang sedang menjalani terapi antikoagulan.

Keamanan dan efektifitas Lok et al (2002) melakukan TBEA pada 30 wanita dengan menorrhagia tidak menemukan adanya komplikasi. Mangeshikar et al (2003), Alaily et al (2003), Alestebi et al (1999), Amso et al (1998), dan Buckshee et al (1998) juga tidak mendapatkan adanya komplikasi saat melakukan ablasi endometrium dengan TBEA. Lok et al (2002) melaporkan keberhasilan TBEA untuk terapi menorrhagia mencapai 85%. Studi yang dilakukan oleh Nazar et al (2003) dan Amso et al (1998) melaporkan keberhasilannya mencapai 88-91%. Mangeshikar et al (2003) melaporkan amenorrhoea pada 50% pasien dan 38% pasien menjadi hypomenorrhoeic setelah dilakukan TBEA pasa wanita dengan menorrhagia. Studi yang dilakukan oleh Metter et al (2002), 58% pasien menjadi amenorrhoea, 33% hypomenorrhoea dan 9% eumenorrhoeic.1

Data yang ada di FDA menunjukkan 13% pasien menjadi amenorrhea, 67% aumenorrhea dan 20% tetap menorrhagia. Metter melakukan studi secara prospektif dan dipantau selama 48 bulan. Kriteria inklusi yang digunakan adalah wanita usia 40 tahun atau lebih, menorrhagia dan hypermenorrhea, gagal dengan terapi obat-obatan. 70 pasien dievaluasi. Grup A terdiri dari 10 pasien dengan adenomyosis dan pembesaran uterus karena mioma dengan keluhan menorrhagia dan hypermenorrhea. Grup B terdiri dari 60 pasien dengan normal pap smears, tidak ada kelainan pada kavum uteri, tidak ada polip atau mioma dan PID. Pasien dipantau pada bulan ke 3, 9 dan 48 post ablasi untuk menilai perdarahan dan penyembuhannya.

Tabel 1. Karateristik pasien pada studi secara prospektif

Grup A (N=10) N% Histerektomi Perdarahan setelah 48 bulan Amenorrhea Hypomenorrhea Eumenorrhea 5 (50) 5 (50)

Grup B (N=60) N% -

35 (58) 20 (33) 5 (9)

Tidak ada komplikasi yang dilaporkan intraoperatif, postoperative atau selama dipantau selama 4 tahun. Pada kasus yang lain, Jarrell dan olsen menilai 28 pasien dengan menorrhagia yang telah dilakukan TBEA dan dipantau selama 16 sampai 28 bulan. Dengan hasil 68% pasien berkurang perdarahannya dan 32% tidak ada perubahan. Feitoza et al menilai long-term outcome, level of satisfaction dan perubahan QoL (Quality of life) pada pasien dengan perdarahan uterus abnormal yang diterapi dengan TBEA. Melibatkan 167 wanita dengan kriteria inklusi: perdarahan banyak atau lama, ukuran uterus kurang dari 10 cm, perdarahan uterus disfungsional. 47 pasien dilakukan TBEA sebagai terapi lini pertama dan 120 pasien telah 1 kali gagal diterapi (106 terapi homon, 22 kuretase, ablasi endometrium 2, NSAID 18 dan beberapa pasien lebih dari 1 kali terapi sebelumnya). Pasien dipantau melalui telepon. Dievaluasi mengenai perdarahan

postoperatif, perubahan pada QoL dan level of satisfaction setelah TBEA. Perdarahan menstruasi dinilai berdasarkan jumlah pembalut yang digunakan dan banyaknya hari menstruasi per siklus. QoL dinilai berdasarkan QoL sebelum dan sesudah TBEA dengan skala 1 sampai 10, nilai 1 adalah yang terburuk dan 10 adalah yang terbaik. Klasifikasi tingkatan kepuasan disebutkan dengan tidak puas, puas dan sangat puas. Terapi dikatakan berhasil bila pada pasien terdapat eumenorrhea, hypomenorrhea

10

atau amenorrea.

Adanya

menorrhagia berulang dan perlunya dilakukan

histerektomi menunjukkan terapi TBEA adalah gagal. Selama pemantauan 60% sampai 74% pasien setelah TBEA, dilaporkan amenorrea dan hypomenorrhea dan kurang dari 11% menorrhagia. Terdapat penurunan jumlah hari menstruasi dan jumlah pembalut.

Tabel 2. Perubahan perdarahan menstruasi setelah TBEA Perdarahan Hari/siklus Rata2 SD Median (range) 9,6 5.1 7(3-30) 3.1 2.7 3(0-13) < 0001 Sebelum TBA Setelah TBA P value

.Berdasarkan pre dan post TBEA didapatkan perbaikan QoL Tabel 3. Skor QoL sebelum dan sesudah TBEA QoL skor Mean SD Median (range Sebelum TBA 2,8 1,7 3 (1-9) Sesudah TBA 9 1,16 9 (6-10) P value < 0001

Pasien dengan amenorrea atau hypomenorrhea mengatakan sangat puas setelah menjalani prosedur, masing-masing 84% dan 89%.

