Anda di halaman 1dari 17

TEKNIK PRODUKSI BENIH UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.

) SPF SEMBV DENGAN NAUPLIUS HASIL METODE DOUBLE SCREENING1


Oleh: Joko Sumarwan, Anindiastuti, Damar Suwoyo dan Kaemudin2 E-mail: jsumarwan-jpr@yahoo.co.id ABSTRAK

Metode produksi nauplius udang windu (Penaeus monodon) SPF SEMBV dengan metode double screening pada prinsipnya adalah cara memproduksi neuplius dengan melakukan dua kali analisa PCR. Analisa yang pertama adalah saat induk baru datang dan analisa yang kedua sesaat setelah induk lepas telur. Analisa PCR kedua merupakan upaya mendeteksi inveksi virus yang lebih sensitif, karena induk dalam keadaan stress berat setelah memijah. Jika salah satu atau lebih kedua data PCR ada yang positif SEMBV, maka induk dan nauplius dengan kode yang sama dimusnahkan semua. Untuk menghasilkan benih udang yang SPF SEMBV, maka nauplius SPF dipelihara dengan semua input yang bebas SEMBV dan dengan sistim biosecurity yang baik Pemeliharaan larva udang dilakukan di bak permanen kapasitas 3 m3 dan10 m3. Padat tebar nauplius sekitar 60-80 ekor/liter. Pakan buatan diberikan 8 x/hari dengan dosis 2,5-10 ppm/hari. Fitoplankton diberikan 3-4 x/hari dengan dosis sekitar 60.000-100.000 sel/ml dari Z1-PL3. Nauplius artemia diberikan 4x/hari sejak stadia mysis-3 hingga PL-15 dengan dosis 10-60 ekor nauplius artemia/benih/hari. Hasil analisa PCR pertama menunjukkan tingkat infeksi SEMBV induk rata-rata mencapai 30-40 % populasi. Sedangkan pada analisa PCR kedua tingkat infeksi SEMBV pada induk mencapai sekitar 5% populasi. Semua benih yang dihasilkan dengan metode ini menunjukkan negatif SEMBV 100%. Kelangsungan hidup pemeliharaan larva sejak nauplius PL12 mencapai 20-35%. Dari benih yang dihasilkan sebagian ditebar di 22 petak tambak, sebagian di BBPBAP Jepara dan sebagian di tambak petani sekitar Jepara. Dari 22 petak tambak budidaya ada 13 petak yang berhasil panen hingga umur 4 bulan, dengan SR mencapai (84 9) % dan ukuran mencapai (53 10) ekor/kg. Sedangkan yang lain ada 7 petak gagal karena banyak kematian pada umur 2-2,5 bulan. Tambak yang lain ada 2 petak yang belum ada data. Salah satu faktor yang dominan kegagalan budidaya udang pada periode itu adalah karena kondisi suhu yang terlalu rendah (23-25)oC.

Kata kunci: udang windu, SPF, SEMBV, double screening

1 2

Disampaikan pada seminar Indoaqua di Yogyakarta tanggal 17-20 November 2008 Perekayasa pada Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara-Jawa Tengah

SEED PRODUCTION TECHNIQUE OF (Penaeus monodon Fab) SPF SEMBV WITH NAUPLIIS IN DOUBLE SCREENING METHOD3

Joko Sumarwan, Anindiastuti, Damar Suwoyo dan Kaemudin4 E-mail: jsumarwan-jpr@yahoo.co.id

ABSTRACT

Double screening method of naupliis production of (Penaeus monodon fab) SPF SEMBV is how to produced naupliis with twice SEMBV PCR,analysis. The first PCR analysis is on new come the brood stocks in the hatchery and the second analysis when the brood stocks spowned. The second PCR analysis is effort detect more sensitive virus infection, because the brood stocks on the full stress condition. If one or more PCR data analysis detected positive SEMBV, all of the naupliis and the brood stocks on the same code are be eradicated. To produce SPF SEMBV prawn seeds, the SPF naupliis be maintained with free SEMBV input and good biosecurity systems. The larval rearing is conducted in the 3 m3 dan10 m3 concrete tank. The stocking densities of naupliis on the larval rearing are 60-80 individuals per liter. Feeding regime be maintained 8 times/day commercial feed on 2,5-10 ppm/day. Phytoplankton be maintained 3-4 times/day or 60.000-100.000 cell /ml on Z1PL3 . Artemia naupliis be maintained 4 time/day on M3-PL15 with 10-60 individuals/larvae/day. In the first PCR analysis of the brood stocks shown that the SEMBV prevalence levels were 30-40 % population. In the second PCR analysis shown that the SEMBV prevalence levels were 5%. All of the seeds product with this method were 100% population negative SEMBV. The average survival rate of larval rearing from naupliis to PL12 is 20-35%. The post larvae products be stocked in 22 ponds culture, the part one ponds culture on CBAD Jepara and the other ones on many farmerss ponds culture. From 22 ponds culture, there are 13 ones success full until 4 month culturing with ( 84 9)% SR level and ( 53 10) individuals/kg size level. There are 7 ponds culture no good harvest, be caused on 2-2,5 months culture period gets much deathly prawn population. There are two ponds culture still no data harvesting. One dominant factor the failures of many shrimp cultures in the ponds is too extremely low water temperature (23-25)oC.degree.

