Anda di halaman 1dari 24

DERMATITIS ATOPIK

I. DEFINISI Dermatitis atopik ialah peradangan kulit kronis dan residif, pada epidermis dan dermis disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (rinitis alergik atau asma bronkial). [1-3] Pada tahun 1925, Coca memperkenalkan konsep atopik yang berarti "tidak pada tempatnya" atau "aneh" untuk menandakan kecenderungan turun-temurun untuk mengembangkan alergi terhadap makanan dan zat inhalan. Keluarga yang terkena dampak dapat bermanifestasi eksim, asma dan demam dalam kombinasi apapun. Dermatitis biasanya dimulai di masa kanak-kanak, tetapi manifestasi yang berbeda-beda sering bertahan sampai dewasa. [4, 5] II. EPIDEMIOLOGI Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginterpretasi hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi dermatitis atopik makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan negara industri lain, prevalensi dermatitis atopik pada anak mencapai 10 sampai 20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1 sampai 3%. Studi populasi di Skandinavia dan Jerman dilaporkan antara 7 dan 15 %. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi dermatitis atopik jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita dermatitis atopik dari pada pria dengan rasio 1,3:1. [1, 6, 7] Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopik akan mengalami dermatitis atopik pada masa

kehidupan tiga bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopik, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopik. Risiko mewarisi dermatitis atopik lebih tinggi bila ibu menderita dermatitis atopik dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila dermatitis atopik yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.
[1, 6, 7]

Pada 2 bulan pertama dan tahun pertama kehidupan dilaporkan sebanyak 60% pasien. 30% terlihat untuk pertama kalinya pada usia 5 tahun dan hanya 10 % dermatitis atopik ditemukan antara 6 dan 20 tahun . Dermatitis atopik jarang ditemukan pada onset dewasa. Pola pewarisan belum dipastikan, namun 60% orang dewasa dengan dermatitis atopik cenderung memiliki anak dengan dermatitis atopik. Prevalensi pada anak-anak lebih tinggi (81%) bila kedua orang tua memiliki dermatitis atopik. III. ETIOPATOGENESIS Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang sangat pruritus yang merupakan hasil interaksi yang kompleks antara kerentanan genetik yang menyebabkan penurunan fungsi sawar kulit, cacat pada sistem imun bawaan, dan peningkatan respon kekebalan terhadap alergen dan antigen mikroba. [5] Penurunan Fungsi Sawar Kulit Dermatitis atopik dikaitkan dengan penurunan fungsi sawar kulit akibat penurunan regulasi gen filagrin dan lorikrin, peningkatan kadar enzim proteolitik endogen dan peningkatan kehilangan air transepidermal. Sawar kulit juga dapat rusak oleh paparan protease eksogen dari tungau debu rumah dan Staphylococcus aureus ( S. aureus ). Hal ini diperparah oleh kurangnya inhibitor endogen protease tertentu dalam kulit atopik. Perubahan epidermal ini kemungkinan berkontribusi terhadap peningkatan penyerapan alergen ke dalam kulit dan kolonisasi mikroba. Penurunan fungsi sawar kulit bisa bertindak sebagai sarana untuk sensitisasi
[7, 8]

alergen sehingga mempengaruhi anak-anak dalam pengembangan asma dan alergi makanan. [5] Immunopatologi Antigen-presenting sel dendritik pada dermatitis atopik misalnya sel-sel Langerhans dan makrofag dalam lesi dan pada tingkat lebih rendah pada kulit nonlesional permukaannya terikat molekul imunoglobulin E (IgE). Pada lesi akut dalam dermis dapat dijumpai sel T, monosit, makrofag dan infiltrasi limfositik yang sebagian besar terdiri dari sel T memori yang menunjukkan pertemuan sebelumnya dengan antigen. Eosinofil jarang ditemukan pada dermatitis atopik akut. Sel mast ditemukan dalam jumlah normal pada berbagai tahap degranulasi. [5] Lesi likenifikasi kronis ditandai dengan epidermis hiperplastik dengan pemanjangan rete ridges, hiperkeratosis menonjol dan spongiosis minimal. Ada peningkatan jumlah IgE pada sel langerhans di epidermis dan makrofag mendominasi infiltrat sel mononuklear dermal. Sel-sel mast meningkat jumlahnya. Terjadi peningkatan jumlah eosinofil pada lesi kulit dermatitis atopik kronis. Eosinofil ini menjalani sitolisis dengan pelepasan granul protein ke dalam dermis atas kulit lesi. Eosinofil dianggap berkontribusi pada peradangan alergi oleh karena sekresi sitokin dan mediator yang meningkatkan peradangan alergi. [5] Sitokin dan Kemokin Peradangan kulit atopik diatur oleh ekspresi sitokin proinflamasi dan kemokin. Sitokin seperti Tumor Necrosis Factor- (TNF-) dan Interleukin-1 (IL1) dari sel-sel [keratinosit, sel mast, sel dendritik (DC)] mengikat pada reseptor endotelium pembuluh darah, mengaktifkan jalur sinyal selular, yang mengarah ke induksi molekul adhesi sel endotel vaskular. Peristiwa ini memulai proses penarikan, aktivasi dan adhesi endotel pembuluh darah diikuti oleh ekstravasasi sel-sel inflamasi ke dalam kulit. [5]