Tabel 4. Level of satisfaction Siklus mentruasi setelah TBA Tingkat kepuasan setelah TBA Tidak puas puas Sangat puas

11

Amenorea Hipomenorea Eumenorea menorragia

1 1 0 3

5 5 23 0

27 34 22 0

28 pasien mendapat terapi tambahan selama pemantauan: - Miomektomi: 1 pasien - Terapi hormonal: 6 pasien - Histerektomi: 21 pasien Indikasi 21 pasien yang dilakukan histerektomi adalah: menorrhagia menetap 14 pasien Dismenorrhea 4 pasien Carcinoma serviks in situ 1 pasien Prolaps uteri 1 pasien Endometrioma 1 pasien

Satu-satunya komplikasi yang terjadi adalah endometritis ringan yang memerlukan hospitalisasi selama 24 jam dan berespon terhadap antibiotik.1 Pada kasus yang lain, Alaily et al mengevaluasi efikasi dan keamanan TBEA untuk terapi DUB. Pasien dengan usia rata-rata 43 tahun dengan menorrhagia dan semua gagal dengan terapi obat-obatan atau tidak bersedia melanjutkan terapi. Pemantauan dilakukan pada bulan ke 3, 6, 12 dan 24 post TBEA meliputi pertanyaan tentang menstruasi. Tidak ada komplikasi intraoperatif yang dilaporkan. Beberapa pasien mengeluh nyeri sedang sampai berat dan memerlukan analgetik.3 Histerektomi dilakukan pada pasien dengan menorrhagia yang menetap. Setelah 1 tahun, 27 dari 77 pasien (35%) amenorrea, 28 dari 61 pasien (46%) amenorrea setelah 2 tahun. Terapi dikatakan berhasil berdasarkan persepsi subyektif

12

dalam pengurangan jumlah perdarahan menstruasi seperti normal, sedikit atau amenorrea.

Tabel 5. Tipe perdarahan yang dilaporkan oleh pasien setelah 12 bulan dan 2 tahun post ablasi Perdarahan Berat Normal Ringan anemorea 12 bulan ( N =77) % 8(10) 7(9) 35(46) 27(35) 2 tahun (N=61) % 6(10) 3(5) 24(39) 28(46)

Dilaporkan juga tentang kepuasan pasien setelah dilakukan TBEA

Tabel 6. Level of satisfaction Foolow up 12 bulan 2 tahun Puas n(%) 69(90) 55(90) Tidak puas n(%) 8(10) 6(10)

Kesimpulan: TBEA efektif dan aman untuk pasien dengan DUB TBEA mudah digunakan dan hasilnya lebih baik dari EA generasi pertama dalam hal efektifitas, kepuasan pasien, waktu operasi , keamananya. TBEA merupakan tehnik terapi alternative yang lebih baik daripada generasi pertama karena lebih sedikit komplikasi intraoperatif yang timbul.

13

Kepustakaan 1. Ontario Health Technology Literature Reviuw. Thermal Balloon Endometrial Ablation for Dysfunctional Uterine Bleeding, 2004 September. 2. CIGNA Health Corporation. Endometrial Ablation, 2005. 3. EATNA. Clinical Policy Bulletins: Endometrial Ablation, 2004 Mar;30 4. Robins, Therapies for the treatment of abnormal uterine bleeding. General Gynecologic Issues, 2001. 5. Abbot J, Hawe J. A double-blind randomized trial comparing the cavaterm and the NovaSure endometrial ablation systems for the treatment of dysfunctional uterine bleeding. Fertility and Sterility. 2003, 80(1):203-208. 6. Bourdrez P, Bongers M, Mol B. Treatment of dysfuctioanal uterine bleeding. Fertility and Sterility. 2004, 82(1): 160-166. 7. OHTAC Recommendation. Thermal Balloon Endometrial Ablation for Dysfuction Uterine Bleeding, 2004 Oct;8. 8. League. Endometrial ablation as an alternative to hysterectomy. AORN journal. 2003, 77(2): 321-336. 9. Gervaise A, Fernandez H, cappella S. Thermal balloon ablation versus endometrial resection for the treatment of abnormal uterine bleeding. Human Reproduction. 1999, 14(11): 2743-2747. 10. National Institute of Clinical Excellence (NICE)./ Final appraisal: Fluid-filled thermal balloon for the heavy menstrual bleeding. Updated 2004 Jul. Accessed Mar, 2005. Available at URL address: 11. Lumsden M, Mcgavigan J. Menstruation and menstrual disorder. Gynecology. 2002: 459-476.

14

15

Anda mungkin juga menyukai