Keyword: Penaeus monodon, SPF, SEMBV, double screening

3 4

Presented in Indoaqua Yogyakarta, November 17th 20th 2008 Engineers in The Central for Brackish Water Aquaculture Development (CBAD) Jepara- Central Java 1

TEKNIK PRODUKSI BENIH UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.) SPF SEMBV DENGAN NAUPLIUS HASIL METODE DOUBLE SCREENING Oleh: Joko Sumarwan, Anindiastuti, Damar Suwoyo dan Kaemudin

I. PENDAHULUAN Peluang usaha bisnis udang windu di Indonesia sangat baik, namun sering dihadapkan pada masalah kegagalan usaha budidaya di tambaknya. Kegagalan budidaya udang windu terutama diakibatkan oleh serangan penyakit bercak putih atau White Spot Syndrom Virus (WSSV) yang disebabkan oleh virus Systemik Extodermal Mesodermal Baculo Virus (SEMBV). Benih merupakan input budidaya udang yang sangat penting, sehingga benih harus diusahakan berkualitas baik. Penggunaan benih SPF (Specific Pathogen Free) SEMBV dengan nauplius yang dihasilkan dari metode double screening pada sistim budidaya udang yang baik akan mengurangi resiko terjadinya insidensi penyakit WSSV di tambak. Metode produksi nauplius SPF dengan double screening pada prinsipnya dengan melakukan dua kali analisa PCR, yaitu pertama saat induk baru datang dan kedua sesaat setelah induk lepas telur. Analisa tahap pertama untuk seleksi induk yang tingkat insidensi penyakitnya tinggi, maka akan terdeteksi, tetapi induk dengan tingkat insidensi WSSV rendah kemungkinan besar tidak akan terdeteksi. Tahap analisa PCR yang kedua diharapkan mampu mendeteksi induk yang pada tahap pertama lolos. Analisa PCR kedua merupakan upaya mendeteksi inveksi virus yang lebih akurat, karena induk dalam keadaan stress berat setelah memijah. Jika salah satu atau kedua data PCR ada yang positif SEMBV, maka induk dan nauplius yang dihasilkan dimusnahkan semua. Untuk menghasilkan benih udang yang SPF SEMBV, maka nauplius SPF dipelihara dengan sistim dan input yang semua bebas SEMBV. Sarana dan peralatan yang digunakan di awal siklus dan setiap awal penggunaan berikutnya disterilisasi. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi antar bak, antar unit dan dari luar baik melalui bahan, peralatan, sarana maupun manusia, maka diterapkan prinsip biosecurity yang ketat. II. SARANA DAN PRASARANA

2.1. Sumber Air Baku dan Sarana Produksi Air Bersih Udang windu merupakan hewan akuatik yang seluruh hidupnya berada dalam air, sehingga sudah tentu kualitas air baku pada unit pembenihan harus memenuhi persyaratan teknis baik secara kualitas maupun kuantitas. Sumber air laut harus memenuhi kriteria cukup dalam jumlah, jernih, salinitas 29-34 ppt, tidak terdeteksi kadar logam berat. Untuk menjamin kualitas air baku yang baik yang perlu diantisipasi dari awal adalah penentuan lokasi unit pembenihan.

Pemilihan lokasi pembenihan

Bak pengendapan air laut

Setelah mendapatkan sumber air baku yang baik, berikutnya yang penting adalah sistem produksi air bersih. Pada prinsipnya sistem produksi air bersih diarahkan bisa menghasilkan air yang bersih dan steril. Untuk membuat air bersih biasanya dilakukan tahap pengendapan, filterisasi secara fisik kemudian disterilkan. Bak pengendapan sangat besar peranannya dalam upaya memperoleh air bersih. Dengan tahap pengendapan ini, maka beban filter fisik (biasanya sand filter) tidak terlalu berat dan air yang diproduksi lebih bersih. Kebutuhan kapasitas bak pengendapan masing-masing unit pembenihan berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan air bersih harian, tingkat kekeruhan air baku dan sistem filter fisik yang digunakan. Semakin tinggi kebutuhan air, semakin tinggi tingkat kekeruhan dan semakin sederhana tahapan filter fisiknya, maka semakin besar bak pengendapan yang diperlukan.