Dermatitis atopik akut dikaitkan dengan produksi sitokin oleh sel T Helper tipe 2 (TH2), terutama IL-4 dan IL-13 yang meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Sitokin TH2 berperan pada respon inflamasi kulit dan didukung oleh sebuah pengamatan terhadap tikus transgenik yang secara genetik direkayasa, dengan peningkatan IL-4 di kulit dapat memperlihatkan lesi inflamasi kulit mirip dengan dermatitis atopik. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi sitokin TH2 sangat berperan dalam dermatitis atopik. Ada juga IL-31 yang merupakan sitokin TH2 yang menginduksi keparahan pruritus dan dermatitis pada hewan percobaan. Kadar serum IL-31 juga telah ditemukan dalam kulit dermatitis atopik dan IL-31 berkorelasi dengan keparahan penyakit kulit. [5] Pada dermatitis atopik kronis, terjadi peningkatan produksi IL-5, yang terlibat dalam pengembangan dan kelangsungan hidup eosinofil. Peningkatan produksi granulosit makrofag colony-stimulating faktor pada dermatitis atopik menghambat apoptosis monosit, sehingga meningkatan keparahan dermatitis atopik. [5] Pada kemokin kulit spesifik, Cutaneus T-cell Attracting Chemokine [CTACK; CC kemokin ligan 27 (CCL27)], yang regulasinya meningat pada dermatitis atopik dan menarik Cutaneus Limfoid Antigen kulit (CLA)+, CC Chemokine receptor 10+ (CCR10+) sel T ke dalam kulit. CCR4 diekspresikan pada sel CLA+, sel T juga dapat mengikat CCL17 pada endotelium vaskular venula kulit. Perekrutan selektif sel TH2-CCR4 yang dimediasi oleh derivat makrofag di timus dan regulasi aktivasi sitokin, yang keduanya meningkat pada dermatitis atopik. Keparahan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan besarnya timus dan peningkatan regulasi aktivasi sitokin. Peningkatan ekspresi CC kemokin dan makrofag berkontribusi terhadap infiltrasi makrofag, eosinofil dan sel T pada lesi kulit dermatitis atopik akut dan kronis. [5]

Jenis-Jenis Sel Kulit Pada Dermatitis Atopik Antigen-Presenting Cell Sel dendritik memiliki peranan penting dalam mendeteksi alergen lingkungan atau patogen melalui reseptor pengenalan seperti Toll-like receptors (TLR). Kulit dermatitis atopik terdiri dari dua jenis afinitas tinggi IgE receptor-bearing (FcR) myeloid yang terdiri atas sel langerhans dan Inflamatory Dendritic Epidermal Cells (IDECs). IgE-bearing sel langerhans tampaknya memiliki peranan penting dalam presentasi alergen kulit. Hasil ini menunjukkan bahwa IgE yang terikat pada sel langerhans memfasilitasi penangkapan alergen ke dalam sel langerhans sebelum diproses dan dipresentasikan ke sel T. IgE-bearing sel langerhans yang telah menangkap alergen mampu mengaktifkan sel TH2 memori pada kulit atopik, selain itu juga dapat bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk merangsang sel T memori yang ada untuk diperluas ke sel TH2 sistemik. Stimulasi FcRI pada permukaan sel langerhans oleh alergen menginduksi pelepasan sinyal kemotaktik dan sel prekursor IDECs. Stimulasi FcRI pada IDECs menyebabkan pelepasan sinyal proinflamasi yang berkontribusi terhadap respon imun alergi. [5] Berbeda dengan penyakit radang kulit lainnya, seperti dermatitis kontak alergi atau psoriasis vulgaris, jumlah yang sangat rendah ditemukan pada plasmacytoid dendritik cells (pDCs), yang berperan penting dalam pertahanan host terhadap infeksi virus, dapat dideteksi dalam lesi kulit dermatitis atopik. pDCs dalam darah perifer pasien dengan dermatitis atopik telah ditujukan untuk menangkap varian trimerik dari FcRI pada permukaan selnya, yang ditempati oleh molekul IgE. [5]