Tiang penyangga pasir Peredam gerakan air masuk Sand Filter Halus Air masuk Sand Filter Kasar Kain kasa 2m 4m 4m 2m Air siap pakai

50 cm

2m

90 cm

Out Let

Out Let

Saluran air siap pakai

Desain Sand Filter (tampak dari samping)

Sand Filter Kasar 2m 4m

Out Let 4m

Sand Filter Halus 2m

Air siap pakai

8m

Out Let

Air masuk

Beton berlubang penyangga pasir Peredam gerakan air masuk Penyekat pembersih pasir

Tiang penyangga pasir

Saluran air siap pakai

Desain Sand Filter tampak dari atas

Terdapat banyak sekali desain filter fisik untuk mendapatkan air bersih. Pada prinsipnya filter fisik ini bekerja dengan manyaring air yang dilewatkan ke filter baik secara gravitasi maupun dengan tekanan pompa. Untuk lebih efektifnya filter ini biasanya dibuat bertahap dari tingkat penyaringan kasar ke tingkat yang lebih halus. Untuk memudahkan pemeliharaan filter terutama untuk pembersihan filter, maka harus dilengkapi sistem back wash. Prinsip back wash adalah dengan mengalirkan air pada bahan filter dengan arah yang terbalik, sehingga mampu mengeluarkan kotoran yang nyangkut di filter. Untuk pemeliharaan filter ini secara periodik dilakukan pembersihan total atau bahkan diganti bahan filternya.

Bak sterilisasi air laut dengan kaporit (terdiri 2 buah bak, @ 80 m2)

Presure filter (diisi karbon aktif)

Sterilisasi air ada yang menggunakan alat berupa ozonator, ultraviolet dan ada yang menggunakan bahan kimia berupa kaporit. Akhir-akhir ini mulai banyak penggunaan filter berupa membran yang dikenal dengan ultrafilter. Di dalam bak sterilisasi tersebut dilakukan sterilisasi dengan chlorinasi, yaitu dengan memberikan kaporit dengan dosis 15-20 ppm. Untuk menetralkannya diaerasi kuat hingga 3-4 hari, jika belum netral ditambahkan Na-Thiosulfat
4

secukupnya hingga netral (perlu dicek dengan chlorine test). Tahap terakhir adalah distribusi, dengan memompakan air ini ke jaringan distribusi melalui karbon aktif presure filter. 2.2. Sarana Pembenihan Udang Perencanaan pembangunan unit pembenihan harus menjamin kelayakan dan kemudahan teknis operasionalnya serta efisien dalam proses pembangunannya. Dari sisi kelayakan dan kemudahan teknis operasional tergantung pada kelengkapan dan kesesuaian perbandingan antara komponen bangunan bak dan sarana lainnya, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pemanfaatannya. Hal itu dapat dilihat dari kapasitas sarana produksi air bersih berikut jaringan distribusinya, kapasitas bak pemeliharaan induk hingga penetasannya, kapasitas bak pemeliharaan larva, kapasitas bak kultur fitoplankton, kapasitas bak penetasan artemia, kapasitas blower berikut jaringan aerasinya, sarana monitoring serta peralatan lapangan lainnya yang diperlukan. Posisi antar komponen dalam menjamin kemudahan kerja dan kemungkinan pengembangan juga harus dipertimbangkan betul-betul. Sarana pendukung lainnya juga perlu dilengkapi antara lain sarana komunikasi, sarana transportasi, sarana akomodasi, sarana administrasi dan lain-lain.

Sarana kultur fitoplankton skala laboratorium

Sarana kultur fitoplankton skala semi masal

Sarana kultur fitoplankton skala masal

Sarana penetasan kista artemia

Lingkungan bak pemeliharaan induk

Penampungan induk sementara saat screening pertama

Lingkungan bak pemeliharaan larva

Pemeliharaan larva udang

III.

PENANGANAN INDUK DENGAN MENERAPKAN DUOBLE SCREENING

3.1. Pengadaan induk Kualitas produk benih udang dan kemudahan dalam proses produksi benihnya akan sangat dipengaruhi oleh kualitas naupliusnya. Kualitas nauplius akan sangat dipengaruhi oleh kualitas induk. Dengan demikian tahap awal dari proses produksi benih atau pemeliharaan larva adalah bagaimana cara mendapatkan nauplius yang berkualitas baik. Untuk menjamin keselamatan induk sampai di unit pembenihan, maka harus disertai penanganan yang baik sejak dari penangkapan di alam, penampungan, packing dan transportasi serta pasca transportasi. 3.2. Seleksi Induk dan Screening Tahap Pertama Seleksi induk dilakukan secara pengamatan visual dan pengamatan laboratorium. Secara visual induk yang baru datang diamati satu per satu pada masing-masing kelompok induk pada wadah tampungan sementara, tiap kantong kemasan induk (kelompok induk) yang terdiri sekitar 5 ekor induk ditempatkan pada sebuah sterofoam lengkap kode tertentu, diaerasi dan dibuat air mengalir terus menerus. Pengamatan induk secara visual dilakukan pada seluruh organ tubuh. Jika terdapat cacat yang serius terutama pada organ reproduksi harus diafkir. Hal yang lain yang harus diperhatikan adalah data jenis kelamin, ukuran panjang dan berat, tidak boleh ada retak bagian kulit badan / punggung, tidak boleh keropos, tidak boleh berparasit, semua anggota organ tubuh lengkap dan dalam kondisi baik.

Seleksi tahap kedua dengan mengambil sampel pada bagian kaki renangnya untuk diperiksa infeksi virus dengan metode PCR. Sampel kaki renang diambil pada semua individu pada masing-masing kelompk induk digabung dan diberi kode. Analisa virus berdasar kelompok induk, jika ada yang terdeteksi positif virus WSSV, maka seluruh induk pada kelompok yang bersangkutan dimusnahkan, dengan asumsi semua anggota kelompok telah terkena virus, karena ditampung pada wadah yang sama dalam waktu relative agak lama. Tahap ini disebut dengan screening tahap pertama. 3.3. Pematangan Gonad, Pemijahan dan Screening Tahap Kedua

Pematangan gonad induk udang windu dilakukan di bak permanen ukuran 30 m2 dengan kepadatan 4-5 ekor/m. Pemberian pakan diusahakan secara add libitum berupa pakan segar, 3 kali/hari. Air selama pemeliharaan dilakukan penggantian sebanyak minimal >80% pada pagi hari dan dilanjutkan sirkulasi dengan kecepatan >15 liter/menit hingga pergantian air sehari semalam mencapai sekitar 200% . Untuk memacu pematangan gonad induk udang windu masih menerapkan teknik ablasi mata. Ketika induk telah mampu adaptip terhadap lingkungan dan pakannya, telah tidak ada kematian harian dan saat tidak banyak induk yang moulting, maka ablasi mata bisa dilakukan. Ablasi mata dilakukan pada salah satu tangkai mata induk betina secara cepat dan aseptis untuk mencegah inveksi. Setelah sekitar 5 hari sejak ablasi, biasanya induk telah ada yang matang gonad, sehingga perlu mulai dilakukan sampling tingkat kematangan gonad (TKG). Jika ada yang TKG tingkat III segera dipindah ke bak pemijahan secara individual dan diberi kode. Pasca mijah induk segera dipindah ke wadah berkode secara terpisah antar individu sambil mengambil sampel kaki renangnya untuk analisa virus yang kedua. Tahap ini disebut screening tahap kedua, sehingga secara keseluruhan metode ini disebut dengan double screening (dua kali pengamatan virus pada induk). Jika hasil analisa PCR menunjukkan terdeteksi virus pada induk, maka induk dan naupli yang dihasilkan semua dimusnahkan, karena naupli yang dihasilkan sangat beresiko terkena inveksi virus juga. Induk yang negative virus dikembalikan ke bak pematangan gonad dan naupliusnya dilanjutkan untuk dipelihara di bak larva.

PERKEMBANGAN STADIA
POST LARVA

TELUR MYSIS

NAUPLIUS

ZOEA

IV. PEMELIHARAAN LARVA Setelah air baku dan penyiapannya sempurna yang didukung sarana yang memadai maka berikutnya pengelolaan pada proses produksi benih udang akan memegang peranan yang sangat besar dalam rangka menghasilkan benih yang baik. Pada proses produksi benih baik di induk maupun di larva, penyakit merupakan masalah yang harus selalu diwaspadai. Bibit penyakit tidak hanya berdampak pada saat pemeliharaan benih, namun bisa berpengaruh hingga ke tambak. Bioscurity merupakan salah satu cara yang harus dilaksanakan untuk bisa mengontrol penularan penyakit, baik penularan penyakit intern unit pembenihan terlebih lagi penularan dari unit pembenihan ke tambak. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk mengantisipasi jenis penyakit yang sangat membahayakan misalnya SEMBV. a) Persiapan air media larva Secara umum air media pemeliharaan benih udang penaeid harus memenuhi persyaratan, diantaranya yaitu: jernih, steril, bebas dari polutan, salinitas 29-31 ppt, pH 7-8, DO >4 ppm, dan temperatur 29-32 oC. Setelah semua persiapan sarana dan peralatan selesai berikutnya siap dilakukan pengisian air dengan ketinggian awal 70 cm sekitar sehari sebelum penebaran nauplius dilakukan penambahan EDTA 5-10 ppm. b) Penebaran nauplius
8