Sel T Sel T memori kulit berperan penting dalam patogenesis dermatitis atopik, terutama selama fase akut penyakit. Pada hewan percobaan, ruam eczematous pada dermatitis atopik tidak terjadi tanpa adanya sel T. [5]

Beberapa studi telah menunjukkan adanya sel TH2 pada dermatitis atopik akut yang menghasilkan sitokin yang meningkatkan peradangan alergi pada kulit. Pada fase kronis dermatitis atopik, sel Th1 menghasilkan IFN-. Sel Th1 tersebut menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel T regulator (Treg) telah digambarkan sebagai subtipe lebih lanjut dari sel T yang memiliki fungsi imunosupresif dan profil sitokin yang berbeda dari kedua sel Th1 dan Th2. Sel-sel Treg mampu menghambat perkembangan kedua respon Th1 dan Th2. [5] Keratinosit Keratinosit berperan penting dalam peradangan kulit atopik. Keratinosit dermatitis atopik mensekresikan profil unik kemokin dan sitokin setelah terpapar sitokin proinflamasi. Keratinosit juga merupakan sumber penting dari thymic stromal lymphopoietin ( TSLP ), yang mengaktifkan sel dendritik ke sel T memori utama untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 untuk meningkatkan diferensiasi sel Th2. Pentingnya TSLP dalam patogenesis dermatitis atopik didukung oleh pengamatan tikus secara genetik dimanipulasi dengan meningkatkan TSLP di kulit mampu mengembangkan dermatitis atopik seperti peradangan kulit. Derivat TSLP juga diduga memicu perkembangan asma. [5] Genetik Studi hubungan genom keluarga dengan dermatitis atopik telah tumpang tindih dengan penyakit kulit inflamasi lainnya seperti psoriasis. Meskipun banyak gen yang mungkin terlibat dalam pengembangan dermatitis atopik, termasuk gen yang berperan dalam diferensiasi barrier epidermal dan gen pertahanan respon/host kekebalan tubuh. [5] Hilangnya fungsi mutasi filagrin, yang mengkode barier protein epidermal, filagrin telah terbukti menjadi faktor utama predisposisi untuk dermatitis atopik serta gangguan keratinisasi umum yang terkait dengan dermatitis atopik. Pasien dengan mutasi filagrin sering memiliki onset awal, eksim yang parah, tingkat tinggi sensitisasi alergen dan meningkatkan terjadinya asma di masa kanak-kanak.

Gen yang juga terlibat adalah varian gen SPINK5 yang terdapat dalam epidermis paling atas dimana produknya LEKT1, menghambat protease serin yang terlibat dalam deskuamasi dan protease peradangan. terhadap Hal aktivitas ini menunjukkan protease bahwa dapat

ketidakseimbangan

inhibitor

menyebabkan peradangan kulit atopik. [5] Terganggunya fungsi barier kulit merupakan kunci dalam patogenesis dermatitis atopik, sehingga memungkinkan peningkatan kehilangan air