Setelah persiapan air selesai berikutnya bisa dilakukan penebaran nauplius dengan padat tebar 70-80 ekor/l (hitungan nauplius berdasarkan volume air dengan ketinggian 1m). Penebaran nauplius dilakukan pada pagi atau sore hari. Nauplius yang akan ditebar harus berkualitas bagus. Ciri nauplius yang baik antara lain warnanya putih transparan, ukuran relatif besar dan seragam, gerakan aktif, responsif pada arah datangnya cahaya, banyak di daerah permukaan air ketika aerasi dimatikan. Penebaran nauplius harus hati-hati, aklimatisasi dilakukan dengan menambahkan air media ke dalam tempat nauplius sedikit demi sedikit hingga sekitar 20-30 menit sampai penuh sambil diaerasi berikutnya nauplius dituang ke dalam bak perlahan-lahan. c) Manajemen pakan Pada dasarnya jenis, dosis dan ukuran pakan selalu berdasar kebutuhan yang disesuaikan dengan jumlah populasi, stadia perkembangan/ukuran bukaan mulut, sifat pakan dan makan serta nafsu makan. Pakan alami berupa Skeletonema sp. (dengan dosis 15.000 35.000 sel/ml) dan Caetocheros sp. (dengan dosis 60.000 120.000 sel/ml) diberikan sejak zoea hingga PL3, yang diberikan 1-3 kali/hari. Nauplius artemia diberikan sejak stadia M3 hingga panen dengan dosis 10-60 nauplius/larva/hari yang diberikan 2-4 kali. Pakan buatan berupa powder diberikan dengan dosis 3-12 ppm/hari yang diberikan 8 kali. Mulai PL6 benih udang diberi pakan tambahan berupa artemia dewasa dengan dosis sekitar 0,3 ekor artemia dewasa/benih/hari. Keunggulan ekonomis artemia dewasa ini, dikemukakan oleh Sylvester, et al, ( ) bahwa efisiensi secara ekonomis aplikasi artemia dewasa pada produksi benih udang vaname dari sisi kebutuhan kista ertemia mencapai 75%. Demikian juga aplikasi artemia dewasa pada produksi benih udang windu, juga mampu meningkatkan efisiensi biaya pengadaan kista artemia, tanpa mengurangi kuantitas dan kualitas produk benih udang windunya (Sumarwan, 2007). d) Manajemen kualitas air Kualitas air sangat besar peranannya di dalam keberhasilan usaha pembenihan, sehingga harus diupayakan dengan baik untuk mengendalikannya. Usaha-usaha yang bisa dilakukan dalam rangka ini antara lain sistem penyiapan air steril, pengaturan ketinggian air media, sirkulasi, penyiponan, pengelolaan pakan yang tepat, pengaturan aerasi, pengaturan salinitas, pengaturan temperatur dan lain-lain. Ketinggian air media pemeliharaan benih diatur bertingkat sejak nauplius hingga M-2, yaitu mulai 70 cm hingga 100 cm. Mulai M-2 hingga PL-12 (panen) ketinggian air dipertahankan 100 cm. Sirkulasi air mulai dilakukan pada stadia M-1 sebanyak 5% berikutnya M-3 bisa 10-15%, diatas PL-5 bisa dilakukan sirkulasi lebih dari 25%/hari hingga panen. Dosis sirkulasi disesuaikan dengan kondisi kualitas air, jika masih bersih dan bagus sirkulasi bisa diturunkan, sebaliknya jika air memang sudah sangat jelek sirkulasi bisa ditingkatkan. Untuk membantu mempercepat penguraian kotoran di air media dan di dasar bak diaplikasikan probiotik secara rutin. Penggunaan input pakan dengan protein tinggi akan menghasilkan ekskresi berupa N/ nitrogen yang juga tinggi, dan proses berikutnya konsentrasi N tinggi ini akan berakibat sangat toksik (Colt and Amstrong, 1981) apa lagi pada pH rendah (Allan et al, 1990). Sifat toksik dari hasil perombakan nitrogen akan bisa ditekan dengan cukupnya oksigen terlarut.
9

e) Pengendalian penyakit Penyakit merupakan salah satu kendala pada produksi benih udang penaeid. Sumber datangnya penyakit bisa dari mana saja (pakan, alat, bahan, nauplius, manusia, udara, air dan lain-lain). Untuk mengeliminir keberadaan penyakit ini, maka bioscurity harus diterapkan dengan baik. Mobilitas manusia, alat dan bahan antar bak atau antar unit kegiatan harus terkendali, agar bukan merupakan sumber penularan penyakit. Persiapan bak, persiapan air, pengelolaan pakan, pengelolaan kualitas air serta pemilihan nauplius yang baik merupakan tindakan yang sangat berpengaruh pada pengendalian penyakit. Untuk menekan populasi bakteri pathogen, maka diaplikasikan probiotik. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan diberikan vitamin. Untuk mengetahui sejak dini adanya gejala serangan penyakit, maka perlu monitoring secara rutin terhadap perkembangan benih baik dengan pengamatan visual di lapangan maupun pengamatan di laboratorium. Tabel 1. Kegiatan rutin pada pemeliharaan larva udang windu hingga PL12
Pakan buatan Stadia Volume air (m3) Sirkulasi (%) Dosis (ppm/hari) Dosis (ppm/pakan) Fitoplankton (sel/ml/hari) Artemia (ekor Naupli artemia/ benih/ hari)

7,0 10.000 7,0 2,5 0,3 15.000 7,5 3,0 0,4 Zoea 1-2 20.000 Zoea 2 8,0 3,0 0,4 35.000 Zoea 3 8,5 4,5 0,6 35.000 Z-M 9,0 4,5 0,6 30.000 Mysis 1 9,5 5,0 0,6 25.000 Mysis 2 10,0 5,0 0,6 25.000 5 Mysis 3 10,0 10 6,0 0,8 25.000 10 M-PL 10,0 10 6,0 0,8 25.000 15 PL 1 10,0 15 6,5 0,8 25.000 20 PL 2 10,0 15 6,5 0,8 25.000 40 PL 3 10,0 20 7,0 0,9 25.000 50 PL 4 10,0 20 7,0 0,9 60 PL 5 10,0 25 7,5 0,9 60 PL 6 10,0 25 7,5 0,9 60 PL 7 10,0 25 8,0 1,0 60 PL 8 10,0 25 8,0 1,0 60 PL 9 10,0 25 9,0 1,1 60 PL 10 10,0 25 9,0 1,1 60 PL 11 10,0 25 10,0 1,3 60 PL 12 10,0 25 10,0 1,3 Ket: Skedul pakan ini hanya salah satu contoh pada sistem produksi benih udang windu pada bak
Nauplius Zoea 1

10

permanen kapasitas 10 ton dengan jumlah nauplius 800.000 ekor dengan kelangsungan hidup sekitar 30 % (panen PL-12: sekitar 250.000 ekor).

f) Pemanenan benih Produk berupa benih udang yang berkualitas adalah menjadi tujuan utama dari serangkaian kegiatan sebelumnya. Setelah benih dihasilkan masih ada satu tahap yang kelihatannya sederhana, namun memegang peranan penting yaitu kegiatan panen, packing dan transportasi. Dengan teknik yang benar pada pasca panen, maka diharapkan benih baik tersebut tetap baik sampai di lahan tambak.

Kegiatan panen benih udang Benih akan dipanen setelah mencapai stadia >PL-12, namun pemanenan benih juga perlu memperhatikan kesiapan tambak yang akan ditebari dan permintaan petambaknya. Selain faktor kesiapan tambak pemanenan benih juga perlu adanya penyesuaian salinitas media benih dengan salinitas tambak yang akan ditebari, untuk mengurangi tingkat stress benih. Pemanenan dilakukan dengan persiapan yang matang seluruh sarana, alat dan bahan yang diperlukan. Pada prinsipnya pemanenan dilakukan dengan mengurangi sebagian air media hingga tinggal kedalaman 40cm, berikutnya benih dikeluarkan melalui hapa penampungan pada petak panen. Benih di seser, ditampung dan dilakukan packing.

11

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Air baku dari laut terlihat keruh, namun setelah diendapkan sekitar 4 hari menjadi terlihat jernih. Dari bak pengendapan air dipompa melewati sand filter untuk mengurangi kotoran kasar dan halus. Dari pengamatan mikrobiologi air di bak pengendapan terdeteksi total bakteri mencapai 3 x 104 CFU dan total Vibrio mencapai 2,2 x 102 CFU, sedangkan di tandon air
bersih total bakteri dan total Vibrio tidak terdeteksi (steril). Air di bak tendon air bersih telah mengalami tiga tahap yaitu pengendapan, filterisasi dan sterilisasi. Sterilisasi air yang digunakan disini dengan kaporit 15 - 20 ppm. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Anonim (2007), bahwa sterilisasi air laut dengan kaporit cukup dengan dosis 1020 ppm. Tabel 2. Pengamatan mikrobiologi di bak pengendapan dan penampungan air bersih. Parameter Total Vibrio air bak pengendapan (CFU) Total bakteri air bak pengendapan (CFU) Total Vibrio air bersih (CFU) Nilai 2,2 x 102 3 x 104 0 Dari beberapa siklus pemeliharaan induk asal Aceh dan Selatan Jawa prevalensi WSSV dengan analisa PCR

pada screening pertama (saat induk baru datang) Total bakteri air bersih (CFU) 0 rata-rata mencapai 30-40 %. Induk dari perairan selatan Pulau Jawa memiliki prevalensi WSSV lebih tinggi dari induk asal perairan Aceh. Sedangkan menurut Kokarkin (2007) tingkat inveksi induk lokal perairan Jepara mencapai 20-60%. Hasil pengamatan pada screening kedua (sesaat induk setelah mijah) prevalensi WSSV mencapai sekitar 5%. Sedangkan benih yang dihasilkan menunjukkan negatif WSSV 100%. Dengan penerapan double screening ini, induk yang awalnya tidak terdeteksi virus (saat screening pertama), ada kemungkinan terdeteksi pada screening tahap kedua ini. Hal ini dikarenakan tingkat inveksi virus meningkat seiring dengen menurunnya kondisi induk yang baru saja memijah. Saat memijah induk udang dalam keadaan stress, karena terkuras energinya. Metode ini lebih bisa mewakili kondisi benih dari pada analisa benih itu sendiri, karena analisa benih sangat bergantung pada teori peluang, pada hal kenyataannya sampel yang diambil untuk analisa PCR sangat sedikit prosentase dari populasi yang diwakilinya. Dari sejumlah 28 induk betina dan 16 ekor induk jantan dalam kurun waktu satu siklus pemeliharaan, telah dihasilkan nauplius sejumlah 9.360.000 ekor. Dari sejumlah nauplius 3 3 tersebut ditebar pada 17 bak larva kapasitas 3 m dan 10 m dengan kepadatan sekitar 60- 80 ekor/liter. Dari ke-17 penebaran nauplius terdapat 2 bak dengan jumlah nauplius 1.600.000 ekor gagal masuk zoea (kondisi nauplius tidak baik), sehingga nauplius yang berhasil masuk zoea dari ke-15 bak adalah sejumlah 7.760.000 ekor. Dari sejumlah nauplius yang baik tersebut menghasilkan benih PL6 sejumlah 2.237.014 ekor dan terhitung PL-12 sejumlah 1.720.780 ekor dan terpanen dengan stadia rata-rata telah berukuran tokolan (sekitar PL-25). Secara umum perhitungan kelangsungan hidup / SR nauplius-PL6 adalah 28,8%. Kelangsungan hidup Nauplius-PL12 masing-masing bak antara 20 35%, dengan angka rata-rata mencapai 22,2%.