transepidermal dan juga terjadi peningkatan masuknya alergen, antigen dan bahan kimia dari lingkungan yang mengakibatkan respon inflamasi kulit. Penting untuk ketahui bahwa mutasi filagrin dan kemungkinan mutasi lain yang mempengaruhi barier kulit, dapat terjadi pada individu normal secara klinis dan pada pasien dengan ichthyosis vulgaris tanpa bukti klinis peradangan kulit. Kromosom 5q3133 berhubungan dengan sitokin fungsional terkait IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan granulosit makrofag colony-stimulating faktor yang diekspresikan oleh sel Th2. Selain itu, hubungan dermatitis atopik dengan fungsi mutasi pada subunit dari reseptor IL-4 telah dilaporkan, memberikan dukungan lebih lanjut dari konsep bahwa ekspresi gen IL-4 memiliki peran dalam dermatitis atopik. [5] Keterlibatan IFN- dan IL-18 mendukung peran sel CD4+ dan disregulasi gen Th1 dalam patofisiologi dermatitis atopik. Selain itu, laporan dari hubungan dermatitis atopik dengan polimorfisme gen NOD1 yang mengkode Toll-like reseptor, menunjukkan peran penting bagi gen pertahanan host dalam patogenesis dermatitis atopik. [5] Respons imun pada kulit Sitokin, TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit dermatitis atopik. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopik, sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit normal (tidak ada kelainan kulitnya) penderita dermatitis atopik bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang bukan penderita dermatitis atopik ditemukan lebih banyak sel-sel yang mengekspresikan mRNA, IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut dan

kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya pada penderita dermatitis atopik menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA, IFN-y atau IL-12. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis dermatitis atopik berperan dalam perkembangan TH1.
[1]

Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas dalam keratinosit.
[1]

Berbagai kemokin ditemukan dalam lesi kulit dermatitis atopik yang dapat menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T dan monosit, masuk ke dalam kulit.
[1]

Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih lama, dan meningkatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel langerhans dan eosinofil. Produksi TNF- dan IFN-y pada dermatitis atopik memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF- dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit dermatitis atopik.
[1]

IL-4 meningkatkan perkembangan TH-2, sedangkan IL-12 yang diproduksi oleh magrofag, sel berdendrit, atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12R2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknnya diinduksi oleh IL-12, IFN-, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan diferensiasi TH1. Sel mast dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mast/basofil pada dermatitis atopik akan merangsang perkembangan sel TH2.
[1]

Sel mononuklear pada penderita dermatitis atopik meningkatkan aktivitas enzim cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterate (PDE) yang akan meningkatkan sintesis IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDE inhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat. Kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
[1]

Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita dermatitis atopik adalah abnormal, dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen, secara selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. Sel langerhans yang mengandung IgE meningkat, sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. Sel langerhans yang mengandung IgE setelah menangkap alergen yang mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T naive sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak.
[1]

Sel langerhans pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu Fc RI, Fc RII (CD23) dan IgE-binding protein. Reseptor Fc RI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada Sel langerhans melalui reseptor spesifik Fc RI pada permukaan Sel langerhans. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekspresi Fc RI di permukaan Sel langerhans rendah, sedangkan di lesi ekzematosa dermatitis atopik tinggi. Ada kolerasi antara ekspresi permukaan Fc RI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, resepor IgE dengan afinitas tinggi (Fc RI) juga ditemukan pada permukaan sel mast dan monosit.
[1]

Kadar seramid pada kulit penderita dermatitis atopik berkurang sehingga mudah kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respon TH2 yang lebih daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif. Respon Sistemik Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita dermatitis atopik menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan memproduksi
[1]

IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil dan menurunkan fungsi sel TH1.
[1]

Perubahan sistemik pada dermatitis atopik adalah sebagai berikut : Sintesis IgE meningkat IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri dan autoalergen. Ekpresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit meningkat. Pelepasan histamin dan basofil meningkat. Respon hipersensivitas lambat terganggu. Eosinofilia Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat. Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun. Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat. Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan PGE2.
[1]

IV. MANIFESTASI KLINIK Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Gejala utama dermatitis atopik adalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta.
[1]

10

dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu dermatitis atopik infantil (terjadi pada usia 2 bulansampe 2 tahun; dermatitis atopik anak (2 sampai 10 tahun); dan dermatitis atopik pada remaja dan dewasa.
[1]

Dermatitis atopik infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun) dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi,pipi) berupa eritema papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif dan akhirnya terbentuk kusta. Lesi kemudian meluas ketempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi dermatitis atopik infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.
[1, 9]

Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan.
[1, 9]

11

Gambar 1. Dermatitis atopik pada infant Dikutip dari kepustakaan [10]

Dermatitis atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) Merupakan kelanjutan bentul infantil atau timbul sendiri (de nove). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di wajah. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi; likenifikasi mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan siklus gatal-garuk. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap wol, bulu kucing dan anjing juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.
[1, 9] [1, 9]

Dermatitis atopik berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan.