12

Tabel 3. Data performen induk udang windu dan pemeliharaan larvanya.


Parameter Induk betina (ekor) Induk jantan (ekor) Naupli (ekor) Gagal masuk Zoea (ekor) Masuk Zoea (ekor) PL6 (ekor) PL12 (ekor) Panen (ekor) SR N-PL6 (%) SR N-PL12 (%) Stadia panen Nilai 28 16 9.360.000 1.600.000 7.760.000 2.237.014 1.720.780 1.322.820 28,8 22,2 Sekitar stadia PL-25 (tokolan)

Selama pemeliharaan secara umum kondisi kualitas air media larva udang dalam kondisi aman. Total vibrio media larva kebanyakan 102 CFU, tetapi ada yang tertinggi mencapai 3,4 x 103 CFU, idealnya total vibrio di bak larva maksimal 102 CFU. Total bakteri di bak larva mencapai 3,4 x 103 3 x 104 CFU. Total Organik Mater (TOM) di bak larva mencapai 113,76 188,91 mg/l, sedangkan NH3 dan NO2 masing-masing rata-rata mendekati 0,1 mg/l. Kungvankij, at. al. (1989) menyatakan amoniak pada pembenihan udang <0,1 ppm. Oksigen terlarut di bak larva rata-rata diatas 5 ppm dengan rentang kelarutan 4,13 5,86 ppm. Suhu Air di bak larva pada posisi 29-31,5oC dan salinitas air media larva pada posisi 29 31 ppt. Tabel 4. Kualitas air media pemeliharaan larva udang windu
Parameter Total Vibrio air bak larva (CFU) Total bakteri air bak larva (CFU) TOM di media larva (mg/l) NH3 di bak larva (mg/l) NO2 di bak larva (mg/l) DO (ppm) Suhu (oC) Salinitas air laut (ppt) Nilai 1,2 x 102 - 3,4 x 103 3,4 x 103-3 x 104 113,76 - 188,91 tt - 0,181 tt - 0,212 4,13 - 5,86 29 - 31,5 29-31

Dari sejumlah benih yang dihasilkan sebagian digunakan kantor sendiri, sebagian digunakan oleh petani di luar. Terlihat pada table 5, distribusi benih yang ada terbagi menjadi 24 pengguna, 2 pengguna untuk uji coba skala laboratorium dan 22 pengguna untuk ditebar di tambak berukuran besar dan kecil. Dari ke-22 petak tambak yang ditebari benih udang yang
13

berhasil panen hingga berumur 4 bulan hanya terdiri 13 petak, terdiri 6 petak gagal (terpaksa panen dini umur 2,5 bulan) dan 1 petak lagi gagal (panen dini umur 2 bulan). Disamping itu ada 1 petak punya petani yang tidak terdata, karena 1 petak ditebari benih berkali-kali yang berasal dari tempat benih yang berbeda-beda dan panennyapun juga berkali-kali. Hingga saat tulisan ini disusun ada 1 petak tambak lagi yang masih dalam masa pemeliharaan pembesaran udang, sehingga hasil akhirnya belum diketahui. Dari ke-13 petak tambak udang, yang berhasil dipelihara hingga berumur 4 bulan (sesuai target) jika dihitung SR mencapai (84 9) % dan size mencapai (53 10) ekor/kg. Tabel 5. Data distribusi benih udang windu keterangan kondisi di tambaknya
No Tebar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Stadia panen PL5 PL14 PL15 PL15 PL18 PL18 PL21 PL18 PL18 PL18 PL18 PL18 PL18 PL18 PL18 PL15 PL19 PL25 PL25 PL24 PL25 PL25 PL25 PL25 Jumlah (ekor) 38.500 126.500 82.500 82.500 137.500 137.500 165.000 44.800 44.800 13.750 13.750 13.750 13.750 55.000 55.000 33.000 14.300 23.760 11.880 4.400 60.000 45.880 18.000 87.000 1.322.820 Distribusi Lab. Pakan BBPBAP Jepara Tambak I BBPBAP Jepara Tambak A-3 BBPBAP Jepara Tambak A-4 BBPBAP Jepara Tambak G-3 BBPBAP Jepara Tambak G-4 BBPBAP Jepara Lab Pakan BBPBAP Jepara Tambak O1 BBPBAP Jepara Tambak O2 BBPBAP Jepara Tambak J1 BBPBAP Jepara Tambak J2 BBPBAP Jepara Tambak J3 BBPBAP Jepara Tambak J4 BBPBAP Jepara Distek BBPBAP (Serangan, Demak) Distek BBPBAP (Sidorejo, Demak) Petani binaan DKP Kab. Jepara Tambak H6 BBPBAP Jepara Petani Wedung (Muklis) Petani Wedung (Yoso Ruswanto) Petani Surodadi
Kerjasama ACIAR di Sarangan Demak Kerjasama ACIAR di Sidorejo Demak