12

Gambar 2. Dermatitis atopik pada anak Dikutip dari kepustakaan [10]

Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa Lesi kulit dermatitis atopik pada bentuk ini dapat berupa plak papulareritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada dermatitis atopik remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut dan samping leher, dahi dan sekitar mata. Pada dermatitis atopic dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat juga ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, berisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang erupsi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi dengan sedikit skuama dan sering terjadi eksoriasi dan aksudasi karena garukan. Lama kelamaan terjadi hiperpigmentasi. [1, 9] Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila latihan fisik. Pada umumnya dermatitis atopik remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai

13

usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita dermatitis atopik yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
[1, 9]

Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis pada tangan, sekitar 70% suatu saat dapat mengalaminya. Dermatitis atopik pada tangan

dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. Dermatitis atopik di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.
[1, 9]

Berbagai kelainan dapat menyertai dermatitis atopik misalnya hiperlinearis palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitirasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus dan keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita dermatitis atopik cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga.
[1, 9]

Gambar 3. Dermatitis atopik pada dewasa. Dikutip dari kepustakaan [10]

14

V.

DIAGNOSIS Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin

dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994). Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Kriteria mayor Pruritus Dermatitis di wajah atau ekstensor pada bayi dan anak Dermatitis di fleksura pada dewasa Dermatitis kronis atau residif Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
[1, 11, 12] [1, 11, 12]

Kriteria minor Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks) Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis piliaris Pitiriasis alba Dermatitis di papila mamae White dermographism dan delayed blanch response Keilitis Lipatan infra orbital Dennie-Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap Wajah pucat atau eritem Gatal bila berkeringat Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak

15

Aksentuasi perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE di dalam serum meningkat Awitan pada usia dini
[1, 11, 12]

Kriteria diagnosis pada bayi yaitu : Kriteria Mayor berupa : Riwayat atopik pada keluarga Dermatitis di wajah atau ekstensor Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor : Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris Aksentuasi perifolikular Fisura belakang telinga Skuama di skalp kronis
[1]

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau uji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (Ukworking party) yang dikoordinasi oleh kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis dermatitis atopik yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis.
[1, 11, 12]

Pedoman diagnosis dermatitis atopik yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu :
16

Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.

Ditambah tiga atau lebih kriteria berikut : 1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipatan siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termaksud pipi anak usia di bawah 10 tahun). 2. Riwayat asma bronkiat atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun. 3. 4. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun). 5. Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak dibawah 4 tahun)
[1]

VI.

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dermatitis atopik adalah dermatitis serboroik (terutama

pada bayi), dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis, (terutama di daerah palmoplantar), dermatitis herpetiformis, sindrom Sezary, dan penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi juga sindrom imunodefisiensi, misalnya sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.
[1]

VII.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Umum Kulit penderita dermatitis atopik cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan detergen; kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau

17

dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa detergen dapat bersifat iritan. Bila selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres fisik juga dapat menyebabkan eksaserbasi dermatitis atopik.
[1, 13]

Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi oleh kencing atau feses, bahkan juga penggunaan baby oil. Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genetalia, popok segera diganti bila basah atau kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab, hindari pembersih anti bakterial karena berisiko menginduksi resistensi.
[1, 13]

Pengobatan Topikal Hidrasi kulit. Kulit penderita dermatitis atopik kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5 %, karenna dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.
[1, 13]

18

Kortikosteroid

topikal.

Pengobatan

dermatitis

atopik

dengan

kortikostreoid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Pada bayi
[1, 13]

digunakan

salap

steroid

berpotensi

rendah,

misalnya

hidrokortison 1%-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada wajah digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai didaerah genetalia dan intertriginosa,jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya flourinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikostreroid yang potensinya paling rendah.
[1, 13]

Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau denga larutan permaganas kalikus 1:5000.
[1]

Imunomodulator topikal Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk salap, 0.03% untuk usia 2-15 tahun, untuk dewasa 0.03% dan 0.1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam dermatitis atopik yaitu sel Langerhans, sel T, sel mast dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salap takrolimus, koloni S.aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid dapat digunakan di wajah dan kelopak mata.
[1]

Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan mokrolatam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var, Ascomycetucus. Cara kerjanya sangat mirip dengan siklosporon dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsukubaensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja

19

sebagai pro-drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosilik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk aksomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin 12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1 (IFN-y dan IL-2) dan TH2 (IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi sel mast. Askomisin

menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi dermatitis kontal elergik, tetapi respon imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.
[1]

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk tidak memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit. [1] Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek anti pruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10%, atau crude tar 1% sampai 5%. [1] Antihistamin. Pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu munggu), dapat mengurangu gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. Pengobatan Sistemik Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk
[1]

mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek dan dosis rendah, diberikan selang-seling (alternate) atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian diganti segera dengan kortikostreroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali.
[1]

20

Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai anti sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorit yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamin H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa.
[1]

Anti-infeksi. Pada dermatitis atopik ditemukan peningkatan koloni S.aureus. untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Bila dicurigai terinveksi oleh virus herpes simpleks kortikostreroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari. Interferon.
[1]

IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan

fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkurasi.
[1]

Siklosporin. Dermatitis atopik yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral : 5mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan, umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu peningkatan kreatinin dalam serum atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
[1]

Terapi Sinar (Phototherapy) Untuk dermatitis atopik yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB atau
21

Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit. VIII. PROGNOSIS Sulit memprediksi prognosis dermatitis atopik pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan dermatitis atopik yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 80% dermatitis atopik anak berlangsung sampai masa remaja. Ada juga laporan dermatitis atopik pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang dan 60% berkurang gejalanya. Lebih dari separuh dermatitis atopik remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. [1, 14] Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik dermatitis atopik yaitu : Dermatitis atopik luas pada anak Menderita rinitis alergik dan asma bronkial Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung Awitan (onset) dermatitis atopik pada usia muda Kadar IgE serum sangat tinggi
[1] [1]

Diperkirakan 30 hingga 50% dermatitis atopik infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita dermatitis atopik mempunyai resiko menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. [1, 14]

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Sularsito, S., Dermatitis, in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, A. Djuanda, Editor. 2010, FK UI: Jakarta. p. 138-148. 2. Graham, R. and B. Burns, in Lecture Notes Dermatology. 2005, Erlangga: Jakarta. p. 73-75. 3. Gawkrodger, D., in Dermatology An lllustrated Colour Text 2002, Churchill livingstone: USA. p. 32-33. 4. William, D., G. Timothy, and M. Dirk, Atopic Dermatitis, Eczema and Noninfectious Immunodeficiency Disorders, in Andrew's Disease Of The Skin: Clinical Dermatology, H. Sue and K. Bowler, Editors. 2006, Saunders Elsevier: Canada. p. 69-76. 5. YM, D., et al., Atopic Dermatitis (Atopic Eczema), in Fitzpatrick's dermatology in general medicine L.A. Goldsmith, et al., Editors. 2012, The McGraw-Hill: USA. p. 261-283. 6. Donald, Y., L. Laurence, and M. Boguniewicz, Atopic Dermatitis, in Fitzpatrick's Dermatology in General Dermatology, K. Wollf, et al., Editors. 2007, McGraw-Hill: USA. p. 38-50. 7. Wollf, K. and R. Johnson, in Fitzpatrick's Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology. 2008, McGraw-Hill: USA. p. 146-158. 8. Guttman, E. and Yassky, Atopic Dermatitis, in Enviromental Factors in Skin Disease, T. Ethel, Editor. 2007, Karger: Israel. p. 154-168. 9. Trozak, D., D. Tennenhouse, and J. Russell, in Dermatology Skills For Primary Care An Illustrated Guide. 2006, Humana Press Inc: New Jersey. p. 199-211. 10. Gawkrodger, D., in Dermatology An Illustrated Colour Text. 2001, Churchill livingstone: USA. p. 32-33. 11. Sterry, W., R. Paus, and W. Burgdorf, in Dermatology Thieme Clinical Companions. 2006, Thieme: German. p. 190-195.

23

12.

Habif, T. and P. Thomas, Atopic Dermatitis, in A Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, T. Habif, Editor. 2004, Mosby: London. p. 106-116.

13.

Boguniewicz, M., Conventional Topical Treatment Of Atopic Dermatitis, in Atopic Dermatitis, T. Bieber and D. Leung, Editors. 2002, Marcel Dekker: New York. p. 453-470.

14.

Dawber, R., I. Bristow, and W. Turner, in Text Atlas Of Pediatric Dermatology. 2005, Martin Dunitz: London. p. 95-97.

24

Anda mungkin juga menyukai