Keterangan Uji coba skala kecil, bertahan baik Gagal 2,5 bulan, SR 43%, size 100 Gagal, panen umur 2,5 bulan Gagal, panen umur 2,5 bulan Gagal, panen umur 2,5 bulan Gagal, panen umur 2,5 bulan Uji coba pakan skala kecil, bagus 4 bulan, SR 75%, size 45 4 bulan, SR 78%, size 46 4 bulan, SR 100%, size 55 4 bulan, SR 87,5%, size 55 4 bulan, SR 97%, size 55 4 bulan, SR 90%, size 55 4 bulan, SR 75%, size 60 4 bulan, SR 78%, size 60 Panen size besar, tetapi tak terdata Gagal, panen umur 2 bulan 4 bulan, SR >90%, size 40 4 bulan, SR >90%, size 40 4 bulan, SR >90%, size 40 4 bulan, SR 75%, size 67 4 bulan, SR 72%, size 71 masih dalam pemeliharaan 2,5 bulan, SR 60,6%, size 120

Tambak K BBPBAP Jepara Distek BBPBAP Jepara di Pati

Dari seluruh penebaran benih udang di tambak tidak ada laporan kematian udang umur kurang dari 2 bulan, kebanyakan yang gagal mati setelah berumur lebih dari 2 bulan. Pada umur pemeliharaan udang di tambak, kemungkinan setelah 2 bulan mulai banyak masalah lingkungan. Masalah tersebut bisa disebabkan sisa pakan, tumpukan feces, endapan fitoplankton serta hasil14

hasil rekasi biokimia di dalam tanah dan kolom air, yang sebagian hasilnya bersifat toksik. Dengan demikian kondisi benih secara umum bisa dikatakan baik, karena tidak ada kematian yang bersifat masal dibawah umur 2 bulan. Pada petak tambak A3, A4, G3 dan G4 pada masa pemeliharaan terdapat kondisi temperatur air yang kurang baik, yaitu terlalu rendah (23-25) oC, praktis pada kondisi demikian udang windu mengalami penurunan nafsu makan yang sangat drastis, daya tahan tubuh turun dan gilirannya penyakit sangat mudah terpicu untuk menyerang. Kematian udang diatas kebanyakan disebabkan serangan WSSV, walaupun dari benih sudah SPF, tetapi dari lingkungan sangatlah besar pengaruhnya.

VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan 1. Induk udang windu di perairan umum sebagian telah terinveksi WSSV, sehingga harus hati-hati dalam seleksi induk untuk kepentingan hatchery. 2. Benih udang windu SPF WSSV tidak bisa menjamin keberhasilan budidaya di tambak dengan pasti, karena masih banyak faktor lingkungan dan pengelolaan yang berpengaruh dalam berbudidaya udang. 6.2. Saran 1. Begitu tingginya prevalensi WSSV pada induk udang windu di alam, sehingga menuntut adanya teknik seleksi yang praktis, mudah, murah dan akurat terhadap adanya inveksi virus pada induk sebelum digunakan. 2. Perlu upaya lebih keras untuk mewujudkan induk udang windu dari budidaya yang secara fisik, kemampuan reproduksi dan genetiknya lebih baik dari induk di alam.

DAFTAR PUSTAKA Allan GL., Maguire GB, Hopkins SJ (1990), Acute and Chronic Toxicity of Ammonia to Juvenile Metapenaeus macleayi and Penaeus monodon and the Influence of Low DissolvedOxygen Levels. Aquaculture 91:265-280. Anonim, 2007. Improving Penaeus monodon Hatchery Practices, Manual Based Experience in India, FAO Fisheries Technical Paper, No. 446. Rome, 101 p. Colt, JE. and Amstrong, DE, 1981, Nitrogen Toxicicy to Crustaceans, Fish and Molluscs. Proceedings of the Bioengineering Symposium for Fish Culture Section of the American Fisheries Society (FCS Publ. 1): 34-47. Kokarkin, C., 2007. Pemahaman dan Aplikasi Biosecurity Pada Pembenihan Udang Penaeid, BBPBAP Jepara.

15

Kungvankij..P, Tiro.Jr .LB., Pudadera, Jr. B.J., at al 1989, Shrimp Hatchery Design , Operation and Management. Training manual Bangkok, Thailand. Vol. 24: 37-42 Sumarwan, J., Kokarkin, C. dan Maysony, F., 2007. Peningkatan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Keseragaman Ukuran Benih Udang Windu Melalui Substitusi Biomas Artemia, BBPBAP Jepara. Sylvester, J., Sato, V., Garvey, J., Smith, B. and Kawahigasi,____, Artemia Biomass in Larviculture of Penaeus vannamei, Kahuku Shrimp Company, Kahuku, Hawaii.

16

Anda mungkin juga menyukai